Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Musthofa Faruq
"Presiden pada sistem negara Presidensial memiliki kedudukan yang kuat karena tidak mudah untuk diberhentikan. Namun, mekanisme pemberhentian Presiden tetap diperlukan demi terciptanya checks and balances antar kekuasaan, untuk itu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan ruang bagi cabang kekuasaan lain, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk memberhentikan Presiden, dengan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yaitu: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Perumus amendemen UUD NRI 1945 menghendaki proses pemberhentian Presiden jauh dari alasan politis, dan harus berlandaskan alasan hukum, maka dari seluruh alasan pemberhentian Presiden merupakan perbuatan hukum yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi pada frasa 'perbuatan tercela' batasannya hanyalah 'merendahkan martabat Presiden,' sehingga sangat berpotensi membuka alasan politis untuk memberhentikan Presiden. Berdasarkan hasil penelitian, frasa 'perbuatan tercela' diambil dari frasa misdemeanor, frasa ini awalnya digagas di Inggris sebagai salah satu alasan impeachment, kemudian diadopsi oleh Amerika Serikat dan diadopsi di Indonesia. Walaupun di kalangan ahli hukum masih terjadi perdebatan mengenai batasan perbuatan tercela, perumus amendemen menganggap penting frasa 'perbuatan tercela' sebagai penjaga moral Presiden, karena Presiden adalah panutan rakyatnya. Dari hasil penelitian, diajukan saran untuk frasa 'perbuatan tercela' diperjelas dengan ditambah maknanya yang terdiri dari: penyalahgunaan kekuasaan, mengabaikan tugas, mengganggu hak prerogatif parlemen, pengkhianatan terhadap kepercayaan, dan melanggar moral. Atau apabila proses pembentukan UU tidak berhasil memberikan batasan yang jelas terhadap makna perbuatan tercela, maka demi terwujudnya tujuan proses pemberhentian Presiden yang beralasan hukum dan bukan beralasan politik, untuk itu frasa perbuatan tercela dihapus dari rumusan Pasal 7A UUD NRI 1945 apabila terjadi proses amendemen kelima.

The president in the presidential state system has a strong position because President is not easy to impeach. However, the mechanism of impeachment of the President is still needed for the sake of checks and balances between powers, for this reason the Indonesian constitutional system provides chance for other branches of power, the People's Consultative Assembly (MPR), to impeach the President with reasons stated in Article 7A State Law of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI 1945): betrayal of the state, corruption, bribery, other serious crimes, or misdemeanors or if it is proven that it no longer fulfills the requirements as President. The formulator of the 1945 Indonesian Constitution amendment requires the process of dismissing the President away from political reasons, and must be based on legal reasons, so that all reasons for dismissal of the President are legal actions based on regulation and explanation in Law Number 24 of 2004 concerning the Constitutional Court. However, in the phrase 'misdemeanor' the limits are only 'degrading the President', so it has the potential to open up political reasons for dismissing the President. Based on the results of the study, the phrase 'misdemeanor' was taken from the phrase misdemeanor, this phrase was originally conceived in England as one of the reasons for impeachment, later adopted by the United States and adopted in Indonesia. Although there are still debates among legal experts regarding the limits of despicable acts, the amendment formulator consider it important that the phrase 'misdemeanor' be the guardian of the President's morality, because the President is a role model for his people. From the results of the study, researcher suggest for the phrase 'misdemeanor' must be clarified by adding their meaning consisting of: abuse of power, neglecting duties, disrupting parliamentary prerogatives, betrayal of trust, and violating morals. Or if the process of forming a law does not succeed in giving a clear boundary to the meaning of a misdemeanor act, then for the purpose of the termination of the President's legal grounds and not political reasons, for this reason the phrase misdemeanor is removed from the formulation of Article 7A 1945 Constitution in the event of the fifth amendment process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Azzahra
Makassar: Nas Media Indonesia, 2022
342.06 FAR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Isykamal
"Tesis ini membahas tentang penerapan proses hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah di-impeach studi hukum peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dimana metode ini menggunakan studi kepustakaan dalam pengumpulan datanya, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan sejarah, serta pendekatan perbandingan hukum. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya tidaklah dibenarkan dalam sistem presidensial, namun ada beberapa pengecualian yaitu apabila yang bersangkutan telah melanggar Pasal 7A UUD NRI 1945. Berdasarkan pengalaman sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam pemakzulan jabatan presiden, yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Pemakzulan tersebut hanya berdasarkan karena Presiden dianggap tidak mampu menjalankan haluan negara. Namun belum ada catatan sejarah mengenai pemakzulan presiden dikarenakan presiden melakukan tidak pidana berat maupun korupsi. Apabila hal itu terjadi, dan dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Konstitusi, apakah mungkin Presiden dan/atau Wakil Presiden kemudian diajukan kembali ke Pengadilan Umum untuk dimintai pertanggung jawabannya dihadapan hukum? Dalam Pasal 20 PMK No. 21 Tahun 2009 hal demikian ternyata dibenarkan, karena tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing. Kemudian timbul pertanyaan lain, apakah hal demikian tidak melanggar asas nebis in idem karena telah diadili di MK? Apabila kita melihat dari perspektif objek perkaranya, bahwa yang menjadi objek perkara impeach di MK adalah pendapat DPR, bukan pribadi dari seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri. Maka dari itu, peradilan umum dapat melakukan proses hukum untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang telah dilakukannya. Artinya disini, hal itu tidak bertentangan dengan asas nebis in idem.

This thesis studied about the practice of the legal process of The President and/or Vice President after being impeach studies of the law ordinance of constitutional court number 21/2009 about for guidelines on how to discontinue the house of representatives people regarding alleged offenses by The President and/or Vice President. This research using a normative-law study method in which it uses literature studies in data collection, and then data obtained is analyzed using Statute Approach, Conceptual Approach, Historical Approach, and Law Comparison Approach. The President’s dismissal on his term is not justied in the presidential system, but there are certain exceptions when it comes to violating Article 7A of UUD NRI 1945. Based on the history experience of Indonesian President for office impeach President, who is President Soekarno and President Abdurrahman Wahid. The impeach was based only on the fact that the President was deemed incapable of carrying out the country’s course. However, there is not record of the President’s impeach as the President has committed both criminal and corruption. if that happens, and was convicted by The Constitutional Court, would it be possible for the President and/or Vice President to be remanded back to the Public Court to hold him accountable before the law? In Article 20 of the 2009 constitution no. 21 ordinance of constitutional court such is justified, as it does not rule out the possibility of a President and/or Vice President in criminal, civil and state administration in accordance with the principles and laws of the proceeding. Then another question arises, whether such is not the case violating the principles of nebis in idem for being tried in the Constitutional Court? When we see from the perspective of the object, that which became the object of the impeachment in the constitutional court is the opinion of the House of Representatives, not personally of the President and/or Vice President himself. Hence, public justice can carry out a legal process in which a criminal will be held accountable for the crimes he committed. It means here that it does not conflict with the principle of nebis in idem."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leuchtenburg, William E.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1994
973.92 LEU d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Martowidjojo, H. Mangil
Jakarta: Grasindo , 2001
320 092 MAR k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Oni Bibin Bintoro
"ABSTRAK
Media massa sudah sejak lama digunakan sebagai saluran komunikasi politik.
Kehadirannya tidak saja bisa dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai kemampuan
untuk menyeleksi mana yang penting dan mana yang tidak untuk diberitakan. Oleh
karena itu kehadiran debat di Televisi antar kandidat presiden Amerika sebagai salah satu
komponen pers yang bebas dan saluran tradisi demokrasi di Amerika antara pemimpin
bangsa dan para pemilih dalam kehidupan politik di Amerika tidak diragukan lagi. Media
massa tidak saja dimanfaatkan sebagai saluran komunikasi politik bagi warganya, akan
tetapi secara tidak Iangsung menetukan arah bangsa dengan mendiskusikan issu issu
bangsa yang sedang berlaku pada saat itu.
Beranjak dari Iatar belakang yang diutarakan, maka pokok masalah kajian
ini berangkat dari pertanyaan dalam konteks studi pemikiran ekonomi Amerika dan
pengaruhnya dalam komunikasi politik di Amerika seperti:
1. apa dampak atau pengaruh isu isu perekonomian dalam debat kandidat presiden
Amerika?
2. apakah kontribusi dari masing masing isu ekonomi (pajak, kesehatan, AFTA,
perdagangan luar negeri, subsidi, dll ) dalam debat kandidat presiden dalam
menenlukan kemenangan pemilihan Presiden?
Jadi permasalahan pokoknya tidak diangkat dari pengaruh dampak debat
kandidat presiden, akan tetapi justru lebih menekankan kepada isi permasalahan ekonomi.
Melihat makin besarnya peranan debat kandidat presiden Amerika dalam
kehidupan perekonomian dan politik Amerika dewasa ini, khususnya dalam studi ini
adalah peranan isu perekonomian dalam analisa kandungan debat, maka tujuan utama
dari studi ini adalah berawal dari pengkajian transkrip debat debat kandidat Presiden
Amerika pada tahun 1992. Secara rinci tujuan Studi ini adalah :
1. Mengkaji bagaimana peranan isu isu ekonomi dalam ketiga debat kandidat
presiden Amerika tahun 1992.
2. Menelaah bagaimana perbedaan dalam melakukan tanggapan (response) dan
kemampuan berkomunikasi dari para kandidat presiden Amerika tahun 1992
uutuk isu isu perekonomian.
3. Memahami analisa analisa yang ditampilkan dalam media tentang isu isu ekonomi
dalam debat kandidat presiden Amerika selama pemilihan presiden Amerika
tahun 1992 serta bagaimana masing-masing kandidat menggunakan isu isu
ekonomi dan membungkusnya dalam mendukung ungkapan-ungkapan
perekonomian dan perpolitikan pada masa kampanye kepresidenannya.
4. Untuk memahami dan memperlihatkan pemahaman teks dari format debat
kandidal presiden dalam tradisi demokrasi Amerika."
2007
T17582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Ali Fahmi
"ABSTRAK
Jaminan perlindungan kebebasan beragama telah diberikan oleh Pasal 29 UUD 1945 yang
berlaku pada 18 Agustus 1945 yang dinyatakan berlaku lagi dengan setelah Dekrit Presiden Juli
1950, Pasal 18 Konstitusi RIS, Pasal 18 UUDS 1950, dan Pasal 28 E ayat (1 dan 2), Pasal 28 I
ayat (1), Pasal 29 (2) 1945 Amandemen jo Pasal 22 ayat (1 dan 2) UU No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, meski demikian masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia
yang terkait dengan kebebasan beragama, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok
masyarakat dan/atau negara. Semangat keberagamaan inipula yang mendasari perjuangan bangsa
untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, menyusun normanorma
kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya penting sekali menjaga agar
kebebasan beragama benar-benar dapat diimplementasikan di Indonesia. Menempatkan agama
dibawah supremasi negara melalui pemberian pengakuan dan pengingkaran terhadap suatu
agama, kenyakinan dan kepercayaan yang dianut masyarakat merupakan kesalahan yang harus
diluruskan dengan memperbaiki dan mensinkronkan peraturan-peraturan perundang-undangan
agar sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, pemerintah dapat
lebih cermat dan tepat dalam mengambil kebijakan baik preventif maupun represif dalam
menjaga kerukunan beragama dalam kerangka menegakkan dan menenuhi kebebasan beragama
di Indonesia.

ABSTRACT
The guarantee for the protection of religious freedom has been granted by the 29th Article of
UUD 1945 in effect on August 18, 1945, which has been declared to be validated again, after the
Dekrit Presiden (Presidential Decree) of July 1950, 18th Article of the Constitutional RIS, 18th
Article of the constitution, and E verse (1 and 2) of the 28th Article, I verse (1) of the 28th
Article, 29th Article (2) 1945 verse (1 and 2) 22nd Article of the jo Amendment of UU No. 39
year 1999 on Human Rights, yet there were still many violations on human rights related to
religious freedom, whether it was committed by individuals, community groups and/or state.
This diversity was also the spirit which underlies the national struggle to seize and defend the
independence, to complete the independence, to develop the norms for the life of the nation and
the state. Therefore, it is important to ensure that religious freedom can truly be implemented in
Indonesia. placing religion under the supremacy of the state through the recognition grants and
denial to any religion, faith and beliefs of the society is a mistake which must be straightened to
improve and synchronize the rules of legislation to conform with the spirit of Pancasila and UUD
1945. Thus, the government can be more careful and precise in taking both preventive and
repressive policies to maintain harmony of the religions in order to uphold and demand for
religious freedom in Indonesia."
2010
T27797
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sahlan Asnawi
Jakarta: Studi Press, 2001
923.1 SAH b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Heikal, Mohamed
Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986
923.162 HEI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003
352.23 PRI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>