Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3119 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachry Ali, 1954-
Jakarta: Balai Pustaka, 1999
320 FAC e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Pramono
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 2005
320.581 AGU e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Insan Fahmi
"Perjalanan politik Masyumi - sejak didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 sampai dibubarkan pada tahun 1960 -- penuh dengan dinamika, baik di dalam internal Masyumi sendiri maupun ketika berhubungan dengan partai politik dan Presiden Sukarno. Hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno misalnya, pernah juga mengalami hubungan yang harmonis, terutama pada masa revolusi. Hubungan itu mengalami pergeseran hingga menjurus kepada konflik. Konflik antara Sukarno dengan Masyumi semakin tajam, terutama sejak adanya keinginan Sukarno mengubur partai politik pada bulan Oktober 1956, dan Konsepsi Presiden pada tahun 1957. Konflik terus berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Sukarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik. Bukan hanya peran politik Masyumi yang semakin merosot, tetapi eksistensi Partai Masyumi pun diakhiri Sukarno melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Sukarno membubarkan Masyumi. Pertama, Sukarno ingin merealisasikan pemikiran dan obsesinya yang sudah lama terkubur, terutama mengenai partai politik, demokrasi dan revolusi. Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pernyataan dan pemikiran Sukarno yang sudah berkembang sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal Demokrasi Terpimpin. Kesatu, sejak masa pergerakan nasional Sukarno menginginkan partai politik cukup satu. Bahkan pada bulan Oktober 1956 Sukarno menyatakan partai politik adalah penyakit, sehingga hams dikubur. Kedua, Sukarno menginginkan demokrasi yang diterapkan adalah Democratisch-centralisme, yakni suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap penyelewengan, dan menendang bagian partai yang membahayakan massa.
Konsep ini disampaikan Sukarno pada tahun 1933. Konsep ini kemudian Sukarno terapkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Ketiga, Sukarno berkeyakinan revolusi belum selesai. Setiap revolusi mempunyai musuh. Dalam logika revolusi hares ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Perilaku politik Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin - menurut Bernhard Dahm -- dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki tokoh Bima dalam cerita pewayangan, seperti sifat Bima yang tidak mengenal kompromi dengan lawan yang datang dari luar keIuarganya.
Faktor kedua, adanya konflik yang berkepanjangan antara Sukarno dengan Masyumi. Konflik itu mulai muncul ketika Perdana Menteri M. Natsir menolak usul Presiden Sukarno tentang cara penyelesaian Irian Barat. Selain itu, Natsir juga mengingatkan Presiden Sukarno supaya jangan mencampuri urusan pemerintah, dan kalau Sukarno terus-terusan mencampuri kebijaksanaan pemerintah maka perdana menteri bisa menangkapnya. Kasus ini menimbulkan dendam pribadi Sukarno kepada M. Natsir. Selain dendam pribadi, Sukarno juga menyimpan dendam sejarah kepada Partai Masyumi. Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Sukarno. Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Presiden Sukamo yang semakin mendorong dan meyakinkan Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Faktor ketiga adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya. Sukamokhawatir kalau Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin.
Dengan demikian, Masyumi dibubarkan bukan karena terlibat PRRI. Hal ini diakui sendiri oleh Sukarno kepada Bernhard Dahm pada tahun 1966. Sukarno mengatakan tidak dapat menyalahkan suatu partai karena kesalahan beberapa orang. Kalau begitu, keluarnya Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 merupakan bentuk sikap kesewenang-wenangan Sukarno terhadap Partai Masyurni.
Konflik Masyumi dengan Presiden Sukarno disebabkan beberapa hal. Pertama, masalah kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedudukan dan kekuasaan Masyumi dalam pemerintahan sangat besar pada masa Demokrasi Parlementer, sementara pengaruh dan kekuasaan Presiden Sukarno sangat keciI. Mengingat kedudukan seperti itu, maka Presiden Sukarno ingin merebut kedudukan itu, dan terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Sebab kedua, adanya perbedaan yang prinsipil mengenai demokrasi. Sukarno menginginkan Demokrasi Terpimpin, sementara Masyumi menolak dan menentang Demokrasi Terpimpin. Sebab ketiga, adanya perbedaan ideologi. Presiden Sukarno menggalang kerjasama dengan PKI yang berhaluan komunis.
Sementara itu, Partai Masyumi mempunyai ideologi Islam yang tidak mau bekerjasama dengan PKI, dan sangat kerns menentang komunisme. Adanya pcrbcdaaan ideologi antara PKI dan Masyumi, berimplikasi terhadap hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno. Sukarno lebih memilih PKI, dan konsekuensinya Sukarno hams menyingkirkan Masyumi.
Usaha Sukarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif. Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi.
Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dengan dua cara. Pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Sukarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan.
Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi. Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi. Meskipun Partai Masyumi sudah bubar secara material, namun di kalangan anggota Masyumi masih merasa Masyumi tetap hidup dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, mereka tetap memandang para pemimpin mantan Masyumi sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian, pernyataan Faith mengenai sifat Bapakisme dalam kepemimpinan partai di Indonesia terbukti, setidaknya untuk kasus Partai Masyumi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rizali
"Struktur politik masyarakat terdiri dari dua kelompok : Pertama, elite politik yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi individu-individu lainnya dan membuat keputusan politik kolektif. Kedua, massa yang hanya diperintah saja tanpa kekuasaan. Elite berada di semua lapisan masyarakat, dari yang primitif--tradisionil hingga beradab-modern. Mekanisne pembentukannya dilakukan melalui rekrutmen politik yang salah satu diantaranya adalah Pemilu. Kegiatan tersebut biasanya diikuti oleh partai-partai politik.
Batasan-batasan diatas ditemui pula di masyarakat Palembang. Rekrutmen politik dilakukan melalui Pemilu lima tahun sekali, dan diikuti oleh tiga kekuatan politik. Akan tetapi karena keterbatasan peneliti, fokus perhatian hanya diarahkan kepada Partai Persatuan Pembangunan saja, dengan pembatasan waktu 1977-1987. Mengapa permasalahan ini menarik diteliti, karena daya pikatnya terletak pada beraneka ragamnya kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang terlibat, penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang bervariasi. Disamping itu, perolehan suara yang didapatkan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Realitas ini memunculkan pertanyaan khusus: (1) Mengapa terjadi penurunan suara terus menerus? (2) Bagaimanakah mekanisme rekrutmen politik tersebut berlangsung?. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penelitian ini didukung oleh empat teori politik : (1) Teori Elite Politik. (2) Teori Partai Politik. (3) Teori Patron Klien. (4) Teori Rekrutmen Politik itu sendiri.
Sedangkan untuk nemperoleh gambaran sirkulasi elite dan rekrutmen politik yang utuh, maka usaha pencarian jawabannya dilakukan sejak awal Februari 1992 - hingga akhir September 1992. Dimana dua variabel digunakan sebagai dasar model analisis, yaitu jalur-jalur rekrutmen politik (unsur fusi, pendukung, kaderisasi dan nepotisme) sebagai variabel bebas dan dukungan basis-basis politik sebagai variabel terikat. Dan dari model analisa inilah dapat dirumuskan hipotesa, yaitu adanya penggunaan keempat jalur yang sangat bervariasi atau tidak konsisten, mengakibatkan pola rekrutnen politik dalan tubuh PPP Palembang tidak tetap atau berubah-ubah, dan kondisi itulah yang menyebabkan perolehan suara menurun.
Kemudian sebagai pedoman lebih lanjut, dijabarkan dalam metodologi penelitian dengan menjelaskan; Pendekatan penelitian (kualitatif), sifat penelitian (deskriptif), tahapan penelitian (survey lapangan dan pengumpulan data), tehnik pengumpulan data (studi pustaka, dokumentasi, wawancara), unit penelitian (DCT-individu), analisa data, lokasi penelitian dan waktu penelitian. Gambaran perkembangan dan pertunbuhan Partai Persatuan Pembangunan Kotamadya Palembang, merupakan titik awal penelusuran mencari jawaban penelitian Sejarah terbentuknya partai, struktur kepengurusan, basis-basis politik, karakteristik sosial, dan hasil-hasil pemilihan umum. Keseluruhan data ini sangat membantu menemukan jawaban penelitian.
Dari temuan-temuan penelitian diperoleh gambaran bahwa, rekrutmen politik tidaklah menpunyai pola yang tetap atau berubah-ubah. Penggunaan keempat jalurnya sangatlah bervariasi dari Pemilu ke Pemilu.
Pada Pemilu 1977, jalur unsur fusi merupakan jalur yang dominan. Penentuan nomor urut, kriteria rekrutmen politik yang selektif, pengusulan nama, pencoretan dan penggantian nama sangat ditentukan oleh Pimpinan Cabang keempat unsur fusi. Namun disisi lain, mereka mempunyai massa yang memberikan dukungan penuh. Basis-basis politik terlibat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan partai. Kondisi ini sangat nempengaruhi perolehan suara dalan Penilu. Sementara itu, jalur pendukung mempunyai peranan yang lemah, bahkan tidak diikutkan dalam rekrutmen politik. Dibagian kelompok pendukung mereka gagal berperan akibat dominasi unsur fusi yang kuat. Dan dibagian individu pendukung, walaupun mereka terlibat aktif memberikan dukungan dan mempunyai massa. Tidak dapat direkrut karena hambatan-hanbatan peraturan pemerintah. Sedangkan jalur kaderisasi dikuasai oleh kader-kader unsur fusi, kader-kader personal, dan kader-kader organisasi sebagai penggembira. Adapun jalur nepotisme diterapkan dalam rekrutmen politik, dan mereka mempunyai peranan yang kuat dengan banyaknya "nomor-nomor jadi" dikuasainya.
Pada Pemilu 1982, keadaannya mulai berubah. Jalur unsur fusi tidak begitu dominan lagi. Hal ini disebabkan oleh mengendornya-keterikatan Pimpinan Cabang unsur fusi, krisis keanggotaan dan pengurus, dan kebijakan politik pemerintah yang membatasi ruang gerak mereka. Sementara itu, jalur pendukung neningkat, dengan masuknya salah satu tokoh mereka ke dalam jajaran pengurus partai. Akan tetapi mereka tidak didukung oleh massa yang kuat. Sehingga tidak dapat membantu perolehan suara. Sedangkan jalur kaderisasi diwarnai dengan berkurangnya kader-kader unsur fusi. Ditopang oleh kaderisasi yang tetap menduduki posisi"pinggiran". Dan dikuasai oleh kader-kader personal yang menguasai "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap kuat, dengan banyaknya wakil mereka di "nomor-nomor jadi".
Pada Pemilu 1987 lebih banyak lagi terjadi perubahan. Peranan unsur fusi semakin memburuk dengan adanya kebijakan partai tentang fusi tuntas.mDominasi mereka diambil alih oleh Lajnah Penetapan Cabang (Lantapcab) yang dibentuk partai. Kondisi ini sangat menguntungkan jalur pendukung yang semakin dominan, walaupun tidak didukung oleh massa yang jelas. Organisasi-organisasi underbouw dibentuk partai untuk mengantisipasi peranan unsur fusi. Sedangkan jalur kaderisasi ditandai dengan semakin menghilangnya kader-kader unsur fusi. Tidak beranjaknya kekuatan kader-kader organisasi sebagai kelompok "nomor-nomor bawah". Dan berkurangnya dominasi kader-kader personal, walaupun mereka tetap menempatkan banyak kadernya di "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap menguasai "nomor-nomor atas" dalan rekrutmen politik.
Adanya penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang berubah-ubah ini nenyebabkan perolehan suara terus menurun dari waktu-ke waktu. Pemilu 1977 menang mutlak dengan 145.934 suara atau 54,2 % dari suara keseluruhan. Unggul di semua kecanatan, mendominasi 36 kelurahan, imbang dengan Golkar di 5 kelurahan, dan kalah di 8 kelurahan. Pada Pemilu 1982 perolehan suara menurun menjadi 162.217 suara atau 47,9 % suara keseluruhan. Hanya unggul di 2 kecamatan, imbang dengan Golkar di 3 kecamatan, dan kalah di 1 kecamatan. Juga unggul mutlak di 26 kelurahan, imbang dengan Golkar di 4 kelurahan, menang tipis di 6 kelurahan, kalah di 22 kelurahan. Pada Pemilu 1987 menurun tajam dengan 113.220 suara. Kalah di semua kecamatan, kalah mutlak di 41 kelurahan, menang tipis di 4 kelurahan, dan imbang dengan Golkar di 10 kelurahan. Temuan-temuan penelitian yang diuraikan secara terperinci di bab tiga dan empat, menbenarkan asumsi-asumsi dan hipotesa penelitian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Cambridge University Press, 2003
320.994 AUS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Abdullah Wibisono
Jakarta: Pacivis, 2006
355.343 2 ALI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Wahid, 1940-2009
Jakarta : The Wahid Institute, 2006
297 ABD i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Kooshendrati
"Di Indonesia nama Montesquieu lebih dikenal di kalangan hukum karena karyanya yang termasyhur yang berjudul L'Esprit des Lois (Hakikat Hukum) (1748) biasanya dikaji secara mendalam di fakultas-fakultas hukum di negeri kita. Karya ini menjelaskan dan menjabarkan Trias Politica, yaitu pentingnya kekuasaan pemerintahan suatu negara dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah: l.eksekutif, 2. yudikatif, dan 3. legislatif.
Di negeri kita tidak banyak orang yang mengenal Montesquieu sebagai pengarang biasa, sebagai penulis Lettres persanes misalnya. Pembaca Indonesia hanya mengenal Mdntesquieu sebagai seorang filsuf dengan gagasannya mengenai Trias Politica disamping filsuf-filsuf besar Perancis lainnya di abad ke-18 seperti Diderot, Voltaire, dan Rousseau, masing-masing dengan pemikirannya yang cemerlang.
Pelajaran sastra asing lebih ditekankan pada pengenalan sastra Inggris dengan membaca dan mempelajari baik karya-karya asli maupun karya-karya terjemahan Shakespeare dan pengarangpengarang Inggris atau Amerika lainnya. Karya-karya pengarang Perancis kurang dikenal.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji salah satu karya sastra Montesquieu yang terkenal. Karya ini berupa sebuah roman epistoler dan berjudul Lettres persanes (Surat-surat Persia)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjoeib
1999
JSAM-IV-JanJul1999-73
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Miller, Lynn H.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
327.1 MIL a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>