Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Tohir Effendi
"ABSTRAK
Studi ini pada dasarnya merupakan langkah awal (preliminary) dalam memahami fenomena oposisi di Indonesia pasca 1966. Bahwa kelompok Petisi 50 dijadikan kasus, tidak lain karena berbagai unsur oposisi yang ada dengan aneka warna (spektrum) opini politik tampak di dalamnya. Oleh sebab itu, studi ini difokuskan pada tiga pertanyaan pokok, yakni: Pertama. mengapa Petisi 50 muncul dan apa relevansinya dimunculkan ? Kedua. mengapa kelima puluh orang yang berlain-lainan latar belakang sosial, politik, ideologi dan agama itu yang memunculkannya ? Dan, ketiga. mengapa Petisi 50 lebih diberi perhatian khusus oleh penguasa dibandingkan dengan petisi-petisi lain ? Sebagai jawaban tentatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan beberapa asumsi, yang setelah dilakukan penelitian lapangan dan kepustakaan diketahui bahwa: (1) munculnya Petisi 50, sebagaimana halnya juga dengan pidato tanpa naskah Presiden Suharto di Pekanbaru dan Cijantung, tidak terjadi begitu saja melainkan telah didahului oleh serangkaian perbedaan visi politik lain antara para tokoh penanda-tangan Petisi 50 dengan Suharto. (2) penyebab beragamnya unsur yang menjadi penanda-tangan Petisi 50 adalah karena peran serta Lembaga Kesadaran Berkonstitusi di dalamnya, baik dalam proses perumusannya maupun penyampainnya ke DPR. (3) perhatian khusus penguasa terhadap Petisi 50, tidak saja karena isi dan figur-figur penanda-tangannya; juga karena adanya Dokumen pribadi Jend. (pur) M. Jasin. Akhirnya, dengan melihat para figur penandatangan Petisi 50 dan produk-produk tertulis yang dihasilkan Kelompok Kerja Petisi 50 serta kerja-sama dengan pihak-pihak lain, maka dapat disimpulkan bahwa Petisi 50 berserta kelompok kerjanya memenuhi kriteria oposisi faksional dan sektoral. Sedangkan dilihat dari alternatif perubahan yang mereka tawarkan, maka kelompok ini memenuhi kriteria untuk disebut sebagai kelompok oposisi struktural besar yang bersifat demokratis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chusnul Mar`iyah
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1987
S5556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S5833
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5901
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisan Sulaiman
"Surat Kabar Kampus (SKK) Salemba sebagai sebuah entitas dari pada pers mahasiswa yang hidup pada masa Orde Baru muncul ketika situasi sosial politik dan dunia kemahasiswaan di Indonesia sedang dalam masa ““pengawasan”” dan ““pembinaan”” akibat dampak pecahnya peristiwa Malari 1974. Koran mahasiswa yang digawangi oleh sekelompok mahasiswa UI ini merupakan sebuah koran mahasiswa yang berani mengangkat suara-suara kritis mahasiswa dan berbagai kalangan elemen masyarakat Indonesia dari ““ruang hampa”” ditengah rezim Orde Baru yang otoritarian. Salemba menjadi sebuah media yang bukan sekedar penerbitan mahasiswa biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari tampilan dan isi koran Salemba semasa dia terbit dari tahun 1976-1980.
Melalui metode penelitian kualitatif dalam perspektif historis (metode sejarah) dibantu dengan menggunakan pendekatan ilmu komunikasi yaitu content analysis, kajian ini berupaya memahami suara-suara kritis yang muncul dari Salemba. Terlihat bahwa substansi isi Salemba menjadikan pemerintah Orde Baru sebagai sasaran kritik utama mereka dengan mendukung arus gerakan mahasiswa yang mulai riuh pada medio 1977-1978 dan mengangkat isu-isu sensitif dengan telanjang tanpa sensor dari awak redaksi Salemba. Keberanian Salemba dalam membingkai fakta dan segala keresahan mahasiswa di tengah sistem otoritarianisme tersebut ternyata menjadikan koran Salemba dicari sekaligus dibenci. Dicari oleh para pembaca setia dan dibenci oleh penguasa.

Salemba Newspapers as an entity of the student press are living under the New Order emerged as the political and social situation in the world of student affairs Indonesia is in the "control" and "guidance" due to the impact of the outbreak of 1974 Malari incident. Student newspaper fronted by a group of UI students is a student newspaper that dared raised critical voices among students and various elements of Indonesian society from the "vacuum" in the middle of the authoritarian New Order regime. Salemba into a medium that is not just a regular student publications. This can be seen from the appearance and content of the newspaper while he rises from the Salemba 1976-1980.
Through qualitative research methods in historical perspective (historical method) assisted with communication science approach, namely content analysis, this study seeks to understand the critical voices that emerge from Salemba. Seen that the substance of the content Salemba make New Order government as their main target of criticism by supporting current student movement that began in mid 1977-1978 boisterous and raised sensitive issues with naked without censorship of editorial crew Salemba. Salemba courage in framing the facts and all the student unrest in the middle of the authoritarian system apparently makes Salemba searchable newspaper once hated. Wanted by the loyal readers and hated by the authorities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46017
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyauddin
"Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto adalah sebuah periode sejarah bangsa dimana seluruh potensi nasional (kementerian dan lembaga) tersubordinasi dalam konteks politik saat itu. ABRI yang merupakan salah satu elemen paling vital dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru dan pendukung utama Golkar dengan konsep Dwi Fungsinya akhirnya terlibat jauh dalam urusan-urusan politik. Dengan itu, seluruh institusi intelijen yang berada di bawah naungan ABRI baik secara langsung dan tak langsung terpolitisasi oleh kepentingan Soeharto sebagai pengguna intelijen (user) dan penentu kebijakan (policy maker).
Dalam sebuah negara yang dikelola secara otoriter dengan kepemimpinan yang diktator akhirnya menjadikan institusi intelijen sebagai sebuah lembaga "intelijen politik", selain itu, seluruh institusi intelijen mengalami "militerisasi" dengan tidak adanya diferensiasi intelijen yang membawa negara dalam bentuk "negara intelijen". Politisasi institusi intelijen di masa orde baru terjadi dari berbagai spektrum baik dari sudut pandang pengguna, analis, aktivitas maupun organisasi intelijen. Di periode ini, intelijen bekerja sesuai dengan preferensi politik pribadi pengguna intelijen.
Untuk menghindari politisasi dan penyalahgunaan intelijen, diperlukan sebuah mekanisme yang dapat mengatur pengawasan terhadap badan intelijen sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Netralitas dan penguatan struktur lembaga intelijen dapat dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh parlemen sesuai yang telah dimandatkan undang-undang. Pengawasan oleh badan pengawas intelijen akan bekerja untuk mengawasi aktivitas, operasi dan penganggaran yang terkait dengan intelijen.

Indonesia under Suharto was a historic period in which all of national potential (ministries and agencies) subordinated in the current political context. Armed Forces (ABRI) which is one of the most vital element in running the New Order regime and the Golkar major supporter of the concept of Dwi Fungsi deeply involved in political affairs. With that, the entire intelligence institutions under the auspices of the Armed Forces (ABRI), both directly and indirectly by the interests of Suharto as politicized intelligence users and policy makers.
In an authoritarian state run by a dictator leadership eventually make intelligence institutions as an institution 'political intelligence', other than that, the whole experience intelligence institutions 'militarization' in the absence of differentiation of intelligence that brings the state in the form of 'intelligence state'. Politicization of intelligence in the new order of the various spectrum occurs from the standpoint of users, analysts, and the activities of intelligence and organizations. In this period, intelligence work in accordance with the user's personal political preferences.
To avoid politicization and misuse of intelligence, we need a mechanism that can manage the oversight of intelligence services in accordance with the principles of democracy. Neutrality and strengthening the structure of the intelligence agencies can be mechanisms of control by the appropriate parliamentary legislation mandated. Supervision by the oversight body will work to oversee intelligence activities, operations and budgeting related to intelligence.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti Wahyuni
"Skripsi ini membahas tentang peran Posyandu dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak, khususnya di Jawa Barat. Masih tingginya angka kematian bayi dan balita serta angka kelahiran yang belum didukung dengan sistem pelayanan kesehatan yang efektif, mendorong Pemerintah Orde Baru mencanangkan program Posyandu. Di sisi lain, digalakkannya program ini juga menjadi wujud kebijakan pemerintah untuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan beberapa upaya program kesehatan yang dilakukan di bawah kepemimpinan Soeharto. Bagian kedua menjelaskan kondisi masyarakat dan perkembangan Posyandu di Jawa Barat, serta dibahas pula masalah kesehatan ibu dan anak di daerah tersebut. Bagian ketiga menjelaskan pelaksanaan Posyandu dan kendala yang dihadapi, serta pencapaiannya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Posyandu nyatanya telah berhasil menurunkan angka kematian bayi dan meningkatkan angka harapan hidup, serta memperoleh tanggapan positif dari berbagai pihak. Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sejarah dan berbagai sumber primer, sumber sekunder, serta sumber lisan.

This undergraduate thesis discusses about the role of Posyandu which sought to improve Maternal and Child Health (MCH), especially ones located in West Java. Caused by increasing growth of mortality rate of infants and children under five, as well as birth rate that had not been supported by an effective health care system, New Order government had encouraged to proclaim Posyandu program. On the other hand, this program also promoted to be a manifestation of government?s policy to encourage people?s participation in health development.
This research contains of three sections. The first one explains several efforts of health programs implemented under Soeharto?s regime. The second one explains the condition of society and development of Posyandu in West Java, thus discuss MCH issue on the region. The last section explains implementation of Posyandu and obstacles encountered, as well as the achievement.
The result of this research indicate that the existence of Posyandu certainly had gained successful decreasing infant mortality rate and increasing life expectation. Not to mention Posyandu had gained positive responses from various parties as well. This research defined as qualitative studies using historical research method with some primary sources, secondary sources, and verbal sources.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library