Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anton Adriaan
"Sistem peradilan pidana di Indonesia, telah dirancang dengan sedemekian rupa, agar dalam prosesnya, benar-benar menjamin hak asasi dari setiap pihak yang terlibat didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan suatu pengawasan secara horizontal terhadap seluruh upaya paksa yang dilakuan oleh pihak penyidik. Dalam perkembangannya, seringkali terjadi suatu penyimpangan dalam pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia, terutama terkait dengan perkara praperadilan. Hal ini dibuktikan dengan putusan perkara praperdilan dengan nomor register perkara 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, dimana dalam perkara tersebut hakim praperadilan mengeluarkan suatu putusan yang isinya memerintahkan agar pihak termohon melanjutkan proses hukum dan menetapkan status tersangka kepada beberapa pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bank century. Sebagaimana diketahui, kewenangan lembaga praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP, yaitu untuk menyatakan sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan ganti rugi dan rehabilitasi. Lembaga praperadilan tidak berwenang untuk memerintahkan salah satu pihak agar menetapkan status tersangka terhadap seseorang. Oleh karena itu, penulis akan melakukan peneletian terhadap kasus tersebut dengan metode perbandingan, dimana penulis akan melakukan membandingkan sistem lembaga praperadilan Indonesia, dengan sistem praadjudikasi negara Belanda, Amerika Serikat, dan Perancis. Selanjutnya, penulis juga akan meneliti apakah putusan perkara praperadilan tersebut sejatinya telah sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

The criminal justice system in Indonesia has been designed in such a way, so that in the process, it truly guarantees the human rights of every party involved in it. This is evidenced by the existence of an institution whose task is to carry out a horizontal supervision of all forced efforts carried out by the investigators. In its development, there is often a deviation in the implementation of criminal justice in Indonesia, especially related to pretrial cases. This is evidenced by the pretrial case verdict with the case register number 24/Pid/Pra/2018/PN.JKT.SEL, wherein the case the pretrial judge issued a decision which ordered that the defendant party continue the legal process and determine the status of the suspect to some allegedly involved in a century bank corruption case. As is known, the authority of the pretrial institution is regulated in article 1 number 10 jo. Article 77 of the Criminal Procedure Code, namely to declare the legitimacy of forced efforts by investigators, termination of investigations or prosecutions, and compensation and rehabilitation. A pretrial institution is not authorized to order one party to determine the suspect's status against someone. Therefore, the authors will examine the case with a comparative method, where the author will compare the Indonesian pretrial system, with the pre-adjudication system of the Netherlands, the United States and France. Furthermore, the author will also examine whether the pretrial case verdicts are in fact in accordance with the development of legislation in force in Indonesia.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Okta Rini
"Pasal 83 KUHAP yang mengatur mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan, pada ayat (1) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding sedangkan ayat (2) nya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Pada kenyataannya, masih ada putusan praperadilan yang bukan menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan upaya hukum. Hal inilah yang terjadi dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Melihat kasus ini, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana pengaturan mengenai upaya hukum terhadap putusan praperadilan di Indonesia menurut peraturan perundang-undangan yang ada serta (2) permasalahan apa yang timbul dalam praktek penerapan praperadilan terkait upaya hukum dikaitkan kasus penerimaan permintaan banding dalam kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini berupa penjabaran mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan analisis mengenai permasalahan yang timbul dalam praktek penerapannya dikaitkan dengan kasus Lam Yenny Lamengan VS Kepala Kepolisian Wilayah Besar Kota Surabaya.
Article 83 Code of Criminal Procedure, regulates about the legal remedies against the decision of praperadilan, in paragraph (1) states that the decision of praperadilan cannot be appealed, while in paragraph (2) states that the decision of praperadilan which establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution may be requested for the final decision in the High Court of Justice in the jurisdiction concerned. In fact, there is still a decision of praperadilan which not establish the invalidity of the termination of investigation or prosecution proposed for legal remedies such as in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. The questions in this research are (1) how the arrangement of legal remedies against the decision of praperadilan according to the regulation that exist in Indonesia and (2) what is the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District. This research is a normative legal research using literatures and interview. The result in this research is a description of legal remedies that can carried out on the decision of praperadilan based on the regulation that exist in Indonesia and also the analysis of the problem that arise from the practical application of praperadilan related to legal remedies in the case of Lam Yenny Lamengan vs Head of Surabaya?s Police District."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S573
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Damian Agata Yuvens
"Abstrak
Kendati penyadapan bukan merupakan lembaga baru di Indonesia, sayangnya
pengaturannya masih tersebar dan tidak seragam. Dalam konteksnya sebagai
kewenangan penegak hukum, penyadapan tidak memiliki mekanisme
penyeimbang secara horizontal. Dengan meninjau alasan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dalam memperluas ruang lingkup praperadilan, ternyata
alasan-alasan tersebut juga bisa diberlakukan terhadap penyadapan, sehingga
secara konseptual, dapat dikatakan bahwa praperadilan bisa saja ditarik hingga
mencakup penyadapan. Kendatipun demikian, ada ketidakcocokan antara
konsep praperadilan dan pengaturan mengenai penyadapan dalam hukum
positif."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2017
340 JHP 47:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Paruna
"Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan larangan pengajuan permintaan pemeriksaan praperadilan bagi tersangka yang berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah terbitnya SEMA No. 1 Tahun 2018 apabila ditinjau dari prinsip due process of law sebagai prinsip dasar dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dimana data yang digunakan bersumber dari studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Adapun hasil penelitian mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bahwa dalam penerbitan DPO terhadap tersangka, penyidik harus mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme penerbitan DPO. Larangan dalam SEMA No. 1 Tahun 2018 memiliki pengaruh besar terhadap kebolehan tersangka dalam DPO untuk mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, sehingga keabsahan penerbitan DPO itu sendiri tetap harus dibuktikan dalam sesi pembuktian pada sidang praperadilan. Adapun berdasarkan analisis pemeriksaan praperadilan dalam Putusan Nomor 4/Pid.Pra/2018/PN.Plk dan Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2018/PN.Kis, hakim praperadilan pada kedua putusan tersebut tidak ada yang mempertimbangkan mengenai keabsahan penerbitan DPO padahal penerbitan DPO dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme yang belaku sehingga jelas bertentangan dengan asas due process of law.

This thesis discusses the implementation of prohibition on submitting a Habeas Corpus examination request for suspects of The List of Wanted Persons after the issuance of Supreme Court Circular Number 1 of 2018 and its juridical review based on the principle of due process of law as a basic principle in conducting investigative activities. This study uses normative juridical methods, where the data used are sourced from literature studies and interviews with informants. The results of research on the issues discussed in this study are that in issuing The List of Wanted Persons, investigators must refer to the provisions governing the mechanism for the issuance of The List of Wanted Persons. Prohibition in Supreme Court Circular Number 1 of 2018 has a major influence on the ability of suspects in The List of Wanted Persons to submit requests for Habeas Corpus examination, so the validity of the issuance of The List of Wanted Persons itself must be proven in the evidentiary session at the Habeas Corpus examination. Based on the analysis of Habeas Corpus examinations in Decision Number 4/Pid.Pra/2018/PN.Plk and Decision Number 2/Pid.Pra/2018/PN.Kis, the Habeas Corpus examination judges in both decisions did not consider the validity of The List of Wanted Persons issuance even though The List of Wanted Persons issuance had been conducted not in accordance to the mechanism in force so it clearly contradicts the principle of due process of law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Lakoni
"

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 21/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa penetapan tersangka menjadi objek praperadilan, maka sekarang ini apabila seorang ditetapkan sebagai tersangka, maka ia akan mengajukan permohonan praperadilan, akan tetapi setelah putusan praperadilan memenangkannya dalam artian penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan, maka aparat penegak hukum melakukan penetapan tersangka kembali kepada orang tersebut, aturan mengenai penetapan tersangka kembali ini memang diperbolehkan dan diatur, baik itu di dalam putusan MK itu sendiri maupun di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, akan tetapi tidak ada kejelasan mengenai sampai berapa kali orang tersebut dapat ditetapkan sebagai tersangka, tidak ada aturan yang jelas mengenai sampai berapa kali penetapan tersangka tersebut, berakibat tidak ada kepastian hukum dan pelanggaran terhadap HAM khususnya hak asasi tersangka. Metode penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, dengan menelaah kedudukan praperadilan dalam sistem peradilan pidana, serta pengkajian terhadap perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana, dan hasil dari penelitian ini menyimpulkan untuk membatasi penetapan tersangka yang berulang ini.


After the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia number 21 / PUU-XII / 2014, which states that the determination of the suspect is the object of pretrial, so now if a person is named as a suspect, he will submit a pretrial petition, but after the pretrial decision wins it in the sense of determining the suspect declared invalid by a pretrial ruling, the law enforcement apparatus determines the suspect back to the person, the rules regarding the re-stipulation of the suspect are indeed permitted and regulated, both in the Constitutional Court's decision itself and in the Supreme Court Regulation No. 4 of 2016, will but there is no clarity on how many times the person can be named as a suspect, there are no clear rules on how many times the determination of the suspect, resulting in no legal certainty and violations of human rights, especially the rights of the suspect. The research method was conducted in a normative juridical manner, by examining the position of pretrial in the criminal justice system, as well as the study of the protection of the rights of suspects or defendants in the criminal justice process, and the results of this study concluded to limit the determination of these recurrent suspects.

"
2020
T54752
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dominggus Reformator Olua
Jakarta: Intelektual Writer, 2021
343.056 DOM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, M. Yahya
Jakarta: Pustaka Kartini, 1993
345.05 HAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfonsius Gebhard Loe Mau
"Tesis ini membahas tentang siapa saja yang dimaksud dengan pihak ketiga yang dapat mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi dalam praktek praperadilan. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dengan metode deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penafsiran yang berkembang menurut doktrin dan yurisprudensi mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan dalam praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan perkara tindak pidana korupsi telah berkembang yaitu tidak terbatas pada saksi korban yang menderita kerugian secara langsung akibat dari suatu perbuatan pidana, tetapi telah mencakup juga pelapor dan kelompok individu atau masyarakat yang menderita kerugian secara tidak langsung sebagai akibat adanya tindak pidana korupsi yang menyebabkan hak-hak sosial dan ekonomi mereka dilanggar. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemberantasan korupsi, maka sebaiknya hak masyarakat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

The thesis discusses who is referred to as the third party that can appeal to the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the prosecution of the corruption criminal acts in pretrial hearing practice. The research method used in this writing is normative law research, which is research conducted towards the laws and regulations, law literature, and doctrines related to the cessation of the investigation and the cessation of the prosecution of the corruption criminal act cases. The data obtained later will be managed qualitatively with a deductive method.
The research results conclude that the interpretation developing according to the doctrines and jurisprudence about the understanding of the third party concerned in the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the cessation of the prosecution of the corruption criminal act cases which have developed is not limited to the victim witness suffering from losses directly due to a criminal act but also includes the reporters and a group of individuals and society suffering from losses indirectly as a result of the corruption criminal acts causing their social and economic rights to be violated. To guarantee that there is a certainty of law and to fulfill the justice in the society in supervising the corruption combat process, the society's rights as the third party concerned who can appeal to the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the cessation of the prosecution of the corruption criminal acts are governed in the law about corruption criminal acts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28886
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Meyliana S K
"ABSTRAK
Lembaga praperadilan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana adalah sebagai wadah perlindungan hukum bagi tersangka/terdakwa atas
tindakan penguasa, dalam hal ini adalah pejabat penyidik atau penuntut umum. Dalam
perkara pidana yang diatur secara umum dalam KUHP maupun delik-delik khusus yang
diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, memperkenankan tindakan-tindakan
dalam rangka menangani perkara pidana yang disebut sebagai upaya paksa oleh pejabat
penyidik, seperti tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan-pemeriksaan surat. Tentunya menjadi penting diperhatikan yakni landasan
yuridis dari keabsahan suatu tindakan yang dijadikan alasan permohonan pemeriksaan
di pengadilan. Peraturan perundang-undangan terkait tata cara pemeriksaan dalam
penanganan perkara adalah dengan mengacu pada KUHAP serta aturan perpajakan yang
sifatnya internal lingkup Direktorat Jenderal Pajak.

ABSTRACT
The pretrial institution which is regulated in the Book of Criminal Legal
Procedure is a forum for the legal protection of suspects or defendants, against the
action of the authorities, in this case is an official investigator or prosecutor. In criminal
cases commonly regulated in the Book of Criminal Law either special offenses
separately regulated in special law, it allows actions to handle the criminal cases which
are called attempt force remedies by the authorities, such as actions of arrest, detention,
to make investigation searching, confiscation, and investigation of documentary letters.
It would be important to note the legal basis of the legitimacy of a consideration of
applications for excuse action in court. Laws and regulations relating to procedures for
inspection in handling case, with reference to the Book of Criminal Legal Procedure, as
well as its rule of internal Directorate General of Tax."
2010
S22508
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>