Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hesti Asriwandari
"Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk melihat keberlakuan teori Robert K. Merton mengenai anomi, untuk menganalisa permasalahan di dalam institusi pendidikan dasar. Robert K. Merton menyoroti keadaan 'disequilibrium' antara 'means' dan 'goals' dalam masyarakat, yang berakibat munculnya tipe perilaku adaptasi individual. Diantara tipe-tipe yang dikemukakan, yaitu conformity, innovative, rebellion, retreatisme dan ritualisme, salah satunya menjadi kerangka teoritis dalam penelitian ini. Tipe perilaku adaptasi individual yang dimaksud adalah ritualisme. Ritualisme adalah suatu tipe perilaku yang ditandai oleh kepatuhan pada sarana institusional, dengan menghindari tuntutan budaya untuk melakukan suatu mobilitas yang pesat. Dalam hal ini seseorang akan menekan aspirasinya untuk maju dan senantiasa setia pada sarana institusional.
Guru SD Negeri menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Keadaan itu antara lain adalah keterbatasan-keterbatasan yang ada, baik yang berkaitan dengan status sosial mereka, maupun dalam hal sarana dan prasarana pendidikan. Selain dari pada itu, para guru SD Negeri ini juga menghadapi tuntutan untuk memenuhi nilai-nilai profesionalisme. Dari dasar pemikiran ini maka kemudian dirumuskanlah suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kecenderungan munculnya ritualisme pada guru SD Negeri di Kotamadya Pekanbaru, Riau ?
2. Sejauh mana variabel status sosial, tekanan sistem dan keterbatasan sarana berpengaruh terhadap aspirasi guru SD Negeri untuk meningkatkan profesionalisme mereka ?
Pengkajian terhadap permasalahan tersebut dilakukan di Pekanbaru, Riau, dengan mengamati 243 responden, yang dipilih melalui tahap 'proporsional stratified random sampling'. Hasil pengumpulan data dengan kuesioner dianalisa dengan menggunakan teknis analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspirasi untuk mencapai profesionalisme berkisar pada peringkat sedang dan rendah, dan ditekankan pada peningkatan kemampuan mengajar serta keberhasilan siswa. Harapan terbesar yang diungkapkan oleh para guru SD Negeri tersebut adalah peningkatan kesejahteraan, dan keberhasilan siswa. Harapan sedemikian ini merupakan perwujudan dari ketaatan pada aturan-aturan dalam bertugas, dan kurang mencerminkan tingginya aspirasi kearah profesionalisme. Dengan demikian terjadi kecenderungan munculnya ritualisme pada guru SD Negeri di Kotamadya Pekanbaru, Riau.
Sebagaimana dikatakan oleh R.K. Merton bahwa ritualisme adalah perilaku yang bersifat adaptif. Maka berkaitan dengan permasalahan guru SD Negeri di Pekanbaru, rendahnya aspirasi merupakan perilaku adaptasi individual para guru dalam menghadapi keadaan-keadaan yang kurang mendukung di dalam menjalankan tugas-tugas profesi mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwis
"Negara demokrasi memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Salah satu bentuknya adalah partisipasi warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), baik sebagai pemilih maupun sebagai calon yang dipilih.
Akan tetapi karena keterbatasan peneliti, fokus penelitian dibatasi pada perilaku dalam menjatuhkan pilihan dalam Pemilu 1992 di Riau. Permasalahan ini menarik bagi peneliti, karena ada variasi keberhasilan OPP dalam menarik dukungan pemilih baik antar waktu pemilu maupun antar daerah di Riau. Realitas tersebut menimbulkan pertanyaan Mengapa pemilih menjatuhkan pilihannya pada OPP tertentu dalam Pemilu 1992".
Untuk menjawab pertanyaan-pertaanyaan di atas ada beberapa teori perilaku pemilih yang digunakan dalam penelitian yaitu : (a) Teori Sosio Psikologis yang berkaitan dertgan faktor-faktor kejiwaan dan perasaan pemilih, disebut dengan identifikasi kepartaian, (b) Teori Sosiulogis yang berkaitan dengan faktor rasio (akal sehat) pemilih atas dasar informasi dan pemahaman mereka atas isyu-isyu kampanye dan calon-calon anggota legislatif, disebut sebagai orientasi pemilih terhadap isyu dan calon, (c) Teori negara yang berkaitan dengan faktor peranan birokrasi dalam kehidupan politik suatu negara, khususnya dalam memobilisasi massa agar mendukung OPP tertentu dalam Pemilu.
Pengumpulan data primer dilakukan di dua desa sampel, yaitu desa Air Tiris dan Kelurahan Kijang yang ditentukan secara "purposive sampling" atas dasar pertimbangan (a) Kondisi budaya masyarakat, (b) Kondisi ekonomi, (c) Kondisi sosial. Di masing-masing desa sampel dipilih responden secara random 60 orang dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1992.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian yang diuraikan di bab empat dan lima membenarkan asumsi-asumsi dan hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih diketahui bahwa faktor peranan birokrasi dapat dikatakan tinggi, yakni antara 70-90% pemilih menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan himbauan aparat birokrasi. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apandi
"Kekerasan massa yang terjadi di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau pada tanggal 29 Maret dan 2 April tahun 2001 yang lalu telah menyentakkan banyak pihak, karena kekerasan massa yang terjadi agak bersifat unik yakni hanya ditujukan kepada pihak kepolisian semata yang tidak meluas kepada pihak lain. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti terutama mengenai masalah gambaran deskriptif, bentuk-bentuk kekerasan dan faktor-faktor penyebab kekerasan massa di Tembilahan.
Adapun teori yang digunakan untuk melihat permasalahan tersebut sebagai pilau analisis seperti terdapat dalam studi Smelser, Sukiat dkk, Nusa Bhakti, Sulistyo, Sihbudi dan ditambah oleh beberapa teori/studi lain tentang kekerasan massa yang mendukung, seperti Firdausy dan Purwana. Pada intinya teori-teori tersebut menjelaskan bahwa suatu persitiwa kekerasan massa memiliki berbagai faktor-faktor penyebab dan kekerasan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai bentuk atau pola.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif eksplanatif Untuk memperoleh data, digunakan metode wawancara mendalam, observasi, dan penelusuran data tertulis. Jumlah informan yang diwawancarai sebanyak 35 orang yang dipilih secara purposif dengan menggunakan teknik snow ball sampling, Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus sampai November 2003 yang berlokasi di kota Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau Analisis data digunakan dengan cara seleksi, Idensifikasi, dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi kejadian massa memiliki lima tahap/periode, yakni (a) periode pra kejadian (adanya keresahan sosial dalam masyarakat akibat penembakan yang dilakukan polisi); (b) periode kekerasan massa tahap I (penyerangan dan pembakaran terhadap Mapolres, perusakan asrama, rumah dinas Kapolres dan Wakilnya); (c) periode masa tenang (upaya pengendalian situasi oleh berbagai pihak, masyarakat, aparat kepolisian/TNI, dan pemda); (d) periode masa kekerasan massa tahap II (pembakaran terhadap rumah dinas Kapolres); dan (e) periode masa damai (kembalinya aktivitas masyarakat seperti sediakala).
Secara garis besar terdapat dua bentuk kekerasan massa yang terjadi dalam kerusuhan di Tembilahan yakni (a) secara non fisik/verbal (dalam bentuk ungkapan kata-kata yang bernada tuntutan, ancaman, cacian dan provokasi) dan (b) secara fisik/non verbal (dengan menggunakan benda-benda keras seperti pentongan, batu, kayu dan sejenisnya serta bom molotov dan bahan bakar sejenisnya). Sedangkan yang menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan massa dapat dibagi ke dalam enam lima faktor yakni (a) faktor structural condusiveness (terdapatnya kondisi struktural yang kondusif yang berupa ketidakharmonisan antara masyarakat Tembilahan dengan polisi sebelum kekerasan massa berlangsung); (b) faktor structural strain (terdapatnya ketegangan struktural yang terjadi antara masyarakat Tembilahan dengan polisi, di mana adanya ketidakadilan yang dipersepsikan/dipahami masyarakat terhadap polisi sebagai sesuatu yang menindas sebelum kekerasan massa berlangsung) (c) faktor pola budaya masyarakat (terdapatnya kebiasaan sehari-hari yang mencerminkan budaya kekerasan di dalam masyarakat Tembilahan seperti kebiasaan membawa badik dan suka berkelahi fisik dalam menyelesaikan persoalan); (d) faktor pemicu (faktor penyulut/penyebab utama berupa arogansi Kapolres dan pemukulan yang dilakukan oknum Brimob terhadap pemulung); (e) faktor katalis (faktor yang mempercepat terjadinya kekerasan massa berupa isu meninggalnya korban dan isu bahwa polisi menutup-nutupi fakta sebenarnya dan adanya provokasi dan mobilisasi); (f) lemahnya manajemen konflik (faktor penahan dan peredam yang kurang memadai berupa kurangnya antisipasi pihak kapolres dengan baik, kurang berhasilnya pihak pemda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menahan aksi massa).
Berdasarkan hasil temuan di atas dapat disusun rekomendasi kebijakan sebagai berikut: (a) perlu adanya formulasi Perda Kabupaten Indragiri Hilir No.10 Tahun 1996 tentang Ketertiban Umum dengan membuat pasal khusus mengenai pembentukan pusat krisis (crisis centre) atau lembaga pengaduan masyarakat (public complaint institution) serta lembaga pemantau polisi (police watch institution); (b) perlu adanya revisi pada Bab X dari Perda No.10 Tabun 1996, mengenai pengawasan dan pengusutan, solusinya adalah dengan memuat pasal yang melibatkan komponen masyarakat (terutama dalam pencarian fakta dalam sebuah kasus); (c) Kapolres atau pejabat Polres yang ditunjuk agar melaporkan perkembangan situasi keamanan dan ketertiban kepada DPRD Kabupaten Indragiri Hilir secara rutin; (d) Perlu adanya setiap anggota DPRD membuat report dan pembinaan kepada masyarakat di masing-masing wilayahnya untuk mendukung terciptanya keamanan dan ketertiban pada masing-masing daerah yang diwakilinya; (e) Kepada DPRD dan Pemda direkomendasikan agar membuat Perda tentang pembentukan Komite Daerah Hak Azasi Manusia (Komda HAM) dan (f) Kepada DPRD dan Pemda Kabupaten Indragiri Hilir direkomendasikan agar mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk operasional pembiayaan lembaga seperti pusat krisis, lembaga pemantau polisi, serta Komda HAM.
x+142 hlm.+l0 tabel+4 matriks+43 kepustakaan+lampiran"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pramono Priyo Wibowo
"ABSTRAK
Pembangunan subsektor kehutanan lima tahun mendatang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, serta untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman basil hutan bagi pembangunan industri.
Keinginan pemerintah di atas masih belum terpenuhi, karena dalam kurun 20 tahun pelaksanaan pengusahaan hutan melalui HPH, pembangunan subsektor ini masih ditekankan pada peningkatan produksi. Misi forest for people yang diobsesikan oleh para rimbawan masih sulit diwujudkan karena masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan obyek. Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat "paternalistik" dan "sentralistik" diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab lemahnya peran lembaga-lembaga lokal karena tidak memberi tempat bagi berkembangnya kelembagaan lokal. Penulis tertarik dan berusaha mempelajari pengembangan kelembagaan yang terjadi, serta kemudian mencoba mengetengahkan model pengembangan kelembagaan lokal yang efektif.
Melalui studi ini penulis ingin melanjutkan tradisi studi pengembangan kelembagaan yang sempat tenggelam, serta mencari alternatif model dan metode pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan. Penulis percaya dengan apa yang dikatakan Uphoff dan Esman bahwa diperlukan adanya organisasi lokal untuk bisa mempercepat proses pembangunan di pedesaan. Adanya organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat lokal, yang bertanggung jawab pada masyarakat lokal, dan yang melibatkan fungsi-fungsi pembangunan pedesaan, dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan pedesaan lebih sukses. Dengan kata lain, jika pembangunan subsektor kehutanan diintegrasikan dengan pembangunan pedesaan, maka tujuan pembangunan subsektor kehutanan akan semakin efektif dicapai dengan mengembangkan kelembagaan lokal. Apakah pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan sudah seperti itu? Ini merupakan pilihan, dan akan dipelajari efektivitasnya dalam dimensi-dimensi karakteristik hutan dan penggunanya, batasan-batasan hutan dan penggunanya, serta bagaimana distribusi biaya dan manfaatnya.
Upaya untuk mengembangkan kelembagaan lokal, penulis mengetengahkan pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTI-Rakyat) tanaman Sungkai. Untuk pembahasan mengenai alternatif local institutional development, penulis menggunakan pendekatan Pembinaan Kapasitas Pembangunan Desa (The Rural Development Capacity-Building Approach) yang dikembangkan oleh Development Alternatives Inc. (DAI). Honadle mengidentifikasikan 7 (tujuh) elemen yang hares diperhatikan dalam upaya pengembangan kelembagaan lokal, yaitu: pembagian risiko diantara para klien dan penyedia jasa; keterlibatan para aktor pada berbagai level kegiatan; keberhasilan atau kemanfaatan yang ditunjukkan oleh teknologi atau perilaku yang baru atas yang lama; gaya operasi yang kolaboratif serta tindakan bersama; penekanan pada belajar; perangsang yang sesuai; dan menggunakan basis sumberdaya yang ada.
Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH, termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha HPH cenderung tidak berhasil. Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan berkurang tingkat kesejahteraannya, karena peningkatan penghasilan hanya terjadi secara absolut. Sedangkan biaya hidup secara keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka. Ini terutama karena semakin sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).
Sejak diundangkannya UU No.5/1967 dan kemudian dienforcement dengan UU No.511979, semakin membuat masyarakat lokal tidak memiliki posisi tawar untuk ikut menentukan bentuk dan mekanisme pengelolaan hutan. Lembaga-lembaga lokal yang dulu cukup menentukan dalam menjaga kelestarian fungsi hutan sudah tidak efektif lagi, dan partisipasi masyarakat semakin pasif. Kondisi ini yang kemudian mendorong penulis untuk mengetengahkan set-up kelembagaan yang lebih memberi kemungkinan bagi lembaga-lembaga lokal untuk berkembang dan (paling tidak) menjadi penentu bagi masa depan kehidupannya sendiri.
Melalui ide HTI-Rakyat, penulis bekerjasama dengan Kantor Kehutanan Rengat dan Tembilahan, berusaha memassalkan penanaman kayu Sungkai (peronema canescens jacks) yang selama ini lebih banyak tumbuh sebagai tanaman liar dan tidak memiliki nilai ekonomis. Ide semacam ini pernah dicoba, yaitu dengan pemassalan penanaman kayu Akasia (acacia mangium), Sengon (aibirium falcata), dll., namun kurang berhasil karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek teknis (kecocokan, dsb.). Ide inilah yang penulis ajukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan subsektor kehutanan.
Pemassalan jenis Kayu Sungkai ini memiliki prospek yang cerah di masa mendatang untuk dipilih menjadi tanaman hutan rakyat, karena disamping memiliki fungsi konservasi, tanaman ini juga memiliki keuntungan marginal. Secara teknis, pemilihan jenis kayu Sungkai sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman rakyat di lokasi penelitian mengingat beberapa karakteristik yang ada, seperti : kesesuaian dengan tempat tumbuh; jenis yang khas dengan keunggulan tertentu; riap volume yang cukup tinggi;. daur yang relatif rendah; serta jenis dan kualitas kayu sesuai dengan industri IPKH yang ada.
Secara ekonomis, hasil penghitungan tahun 1992 terhadap percobaan budidaya Kayu Sungkai ini menunjukkan adanya keuntungan yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dengan biaya per hektar sebesar Rp 2.826.000,- dapat diperoleh hasil kayu senilai hampir Rp 16 juta dalam kurun waktu 15 tahun. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai hasil tambahan, seperti di antaranya hasil kayu dari penjarangan pada tahun ke 8 serta hasil tumpang sari, dsb. Jelas, bahwa usaha penanaman kayu Sungkai sebagai hutan tanaman akan menguntungkan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti: nilai akhir tanaman tidak dipengaruhi oleh adanya inflasi; produk ini tidak dapat disubtitusi; pertambahan nilai jual pasti; memiliki hasil antara, yaitu hasil dari kegiatan penjarangan; dan dapat dilakukan pula sistem tumpang sari yang akan memberikan hasil tambahan.
Dari segi kelembagaannya, dapat dikembangkan lebih jauh dengan cara di antaranya dengan menyerahkan pengelolaannya kepada kelompok-kelompok lokal yang terkait, seperti misalnya melalui semacam Kelompok Tani Hutan (KTH), dsb. Dalam penelitian, kegiatan belum sampai pada tahapan ini karena memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikan, mendasarkan pada pertimbangan yang diajukan oleh Honadle, usaha ini layak diterima, mengingat perimbangan antara cost dan benefit tidak lagi memberatkan masyarakat lokal. Disamping itu, dengan melibatkan langsung masyarakat lokal, maka estimasi terhadap kebutuhan kelangsungan ekologis cukup bisa dipertanggungjawabkan."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholid Novianto
"Sejak diundangkannya UU otonomi daerah, terjadi ledakan pemekaran kabupaten. Pada tahun 1998 terdapat 292 kabupaten. Jumlah ini melonjak menjadi 734 kabupaten/kota pada tahun 2004. Sebagian besar pemekaran kabupaten terjadi di luar ]awa. Khusus untuk Provinsi Riau, terdapat empat kabupaten yang memekarkan diri pada tahun 1999.
Permasalahan utama studi ini adalah 1) apakah pemekaran mempengaruhi berubahnya sektor basis dan nilai pengganda pendapatan regional. Untuk menjawab permasalahan ini, studi ini mengambil hipotesis: Semakin kecil luas daerah maka sektor basis semakin beragam.
Untuk menjawab permasalahan dan menguji hipotesis tersebut, studi ini menggunakan pendekatan economic base model. Dalam pendekatan ini, perekonomian disederhanakan menjadi dua sektor: basis dan non-basis.
Hasil studi memperlihatkan bahwa
(1) Hipotesis studi ini tidak terbukti pada semua kabupaten. Hipotesis terbukti di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Bengkalis. Indragiri Hulu dan Kampar sebelum pemekaran hanya mempunyai 2 sektor basis sedangkan Bengkalis mempunyai 3 sektor basis. Ketiga kabupaten ini mengalami penarnbahan sektor basis setelah pemekaran, menjadi 4 sektor. Kendati tidak bisa diukur dengan masa sebelumnya, kabupaten pemekaran Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, Dumai dan Karimun mempunyai sektor basis sekurang-kurangnya empat sektor. Hal ini mendukung kebenaran hipotesis studi.
(2) Sedangkan Kepulauan Riau membantah hipotesis pertama. Setelah pemekaran, sektor basis Kepulauan Riau semakin menurun. Dari enam sektor pada masa sebelum pemekaran menjadi 2 sektor sesudah pemekaran. Kabupaten Pelalawan, Siak, Rokan Hilir, hanya mempunyai dua sektor basis. Sedangkan Natuna hanya mempunyai tiga sektor basis. Terhadap empat kabupaten ini, kendati tidak bisa diukur dengan masa sebelumnya, memperlihatkan rendahnya sektor basis.
(3) Penambahan sektor basis ternyata tidak diikuti peningkatan nilai pengganda. Kabupaten induk yang mengalami peningkatan nilai pengganda adalah Indragiri Hulu dan Kepulauan Riau. Sedangkan yang mengalami penurunan nilai pengganda adalah Kampar dan Bengkalis. Adapun kabupaten hasil pemekaran mempunyai nilai pengganda yang beragam. Paling besar adalah Pelalawan (240) dan paling kecil adalah Natuna (1,15)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riani Triesnawati
"One of the environmental changes caused by forest fire is air pollution by PM 10. Its impacts to the human health can be direct ill (acute diseases), chronic diseases and death. The other impacts are the restricted activity days and the work loss days. The aim of tleis study is obtaining information on the increase of health cases and economical loss of those health impacts of forest and land fire in Riau that happened in September November 1997. This study's design is cross sectional, using secondary data from Bapedal, Haze Distribution and Index-TOMS - NASA-Administrative Boundaries and Population-Center Statistic Bureau, BPS, Departemen kesehatan, Departemen Keuangan, Depnaker, and many other institutions.
The health cases were estimated by dose - response calculation of the ambieut concentration of the PM 10 on the increase of asthma attack, bronchitis attack on children, ART, death, hospitalized respiratory disease and clinic visits (including medicine cost), and the productive time loss. The estimation of economical loss was obtained by economical calculation due to the amount of the estimated health cases (medical treatment cost) and the estimated productive time loss (because of premature death, restricted activity days and work loss days). The estimations were calculated in five areas (Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu and Pekanbaru) exposed by haze index in level fourth and fifth.
The result shows that the minimal increase of health cases are 15.984 asthma attacks cases, 15.305 bronchitis attack on children cases, 75.606 ARI cases, 30 death cases, 3.815 hospitalized respiratory disease cases, and 8.838 respiratory disease clinic visit cases, 2.176.385 restricted activity days and 1.119.063 work loss days. The economical loss in lowest estimation is Rp. 23.455.416.625,- and in highest estimation is Rp. 91.558.663.585;
It is concluded that the great loss of this haze damage caused by the increase of FM 10 concentration far from the standard and manifested as a great number of health cases. This estimation is only for low loss, do not consider the impacts of the other pollutants and the long term health impacts in the consideration yet. Furthermore, it is necessary developing prolonged studies with more comprehensive method to get more accurate calculation.

Salah satu perubahan lingkungan yang merupakan akibat dari kebakaran hutan dan lahan adalah pencemaran udara oleh partikel yang berdampak bagi kesehatan manusia .Kasus kesehatan yang timbul dapat berupa sakit langsung, sakit keras maupun kematian. Dampak yang lain adalah timbulnya keterbatasan aktivitas harian dan hari kerja yang hilang. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai dampak kesehatan yang timbul karena bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau yang terjadi pada bulan September-November 1997 dan kerugian ekonomi dari dampak kesehatan tersebut. Rancangan penelitiannya potong lintang dan data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai pihak, antara lain Bapedal, Haze Distribution and Index-TOMS-NASA-Administrative Boundaries and Population-Center Statistic Bureau, BPS, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, Depnaker, dan institusi yang lain.
Estimasi kasus dan dampak kesehatan didapat dari perhitungan dosis-respon peningkatan kadar PM 10 di udara ambien terhadap peningkatan serangan asma, serangan bronkitis pada anak, dan LSPA, peningkatan kematian, peningkatan penyakit saluran pernafasan yang dirawat di rumah sakit, peningkatan kunjungan rawat jalan penyakit saluran pernafasan, kehilangan hari kerja dan keterbatasan aktivitas harian. Estimasi kerugian ekonomi dari dampak kesehatan yang diestimasi diperoleh dari perhitungan ekonomi akibat peningkatan jumlah kasus kesehatan yang diperkirakan terjadi yang berupa peningkatan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, ditambah dengan kerugian karena hilangnya waktu produktif (hari kerja, keterbatasan aktivitas harian dan kematian sebelum mencapai usia harapan hidup).
Hasil estimasi menunjukkan sekurang-kurangnya timbul peningkatan serangan asma sebanyak 15.984 kasus, serangan bronkitis pada anak 15.305 kasus, ISPA 75.606 kasus, kematian 30 kasus, penyakit saluran pernafasan yang dirawat di rumah sakit 3.815 kasus, kunjungan rawat jalan penyakit saluran pernafasan 8.838 kasus, kehilangan 1.1.19.063 hari kerja dan keterbatasan aktivitas harian sebanyak 2.176.385 hari. Estimasi dilakukan di lima daerah tingkat II (Bengkalis, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar dan Pekanbaru) yang terpapar kabut asap pada tingkat haze index 4 dan 5 menurut data dari Haze Distribution and Index-TOMS-NASA-Administrative Boundaries and Population-Center Statistic Bureau. Hasil estimasi kerugian ekonomi terbesar di kelima daerah tingkat II tersebut adalah sebesar Rp. 91.558.663.585,- dan estimasi terendah adalah Rp. 23.455.416.625.
Disimpulkan bahwa kerugian yang sangat besar dari kejadian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau ini merupakan akibat meningkatnya kadar PM 10 jauh diatas baku mutu yang berlaku sehingga menyebabkan peningkatan kasus kesehatan yang besar pula. Estimasi kerugian ini adalah estimasi rendah, belum memperhitungkan dampak dari polutan yang lain dan dampak kesehatan jangka panjang. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mendapatkan metode yang lebih komprehensif agar diperoleh hasil perhitungan kerugian yang lebih akurat."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erdianal
"Kecamatan Kampar Kiri Tengah merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar yang mempunyai angka penderita malaria klinis yang tertinggi (AMI = 79,19) dari 18 (delapan belas) kecamatan yang berada di Kabupaten Kampar. Penyakit malaria disebabkan oleh Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk anopheles, sp sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan dan salah satu dari sepuluh besar penyakit penyebab kematian di Indonesia, dan dapat menimbulkan kerugian di bidang sosial ekonomi.
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Kecamatan Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar. Sebagai kasus adalah pasien yang berkunjung ke puskesmas dengan gejala klinis dan basil pemeriksaan darah malaria positif, sedangkan kontrol adalah pasien yang berkunjung tanpa gejala malaria klinis, dan basil pemeriksaan darah negatif. Jumlah kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 69 kasus.
Faktor-faktor yang diteliti adalah tempat perkembangbiakan nyamuk, pemeltharaan temak besar, pemakaian kelambu, pemakaian obat anti nyamuk, pemakaian kawat kasa, dan pemakaian bahan penolak nyamuk (repelen).
Dari basil penelitian ini diketahui ada lima variabel yang berhubungan dengan kejadiaan malaria, yaitu tempat perkembangbiakan nyamuk dengan nilai p = 0,006 (OR 2,8 ; 95 CI 1,381 - 5,512), perneliharaan temak besar nilai p = 0,001 (OR 3,2 ; 95 CI 1,650 - 6,693), pemakaian kelambu nilai p = 0,017 (OR 2,4 ; 95 CI 1,226 - 4,845), penggunaan obat anti nyamuk nilai p = 0,026 (OR 2,3; 95% CI 1,158 - 4,564), dan penggunaan kawat kasa nyamuk nilai p = 0,027 (OR 2,3 ; 95% CI 1,153 -- 4,513).
Dan hasil analisis multivariat didapatkan faktor yang paling dominan adalah pemeliharaan temak besar, dan diikuti oleh tempat perkembangbiakan nyamuk, dan pemakaian obat anti nyamuk.
Hasil penelitian ini agar pemerintah daerah Kabupaten Kampar merencanakan program pemberantasan malaria, dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang telah ada di masyarakat, meniadakan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk dan atau memeliharan ikan pemakan jentik nyamuk, memelihara temak, membudayakan pemakaian kelambu, memasang kawat kasa nyamuk di ventilasi rumah, dan pemakaian obat anti nyamuk yang ramah lingkungnan.

Kampar Kiri Tengah Sub-District has the highest number of malaria patients (AMI:79,19) out of 18 sub-district in Kampar district. Malaria is caused by Plasmodium and transmitted out by anopheles sp mosquitoes. Until now, malaria is a major health problem in Indonesia and is one of the top ten high fatality diseases in Indonesia, and is detrimental to socio-economic field.
This study utilizes a case control research design and the objective is to find out the factors related to the occurrence of malaria disease in Kampar Kiri Tengah Sub-District, Kampar District. The case group consists of patients who visit health centre and show clinical symptoms of malaria and whose blood examination result is positive. The control group consists of patients who do not have clinical symptoms of malaria and the blood examination is negative. The number of case group and control group is 69 patients, respectively.
Factors studied are mosquito breeding sites, living next to large cattle barns, the use of bed net, anti-mosquito chemical, wire netting, and repellent.
The result of the study suggested that there are five variables related to occurrence of malaria, namely mosquito breeding sites with p value = 0,006 (OR 2,8 ; 95% CI 1,381-5,512), living next to large cattle with p value = 0,001 (OR 3,2 ; 95% CI 1,650-6,693), the use of bed net with p value = 0,017 (OR 2,4 ; 95% CI 1,226 - 4,845), the use of anti-mosquito chemicals with p value = 0,026 (OR 2,3; 95% CI 1,158 - 4,564) and the use of wire netting with p value = 0,027 (OR 2,3 ; 95% CI 1,153 -4,513).
Multivariate analysis showed that most dominant factors is living next to large cattle, followed by mosquito breeding sites and the use of anti-mosquito chemical.
The results of study suggest that the authorities in Kampar district should plan and implement programs in eradicating malaria, by providing health education to the community through activities already undertaken within the community, eliminating possible site for mosquito breeding or encourage people to keep fish that predate on mosquito larvae, keep cattle, socializing the use of bed net, installing wire net on house ventilatioii and windows, and suggesting the use of environmentally anti-mosquito chemical.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahbubin Nashiri
"Berbagai aktivitas pembangunan di wilayah pesisir seperti pemukiman, industri dan perdagangan, kegiatan transportasi maupun pariwisata secara signifikan telah memberikan kontribusi terhadap proses pembangunan secara keseluruhan. Namun perkembangan ini sekaligus memberikan dampak terhadap kelestarian dan daya dukung lingkungan serta perubahan ekonomi dan sosial di wilayah/kawasan ini yang jika tidak ditangani dengan tepat pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Banyaknya kepentingan stakeholders di wilayah laut dan perairan cenderung menimbulkan tumpang tindih kegiatan, seperti pelayaran, perikanan, pertambangan, telekomunikasi, wisata bahari, konservasi dan lainnya. Akibatnya masalah konflik pemanfaatan ruang di kelautan dan pesisir kepulauan dapat terjadi pada konteks lokal dan regional maupun nasional dan internasional. Konflik yang terjadi dalam pemanfaatan ruang misalnya antar kegiatan nelayan tradisionalmodern, kegiatan industri-budidaya perikanan, penambangan pasir iaut, wisata-konservasi, kabel telekomunikasi, pipa bawah laut dan pelayaran serta wisata tirta (suatu kawasan yang penyediaan jasa rekreasinya dilakukan di perairan laut dan pantai).
Kondisi tersebut telah menjadikan Kota Batam pada saat sekdrang menjadi kurang tertib, kurang tertata, semrawut dan rawan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban, rusaknya tata ruang, serta terancamnya kawasan-kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan tangkapan air (catchments area), kawasan hijau (green belt area) can kawasan budidaya lainnya terutama yang disebdbkao oleh karena berkembangnya rumah-rumah bermasalah yang dikenal dengan rumaih-rumah liar, aktifitas usaha informal yang kurang tertata dan terbina dengan baik, cukup banyaknya gelandangan, pengemis, tuna karya dan tuna wisma yang berkeliaran, berkembangnya kegiatan-kegiatan prostitusi yang telah menjadikan hal tersebut sebagai primadona bagi sebagian besar wisatawan yang berasal dari negara tetangga untuk datang ke Batam, serta semakin tingginya angka kriminalitas dan pelanggaran hukum. Pluralitas budaya yang ada dalam masyarakat Kota Batam telah pula ikut mewarnai dinamika interaksi sosial dan memberikan beban berat permasalahan kota menjadi semakin kompleks.
Dengan perturbuhan ekonomi yang tinggi di satu sisi telah menjadikan keberadaan Batam menjadi sangat penting oleh karena peranannya sebagai salah satu mesin pertumbuhan bagi perekonomian nasional, namun disisi lain keberhasilan tersebut telah menimbulkan kesenjangan dengan sebagian besar daerah yang berada di sekitarnya (hinterland). Kesenjangan tersebut terlihat dari tidak adanya akses kegiatan ekonomi di daerah hinterland ke Pulau Batam dan tidak berkembangnya aktifitas masyarakat yang berada di daerah hinte.rland, perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang cukup tajam, yang disebabkan oleh karena perbedaan dalam penyediaan fasilitas pelayanan sosiai dan pelayanan umum.
Pembangunan Pulau Batarn sebagai daerah industri selama ini juga cenderung mengabaikan dampak ekologis bagi Iingkungan. Fakta menunjukkan bahwa 74,07% dari total investasi ditanamkan pada sektor industri dan ironisnya sebagian besar investasi yang dibenamkan pada industri menengah dan besar manufaktur. Meningkatnya sektor industri ini telah menyumbangkan porsi dampak kerusakan ekologi yang ditimbulkan dari perambahan hutan, kegiatan penambangan illegal, lalu lintas kapal di perairan yang semakin padat dan polusi/erriulsi gas yang semakin meningkat.
Di sisi lain, keberadaan Pulau Batam sebagai kawasan industri, yang semula diharapkan dapat mendorong aktifitas industri hilir dan kezerkaita:i dengan bahan baku lokal, tidak terealisir, Karelia sebagian besar industri yang berkembang di Pulau Batam bersifat "foot loose" sehingga hanya memberi nilai tambah yang sangat kecil, khususnya di bidang tenaga kerja yang murah. Kedudukan Pulau Batam sebagai bounded area, juga tidak memberikan nilai tambah pada sistem perdagangan lokal, karena semua lalu lintas perdagangan masih harus rnelewati Singapura, dengan diikungan armada pelayaran luar negeri. Di bidang pengernbangan pariwisata, ternyata yang berkembang hanya arus wisatawan dari penduduk Singapura ke Batam dengan volume spending sangat kecil serta waktu tinggal maksimum dua hari."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmah Thoha
"Pengamatan pengaruh musim terhadap plankton di perairan Riau dan kepulauan sekitarnya dilakukan pada periode April - Mei 2002. Pengamatan difokuskan pada komunitas fitoplankton dan zooplankton di keduapuluhlima titik stasiun pengamatan yang dikelompokkan menjadi dua zona berdasarkan pada jarak stasiun pengamatan. Variasi kelimpahan plankton rata-rata antar kelompok lokasi adalah 50 - 90 % untuk fitoplankton. Struktur komunitas didominasi oleh kelimpahan diatom dengan marga dominan Chaetoceros, Dytilum, Nitzschia, Thalassionema, Thalassiothrix dan marga Ceratium dari kelompok Dinoflagellata. Struktur komunitas zooplankton didominasi oleh kelompok Copepoda (45 ? 90 %) dan lebih dari 90 % dari kelompok Polychaeta, Chaetognata, Bivalvia, Gastropoda dan Oikopleura. Dari hasil pengamatan ini diperoleh gambaran tentang adanya keterkaitan antara kondisi lingkungan perairan dan variasi kondisi plankton.

Seasonal influenzed on plankton of the waters around Riau islands. The observation was conducted during April - May 2002. This study was done in relation with observation on environment quality of the waters around Riau Islands. The parameter observed were focus on the plankton communities for tweentyfives points of stations which were grouped into two zone based on the distance of the each station. Plankton abundance varied with location groups from 50- 90 % respectively. Community structure was dominated by the group of diatoms such as Chaetoceros, Dytilum, Nitzschia, Thalassionema, Thalassiothrix and the genus Ceratium (the group of Dinoflagellata). Community structure of zooplankton was dominated by the group of Copepods (45 - 90 %) and Polychaeta, Chaetognata, Bivalvia, Gastropods and Oikopleura (more than 90 %). The results describe the relationship between the water environmental condition and variation of plankton condition."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Azni
Depok: Rajawali Pers, 2022
297.431 AZN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   2 3 4 5 6 7 8 9 10 11   >>