Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmadia Mulia Arsy Diffany Syahna
"Dewasa ini, fatherhood menjadi faktor yang penting untuk dikaji. Fatherhood memiliki efek yang positif bagi sang ayah itu sendiri maupun bagi anak-anaknya. Korea yang terkenal dengan patriarkinya kini mulai memasuki era ‘fatherhood baru’. Tulisan ini membahas fatherhood yang ada pada tokoh Hong Dae Young dalam drama 18 Again. 18 Again merupakan drama yang bertema cinta kasih keluarga. Bercerita tentang pasangan Hong Dae Young dan Jung da Jung yang bercerai dan memiliki sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan. Hong Dae Young sebagai fokus utama penelitian, merupakan seorang suami dan ayah yang baik bagi istri serta anak-anaknya. Namun, istri dan anak-anaknya salah paham akan sikap Hong Dae Young. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fatherhood[1] yang ada pada tokoh Hong Dae Young dalam drama 18 Again. Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitiannya. Data dianalisis dengan teori Semiotika Roland Barthes dan teori penokohan untuk melihat fatherhood Hong Dae Young dan pandangan istri serta anak-anaknya terhadapnya. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa karakter tokoh Hong Dae Young dalam drama 18 Again telah menjadi sosok ‘ayah’ baru yang mulai menjadi identitas era kontemporer ini. Hong Dae Young tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi telah secara sadar ikut hadir dalam pengasuhan anak. Hong Dae Young melalui tokoh Ko Woo Young juga menjadi ayah yang penuh kehangatan dan perhatian, dan memasuki ranah domestik. Pergeseran tren fatherhood ini juga diharapkan menjadi salah satu cara untuk mencapai kesetaraan gender

Nowadays, fatherhood is an important factor to be studied. Fatherhood has a positive effect on both the father himself and his children. Korea, which is famous for its patriarchy, is now entering the 'new fatherhood' era. This paper studies the fatherhood of Hong Dae Young's character in the drama 18 Again. 18 Again is a drama with the theme of family. This drama tells the story of a couple Hong Dae Young and Jung da Jung who are divorced and have a pair of twin boys and girls. Hong Dae Young as the main focus of research, is a husband and a good father to his wife and children. However, his wife and children misunderstand Hong Dae Young's attitude. Therefore, this study aims to describe the fatherhood on Hong Dae Young’s character in the drama. This research used a qualitative descriptive research method. The data were analyzed using Roland Barthes' Semiotics theory and characterization theory to see Hong Dae Young's fatherhood and the views of his wife and children towards him. Based on the results of the study, it can be concluded that the character Hong Dae Young in the drama 18 Again has become a new 'father' figure which is found in this contemporary era. Hong Dae Young is not only a breadwinner, but has been invloved child rearing. Hong Dae Young through the character of Ko Woo Young also became a warm and caring father, and engaged more actively in domestic domain. The shift in the fatherhood trend is also expected to be one way to achieve gender equality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bra Baskoro
"Skripsi ini membahas masalah pemaknaan makam Imogiri bagi masyarakat Jawa. Penafsiran makna makam Imogiri akan dilakukan melalui penelitian terhadap mitos-mitos yang ada seputar makam Imogiri. Mitos-mitos tersebut merupakan petanda dari penanda konsep tertentu, yakni konsep kekuasaan, kesaktian dan kepercayaan. Berdasarkan pemahaman relasi antara mitos dan makam tersebut akan didapatkan makna makam dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Permasalahan yang diangkat pada skripsi ini ada 3 hal. Pertama, Apakah makna makam Imogiri bagi masyarakat Jawa? Kedua, mengapa terjadi penambahan makna? Ketiga, faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penambahan makna? Skripsi ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan. Bagian kedua adalah Gambaran Umum Makam Imogiri, ditinjau dari segi geografis, sejarah dan sosial-budaya. Bagian ketiga, merupakan analisa data penelitian. Bagian keempat adalah penutup atau kesimpulan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S11718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Safira
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan bertubuh besar
dalam iklan karena hasil studi terdahulu menunjukkan adanya perbedaan representasi
tubuh besar dengan tubuh langsing di media. Media seringkali menampilkan tubuh
langsing sebagai standar tubuh ideal bagi perempuan, sebaliknya perempuan bertubuh
besar direpresentasikan sebagai sosok yang minder, tidak produktif, tidak pandai bergaul, dan lain-lain. Nivea muncul dengan iklan yang menggunakan model perempuan bertubuh besar sebagai model utamanya. Untuk mengkaji iklan ini peneliti menggunakan teori representasi dari Stuart Hall dan menggunakan metode analisis semiotika Charles Peirce. Hasil penelitian menunjukan, di satu sisi, nilai-nilai edukasi melalui pesan moral bahwa model perempuan bertubuh besar memiliki rasa percaya diri. Selain itu, model iklan
menunjukan kemampuan pengembangan diri dan dapat berinteraksi dengan baik dengan
orang lain. Namun, dalam iklan tersebut masih merefleksikan budaya patriarki dengan
mengkonstruksi perempuan bertubuh besar yang feminin dan berkulit putih

This study discusses the representation of obese women in advertisements because the results of previous studies show differences in representation of obese bodies with slim bodies in the media. Media that release the body as an ideal body standard for women, on the other hand, an obese woman is represented as a figure who is inferior, unproductive, not sociable, and others. Nivea appeared with an advertisement that used an obese female model as the main model. To analyze this ad, researchers used the theory of representation from Stuart Hall and used Charles Peirces semiotic analysis method. The results showed,
on the one hand, the values of education through the moral message of the obese female models have self-confidence. In addition, the advertising model shows self-development abilities and can interact with others. However, the ad still reflects patriarchal culture by constructing an obese woman who is feminine and white.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, Amira
"Aliran Metalcore adalah sebuah subgenre dari Heavy Metal yang menggunakan teknik vokal yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dengan berteriak atau yang seringkali disebut screaming. Ketika mendengarkan ataupun menyaksikan sebuah lagu dibawakan dengan cara nyanyi berteriak, muncul sebuah anggapan bahwa aliran Metalcore ini membawa dampak negatif karena menerapkan teknik vokal yang keras, intimidatif dan penuh emosi. Tidak jarang teknik vokal screaming ini dianggap meniru 'suara setan'. Pernyataan ini tidak mengherankan apabila mengetahui bahwa memang ada beberapa aliran musik yang sengaja menirukan 'suara setan' tersebut dan menerapkannya ke dalam lagu.
Metalcore tentunya bukan merupakan sebuah aliran musik yang berasal dari Indonesia, namun sudah banyak band yang mulai memainkan aliran ini dan banyak diantaranya yang sudah cukup terkenal. Cara bernyanyi dengan berteriak sudah bukan lagi hal yang baru, namun masih banyak yang menganggap bahwa Metalcore memicu hal-hal negatif kepada para pendengarnya. Masih ada stereotype yang melekat pada screaming. Oleh karena itu, para pelaku Metalcore tanah air melihat bahwa perlu dilakukannya transformasi makna teknik vokal screaming agar menyadarkan masyarakat bahwa apa yang mereka sampaikan melalui teriakan bukanlah bersifat negatif. Caranya adalah dengan menulis lyric lagu yang memiliki pesan positif sesuai dengan norma-norma sosiokultural yang berlaku di masyarakat. Dengan tetap mengacu pada ciri-khas screaming, para pelaku Metalcore tanah air berusaha menyampaikan sebuah pesan moral melalui lyric lagu yang mereka teriakkan.

Metalcore is one of the subgenres of Heavy Metal which uses a vocal technique which differs from many before it called screaming. When one hears or sees a song that is being sung by way of screaming, one tends to associate it with having a negative impact on its listeners because of the loud, intimidative and emotional lyrics. Also, it is not uncommon for screaming to be thought of as an act of trying to replicate Satanic voices. This statement comes at no surprise because as a matter of fact there are certain genres of music that deliberately try to sound Satanic and apply it to the songs that they play.
As we may know, Metalcore is not a genre of music that originates from Indonesia. Even so, there are many bands these days that are performing this genre and many of them are already quite well known. Singing by screaming is no longer considered something new in the music world, yet there are still people who believe that Metalcore triggers negativity towards its listeners. There is still a stereotype attached to the act of screaming. Therefore, they who are active in the Indonesian Metalcore scene realize that there has to be an act of transformation towards the meaning of the screaming vocal technique in order to make people aware that what they are conveying through these screams are not negative. They soon figured out that writing song lyrics that have a positive message in accordance with the sociocultural norms in the society was what had to be done. By continuing to refer to the essence of Metalcore with its screaming, Indonesian Metalcore musicians are trying to convey moral messages through the song lyrics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S1431
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Nuha Fahira Fahmy
"Skripsi ini membahas Bandara Soekarno-Hatta sebagai gerbang masuk negara dan bagaimana sebuah bandara mengkomunikasikan identitas sebuah negara. Tulisan ini menggunakan teori mengenai place dan Semiotika untuk memahami identitas yang terbaca pada Bandara Soekarno-Hatta. Place dapat didefinisikan sebagai tempat yang menunjukkan signifikansi konteks tempat ia berada serta memiliki signifikansi yang dapat berasal dari budaya, sejarah, dan lain-lain. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari simbol-simbol yang dipakai di masyarakat dan perannya dalam mengkomunikasikan suatu ide, termasuk kajian arsitektur di era Pasca Modern. Arsitektur di era ini menunjukkan gaya arsitektur yang ingin membangkitkan kembali arsitektur yang lebih seimbang dari sisi fungsi dengan non-fungsi termasuk ornamen dan simbol identitas. Sebagai gerbang masuk negara, Bandara Soekarno-Hatta memiliki fungsi menyampaikan identitas negara dan memberikan kesan pertama kepada para pengunjung serta menyambut pulang orang-orang Indonesia. Oleh karena itu Bandara Soekarno-Hatta harus menjadi place yang menandakan bahwa pengunjung sedang berada di Indonesia dan identitas lokal seperti melalui penggunaan simbol dan penggunaan arsitektur tradisional dengan teknologi modern. Terminal 1 dan 2 mengangkat identitas Indonesia melalui arsitektur tradisional Jawa menekankan ide tentang place yang lebih spesifik. Sementara Terminal 3 mengangkat identitas Indonesia yang lebih modern dan lebih dominan dengan ide non-place yaitu bandara sebagai ruang transisi. Dari sini bisa dianalisis bahwa arsitektur Bandara Soekarno-Hatta menunjukkan identitas Indonesia yang terus berkembang.

This study explores Soekarno-Hatta Airport as the gateway to Indonesia and how the airport communicates Indonesia’s identity. This study uses theories of place and Semiotics to understand the identity of Soekarno-Hatta airport. Place can be defined as a space with a significant meaning that shows local contexts, coming from local culture, history, and identity. Semiotics is a study about symbols that is used in presenting certain meanings and it has a key role in communicating an identity. Architecture during the Postmodern era can be understood using semiotics such as the modern style that wants to revive architecture that is more balanced in function and non-function including ornaments and identity symbols. As a gateway to a country, Soekarno-Hatta Airport has a function to convey Indonesia’s identity and give first impressions toward visitors and welcome Indonesians home. Because of that, Soekarno-Hatta Airport has to be a place that signifies that visitors are currently in Indonesia, and that can be shown through the use of traditional architecture combined with modern technology or a narration throughout the airport that conveys its identity. Terminal 1 and 2 tell us about Indonesia’s identity from its traditional side and emphasizes the idea of place that is more specific, while Terminal 3 shows Indonesia in a modernized state and is more dominant in the idea of non-place which is the airport as a space of transition. From this study we can conclude that the architecture of Soekarno-Hatta Airport conveys a message about Indonesia’s identity that keeps on growing."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junius Mitchell Stephen
"ABSTRAK
Penelitian ini bermula dari keprihatinan penulis terhadap representasi kaum minoritas (LGBT) di dalam media massa. Kelompok minor ini sering direpresentasikan dengan menyimpang dan menyudutkan. Namun, perkembangan media massa memunculkan kemungkinan baru untuk melakukan suara perlawanan, yakni dengan film pinggiran. Penelitian ini berfokus untuk melihat bagaimana film pinggiran dipergunakan untuk mejadi media alternatif untuk menjadi wadah suara resistensi masyarakat, baik oleh kaum gay maupun heteroseksual. Penulis akan melihat permasalahn ini dengan menggunakan perspektif dari Michel Foucault tentang praktik kuasa serta identitas gender dari Judith Butler. Dengan menggunakan metode Semiotika Film dari Christian Metz dalam model analisis semiotika dari Barthes, penulis menarik kesimpulan bahwa film pinggiran dengan segala karakteristiknya dapat menjadi media resistensi dari kaum gay untuk menyuarakan representasi yang lebih baik dan menyuarakan kebenaran yang mereka yakini. Kaum gay didapati lebih eksploratif dan mampu menggambarkan banyak hal, sedangkan kaum hetero merepresentasikan gay lebih secara hitam putih dan menyampaikan pemikirannya dalam dialog yang bersifat lebih kaku, kurang eksploratif.

ABSTRAK
This research begins with the writer’s concern about minority (LGBT) representation in the mass media. This minor group often represented falsely and tend to be cornering. On other hand, the mass media provide new medium to express the resisting voice from the minor by using the independent film. This research id focusing to identify the usage of the independent film to be an alternative to express the resisting voice, both from gay or heterosexual film maker. By using Foucault’s view on power practice and the gender identity by Judith Butler, I hope I could draw a conclusion on gender trouble and power practice in the related film. The semiotics of film by Christian Metz will be combined by Roland Barthes’ model of semiotics. I conclude that independent film is a great medium to express a resisting utterance to established normativity.
In my conclusion, I am finding that the gay film maker is having more audacity to explore a gay character, both from their life story and the way of thinking. On other hand, the heterosexual represent their gay character in way more rigid way, black and white and more likely using the plain dialogue, not really explorative."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Scholastica Gerintya Saraswati
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kritik sosial terhadap
pejabat publik direpresentasikan dalam meme. Analisis teks menggunakan semiotika
Roland Barthes. Meme yang diteliti adalah meme yang membahas tentang pejabat publik,
mengandung kritik, dan populer pada kurun waktu tertentu. Analisis pembahasan
diperkuat dengan menggunakan konsep meme dan mitos dalam Barthes. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa media massa dianggap tidak lagi mampu menyuarakan kritik sosial,
sehingga masyarakat memanfaatkan meme sebagai media alternatif penyampaian kritik.
Temuan lainnya adalah bahwa mitos di dalam meme memperkuat gambaran pejabat di
benak masyarakat. Pemilihan dan penempatan teks di dalam meme adalah hasil dari
framing yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam upayanya untuk menyampaikan
kritik. Tanpa mitos, fungsi meme sebagai media penyampaian pesan tidak akan kuat.

ABSTRACT
The purpose of this research is to find out how social critics on public officials is
represented through a meme. Text analysis is done using Ronald Barthes' semiotics. The
memes being researched are the ones mentioning public officials, which contains critics,
and also popular within a certain period of time. The analysis discussion is then
strengthened by Barthes' concepts of meme and myth. The findings shows that mass
media is no longer considered capable of expressing social criticism, therefore the society
then uses memes as an alternative media to express their critics. Other findings suggest
that myths within memes strengthens the image of public officials in the minds of society.
The text selection and placement inside memes are a result of framings that are done by
certain parties in their effort to express critics."
2016
S65225
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artika Isnanda Sarah
"ABSTRAK
Penekanan terhadap representasi visual, seperti tampilan fisik, kostum dan
koreografi tari membuat girlband dan boyband K-pop menjadi terseksualisasi,
menjadikan mereka hanya sebagai gambaran objek seksual. Pada musik video,
yang merupakan media paling utama bagi girlband dan boyband K-pop generasi
kedua dalam mempromosikan lagu serta menghimpun penggemar dari global,
seksualisasi ini ditunjukkan dengan gambaran tubuh perempuan dan posisinya
dari laki-laki. Pada tahun 2015, kecenderungan berbeda ditunjukkan oleh Brown
Eyed Girls dan Stellar yang memunculkan tanda-tanda (sign) merujuk pada
genital perempuan. Bahkan Big Bang, kelompok boyband juga ikut menampilkan
hal serupa. Menggunakan pemikiran Julia Kristeva tentang abjeksi terhadap tubuh
perempuan, tiga video tersebut dianalisa menggunakan metode semiotika
pragmatis Pierce untuk menemukan makna di balik simbol-simbol yang menjadi
tanda bagi subjektifitas. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa musik BigBang
dengan lagu Bae Bae menunjukkan subjektifitas perempuan yang pasif dan aktif
bagi laki-laki seperti pada ajaran Konfusius, lagu Brown Eyed Girls,
menunjukkan subjektifitas perempuan pada era 1960-an yang menjadikan
tubuhnya sebagai ekspresi diri dan identitas feminin, sementara musik video
Stellar Vibrato menunjukkan komersialisasi tubuh dalam industri K-pop.

ABSTRACT
K-pop girlband and boyband has been emphasized visual representations on their
physical appearance, costume, and dance choreography which make their own
been sexualized as sexual imagery. This sexualization can also been found on On
the music video, the main media for second wave K-pop to promote song and
gather global fans, potrays women body and their position from man. In 2015, the
sexualization coming with new trends which the sexual innuendos that refer to
female genitalia is significantly appear. There are three music videos which the
girlbands, Brown Eyed Girls, Stellar and Big Bang boyband showed this kind of
sexual innuendos in their new single. Using the Kristeva thought and Peirce
pragmatics semiotics, this research found that on Big Bang Bae Bae music video,
the genitalia signs is potrayed woman and man subjectivity based on
Confusianism. Meanwhile, on Brown Eyed Girls music video, the subjectivity
representation is related to Korean women who in 1990?s transformed their body
as expression and feminine identity. The transformation on woman thought about
their mind and body is comersialized on K-pop industry which can be observed on
Stellar music video."
2016
S64926
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tourmalina Tri Nugrahenny
"ABSTRAK
Hijab makin dikenal di Indonesia justru ketika maknanya terus berubah seiring
konteks penggunaannya. Dampaknya, terjadi peningkatan produksi sekaligus
konsumsi, hingga hijab menjadi tren mode. Dalam konsep Jean Baudrillard, hijab
lantas menjadi hiperriil, dengan representasi makna yang juga terus-menerus
berubah hingga menjadi hiperrealitas. Hijab kemudian ?menggantikan‟ jilbab,
sekaligus memutus hubungan dengan realitas jilbab sebelumnya
Studi ini secara kritis menyingkap mekanisme tanda yang terjadi balik
terbentuknya sebuah hiperrealitas, khususnya pada tren mode hijab. Analisis
semiotika Peirce digunakan agar studi ini mampu menyajikan secara
komprehensif dan mendetil, berlangsungnya proses semiosis dalam simulasi, di
tengah masyarakat konsumeris

ABSTRACT
Hijab is getting more familiar in Indonesia, while on the other hand it‟s meaning
keep changing in accordance to it‟s usage. It effects the increase in comodification
and consumption, so it become a fashion trend. Referring to Jean Baudrillard's
concept, Hijab becomes hyper-real, with ever-changing representation of meaning
towards hyperreality. Hijab then 'replaces' Jilbab and at the same time
disconnected it from previous reality that comes with Jilbab.
This study critically uncover the construction that exist behind the formation of a
hyperreality, especially in Hijab fashion trend. Peirce's Semiotic Analysis is used
so this study can give comprehensive and detailed picture on how this semiotic
process happen in simulation within consumerist society"
2016
T45724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Aris Munandar
"Karya sastra Jawa Kuno kaya dengan bermacam tema yang antara lain berhubungan dengan panutan kehidupan, nilainilai kebajikan, dan gagasan-gagasan yang baik lainnya, namun sukar untuk dipahami karena dituangkan dalam bentuk filosofis. Oleh karena itu dalam kajian ini karya sastra Jawa Kuno akan ditelisik prinsip dasar alur kisahnya sehingga dapat diketahui beberapa alasan yang membuat suatu kisah dipahatkan dalam bentuk relief dengan berbagai aspeknya.
Kajian ini menggunakan landasan teori semiotika Charles Sanders Peirce, karena bangun trikotomo (sign, referent, interpretant) yang dikemukakan olehnya terasa cocok untuk menelusuri makna yang tersembunyi dalam hal penggubahan suatu cerita yang kemudian dipahatkan dalam bentuk relief. Untuk menjelaskan proses bernalar dalam upaya pencarian makna juga diterangkan secara semiosis.

Old Javanese literatures are rich of themes which mostly are related to way of lives, goodness values and ideas, which unfortunately is not easy to understand their meaning because they were often written in philosophical phrases. We have to accept the fact that study on Old Javanese literature are mostly focused on its formal aspects such as the composing basic principles and story line. While on the other side, studies of reliefs based on Old Javanese literature at Hindu-Buddhist monuments are often focused on the physical appearance, carving style, and measurement aspects. This paper is intended to reveal the hidden meanings of some Old Javanese literature as depicted in the Old Javanese sacred monuments from the 13th?15th century using what is called semiosis process.
The study is based on the Charles Sanders Peirce?s semiotic theory. The trichotomy structure (sihn?referent?interpretant) is used in analyzing the meanings behind the carved stories and the composing of the story itself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>