Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Lamhari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai batasan konsep pengawasan horizontal oleh lembaga praperadilan menurut KUHAP. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Berdasarkan konsepnya, pengawasan horizontal menurut KUHAP lebih menekankan pada kedudukan dan fungsi hakim praperadilan sebagai examining judge, dan bukan sebagai investigating judge. Belakangan prakteknya telah berkembang dimana fungsi pengawasan horizontal yang dilakukan hakim praperadilan mengarah menjadi sebagai investigating judge. Salah satunya tercermin dalam putusan perkara praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dimohonkan oleh Toto Chandra, dimana hakim praperadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut secara tidak langsung telah mencampuri kewenangan penyidik dalam hal penghentian penyidikan.

ABSTRACT
This study focuses on the limitation concept of horizontal control by praperadilan in the validity of investigation termination lawsuit according to KUHAP. To analyze the data, this research use normative juridical method. As a concept, the horizontal control conducted by KUHAP has emphasis on the position and the function of praperadilan judge as examining judge, and not as investigating judge. However lately it has been evolved in practice that horizontal control performed by praperadilan judge leads in favor to make its position close to be investigating judge. This tendency is reflected in the praperadilan verdict of Toto Chandra, where the praperadilan judge who examine and decide this case indirectly has interfered the authority of the investigator to terminate the case or not. "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kusumaningrum
"Skripsi ini membahas mengenai multitafsir mengenai saat gugurnya praperadilan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 serta perlindungan hukum bagi Pemohon setelah adanya putusan gugur praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu data dari penelitian ini sebagian besar didapat melalui studi kepustakaan dan wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ppenulis mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 ditemukan dua multitafsir mengenai waktu gugur praperadilan yaitu saat adanya pelimpahan berkas pokok perkara ke Pengadilan Negeri yang diikuti penetapan hari sidang pertama pokok perkara dan saat dimulainya sidang pokok perkara. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tidak ditemukan lagi multitafsir tersebut dengan merujuk pada interpretasi Mahkamah Konstitusi. Perlindungan hukum bagi pemohon setelah gugurnya praperadilan dapat dilakukan dengan mengajukan kembali objek praperadilan dalam sidang pokok perkara untuk memberikan kepastian hukum atau melaporkan petugas yang dianggap melakukan tindakan sewenang-wenang dalam upaya paksa kepada atasannya.

This study discusses about multi interpretation of the pretrial rsquo s decision before Thdecision of the Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 and legal protection of the applicant after the pretrial rsquo s abort decision. This study using Juridical Normative method where most of data gain from books, literatures, and interview. The result of this research are there rsquo s some multi interpretation regarding abort decision of Pretrial before The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 which is adduction document of the case to the Court and the first day of Court rsquo s examination regarding the case. Moreover, after The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 there are nomore multi interpretation about multi interpretation of the pretial rsquo s decision. Law protection of the Applicant after the Pretrial rsquo s abort decision could be performed by filed back the object of Pretrial rsquo s to the Court as part of the main case to get law certainty or report the officer whose considered do the arbitrary action to his superiors."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Auliya R. Abd. Djabar
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan suatu kasus pidana, setelah adanya putusan praperadilan yang tidak mengarah kepada pihak aparatur pelaksana proses peradilan pidana. Praperadilan disini difokuskan kepada permasalahan proses peradilan pidana yang dimintakan oleh pihak tersangka atas perbuatan yang dialaminya saat menjalani proses pemeriksaan, perubahan status dan hal lainnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Praperadilan sendiri bukan merupakan tahapan yang selalu dilewati dalam proses peradilan, sehingga praperadilan adalah tahapan tambahan yang ada ketika dimintakan atau diadukan oleh pihak tersangka. Perlindungan HAM terhadap individu menjadi masalah yang perlu diperhatikan, dimana di satu sisi aparat pelaksana hukum memang diberikan kewajiban untuk melakukan tugasnya dan diberikan kewenanga untuk melakukan beberapa tindakan yang melanggar hak individu, namun atas peraturan perundang-undangan haal tersebut dibenarkan. Perkembangan atas hak tersebut disadari bahwa ada celah yang membuat pembenaran atas kewenagan aparatur negara menjadi sesuatu yang kembali mennjadi suatu pelanggaran, dan hal itulah yang menjadi materi pertimbangan praperadilan.
Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan perolehan data secara khusus dari peraturan perundang-undangan nasional, perjanjian-perjanjian internasional, putusan pengadilan, literatur-literatur hukum terkait, dan data-data dari wawancara terhadap para praktisi yang sudah pernah berurusan dengan peroses penyelesaian perkara pidana, terutama di tahap praperadilan.
Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih menimbulkan keraguan dan ketidak pastian didalam sistem pelaksanaan perkara pidana, para penegak hukum masih mengalami kendala yang berarti dalam penanggulangan keputusan praperadilan yang memenangkan pihak tersangka. Tesis ini juga merekomendasikan pemerintah dan lembaga peradilan agar dapat menseragamkan batasan juga mempertimbangkan untuk melakukan regulasi khusus terhadap kasus pidana dengan keberadaan keputusan praperadilan yang dapat menghentikan proses dan tahapan peradilan selanjutnya. Dengan demikian, kelanjutan atas keputusan praperadilan yang menghilangkan status tersangka tidak menjadi hambatan dalam proses peradilan pidana pada tahap berikutnya, dan dapat membantu para penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum yang efektif dan sesuai dengan koridor hukum.

This thesis aims to determine the existence of a criminal case, after the existence of a pretrial ruling that does not lead to the party implementing the criminal justice process. Pretrial here is focused on the problems of the criminal justice process requested by the suspect for the actions he experienced while undergoing the inspection process, changes in status and other matters relating to human rights. Pretrial itself is not a stage that is always passed in the judicial process, so pretrial is an additional stage that is available when requested by the suspect. Protection of human rights against individuals is a dilemmatic problem, where on the one hand the law enforcement apparatus is indeed given the obligation to carry out its duties and is given authority to carry out actions that violate individual rights, but the laws and regulations are justified. The development of this right is realized that there is a gap that makes justification of the authority of the state apparatus to be something that has become a violation, and that is the matter of pretrial consideration.
The research in this thesis uses qualitative research methods with special data acquisition from national legislation, international agreements, court decisions, related legal literature, and data from interviews with practitioners who have dealt with settlement processes. criminal cases, especially in the pretrial stage.
The results of the research in this thesis indicate that the existing laws and regulations still raise doubts and uncertainties in the criminal justice system, the law enforcers still face significant obstacles in overcoming pre-trial decisions that win suspects. This thesis also recommends that the government and the judiciary be able to equalize the boundaries and also consider implementing special regulations on criminal cases in the presence of pretrial decisions that can stop the process and stages of subsequent trials. Thus, the continuation of pretrial decisions that eliminate the status of suspects is not a barrier in the criminal justice process at a later stage, and can help law enforcers to enforce the law effectively and in accordance with the legal corridor.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qadli Iyaldi
"Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis penentuan kompetensi relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan. KUHAP beserta peraturan turunan dan perluasannya terkait dengan praperadilan, baik di dalam peraturan pemerintah, PERMA, serta dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan KUHAP tidak mengatur mengenai kompetensi relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan. Tiadanya suatu kriteria yang dapat menjadi pedoman untuk menentukan kompetensi relatif dari pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat dalam menentukannya. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis- normatif yang bertujuan untuk menganalisis mengenai kesesuaian antara paradigma hukum, asas-asas, dan dasar falsafah hukum positif dengan realitanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa penentuan kompetensi relatif permohonan praperadilan berdasarkan pada ruang lingkup kewenangan dan tujuan dari lembaga praperadilan sebagai bentuk pengawasan horizontal terhadap tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, sehingga penentuan kompetensi relatif ini berdasarkan pada tempat penyidik dan penuntut umum melakukan kewenangannya yang termasuk dalam ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan. Penulis menyarankan dalam penelitian ini kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA mengenai acara pemeriksaan praperadilan, khususnya terkait dengan pengaturan kompetensi relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan adanya kepastian hukum dalam menentukan kompetensi relatif pengadilan negeri dalam mengadili permohonan praperadilan.

This thesis aims to analyze the determination of the relative competence of district courts in adjudicating pretrial applications. KUHAP and its derivative and extended regulations related to pretrial, both in government regulations, PERMA, as well as in the Constitutional Court Decision related to KUHAP does not regulate the relative competence of district courts in adjudicating pretrial applications. The absence any criterion that can serve as a guide for to determine the relative competence of district courts in adjudicating pretrial applications has led to differences of opinion in determining them. This thesis uses a juridical-normative research method that aims to analyze the suitability of the legal paradigm, principles, and philosophical foundations of positive law with reality. Based on the research that has been done, the author conclude that the determination of the relative competence of pretrial applications must be based on the scope of authority and objectives of the pretrial institution as a form of horizontal supervision of the actions of investigators and public prosecutors in the preliminary examination stage, so that the determination of relative competence is based on the location of the investigator and the public prosecutor exercises his authority which is included in the scope of the object of pretrial examination. The author suggests in this study to the Supreme Court to issue a legal product in the form of a Supreme Court Regulation or PERMA regarding pretrial examination procedures, particularly related to the regulation of the relative competence of district courts in adjudicating pretrial applications. It aims to create legal certainty in determining the relative competence of district courts in adjudicating pretrial applications."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Saropie
"Mekanisme lembaga Praperadilan dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam pelaksanaannya karena dianggap banyak merugikan masyarakat pencari keadilan, sehingga banyak bermunculan pendapat dan pandangan yang menginginkan agar lembaga Praperadilan digantikan oleh Hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008. Konsep lembaga hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008 merupakan suatu lembaga baru di Indonesia, tetapi bukan merupakan sesuatu hal yang baru di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim Komisaris sangat luas dan lengkap dibandingkan dengan lembaga Praperadilan dalam KUHAP. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan timbul permasalahan baru dengan adanya lembaga Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP 2008. Penulisan inimerupakan analisis mengenai konsep lembaga Hakim Komisaris yang menggantikan lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawasan pada tahap pemeriksaan pendahuluan.

Mechanism of Praperadilan institutions are no longer considered not running properly in its implementation because many people seeking justice harmed, so there are many opinions and views to make the institution Praperadilan replaced by the Magistrate proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008. The Magistrate concepts proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008 as a new institution in Indonesia, but not a new issue in Indonesia. The authority given to the Magistrate is more complete than Praperadilan in the Indonesian Code of Criminal Procedure (UU No. 8 Tahun 1981). However, the possibility is new problems arise with the Magistrate institution in Indonesian Code of Criminal Procedure revision 2008. This research is an analysis of the concept of a Magistrate institution replace Praperadilan institutions as institutions supervision at the stage of preliminary examination."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22579
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Herbet Pardamean
"Skripsi ini membahas mengenai limitasi atau batasan penghentian penyidikan berdasarkan kurang alat bukti atau bukan merupakan suatu tindak pidana. Kewenangan polisi sebagai penyidik merupakan kewenangan yang sangat besar dalam proses hukum acara pidana karena polisi sebagai penyidik menentukan apakah suatu peristiwa pidana dapat dilanjutkan ke tahap persidangan atau tidak. Penghentian penyidikan serta penjelasan terhadap alasan penghentian penyidikan itu sendiri serta batasan-batasannya tidak dijabarkan secara rinci oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981). Terhadap kasus 14 perusahaan di Provinsi Riau yang diduga melakukan tindak pidana illegal logging, penyidik akhirnya mengeluarkan SP3 terhadap kasus tersebut di bulan Desember 2008 dengan alasan kurang alat bukti dan bukan merupakan suatu tindak pidana tanpa ada penjelasan apapun. Oleh karena itu, subjektifitas penyidik yang menjadi dasar dalam menentukan suatu peristiwa pidana harus dihentikan ataupun dilanjutkan dapat menimbulkan dampak negatif seperti adanya conflict of interest antara penyidik dengan tersangka atau penyidik dengan penegak hukum lainnya.

This thesis dicusses about termination of investigation limitations based on the absence of sufficient evidence and an event which did not constitute an offense, by virtue of law. The competence of police as investigator is a high competence in a criminal procedural law process because they have competence to determine the criminal events can be brought into the court or not. The explaination of termination of investigation, the reasons, and the limitations are not described in details by Indonesia Criminal Procedure Code (Act. No. 8 Year 1981). Recording to the case of 14 companies in Riau which expected as illegal logging criminal offender, the investigator finally releasing the SP3 in December 2008 without any explanations. The subjectivity of the investigator, which becoming the basic to determine should be terminated or continued, could cause the negative effects, in example conflict of interest between investigator and the suspected or investigator and the other law enforcement officers."
2012
S43132
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akta Wijaya Pramasakti
"Upaya paksa yang dilakukan dalam rangka Penyidikan maupun PenuntutanTindak Pidana oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Polri atau Penuntut Umumdapat dikontrol melalui Lembaga Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hakhaktersangka dapat dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada,tindakan yang dimaksud terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang tidaksah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Walaupun lembagapraperadilan tersebut telah diatur dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun seiring perkembanganzaman dan perkembangan kehidupan bermasyarakat serta perkembangan hukumdimasyarakat, KUHAP dirasa belum mengakomodir perlindungan hukum terhadapmasyarakat. Hal ini sesuai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015, bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangandengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanalembaga praperadilan pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014tanggal 16 Maret 2015 dan pengaruhnya terhadap fungsi, tugas dan wewenang Polrisebagai penyidik dalam terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metodependekatan yuridis normatif dengan meneliti data sekunder yang menitikberatkan padastudi kepustakaan, dengan cara mengumpulkan, mengkaji dan mengolah data secarasistematis, bahan-bahan kepustakaan atau studi dokumen yang berkaitan dengankebijakan formulasi lembaga praperadilan dan penerapannya secara analisis kualitatif,kemudian dibuat kesimpulan yang secara menyeluruh diharapkan dapat menggambarkanperanan dan fungsi lembaga praperadilan saat ini dan menjadikan lembaga praperadilanpada posisi yang sebenarnya sesuai dengan cita-cita pembentukan KUHAP.

Forceful measures undertaken in the framework of the Investigation and Prosecutionof Crime by competent authorities in this case the police or public prosecutor can be controlledthrough Pretrial Institution. The purpose of this institution was established so that the rights ofsuspects can be protected in accordance with the laws and regulations that exist, the action ismainly in terms of arrests and illegal detention as well as the termination of the investigationand prosecution. Although the pretrial institutions have been arranged in the positive law ofthe Law No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings Criminal Procedure Code, but over the timesand the development of social life and the development of community law, the CriminalProcedure Code is felt not provide legal protection of the public. This is in accordance with theConstitutional Court Decision Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015, that Article77 letters a in the Criminal Procedure Code is on the contrary to the 1945 Constitution Of TheRepublic Of Indonesia to the extent not interpreted as including the designation of suspects,search and seizure.The problems that are the focus of this research is how the pretrial institution after thedecision of the Constitutional Court Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015 andits influence on the functions, duties and authority of the Police as investigators in the criminalact. This study uses normative juridical approach by examining secondary data which focuseson the study of literature, by collecting, reviewing and processing data systematically, materialslibrary or study documents relating to policy formulation institutions pretrial andimplementation qualitative analysis, then made overall conclusions are expected to describethe role and functions of the current pretrial agencies and make pretrial agencies on the actualposition in accordance with the ideals of the establishment of the Criminal Procedure Code
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Ahmad Haikal
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas prosedur penerbitan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan SPDP dan mekanisme upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap SPDP yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan perluasan penafsiran Pasal 109 ayat 1 KUHAP yang mengatur mengenai kewajiban penyidik untuk menyampaikan SPDP. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, penyampaian SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan pelapor/korban diberikan tenggang waktu selama tujuh hari, sedangkan sebelum adanya putusan ini tidak diberikan tenggang waktu. Penambahan prosedur SPDP dalam putusan ini menunjukkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator, di samping fungsinya sebagai negative legislator. Namun, ketentuan setelah adanya putusan ini tidak mempengaruhi proses penyidikan yang sedang berjalan saat dikeluarkannya putusan ini mengingat sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang umumnya tidak berlaku surut. Adapun apabila penyampaian SPDP dilakukan melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan, maka dapat dilakukan upaya hukum terkait hal tersebut, yaitu upaya hukum dengan mekanisme gelar perkara khusus dan upaya hukum dengan mekanisme praperadilan.

ABSTRACT
This study focuses on the issuance and submission of Notification Letter of Investigation Commencement SPDP and possible legal action against SPDP that are not accordance with the procedure which has been regulated since the issuance of Constitutional Court verdict Number 130 PUU XIII 2015. This verdict expands the interpretation of Article 109 Paragraph 1 Indonesia Criminal Code Procedure KUHAP which requires investigators to submit the SPDP. Research method used in this research is qualitative research with normative juridical research form. The result of this research is that the Constitutional Court verdict adds a new procedure to the SPDP submission regarding to the 7 seven days time limit since the issuance date of the investigation warrant, whilst there was no time limit to submit SPDP before this verdict was. This additional procedure indicates Constitutional Court rsquo s function as positive legislator, besides as a negative legislator. However, this verdict would not give any impact to the investigation process started before the date of Constitutional Court verdict Number 130 PUU XIII 2015, considering that Constitutional Court verdict is not retroactive applicable. If the SPDP submission passes the time limit given, there are two pssible legal action that can be made special examination case gelar perkara khusus mechanism and pre trial mechanism. "
2017
S68516
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Trisia
"Praperadilan merupakan sarana yang disediakan hukum acara pidana sebagai sarana pengawasan terhadap penyidik dan penuntut umum dalam menjalankan tugasnya khususnya pada tahap pra ajudikasi (pra persidangan). Adapun objek dari praperadilan tersebut menurut pasal 1 angka 10 Jo pasal 77 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Objek tersebut kemudian diperluas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusanya Nomor 21/PUU-XII/2014 dengan menambahkan penggeledahan, penyitaan dan penetapan tersangka. Namun sebelum putusan MK tersebut diterbitkan, hakim pengadilan negeri Jakarta selatan sudah terlebih dahulu memperluas objek praperadilan berupa sah atau tidaknya penetapan tersangka. Oleh sebab itu perlu untuk dikaji bagaimana hakim menafsirkan objek praperadilan yang telah diatur didalam KUHAP pada saat sebelum dan sesudah putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014.

Pretrial is a forum that provided by criminal procedural law to oversee the performance of investigators and prosecutor in carrying their function, primarily in the pre-adjudication stage. Its object is governed by the Article 1 (10) Jo Article 77 Criminal Procedural Law Code (KUHAP) includes the validity of arrest, validity of detention, and prosecution dismissal. However, the Constitutional Court has expanded the objects by issuing the Decision Number 21/PUU-XII/2014 which includes search, seizure, and suspect determination as pretrial objects. Before the Constitutional Court Decision was issued, a Court of Jakarta Selatan judge has previously ruled the validity of suspect determination as one of pretrial object. Therefore, the research will focus on interpretation of pretrial object governed by KUHAP Constitutional Court pre and post Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>