Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Ramadinan Saptara
"

Pasal 25(4) Konvensi ICSID memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pemberitahuan mengenai golongan sengketa penanaman modal yang dikecualikan dari yurisdiksi ICSID. Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2012 (“Keputusan Presiden 31/2012”) telah melakukan pemberitahuan untuk  mengecualikan sengketa penanaman modal yang timbul dari keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Namun, pemberitahuan mengenai pengecualian sengketa dianggap tidak dapat diberlakukan kecuali dimasukkan kedalam pasal dalam perjanjian investasi yang mengandung persetujuan negara terkait terhadap yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, ketentuan dalam pemberitahuan pengecualian Indonesia belum dimasukkan dalam seluruh perjanjian investasi yang mengikat Indonesia. Penelitian ini membahas, pertama, dampak hukum dari Keputusan Presiden 31/2012 terhadap pembatasan yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, penelitian ini membahas metode untuk menginkorporasi ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 dan pemberitahuan pengecualian Indonesia ke dalam klausul persetujuan terbatas dalam suatu perjanjian investasi. Penelitian ini juga membahas sejauh mana klausul persetujuan terbatas tersebut dapat digunakan untuk menolak yurisdiksi ICSID.  Dengan melakukan penelitian yuridis-normatif, dapat disimpulkan bahwa keberlakuan Keputusan Presiden 31/2012 akan membuat penyelesaian sengketa yang dikecualikan terbatas pada penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 harus dimasukkan dalam perjanjian investasi melalui cara reproduksi atau perubahan klausul persetujuan terbatas yang mengandung pengecualian dalam Keputusan Presiden 31/2012 juga tidak akan memiliki dampak terhadap penolakan yurisdiksi ICSID.

 


Article 25(4) of the ICSID Convention allows a state to notify the exclusion of certain classes of investment disputes from ICSID jurisdiction. Pursuant to this provision, the Indonesian government through Presidential Decree No. 31 of 2012 (“Presidential Decree 31/2012”) made a notification to exclude investment disputes arising from administrative decisions issued by the regency governments. Notifications of exclusion, however, are considered inoperable unless incorporated into the investment treaty provision expressing the notifying state’s consent to ICSID jurisdiction. Moreover, the terms of Indonesia’s notification of exclusion have not been included in any investment treaty that Indonesia is a party to. This research discusses, firstly, the legal consequence of Presidential Decree 31/2012 with regards to limiting ICSID jurisdiction. Secondly, this research discusses the methods through which the terms of Presidential Decree 31/2012 and Indonesia’s notification of exclusion may be incorporated into a limited consent clause of an investment treaty. Thirdly, this research also discusses the extent to which such a limited consent clause may be invoked to deny ICSID jurisdiction. By conducting a juridical normative legal research, it can be concluded that the operation of Presidential Decree 31/2012 would limit the forum for the settlement of the excluded disputes to the Indonesian Administrative Judiciary. Moreover, the terms of Presidential Decree 31/2012 would have to be incorporated into an investment treaty by way of reproduction or amendment. Further, a consent clause that expresses the exclusion made in Presidential Decree 31/2012 would be inconsequential in denying ICSID jurisdiction.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derek Gunawan Joedaatmadja
"Sengketa yang timbul dari hubungan kontraktual tidak dapat dihindari, sehingga sangat penting untuk para pihak memiliki metode penyelesaian sengketa. Salah satu metode yang umum digunakan saat ini adalah arbitrase. Banyak perjanjian arbitrase internasional saat ini yang menggunakan mekanisme berjenjang dimana para pihak sepakat untuk melakukan metode penyelesaian sengketa alternatif terlebih dahulu. Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi penting untuk memahami apakah klausul penyelesaian sengketa berjenjang merupakan perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat. Umumnya, dalam menentukan keabsahan klausul penyelesaian sengketa berjenjang, uji ‘tribunal versus claim’ akan digunakan untuk menyimpulkan apakah masalah dengan klausul tersebut berkaitan dengan yurisdiksi majelis arbitrase atau keabsahan klaim. Jika masalahnya terkait dengan yurisdiksi majelis arbitrase, masalah yang mendasarinya adalah bahwa para pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Di sisi lain, jika masalahnya adalah mengenai keabsahan klaim, para pihak dianggap setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, namun klaim tidak dapat diterima karena alasan-alasan seperti ketidaktepatan waktu atau prematur. Pengadilan Singapura dan Hong Kong SAR telah memutuskan klausul penyelesaian sengketa berjenjang melalui proses penangguhan arbitrase. Baik Pengadilan Singapura dan Pengadilan SAR Hong Kong telah memutuskan bahwa klausul penyelesaian sengketa berjenjang dapat diterima. Namun, Pengadilan Singapura memandang bahwa kegagalan untuk memenuhi serangkaian prasyarat membuat majelis arbitrase tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Di sisi lain, Pengadilan SAR Hong Kong memandang bahwa sejauh para pihak setuju untuk melaksanakan arbitrase, majelis arbitrase akan memiliki yurisdiksi dan dapat menggunakan yurisdiksi tersebut untuk memerintahkan para pihak untuk melakukan kegiatan apapun untuk memenuhi prasyarat tersebut. Ketentuan hukum Indonesia tidak secara khusus mengatur mengenai klausul penyelesaian sengketa berjenjang, namun klausul-klausul tersebut telah lazim dalam praktik.

Disputes arising from contractual relations is inevitable, it is imperative for the parties to have a method of dispute resolution. One of the commonly used method today is arbitration. Many present international arbitration agreements utilize a multi-tiered mechanism whereby parties will agree to conduct alternative dispute resolution methods first. In relation to the foregoing, it becomes important to understand whether a multi-tiered dispute resolution clause constitutes a valid and binding arbitration agreement. Generally, in determining the validity of a multi-tiered dispute resolution clause, a 'tribunal versus claim' test will be used to conclude whether the issue with such clause relates to the jurisdiction of the arbitral tribunal or the admissibility of a claim. Should the matter be regarding jurisdiction of an arbitral tribunal, the underlying issue is that parties have not properly agreed to resolve the dispute through arbitration. On the other hand, if the matter is concerning admissibility, the parties are deemed to agree to resolve the dispute through arbitration, however the claim is not admissible due to reasons such as untimeliness or prematurity. Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled on multi-tiered dispute resolution clauses through stay of arbitration proceedings. Both Singaporean and Hong Kong SAR Courts have ruled that a multi-tiered dispute resolution clause are acceptable. However, Singaporean Courts viewed that failure to fulfill a set of preconditions renders an arbitral tribunal to not have jurisdiction on the case. On the other hand, Hong Kong SAR Courts viewed that insofar the parties agree to arbitrate, the arbitral tribunal will have jurisdiction and may use such jurisdiction to instruct parties to conduct any activity to fulfill such preconditions. Indonesian statutory provisions do not necessarily shed a light on multi-tiered dispute resolution clauses, however such clauses are already prevalent in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binanda Afia Millenia
"Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB.

The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Stenny Mariani
"Skripsi ini membahas ketentuan CFC Rules Indonesia yang diterapkan atau dilaksanakan dalam rangka mencegah penghindaran pajak. Hal ini timbul karena adanya penghindaran pajak melalui capital light dan income flight yang mudah dilakukan tanpa terawasi dan terdeteksi oleh aparat pajak. Tujuan CFC rules yaitu mencegah Wajib Pajak memindahkan penghasilannya ke luar negeri dengan mendirikan perusahaan di negara yang peraturan perpajakan longgar atau rendah. Yang menjadi objek penelitian ini mulai dari jenis-jenis penghasilannya sampai dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Ini penting karena aturan yang ada sekarang belum mencakupi atas keseluruhan jenis penghasilan CFC. Penelitian ini juga melakukan perbandingan negara lain untuk mengetahui perkembangan di negara tersebut. Dari perbandingan tersebut peneliti bisa mengambil suatu kesimpulan dan saran atas ketentuan peraturan CFC. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Tujuan penelitian ini untuk memberikan gambaran pemahaman bagaimana penerapan ketentuan CFC Rules. Data-data penelitian diperoleh dari studi pustaka dan studi lapangan berupa wawancara. Wawancara mendalam dilakukan dengan pihak perpajakan dan ahli pajak. Hasil penelitian menyarankan yaitu melakukan perbaikan/revisi peraturan perpajakan yaitu tetap menggunakan pendekatan entitas, memperluas jenis penghasilan CFC yang tidak hanya mengatur dividen, adanya pengaturan atas kepemilikan tidak langsung, dan sebaiknya tidak menetapkan negara low tax jurisdiction, tetapi menetapkan ketentuan/syaratsyarat khusus dalam menentukan low tax jurisdiction. Saran lainnya adalah melakukan upaya peningkatan pengawasan deteksi terhadap penghindaran pajak CFC yaitu melakukan lebih banyak pendekatan ke negara low tax jurisdiction dan menyusun prosedur standar dalam melakukan pengumpulan, analisa, dan tindak lanjut atas data/informasi yang berasal dari profil-profil WPDN terkait penghindaran pajak WPDN melalui CFC.

The focus of this research is the CFC Rules of Indonesia that applied or executed in order to anti tax avoidance. This matter arising from tax avoidance through capital flight and income flight that are easy to be done without observed and detected by tax government institution. The goal of CFC rules that is preventing taxpayer to remove his income out to foreign company which is located in low tax jurisdiction country. The object of this research is started from types of income until efforts or action conducting by government. It is important because the existing rules do not include for all types of CFC income. This study also does comparison with another country to know the CFC rules development in another country. From comparing of the rules, researcher c a n take a conclusion and suggestion for existing rules in Indonesia. The approach used in this research is qualitative approach with descriptive type. The goal is to give a detail description how CFC rules applied in Indonesia. The data collection technique used in this research is reading of literature which focuses on the research, observation, and interview. The interview was done with tax government institution and tax expert. The suggestions of this research that are to keep using entity approach, to extend of type of CFC income that not only arrangement dividend, but also the arrangement existence for ownership of indirectly and to specify no low tax jurisdiction country, but to set down the specific requirement to determine low tax jurisdiction. Other suggestions are to improve detection tax avoidance by doing more approach to low tax jurisdiction state, and to arrange standard procedure of collecting data, analyzing, and follow up for information that comes from profile of residents who related to tax avoidance through CFC."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Farid
"ABSTRAK
Penduduk Sumatera Barat yang mayoritas masyarakat Minangkabau dikenal kuat berpegang kepada adat, tetapi dapat menerima perobahan norma yang disebabkan oleh pergantian penguasa yang lebih luas (negara). Aturan hukum yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau ada dua bentuk; aturan yang datang dari Tuhan (Islam) berupa Al-Quran dan Hadits, dan aturan adat yang juga terdiri dari dua unsur. Pertama yang bersifat esensial dan tidak dapat berobah, kedua yang dapat berobah dalam bentuk hasil mufakat rapat nagari. Dengan demikian aturan adat Minangkabau terdiri dari bentuk adat, adat istiadat, adat yang diadatkan, adat yang teradat. Adat adalah bentuk asli yang tidak dapat berobah seperti sistem garis keturunan nasab ibu, peran penghulu dan mamak, pembagian nagari menjadi suku, dan hukum alam sebagai dasar falsafah adat Minangkabau. Adat istiadat, adalah kebiasaan masyarakat untuk wilayah tertentu dalam wilayah Minangkabau, seperti aturan-aturan yang bersifat seremonial. Adat yang diadatkan, adalah sesuatu yang datang dari pemerintah (negara) atau pemerintah daerah, seperti peraturan luhak dan rantau yang kemudian dirobah oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi peraturan kelarasan. Adat yang teradat, adalah aturan berupa hasil kesepakatan rapat nagari. Di sini jelas bahwa aturan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau cukup bervariasi; hukum Islam, Aturan adat dengan segala bentuknya, hukum negara yang bekerja secara bersamaan dalam mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok masyarakat.
Setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka. Sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarkan kepentingan lembaga itu sendiri. Seperti apa yang pernah dikemukakan oleh Keebet V. Benda Beckmann tentang Forum Shopping dan Shopping Forum. Dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sistem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Inti kebudayaan atau model pengetahuan masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, yang antara lain adalah sistem kepercayaan dan organisasi sosial. Kedua unsur ini tidak hanya berhubungan dengan unsur-unsur ekonomi, bahasa dan komunikasi, kesenian, teknologi, ilmu pengetahuan masyarakat saja, tetapi juga menghubungkan pengaruh alam terhadap keteraturan, konflik, dan penyelesaian konflik, Hal ini disebabkan karena sistem kepercayaan dapat menjadi sumber norma (hukum agama), dan organisasi sosial dapat membentuk norma pula (hukum adat dan hukum negara), Keduanya dapat mengatur masalah yang sama dalam masyarakat yang sama pula. Karena itu hukum agama, hukum adat, dan hukum negara dapat menciptakan keteraturan. Tetapi juga dapat menimbulkan konflik, yang juga dapat memberikan penyelesaian.
Pendekatan antropologi hukum yang digunakan dalam membuktikan kerangka teoritis di atas adalah metode kasus sengketa (Hoebel, 1983) untuk dapat memudahkan mencari hukum apa yang berlaku. Karena model ini membutuhkan waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan mentode kasus non-sengketa (Holleman, 1986) untuk menemukan ide atau prinsip normatif yang terkandung dibelakang prilaku hukum yang aktual. Untuk menghubungkan individu sebagai pusat analisis dengan lingkungannya digunakan metode kasus yang diperluas (Van Velaen, 1967) dan konsep semi-autonomous social fiel ( Moore, 1983).
Wilayah Sumatera Barat sekarang hanya sebagian dari wilayah Minangkabau lama, tetapi daerah utamanya memang Sumatera Barat sekarang, sehingga sering dipahami bahwa Minangkabau itu adalah Sumatera Barat. Padahal wilayah Sumatera Barat ada yang bukan Minangkabau seperti Mentawai. Berdasarkan kondisi alamnya mata pencaharian dan perekonomian masyarakat mangandalkan pertanian yang bergerak menjadi semitradisional. Berdasarkan mata pencaharian dan perekonomian ini muncul kelas sosial petani pemilik tanah yang lebih tinggi derajatnya dan petani penggarap (orang manapek). Walaupun ada profesi lain yang dianggap terhormat oleh masyarakat seperti pedagang atau pengusaha, PNS dan ABRI (pejabat negara) tetapi jumlahnya sedikit, sehingga dalam ceremonial dan perlakuan adat tetap mengacu kepada dua kelas tersebut.
Walaupun agama masyarakat keseluruhan Islam, tetapi kepercayaan mereka dapat dikategorikan menjadi; yang berpendidikan SLTP ke bawah mencampurkan Islam dengan Mitos, SLTP dan SLTA peralihan antara bentuk pertama dengan Islam rasional, SLTA ke atas mempraktekkan Islam secara moderat dan rasional.
Dalam kasus-kasus perkawinan masyarakat Minangkabau memilih norma yang ada dengan mempertimbangkan status sosialnya dalam masyarakat, politik dan ekonomi, agama untuk dapat mencapai penyelesaian sesuai dengan yang diinginkan. Mereka tidak akan memilih lembaga adat kalau status sosial mereka secara adat lemah, seperti kelompok masyarakat manapek mereka lebih memilih hukum agama dan hukum negera. Atau bisa saja mereka menggabung ketiga sistem hukum tersebut, seperti dalam kasus perceraian. Untuk memutus perkara mereka pilih Pengadilan Agama dan hukum Islam, tetapi untuk pembagian harta bersama dan pengasuhan anak menggunakan aturan adat. Ketika terjadi pertentangan antara norma adat dengan lainnya, tetapi masyarakat nekad untuk melanggar norma adat dan memilih norma lain, maka mereka akan mendapat sangsi dari lembaga adat, Seperti melanggar aturan larangan menikah bagi orang satu suku. Semua ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang penulis ungkap dalam bab IV,
Dalam kasus sengketa kewarisan masyarakat Minangkabau menggunakan lembaga adat untuk harta pusaka tinggi. Sementara untuk harta bersama mereka sering menyelesaikannya dengan pendekatan kekeluargaan melalui pesan mamak, sehingga akhirnya pengaruh norma adat lebih kental dari hukum Islam dan hukum negara. Inilah penyebabnya masyarakat Minangkabau tidak pernah membawa perkara kewarisan mereka ke pengadilan agama atau pengadilan negeri. Pola penyelesaian kasus sengketa waris masih sama seperti sebelum berlakunya undang-undang tentang Pengadilan Agama.
Masalah perwakafan tidak dikenal dalam adat Minangkabau, sehingga mereka murni menggunakan aturan wakaf menurut agama Islam, Cuma saja mereka mensyaratkan kalau harta yang akan diwakafkan adalah harta pusaka tinggi harus melalui persetujuan anggota paruik yang berhak. Kalau itu harta pusaka rendah pemilik babas mewakafkannya sesuai hukum Islam. Cuma saja sering terjadi proses wakaf hanya dengan aturan hukum Islam saja, tanpa mematuhi hukum negara sehingga tanah wakaf sering tidak memiliki sertfikat.
Dari beberapa kasus yang penulis ungkap dapat dibuktikan bahwa norma-norma yang berlaku di masyarakat Minangkabau bersumber dari sistem kepercayaan (Islam), dan organisasi sosial yang menimbulkan hukum adat dan hukum negara. Semua norma ini saling berinteraksi dan dapat menjadi sumber keteraturan, konflik, dan juga sebagai sumber penyelesaian konflik. Dengan demikian kewenangan peradilan agama tidak hanya diatur oleh hukum negara, tetapi juga oleh norma-norma lain. Untuk itu pengadilan agama harus memperhatikan norma-norma lain tersebut dalam memutus perkara, atau pendekatan pluralisme hukum adalah pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam kewenangan peradilan agama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Hendra Winarta
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang Bantuan Hukum di Indonesia yang merupakan suatu hak asasi manusia dan bukan merupakan betas kasihan, penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi bagi masyarakat, pemerintah dan para penegak hukum bahwa Bantuan Hukum berhak diperoleh oleh siapa saja yang memerlukannya termasuk orang miskin.
Penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan atau menyajikan data yang akurat, yang diperoleh secara lengkap mengenai konsepsi dari bantuan hukum di Indonesia dengan meneliti data sekunder berupa literatur-literatur, teori-leori, dokrin-dokrin, perundang-undangan atau peraturan-peraturan serta konvensi-konvensi Internasional yang berkaitan dengan bantuan hukum.
Selanjutnya Penelitian empiris dilakukan berdasarkan pengalaman praktek di kantor Advokat dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat terutama yang tidak mampu, mempunyai persepsi yang keliru mengenai bantuan hukum. Bantuan hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, waras kulit, ideologi, kaya miskin, agama dan kelompok orang yang dibelanya. Terkonsentrasinya advokat dikota-kota besar menyebabkan masyarakat miskin yang sebagian besar tinggal di desa-desa tidak dapat memperoleh bantuan hukum secara wajar.
Tujuan gerakan bantuan hukum ini dapat dicapai dengan pencapaian sistem peradilan pidana yang terpadu, peningkatan pendidikan, profesionalisme dan gaji dari polisi, jaksa, hakim, pekerja pemasyarakatan dan advokat. Keberhasilan gerakan bantuan hukum sebagai gerakan konstitusional melindungi hak orang miskin akan dapat meredam potensi ledakan gejolak sosial dan keresahan sosial, selain itu keberhasilan gerakan bantuan hukum juga dapat mengembalikan wibawa hukum dan wibawa pengadilan yang telah terpuruk selama ini.
Dalam rangka memperbaiki keadaan sistem peradilan pidana perlu dipikirkan amandemen dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman agar sistem peradilan yang independen dan imparsial dapat tercapai.
Maksud perbaikan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebenarnya mengandung pesan dan makna yang lebih luas, yakni perbaikan dan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa kekuasaan negara sebaiknya dibagi dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan negara hendaknya dibatasi oleh hak asasi manusia agar negara tidak berbuat sewenang-wenang dan menyalah gunakan kekuasaannya terhadap individu.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikal dari 3.500 organisasi bantuan hukum memperoleh dana US $ 350,000,000.00 per tahun dari pemerintah yang jumlahnya ditingkatkan sejak pemerintahan Presiden Jimmy Carter sampai sekarang. Dalam konteks Indonesia pemerintah belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai. Dari sekitar 300 organisasi bantuan hukum yang ada di Indonesia jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berpenduduk 200 juta tentunya masih dianggap tidak sesuai, walaupun sebagian besar bantuan hukum tersebut berpraktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan padahal bantuan hukum itu sifatnya pro deo (demi Tuhan) tidak dipungut bayaran (fee) karena disediakan untuk orang miskin, dan oleh karena itu bersifat non komersial kecuali di pungut biaya unluk ongkos administrasi.
Menurut Pasal 34 UUD 1945 fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara.Jadi, persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial yang merupakan salah satu cara untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum. Selain itu dapat pula negara c.q. pemerintah mengimbangi kewajibannya untuk menyediakan penuntut umum atau Jaksa (public prosecutor) dengan juga menyediakan pembela umum (public defender)."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Rony Agustinus
"Upaya paksa dan tidak ditahannya terdakwa atau penangguhan penahanan banyak menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat, yang dalam batas-batas apakah upaya paksa penahanan diperlukan dalam proses pemeriksaan terdakwa di peradilan. Suatu hal yang menarik perhatian apabila penangguhan penahanan tidak diperlukan lagi ditingkat peradilan, mengingat pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa dan penuntut umum diwajibkan menghadirkan terdakwa di persidangan. Di dalam upaya penangguhan penahanan paling tidak terkait oleh dua kepentingan yaitu apabila dilihat dari hak terdakwa adalah memperjuangkan asas praduga tidak bersalah sedangkan disisi aparat penegak hukum upaya paksa penahanan adalah guna kepentingan proses pemeriksaannya yang patutnya dalam rangka perlindungan masyarakat dimana sifat dari pelaksanaan upaya paksa di satu sisi adalah upaya untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal kaburnya terdakwa di perlukan perhatian dalam hal perlunya dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan atau penuntutan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangatlah penting. Menjadi keharusan dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang lama, untuk mencapainya dibutuhkan mekanisme yang terarah, kitidakpaduan antara sub system administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah Izzatullaili
"Dewasa ini, banyak jurits Indonesia menegaskan formasi sosial dominan ulama tradisional terhadap kecenderungan afirmatif bahwa beda agama nienjadi salah satu kendala (mani') untuk waris mewarisi tidak lagi relevan dengan kondisi multi kultur dan multi agama masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka menyatakan bahwa disparitas perolehan harta warisan secara kuantitas berdasarkan perbedaan agama (religion disaggregated) secara perlahan akan luntur sesuai dengan tingkat kemajemukan masyarakat Indonesia yang tinggi. Dan seyogyanya beralih, melalui tindakan kebijaksanaan hukum (legal policy) negara Indonesia ke antitesisnya, yaitu beda agama bukan halangan mendapat hak waris secara resiprokal.
Terkait dengan itu, politik hukum pentndang-undangan Indonesia di bidang perdata Islam tidak melegalkan waris beda agama. Sebaliknya hukum perdata adat dan Barat yang masih berlaku di Indonesia mengakui praktek pemberian hak waris beda agama. Fenomena pernberlakuan beberapa sistem hukum ini mengurai fakta adanya perbedaan materi hukum perdata secara konseptual dari sudut yuridis normatif. Hai ini pada tahap selanjutnya berpotensi menciptakan kondisi tidak sehat daiam masyarakat dan chaos dalam pelaksanaan hukumnya (law enforcement).
Penelitian ini bertujuan untuk untuk menggambarkan secara deskriptif dan melacak faktor-faktor penyebab konflik yang kerap kali terjadi di bidang hukum perdata Indonesia terutama yang terkait dengan hak waris beda agama dan lantas memproyeksikan formasi sosial yang mampu melakukan konstruksi makna (signifrkansi) tentang waris beda agama secara verbal dalam suatu cara yang dapat. diterima oleh masyarakat dan persepsinya terhadap realitas pluralitas dan heterogenitas struktur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model pengkajian kualitatif deskriptif dengan pemilihan studi kasus (case study) sebagai strategi penelitian.
Adapun pengumpulan data dibatasi pada dari data-data yang terdapat pada Mahkamah Agung yang mengulas secara khusus tentang putusan kasus gugatan waris beda agama dari tahun 1990-2000. Sedangkan karakteristik data tersebut berupa data dokumen dan data kasus. Adapun strategi analisis bukti studi kasus dikembangkan dengan mengikuti proposisi teoritis dan mengembangkan deskripsi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaksinkronan elemen-elemen sistem hukum bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengakibatkan muncul konflik. Tetapi konflik pada mulanya muncul akibat ketimpangan pemenuhan kebutuhan primordial yang dilakukan dengan mengorbankan pemenuhan hak orang lain, Dengan demikian, konflik dalam sistem hukum dilatarbetakangi oleh konflik lain di luar hukum. Bahwa upaya penyelesaian persoalan di luar jalur hukum, negosiasi misalnya, belum tercapai.
Secara khusus, konflik dalam sistem hukum terjadi karena dua hal yang saling berkaitan, pertama, adanya dua sistem hukum atau lebih yang berbeda secara diametral, dan kedua, beberapa sistem hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan menguasai peristiwa hukum. Adapun konkretasi bentuk-bentuk konflik dapat dideskripsikan dalam tiga pointer, pertama, konflik dalam tingkat struktur hukum (legal structure), kedua, konflik dalam tingkat substansi hukum (legal substance) dan ketiga, konflik dalam tingkat budaya hukum (legal culture). Bertolak dari konsepsi hukum sebagai sistem, konflik secara spesifik diakibatkan oleh (1) masalah interpretasi; (2) masalah yurisdiksi; (3) masalah legitimasi; dan (4) masalah sanksi. Selain itu, konflik juga terjadi akibat pengaruh historis tarik ulur beberapa sistem hukum yang dilakukan oleh penjajah kolonial. Akhirnya, persoalan peinberian hak waris beda agama tidak selalu ditimbulkan oleh degradasi kesadaran terhadap hukum tetapi oleh tuntutan menegakkan keadilan bagi manusia.

Formerly, there are a lot of Indonesian juries which emphasized that dominant social formation of traditional ulama is no longer relevant to assess that diversity on religions affirmatively become an obstacle (mani') in heir system of Indonesian multi culture and religion. Therefore, they stated that their quantity disparity on subject to religion disaggregated is changeable along with higher Indonesian complexity society.
In line to that case, Indonesian law policy of Islam civil justice did not legalize heir in religion diversity. On the contrary, western and traditional law still recognized and legalize heir in religion diversity. This phenomenon is potentially creates unhealthy situation on civil society and probably become source of chaotic situation on law enforcement manners.
This study tries to describe and tracing conflict causal factors often happened in Indonesian civil justice, specially hooked with heir in religion diversity. These research also projected on how social formation able to signified heir law on Indonesian plurality. Therefore, this study used descriptive qualitative examination model and case study as research strategy. This study use document from High Court specifically reviewed religions diversity hair cases from 1990 to 2000.
Research found that failure on synchronization of law system elements was not the only factors to determine conflicts. Conflict arises as consequences of failure to occupy primordially needs by sacrifice other rightful authority. Therefore, conflict in law system surrounded by outer law issues backgrounds.
Specifically, conflict in law system occurred as per two bounded causes. First, the existence of two or more law difference systems. Second, these differences law system has equal degree and dominating law affair.
Furthermore, conflict shapes could be describes on three points; legal structure, legal substance, and legal culture. Underpinned from law as law concept, conflict also specifically caused by (1) interpretations predicament; (2) justice predicament; (3) legitimate predicament and (4) sanctions predicament. Besides that, conflicts also accomplished as the effect of historical resistance of some different law system by colonizer.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Firman Alamsyah
"Pokok permasalahan yang dapat diidentifikasi oleh Penulis untuk dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
Apakah status yuridis dari iuran Pensiun Pegawai Negeri yang dipotong dari penghasilannya tiap bulan pada PT. Taspen (Persero) merupakan Keuangan Negara?
Apakah dasar kewenangan Menteri Keuangan menetapkan akumulasi iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil sebagai salah satu sumber pembiayaan pembayaran pensiun Pegawai Negeri Sipil?
Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban atas penggunaan iuran Pegawai Negeri yang dikelola PT Taspen (Persero) dan segi pemeriksaannya?
Tujuan Penelitian
Untuk memahami dan mengetahui apakab status yuridis dari iuran pensiun Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT Taspen (Persero) termasuk pengertian Keuangan Negara atau bukan; Untuk mengetahui dasar kewenangan dari Menteri Keuangan menetapkan akumulasi iuran Pensiun Pegawai Negeri sebagai sumber pembiayaan pembayaran pensiun Pegawai Negeri. Sipil, selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk memahami dan mengetahui mekanisme pertanggungjawaban atas penggunaan iuran Pegawai Negeri yang dikelola PT Taspen (Persero) dan segi pemeriksaannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marimin
"ABSTRAK
Tindak pidana perikanan (illegal fishing) di Exclusive Economic Zone atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) menjadi salah satu isu global yang dihadapi oleh negara-negara didunia. Indonesia juga terkena dampaknya adanya tindak pidana perikanan (illegal fishing) antara lain kerugiann yang cukup besar, kerusakan ekosistem dan sumber daya perikanan di laut serta menyangkut hak kedaulatan negara Indonesia. Tesis ini membahas ketentuan tindak pidana perikanan (illegal fishing), penerapan yurisdiksi negara dan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi dan mengadili tindak pidana perikanan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dalam rangka mengetahui penerapan yurisdiksi negara untuk menanggulangi dan mengadili tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Nasional telah mengatur kewenangan Indonesia sebagai negara pantai menerapkan yurisdiksi negara untuk mengadili dan menanggulangi tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Dalam penegakan hukum terdapat titik kelemahan yaitu hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antar negara yang bersangkutan atau setiap bentuk hukum badan lainnya. Upaya yang dapat dilakukan kerjasama internasional maupun asean dan patroli bersama antar aparat penegak hukum di ZEEI.

ABSTRACT
Fisheries (illegal fishing) in the Exclusive Economic Zone (EEZ) is one of the global issues faced by countries in the world. Indonesia is also affected by the occurrence of fisheries crime (illegal fishing), including significant losses, damage to ecosystems and fisheries resources in the sea and concerning the sovereign rights of Indonesia. This thesis discusses the provisions of fisheries crime (illegal fishing), the application of state jurisdiction and efforts made to tackle and adjudicate fisheries crime using a normative juridical approach method with analytical descriptive research specifications in order to know the application of state jurisdiction to tackle and adjudicate fisheries crime in Indonesian Exclusive Economic Zone. The provisions of International Law and National Law have regulated Indonesia's authority as a coastal state to apply state jurisdiction to prosecute and tackle fisheries in the Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEEI). In law enforcement there is a weakness point, namely that the coastal state punishment imposed on violations of fisheries legislation in the EEZ may not include confinement, if there is no reverse agreement between the countries concerned or any other form of legal entity. Efforts can be made both international and ASEAN cooperation and joint patrols between law enforcement officers in ZEEI.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>