Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 246 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lidwina Margaretha Laka Bansena
"Pendahuluan: Debu tepung adalah pajanan alergen terhadap pembuat roti yang telah diidentifikasi sebagai faktor determinan sensitisasi alergi dan dapat dilihat dari tingginya prevalensi kejadian atopik alergen gandum. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor individu dan faktor pekerjaan yang berperan terhadap kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta.
Metode: Penelitian potong lintang komparatif ini dilakukan pada pembuat roti tradisional di 10 pabrik roti di Jakarta dengan membandingkan antara 26 pekerja yang atopik terhadap alergen gandum dengan 79 pekerja yang tidak atopik. Data faktor individu dan faktor pekerjaan diperoleh dengan menggunakan kuesioner, data atopik alergen gandum diperoleh dengan melakukan tes tusuk kulit, dan data higiene lingkungan kerja diperoleh dengan menggunakan nilai tilik mold & dampness assessment sheet NIOSH.
Hasil: Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, ditemukan bahwa faktor determinan kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta adalah kebiasaan merokok (p = 0,047; OR 0,14; 95% CI 0,02-0,97), atopik terhadap tungau debu rumah (p = 0,022; OR 12,20; 95% CI 1,45-119,49), dan masa kerja (p = 0,044; OR 3,52; 95% CI 1,03-11,98).
Kesimpulan: Atopik terhadap tungau debu rumah dan masa kerja meningkatkan risiko untuk mengalami kejadian atopik alergen gandum, sedangkan kebiasaan merokok sedang-berat mengurangi kejadian atopik alergen gandum.

Background: Wheat flour is an occupational exposure to the bakers that has been identified as a determinant allergen among the bakers that can be seen from the high prevalence of atopic events. This study aimed at exploring factors that contribute to the event atopic wheat allergens in traditional bakers in Jakarta.
Methods: This cross sectional comparative study was conducted in 10 traditional bakeries in Jakarta by comparing 26 atopic workers to wheat allergens with 79 non-atopic workers. Data about individual and occupational factors were obtained using a questionnaire, atopic to wheat allergens obtained by conducting skin prick tests, and work environment hygiene data obtained by using NIOSH mold & dampness assessment sheet.
Results: Based on the results of logistic regression analysis, it was found that the determinant factor for developing atopic wheat allergens among traditional bakers in Jakarta was smoking habits (p = 0.047; OR 0.14; 95% CI 0.02-0.97), atopic to house dust mites (p = 0.022; OR 12,20; 95% CI 1.45-119.49), and work period (p = 0.044; OR 3.52; 95% CI 1.03-11.98).
Conclusion: Atopic to house dust mites and work period increases the risk factors to the occurrence of atopic to wheat allergen, while moderate-heavy smoking habits reduced the risk of the occurrence of atopic to wheat allergen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Ayu Fitri Hapsari
"ABSTRAK
Telah dilakukan analisis dermatoglifi telapak tangan pada 30 penderita epilepsi grand mal primer (EGP) dan 30 orang normal untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dermatoglifi pada kedua kelompok tersebut. Metode pencetakan menggunakan tinta seperti yang dilakukan oleh Cummins dan Midlo. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pola pada daerah T 1,67% T , III 1,67%, IIII 21,67%, IIV 85,00% dan H 6,67% untuk penderita EGP; sedangkan pada orang normal T 1,67%, III 0,00%, IIII 33,33%, IIV 55,00%. dan H 10,00%. Hasil uji chi-kuadrat (x2) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (x2hit= 6,429) untuk daerah IIV telapak tangan penderita EGP dibandingkan dengan orang normal. Rata-rata jumlah besar sudut atd pada kedua telapak tangan penderita EGP 82,70°, sedangkan pada orang normal 88,03°. Rata-rata jumlah total sulur a-b pada kedua telapak tangan penderita EGP 71,74 sedangkan pada orang normal 73,20. Rata-rata jumlah besar derajat transversalitas pada kedua telapak tangan penderita EGP 56,70°, sedangkan pada orang normal 57,80°. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna baik untuk jumlah besar sudut atd (Zhit.= -1,68), jumlah total sulur a-b (Zhit= -0,17), maupun jumlah besar
derajat transversalitas (Zhit= -0,01) telapak tangan penderita EGP dibandingkan dengan orang normal. Frekuensi garis lipatan (unilateral + bilateral ) penderita EGP adalah 26,67% untuk garis simian dan 30,00%. untuk garis Sidney; sedangkan pada orang normal 23,33% untuk garis simian dan 6,67% untuk garis Sidney. Frekuensi garis lipatan Sidney bilateral untuk penderita EGP adalah 13,33%, sedangkan pada orang normal 0,00%. Hasil uji chi-kuadrat (x2) nenunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna (x2hit= 0,089) frekuensi garis lipatan simian (unilateral + bilateral); sedangkan untuk garis lipatan Sidney bilateral (x2hit= 4,286) dan unilateral + bilateral (x2hit= 5,454) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara penderita EGP dibandingkan dengan orang nornal. Kesirnpulan: Terdapat perbedaan frekuensi pola sulur pada IIV dan frekuensi garis Sidney bilateral dan unilateral + bilateral antara dermatoglifi penderita EGP dan orang normal."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Jesse Rajabosi
"Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah ikan air tawar yang banyak terdapat di Indonesia. Kolagen dari kulit ikan ini dapat diolah menjadi gelatin yang dapat digunakan pada produk ?produk farmasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji karakteristik dari gelatin dari kulit ikan nila agar dapat digunakan sebagai eksipien, khususnya bahan pengikat, di bidang farmasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik gelatin dari kulit ikan nila dan menggunakannya sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet secara granulasi basah. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis proksimat, sifat fungsional, kandungan logam berat, analisis asam amino dan kandungan mikrobiologi. Formula tablet yang dibuat terdiri dari lima formula tablet plasebo. Tiga formula menggunakan gelatin dari kulit ikan nila, sedangkan dua formula lain menggunakan gelatin komersial dan muscilago amilii sebagai pembanding. Semua formula tablet tersebut dilakukan evaluasi, terhadap uji visual, keseragaman ukuran, keseragaman bobot, kekerasan, keregasan dan waktu hancur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan nila dapat digunakan sebagai bahan pengikat pada pembuatan tablet secara granulasi basah dan memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III dan Farmakope Indonesia Edisi IV."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S32575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Saadah
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S29183
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Afira
"Latar Belakang: Luka bakar merupakan suatu cedera berat yang memerlukan tata laksana khusus multidisiplin. Untuk mengukur kinerja dari pelayanan luka bakar dibutuhkan luaran yang terstandardisasi untuk memungkinkan perbandingan dan penentuan efek dari tata laksana tersebut. Penulis ingin mengevaluasi efek dari eksisi dini sebagai tata laksana awal pada kondisi sumber daya yang terbatas menggunakan LA50 sebagai luaran.
Metode: Sebuah studi kohort retrospektif terhadap pasien luka bakar akut dilakukan dari bulan Januari 2013 hingga Desember 2018 untuk menentukan luaran dari pelayanan luka bakar yang mencakup mortalitas dan LA50 serta untuk membandingkan luaran dari eksisi dini (EEWG) sebagai tata laksana awal dibandingkan dengan eksisi dini dan tandur kulit (EESG) atau eksisi tertunda dan tandur kulit (DESG).
Hasil: Terdapat 256 pasien yang memenuhi kriteria penelitian, mayoritas berada dalam kelompok usia 15-44 tahun dengan lebih dari setengah pasien memiliki luas luka bakar 20-50% TBSA dan median TBSA 26%. Angka mortalitas keseluruhan adalah 17.9% dengan peningkatan seiring usia dan TBSA. Peningkatan mortalitas yang signifikan didapatkan pada kelompok TBSA 40.5-50.0%, yang terus meningkat dan mencapai puncaknya pada TBSA 70% ke atas. Akibat keterbatasan sampel dan jumlah kematian, hanya kelompok usia 15-44 tahun dan 45-64 tahun yang dapat memberikan LA50, masing-masing sebesar 43% dan 45%. Angka LA50 keseluruhan adalah 49% terlepas dari adanya penurunan angka mortalitas. Data awal menunjukkan bahwa persentase tertinggi kematian didapatkan pada kelompok tanpa perlakuan, dengan tidak adanya pasien yang meninggal pada kelompok EESG dan DESG. Rasio odds pada kelompok EEWG adalah 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) dibanding kelompok DEWG.
Simpulan: Penggunaan luaran yang terstandardisasi berupa LA50 memberikan masukan yang lebih objektif dibanding angka mortalitas dan memungkinkan perbandingan internal dan eksternal di masa mendatang. Pembedahan pada pasien dengan TBSA 40- 50% perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kesintasan. Pengembangan dari sumber daya untuk menutup defek perlu ditingkatkan untuk memungkinkan eksisi dini secara total. Sedikitnya jumlah pasien tindakan eksisi dini dan tandur kulit menunjukkan perlunya skrining dan triase yang lebih cermat untuk pasien yang membutuhkan tindakan tersebut. Diperlukan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan efek dari eksisi dini tanpa tandur kulit sebagai tata laksana awal pada pusat pelayanan dengan sumber daya terbatas.

Background: Burn is a highly debilitating injury requiring a specialized and multidisciplinary care. Measuring the outcome of burn care demands a standardized outcome to enable comparison and determine impact of treatment. In a limited resource setting, the author sought to evaluate the effect of early excision as a preliminary treatment using LA50 as an outcome measurement.
Methods: A retrospective cohort study of acute burn patients was conducted from January 2013 to December 2018 to establish outcomes of burn care including mortality and LA50 and to compare the outcomes between treatment groups undergoing early excision without skin graft (EEWG), early excision and skin graft (EESG), and delayed excision and skin graft (DESG).
Results: Out of 390 patients available for screening, 256 were eligible for further study. Most patients were within age group 15-44 years and almost half were within 20-50% TBSA with median TBSA percentage of 26%. The overall mortality was 17.9% with an increase linear with age and TBSA. A significant mortality increase was observed from 40.5-50.0% TBSA group, which reached a plateau from TBSA 70% and up. Due to limited sample size and patient deaths, only age groups 15-44 years and 45-64 years could provide individual LA50 at 43% and 45%, respectively. The overall LA50 was identified at 49% despite lower mortality compared to a previously published number. Preliminary data showed that the highest percentage of deaths was seen in no treatment group, with no deaths seen in treatment groups EESG and DESG. The odds ratio for mortality in EEWG group was 2.11 (p-value 0.201, CI95% = 0.65-6.80) compared to DEWG group.
Conclusion: The use of a standardized outcome in the form of LA50 provides a more objective insight compared to crude mortality and enables future internal and external comparison. Surgery for patient with 40-50% TBSA should be prioritized to increase survival, and development of resources for defect closure should be encouraged to enable total early excision. The small number of patients undergoing early excision and skin grafting calls for a more attentive screening to triage and select candidates who may benefit from this procedure. Further study with bigger sample size is required to examine the effect of early excision without skin grafting as a preliminary procedure in a limited resource setting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ashari
"Penggunaan Austempered Ductile Iron atau ADI sebagai material alternatif semakin meningkat di dunia, baik dari sektor industri otomotive maupun bidang lainnya salah satunya di bidang pertahanan dan keamanan. Material ADI tidak tergolong dalam material ringan, light weight, tetapi dengan fleksibilitas design yang dimilikinya ADI dapat bersaing dengan logam lain yang lebih ringan diantaranya Aluminium dan paduannya. Penelitian ini merupakan bagian dari suatu rangkaian penelitian material untuk untuk menghasilkan thin wall austempered ductile iron (TWADI).
Pada penelitian ini pertama-tama akan dilakukan proses pengecoran FCD450 dengan ketebalan 5, 4mm. Proses pengecoran yang digunakan yaitu pengecoran vertikal (soundness casting) dengan model P1T1 yang akan di bandingkan dengan model P5T1 dimana pada model P5T1 ini dilakukan proses permesinan (surface grinding) untuk menghilangkan lapisan kulit skin effect pada permukaan plat TWDI yang dihasilkan, sehingga sifat mekanis tidak terganggu serta meminimalisasi terjadinya kegagalan baik akibat konsentrasi tegangan dan distorsi yang ada dari benda cor.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kekuatan tarik meningkat seiring di hilangkannya lapisan kulit (skin effect) oleh proses permesinan dalam hal ini Surface Grinding Machine. Pada plat dengan ketebalan 4mm dengan UTS 328.1(N/mm2) menjadi 460(N/mm2) dan pada plat 5mm dengan UTS389.6(N/mm2) menjadi 420 (N/mm2).

The use of Austempered Ductile Iron or ADI as an alternative material in the automotive industry and other industries such as national defence and military are increased recently. Although the ADI material does not fall into the category of light weight material, its design flexibility makes it competitive with other lighter metals like aluminum and its alloys.
The purpose of this research is to study the effect of surface grinding on thin wall ductile iron (TWDI) which is prepared as TWADI base material, that was produced by casting FCD450 five (5) and four (4) mm in thickness using soundness casting. There were two types of models used in this soundness casting: P1T1 and P5T1. The difference between these two models lay on the machining process after casting in which P5T1 applied surface grinding to remove the skin effect on the TWDI surface. This step is beneficial to minimalize the possibility of failure resulted from either stress concentration or distorsion.
The results showed that tensile strength increased when the skin effect was removed by machining process, in this case was by surface grinding machine. The tensile strength of plate 4 mm and 5 mm in diameter increased from UTS 328.1 N/mm2 to 460 N/mm2 and from UTS389.6 N/mm2 to 420 N/mm2, respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S51664
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Baranoski, Sharon
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004
617.1 BAR w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: McGraw-Hill, 1995
616.5 NUR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Harits Muttaqin
"Penggunaan energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batu bara secara perlahan telah membawa dunia ini ke dalam krisis energi, sehingga diperlukan upaya penghematan energi. Isu dunia mengenai penghematan energi tersebut sangat berkaitan erat dengan industri otomotif. Industri otomotif dituntut untuk menghasilkan produk dengan emisi kendaraan yang rendah dan kendaraan yang hemat bahan bakar. Material TWDI (thin wall ductile iron) yang dapat dilakukan pemrosesan lanjut menjadi TWADI (thin wall austempered ductile iron) menjadi kandidat yang paling menarik karena sifat mekanisnya yang baik serta biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan aluminium. Tantangan yang dihadapi pada proses pembuatan material TWDI saat ini yaitu kecenderungan terbentuknya lapisan kulit (skin effect) pada permukaan logam hasil pengecoran yang dapat menurunkan sifat mekanis.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pengaruh penggunaan isolator berupa glasswool, kayu, dan rockwool dengan ketebalan 40 mm terhadap kecepatan pendinginan. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian komposisi kimia, pengamatan makro, pengamatan struktur mikro, dan pengujian tarik. Pengamatan struktur mikro dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, dengan bantuan program image analysis. Sedangkan analisis kecepatan pendinginan didapatkan secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa kecepatan pendinginan merupakan fungsi dari jumlah nodul, karbida, nodularitas, dan diameter rata-rata nodul. Kecepatan pendinginan tercepat hingga terlambat yaitu pada penggunaan isolator rockwool (P9M1), kayu (P8M1), dan glasswool (P6M1). Untuk ketebalan lapisan kulit rata-rata terbesar hingga terkecil yaitu P8M1 32,58 μm, P9M1 25,59 μm, dan P6M1 25,45 μm. Dari karakteristik nodul, P8M1 memiliki nodularitas tertinggi sebesar 81% lalu diikuti P6M1 sebesar 79% dan P9M1 sebesar 76%. P6M1 memiliki 1605 nodul/mm2, P9M1 1274 nodul/mm2 dan P8M1 1141 nodul/mm2. Sedangkan, diameter nodul P6M1 10,20 μm, P8M1 9,71 μm, dan P9M1 9,09 μm. Matriks yang didapatkan adalah ferit dan karbida dengan tingkat keparahan karbida tertinggi hingga terendah yaitu P9M1, P8M1, dan P6M1. Nilai kekuatan tarik P6M1 367 MPa, P9M1 329 MPa, dan P8M1 146 MPa. Sedangkan elongasi P6M1 2%, P9M1 1,1%, dan P8M1 1%. Sifat mekanis yang didapatkan masih berada di bawah nilai standar.

Nowadays, the use of unsustainable energy such as petroleum and coal subsequently has brought us to the energy crisis. So that the effort of saving energy is crucial. World issues regarding energy savings is very closely related to the automotive industry. The automotive industry is required to produce products with lower emissions and fuel-efficient vehicles. TWDI (thin wall ductile iron) which can be processed to TWADI (thin wall austemperd ductile iron) became the best candidate due to good mechanical properties and lower cost comparing to aluminum. The challenge confronted in the process of TWDI making is the tendency of skin formation on the surface of the metal casting reduced its mechanical properties.
This research is conducted to obtain the effect of insulators utilization such as glasswool, wood, and rockwool with the thickness of 40 mm towards the cooling rate. Methods performed are chemical composition, visual observation, microstructure observation, and tensile testing. While, microstructure observation is conducted qualitatively and quantitatively using image analysis program, the analysis of the cooling rate is obtained qualitatively.
The cooling rate, from the fastest to the slowest, is rockwool (P9M1), wood (P8M1), and glasswool (P6M1). Where as, for the average skin thickness, from the biggest to the smallest, is P8M1 32.58 μm, P9M1 25.59 μm, and P6M1 25.45 μm. For nodule characteristics, P8M1 has the 81% nodularity and then followed by P6M1 with 79% and P9M1 with 76%. While, P6M1 has 1605 nodule/mm2, P9M1 and P8M1 has 1274 and 1141 nodul/mm2, respectively. While, the biggest nodule diameter is P6M1 with 10.20 μm, the next is P8M1 with 9.71 μm and then P9M1 with 9.09 μm. Ferrite and carbide is found in the matrix. The severity level of carbide, from the highest to the lowest, is P9M1, P8M1 and P6M1. From mechanical aspects, the highest ultimate tensile strength is obtained by P6M1 with 367 MPa, then followed by P9M1 with 329 MPa and P8M1 with 146 MPa. Where as, for the elongation, P6M1 is 2%, P9M1 is 1.1% and P8M1 is 1%. The mechanical properties obtained don't fulfill the standardfollowed by P6M1 with 79 and P9M1 with 76 While P6M1 has 1605 nodule mm2 P9M1 and P8M1 has 1274 and 1141 nodul mm2 respectively While the biggest nodule diameter is P6M1 with 10 20 m the next is P8M1 with 9 71 m and then P9M1 with 9 09 m Ferrite and carbide is found in the matrix The severity level of carbide from the highest to the lowest is P9M1 P8M1 and P6M1 From mechanical aspects the highest ultimate tensile strength is obtained by P6M1 with 367 MPa then followed by P9M1 with 329 MPa and P8M1 with 146 MPa Where as for the elongation P6M1 is 2 P9M1 is 1 1 and P8M1 is 1 The mechanical properties obtained don rsquo t fulfill the standard.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60439
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo
"[Kulit kering merupakan penyebab tersering keluhan gatal pada pasien HIV. Terapi antiretroviral pun dikaitkan dengan kulit kering, namun pemberiannya diperlukan oleh pasien HIV dalam jangka waktu yang lama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama terapi antiretroviral dengan derajat kekeringan kulit pada pasien HIV. Studi potong lintang dan kasus kontrol ini dilaksanakan pada Juni 2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 97 subjek. Lama terapi antiretroviral lini dua berkorelasi positif terhadap nilai transepidermal water loss dan lama terapi antiretroviral berkorelasi negatif terhadap nilai skin capacitance. Lama terapi antiretroviral merupakan faktor risiko terhadap penurunan nilai skin capacitance.;Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. , Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   3 4 5 6 7 8 9 10 11 12   >>