Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Farhani
"Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruhpengaruh lainnya. Mahkamah Agung dalam memberikan pemberatan dalam hukuman harus sesuai dengan nilai-nilai, norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal-hal yang menjadi dasar Mahkamah Agung dalam memperberat hukuman antara lain: UUD 1945 sebagai landasan hukum negara Indonesia, asas hukum yang adil yang merupakan dasar untuk memutus suatu perkara, dan kekuasaan kehakiman, yakni kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara terlepas dari pengaruh negara, pemerintah ataupun kekuasaan politik lainnya.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dikatakan demikian karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi. Maka dari itu diperlukan upaya hukum yang luar biasa pula untuk memberantas tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah dengan memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberatan hukuman terhadap terdakwa tindak pidana korupsi tidak semata-mata sebagai pembalasan yang tidak beralasan, pemberatan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini mempunyai beberapa tujuan antara lain: untuk menegakkan hukum dan keadilan, untuk kesejahteraan rakyat dan untuk pembaharuan hukum dan pembangunan hukum.

Judicial power by the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 is the independent power carried by a Supreme Court and judicial bodies underneath, and by a Constitutional Court, to organize judiciary to enforce the law and justice. The Supreme Court is the Supreme Court of the State of all courts, which in carrying out their duties free from the influence of government and other influences. The Supreme Court in giving the weighing of punishment should be in accordance with the values, norms, laws and regulations in force in Indonesia. Matters on which the Supreme Court in aggravate the punishment include: 1945 is the legal foundation of the Indonesian state, the legal principle of fair which is the basis for deciding a case, and judicial authorities, namely the independence of judges in deciding a case apart from the influence of the state, government or other political powers.
Corruption is an extraordinary crime, said that because of corruption may endanger the stability and security of the state and society, endanger the social and economic development of society, politics, and may even undermine democratic values and morality as they affect the unsupported corruption. Therefore required extraordinary legal remedy anyway to eradicate corruption. One way is to give a weighting of convictions for corruption. Weighting the punishment of the accused of corruption is not solely in retaliation unwarranted, weighting the punishment of perpetrators of criminal acts of corruption committed by the Supreme Court has several objectives: to enforce the law and justice, for the welfare of the people and for the renewal of the law and legal development.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin Hoesein
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis pembatasan objek pengujian peraturan perundang-undangan hanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagai mekanisme kontrol normatif agar terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal, sebagai upaya untuk mewujudkan tertib hukum dan kepastian hukum. Penelitian ini juga hendak menjelaskan dan menganalisis perkembangan pengaturan, pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung RI kurun waktu 1970 - 2003. Selanjutnya, penelitian ini juga hendak menganalisis lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan pengujian peraturan perundangan-undangan dalam kurun waktu 1970 - 2003 sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
D608
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Anzolla
"ABSTRAK
Kapal asing menjadi salah satu pilihan untuk mengangkut barang. Dalam hal ini, Indonesia memiliki potensi pemajakan atas jasa pelayaran luar negeri sebagai sumber penerimaan negara. Namun demikian, seringkali terjadi perbedaan interpretasi dalam penggunaan dasar hukum pemajakannya antara WP dan DJP. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis substansi penghasilan yang diterima oleh K, Ltd perusahaan pelayaran luar negeri dan perlakuan perpajakan yang tepat atas penghasilan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Substansi penghasilan yang diterima oleh K, Ltd merupakan imbalan dari jasa pelayaran di jalur internasional sehingga perlakuan pemajakan yang tepat merujuk kepada pasal 8 tentang shipping and air transport P3B Indonesia-Singapura. Selain itu, BUT yang timbul di kasus ini yaitu BUT jasa. Oleh sebab itu, diperlukan penegasan mengenai jenis BUT yang dapat terbentuk dari perusahaan pelayaran luar negeri dalam UU PPh dan pembenahan internal Mahkamah Agung dalam menentukan Majelis yang akan memutus suatu sengketa.

ABSTRACT
Foreign ships become one option to transport goods. In this case, Indonesia may tax income from International Traffic 39 s shipping as a source of state revenue. Nevertheless, there are some different interpretations in the use of the legal basis of taxation between taxpayers and Directorate General of Taxation. This thesis aims to analyze substance of income received by K, Ltd foreign shipping company and suitability of imposing tax on it. This research was using qualitative approach with literature review and in depth interview as data collection technique. Substance of Income received by K, Ltd is service fee in International Traffic 39 s shipping, so the impose should refer to Article 8 Tax Treaty Indonesia and Singapore about Shipping and Air Transport. Then, PE establishes in this case is Service PE. Hence it shows the necessities of clear PE definition that establish from foreign shipping company in Income Tax Law and Supreme Court Internal 39 s imporovement in assigning Judge to decide a dispute."
[;;, , ]: 2017
S67409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Suyuthi
Jakarta: Tatanusa, 2002
347.016 WIL p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto
"Sertipikat tanah merupakan alat bukti yang kuat dan autentik. Kekuatan sertipikat tanah merupakan jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat sebagai alat bukti sempurna sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam praktek sertipikat tanah tanpa jangka waktu tertentu dapat dibatalkan karena adanya cacad yuridis yaitu tidak dilakukan penelitian riwayat tanah sesuai keadaan sebenarnya. Adanya cacad yuridis memiliki implikasi hukum sertipikat dapat dibatalkan sedang kepada Kepala Kantor Pertanahan dapat dikenakan gugatan karena tidak milakukan fungsi kewenangannya sesuai Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUB).
Metode Penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder. Peran Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menilai proses tata cara penerbitan sertipikat obyek sengketa adalah menggunakan ketentuan perundangundangan yang berlaku dengan menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pembatalan sertipikat tanah merupakan salah sate bentuk penyelesaian sengketa hak atas tanah, dengan memberikan kesempatan kepada penggarap yang menurut peraturan perundang-undangan seharusnya mendapat prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah, sebagai wujud pemenuhan kepastian hukum dan kepastian hak bagi penggarap yang telah menguasai secara fisik atas tanah selama bertahun-tahun.

A certificate is a strong and authentic proof. The strength of certificate forms a guarantee of legal certainty for the holder of certificate as a perfect proof as long as there is no any other party who proves otherwise. In practice, the holder of certificate without specified period of time can loss his/her right due to suit of certificate cancellation because of juridical defect because the absence of investigation of land history in accordance with the real condition. A juridical defect has legal implication, the certificate can be cancelled while to the Head of Land Affair Office issuing the certificate can be sued because he didn't carry out function of his authority in accordance with Good Governance Generally Accepted Principles (AAtPB).
Research Method to be applied is a library research method to obtain secondary data. The Role of the Administrative Court within the framework of implementation in process of certificate issuance procedures in which its evaluation used the prevailing statutory regulations by discovering, following, understanding legal values and sense of justice existing in society. Cancellation of certificate is one of types of dispute settlement of land right by giving an opportunity to the cultivator whose according to the statutory regulation should obtain a priority to submit an application for land right, as realization of compliance of legal certainty and right certainty for the cultivator who has controlled physically the land for the years.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestariani
"Kesepakatan kedua calon mempelai dalam perkawinan menjadi syarat materil yang sifatnya absolut. Pada kasus diketahui bahwa kesepakatan/janji kawin dapat menjadi faktor terjadinya hubungan seks pra nikah. Hal ini sangat merugikan perempuan terlebih terjadi ingkar janji kawin dari pihak lelaki. Karenanya diperlukan suatu perangkat hukum untuk melindungi perempuan. Namun, apakah peraturan yang mengatur janji kawin telah memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan, apakah ingkar janji kawin telah mendapat pengaturan yang cukup sehingga dapat melindungi perempuan ataukah perlu pengaturan khusus, serta mengapa tindakan ingkar janji kawin dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan bukannya wanprestasi, hal ini menjadi bahasan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan metoda penelitian lapangan yang bersifat empiris, yaitu identifikasi terhadap hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan (adat) yang terkait janji kawin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan tentang janji kawin dalam Pasal 58 KUHPerdata dan Pasal 11, 12, 13 KHI serta penjelasan Pasal 6 (1) UU Perkawinan telah memberikan perlindungan yang cukup bagi kaum perempuan pada umumnya, yaitu dalam bentuk pencegahan agar perempuan tidak mempercayai janji kawin. Ingkar janji kawin tidak diatur dalam undang-undang, namun dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986, telah cukup untuk dijadikan acuan bagi perempuan yang dirugikan akibat ingkar janji kawin, sehingga tidak diperlukan pengaturan khusus. Ingkar janji kawin termasuk perbuatan melawan hukum karena ingkar janji kawin telah melanggar norma-norma adat dan kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan wanprestasi merupakan suatu bahasan dalam hukum perikatan yang hanya menyangkut keperdataan saja. Namun janji kawin perlu juga diatur secara jelas dalam UU Perkawinan agar dapat diketahui oleh masyarakat luas.

An agreement between two parties (in this case refers to a couple) to get into a marriage has been considered as an absolute material requirement. There is cases in which such an agreement would lead the couple to engage in a pre-marital sexual intercourse, which definitely brings harm more to the woman, and even worse if the agreement were violated by the man. However, is the law regulating the marriage promise has already provided a sufficient protection for the woman? Is the violation of the promise has been well regulated so that it can ensure that the woman victimized is really protected? Is there any need to make a new specific regulation concerning this matter? Why is the violation of this promise considered as a violation against the law, instead of misachievement? Such questions are those to be addressed in this research.
The research applies an empirical field research method, that is, identification on the unwritten law or customary law (traditional law) concerning the promise to a marriage.
The result shows that the jaw concerning this promise in the Article 58 of the Book of Civil Law and the Article 11, 12, and 13 of the Book of Islamic Law, as well as the Article 6 91) of the Law concerning Marriage have already provided a sufficient protection for the women in general, manifested in a prevention for the woman not to trust in such a promise. Such a false promise indeed is not regulated in the law. However, the Supreme Court's Jurisprudence No.3191 R/Pdt/1984 dated February 8th 1986 is considered to be sufficient to be treated as reference for the victimized women on this matter."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program, 2010
347.03 MAH
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Denis Kurniawan
"Tulisan ini menganalisa perlunya perluasan kompetensi absolut Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review (hak uji materiil) terhadap Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik sebagai objek pengujiannya (objectum litis). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Partai politik sebagai lembaga yang disebut eksistensi, kewenangan, serta pembubaranya secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar 1945 menjadikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik sebagai peraturan yang ditetapkan oleh suatu Partai Politik atas dasar perintah dari norma hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Partai Politik, sehingga materi muatan dan tata cara pembentukanya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena itu, apabila adanya ketidakharmonisan antara Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi harus diuji dari segi validitasnya sebagai norma hukum oleh mahkamah agung sebagai lembaga judicial control. Permohonan pengujian Perubahan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat Tahun 2020 melalui perkara Nomor 39 P/HUM/2021 tidak diputus oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan yang komperehensif, seharusnya pengujian tersebut dapat dilakukan secara progresif dengan melakukan terobosan hukum (rule breaking) demi melindungi hak konstitusional warga negara yang diabaikan dan dicederai oleh pemberlakuan suatu Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik.

This article analyzes the need to expand the absolute competence of the Supreme Court in conducting judicial reviews (right to judicial review) of the Articles of Association and/or Bylaws of Political Parties as the object of review (objectum litis). This article was prepared using doctrinal research methods. Political parties as institutions are known for their existence, authority and constitutional dissolution through the 1945 Constitution, making the Articles of Association and Bylaws of Political Parties as regulations established by a Political Party on the basis of orders from higher legal norms, namely the Law. Political Parties, so that the content and procedures for their formation must not conflict with the legal norms above. Therefore, if there is disharmony between the Articles of Association and/or Bylaws of a Political Party and higher statutory regulations, it must be tested in terms of its validity as a legal norm by the supreme court as a judicial control institution. The request for review of changes to the 2020 Democratic Party's Articles of Association and/or Bylaws through case Number 39 P/HUM/2021 was not decided by the Supreme Court with comprehensive considerations, the review should have been carried out progressively by carrying out legal breakthroughs (rule breaking) for the sake of protect the constitutional rights of citizens which are ignored and injured by the enactment of a Political Party's Articles of Association and/or Bylaws."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Doddy S. Soewito
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>