Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Evie Zoel Via
"Masyarakat mengeluhkan, bahwa badan peradilzm tidak dapat dipercaya. Alasannya adalah bahwa putusan-putusan hakim lcurang bcrkualilas, proses beracara di pcngadilan tidak memuaskan. Akibat dari ketidak percayaan masyarakat tersebut, berdampak pada kecurigaan terhadap kinerja hakim dan keputus asaan untuk berperkara di pengadilan. Bahkan pandangan masyarakat oenderung melecehkan serta menghinakan badan peradilan tersebut.
Berdasarkan penelitian penulis, didapat bahwa pemlasalahan yang ada adalah dikarenakan masih kurangnya ilmu, pengetahuan dan pengalaman dari hakim yang bersangkutan. Selain itu belum adanya pendidikan lanjutan dan pembinaan bagi hakim setelah menjadi hakim. Dan selebihnya adalah bergantung pada sikap dan moral hakim itu sendiri dalam memerankan tugasnya.
Sebelum mcnjadi hakim, calon hakim dididik dan dilatih oleh Pusdiklat Mahkamah Agung. Pendidikan dan pelatihan itu mcncakup tentang lmu hukum dan teknik beracara di pengadilan. Namun di dalam silabus pendidkan calon hakim tahun 2006, tidak mengajarkan pendidikan moral yang bcrhubungan dcngan perilaku bagi calon hakim tersebut. Dalam mcmutuskan perkara, seorang hakim diharapkan oleh masyarakat terutama bagi pihak-pihak berperlcara untuk adil, bii3kS&1I'13, berhati-hati, lidak memihak dan dapat mengendalikan kemauan pribadi yang dapat merugikan pihak-pihak beqaerkara.
Guna meningkatkan pengendalian diri seorang hakim terhadap kcmuan pribadlnya, penulis bermaksud melakukan intervensi terhadap pendidikan calon hakim melalui program pelatihan Self Control (pengendalian diri), agar calon hakim merasa membutuhkan ilmu tersebut, dapat memahami inti pokok pelatihan dan pengetahuan tentang pengendalian dirinya bertambah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
TA34076
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nana Permana
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui eksistensi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan independensi hakim Pengadilan Pajak terkait dengan eksistensi Pengadilan Pajak tersebut. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah eksistensi Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan bagaimanakah independensi hakim Pengadilan Pajak terkait dengan eksistensi tersebut. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah yuridis normatif dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Eksistensi Pengadilan Pajak tidak disebut tegas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Pajak di Indonesia adalah pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan oleh Kementerian Keuangan menimbulkan keraguan atas independensi hakim pengadilan pajak. Putusan Pengadilan Pajak 2011-2015 sebagian besar mengabulkan permohonan Wajib Pajak dan putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Pajak, mengindikasikan independensi hakim Pengadilan Pajak tetap dijaga walaupun pembinaan masih dua atap. Disarankan dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak agar sesuai dengan integrated justice system yang dianut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the existence of the Tax Court in the Indonesian judicial system and the independence of the Tax Court judge related to the existence of the Tax Court. This research question is how the existence of the Tax Court in the judicial system in Indonesia and how the independence of judges Tax Court of existence. This type of research conducted by the author is normative with descriptive qualitative research methods. The existence of the Tax Court is not mentioned expressly in the Act No. 14 of 2002 concerning the Tax Court. According to Law Number 48 Year 2009 regarding Judicial Power and Law Number 51 Year 2009 on State Administrative Court, the Tax Court in Indonesia is a special court in the administrative courts exercising judicial power to the taxpayer or tax insurer seek fairness to tax disputes. Technical assistance by the Supreme Court while organizational development, administration, and finance by the Ministry of Finance raised doubts over the independence of the tax court judge. Tax Court Decisions 2011-2015 largely granted the taxpayer and the decision of Supreme Court upheld the Tax Court's decision, indicating the independence of the Tax Court judge kept although assistancing is still two roofs. Suggested revision of Law No. 14 of 2002 concerning the Tax Court to match the integrated justice system adopted Act No. 48 of 2009"
2016
T46397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Reny R. Masu
"Sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan satu jaringan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini terdiri atas unsur-unsur yang memiliki interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Namun, setiap subsistem hanya dapat berfroses jika digerakkan oleh komponen-komponen dalam subsistem tersebut. Salah satu komponen subsistem yang memiliki kedudukan sentral adalah pengadilan yang bert.ugas mengadakan pemeriksaan perkara pidana dan juga mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Peran dan tanggung jawab sebagai hakim wasmat merupakan kelanjutan dari putusan yang telah dijatuhkannya dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim wasmat mengikuti putusannya sampai mengetahui bahwa pidana yang telah dikenakan kepada napi dapat bermanfaat dan apakah pelaksanaan pembinaan terhadap napi didasarkan kepada hak-hak asasi napi, yang ditujukan demi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana umumnya dan khususnya agar napi tidak melakukan kejahatan lagi. Hal lain yang tampak dalam pengaturan mengenai hakim wasmat adalah bahwa hakim wasmat merupakan penghubung antara subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Jika tidak ada hakim wasmat, LP tidak termasuk atau terlepas dari proses peradilan pidana berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia. Dikatakan demikian karena satusatunya bab yang mengatur keberadaan LP di dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah Bab XX Pasal 277-283 KUHAP di bawah titel pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan. Selain pengawasan kepada petugas LP, juga pengawasan ditujukan kepada jaksa sebagai eksekutor untuk mengetahui apakah jaksa telah melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab serta tujuan yang ingin dicapai melalui hakim wasmat seperti di atas, maka tampak bahwa keberadaan hakim wasmat sangatlah penting dan mulia sehingga tidak dapat dikesampangkan begitu saja. Tujuan tersebut dapat dicapai jika hakim pengawas dan pengamat dapat berperan secara efektif. Berdasarkan metode wawancara dan observasi penulis memperoleh data bahwa pada kenyataannya, hakim wasmat belum melaksanakan perannya secara efektif dalam hal ini ia terbentur dengan pemahaman bahwa kehadirannya mengintervensi LP dan kenyataan bahwa LP secara langsung maupun melalui UU No. 12 tahun 1995, tidak menghendaki campur tangan hakim wasmat dalam masalah-masalah teknis pelaksanaan pembinaan napi termasuk dalam hal ini mengadakan kontrol maupun koreksi terhadap lembaga pemasyarakatan. Adapun masalah lain yang dihadapi oleh hakim wasmat adalah belum adanya peraturan pelaksanaan dalam melaksanakan peranannya, kurangnya fasilitas dan terbatasnya tenaga hakim wasmat serta tidak adanya dana operasional dalam melaksanakan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harman Benediktus
"Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan pemberlakuan kembali UUD 1945. Sejauh menyangkut kekuasaan kehakiman, UUD 1945 mengaturnya dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Baik dalam kedua Pasal tersebut maupun dalam penjelasannya dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman bukan bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, ia merupakan kekuasaan negara yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, UUD mensyaratkan pula agar UU menjamin kedudukan hakim-hakim. Tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim, UUD juga meminta kedua masalah itu diatur dalam UU disertai larangan kepada pembuat UU untuk mereduksi atau mengurangi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat agar ia leluasa dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu menerapkan Cita Hukum (Rechtsidee) dalam perkara-perkara kongkret. Artinya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya harus menjadikan .Cita Hukum sebagai patokan dasar mengenai adil dan tidak adil dan karenanya dapat mengesampingkan segala peraturan produk kekuasaan negara lainnya jika diyakininya bertentangan dengan Cita Hukum.
Pada tingkat pelaksanaan, karakter kekuasaan kehakiman sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang diterapkan. Jika konfigurasi politiknya demokratis maka kekuasaan kehakiman akan tampil otonom, terpisah dari kekuasaan pemerintahan negara dan dalam menjalankan fungsinya tidak dipengaruhi dan dikendalikan kehendak-kepentingan kekuasaan negara lainnya. Sebaliknya jika konfigurasi politik yang diterapkan tidak demokratis atau otoriter maka kekuasaan kehakiman tampil tidak otonom, menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara, dan karena itu hanya menjalankan fungsi sebagai instrumen untuk melaksanakan dan mengamankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari konfigurasi politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 itu, terdapat dua model sistem politik yang berlaku di Indonesia yaitu sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan sistem politik Demokrasi Pancasila (1965-1996/1997). Pada era sistem politik Demokrasi Terpimpin kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 19 tahun 1964 dan UU No 13 tahun 1965. Sedangkan pada periode sistem politik Demokrasi Pancasila, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No 14 tahun 1970 sebagai UU pokok dan beberapa peraturan perundangan lainnya. Dari penelitian ini terlihat bahwa konfigurasi politik yang executive heavy sangat mewarnai proses pembentukan UU yang mengatur kekuasaan kehakiman. Kedudukan kekuasaan kehakiman menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara dan fungsi utamanya ialah menjalankan kebijakan yang ditetapkan kekuasaan pemerintahan negara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bustanul Arifin
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek komunikasi yang sangat kecil di dalam interaksi sosial. Aspek komunikasi itu yang menjadi fokus kajian ini, adalah tindak tutur (speech act), yang termasuk kajian pragmatic atau sosiolinguistik. Dalam penelitian ini tindak tutur yang ditelaah adalah yang berbentuk pertanyaan dan jawaban dalam peristiwa tutur di pengadilan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tiga jenis tujuan, yaitu (1) mendeskripsikan ciri kebahasaan berbagai jenis bentuk bahasa pertanyaan yang dipakai dalam sidang pengadilan, (2) mendeskripsikan berbagai jenis fungsi pragmatis pertanyaan yang dipakai dalam sidang pengadilan, dan (3) mendeskripsikan jawaban terdakwa/saksi terhadap pertanyaan hakim, jaksa, dan pembela dilihat dari prinsip kerja sama dan klasifikasi maksim percakapan Grice.
Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan kualitatif. Data penelitian berwujud (1) bentuk bahasa yang digunakan bertanya dalam peristiwa tutur di pengadilan, (2) fungsi pragmatis penggunaan pertanyaan di pengadilan, dan (3) jawaban terdakwa/saksi yang menggambarkan adanya prinsip kerja sama dan maksim percakapan. Data itu diperoleh dari sumber data tiga puluh satu orang dengan rincian: enam orang hakim, enam orang jaksa, dua orang pembela, dan tujuh belas orang terdakwa/saksi. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik mendengarkan dan menyimak selektif pada saat sumber data melakukan kegiatan percakapan formal di ruang sidang pengadilan.
Instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data berupa tape recorder (untuk merekam percakapan antara hakim, jaksa, dan pembela dengan terdakwa/saksi) dan lembar catatan lapangan (untuk merekam situasi atau konteks percakapan). Kegiatan analisis data dimulai dengan pengidentifikasian pertanyaan dan jawaban melalui pentranskripsian rekaman tuturan subjek penelitian. Langkah selanjutnya adalah pengidentifikasian dan pengk1asifikasian bentuk bahasa pertanyaan, jenisjenis fungsi pragmatis pertanyaan, dan jawaban pertanyaan yang menggambarkan prinsip kerja sama dan maksim percakapan.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dalam interaksi kebahasaan di pengadilan ditemukan empat belas bentuk Bahasa pertanyaan yang digunakan o1eh hakim,jaksa dan pembel. Keempat belas bentuk pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang dibentuk dengan menggunakan (1) kalimat Tanya, (2) Kata Tanya apa, (3) Kata Tanya siapa, (4) kata tanya bagaimana, (7) kata Tanya kapan,(8) kata Tanya mana, (9) frase tanya di/ke/darimana, (10) partikel Tanya kah (11) partikel tanya kan, (12) partikel Tanya ya, (13) partikel Tanya masa dan (14) partikel Tanya kok.
Pertanyaan hakim, jaksa dan pembela, dalam sidang pengadilan hanya digunakanuntuk menyampaikan tiga tindak tutur yaitu (1) tindak direktif, (2) tindak ekspresif (3) tindak representatif. Tindak direktif meliputi tindak meminta informasi, meminta konfirmasi, menguji dan memberi saran. Tindak ekspresif meliputi tindak menyampaikan rasa tidak puasdan menyampaikan basa-basi. Dan tindak representatif berupa tindak meminta penegasan maksud tuturan.
Secara umum jawaban terdakwa/saksi telah menggambarkan penerapan prinsip umum PKS Grice dan menaati keempat maksimnya, yakni maksim kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Akan tetapi, terdapat sejumlah jawaban terdakwa/saksi yang dinilai melanggar maksim PKS Grice. Maksim PKS Grice yang dilanggar adalah maksim kuantitas (submaksim kedua), maksim kualitas, dan maksim hubungan. Pelanggaran maksim PKS Grice pada jawaaban terdakwa/saksi tersebut tidak dapat dijelaskan dengan prinsip pragmatik yang lain, misalnya prinsip sopan-santun Leech (1985). Hal ini karena tanya-jawab di pengadilan merupakan percakapan formal, dengan topik dan target yang jelas, sehingga tidak ditemukan pertanyaan dan jawaban tidak langsung yang dapat melahirkan implikatur percakapan, yang mungkin dapat dijelaskan dengan prinsip sopan-santun Leech.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa pelanggaran maksim PKS Grice lebih disebabkan oleh adanya keinginan terdakwa/saksi untuk menghindar dari tanggung jawab dari dakwaan atau membela diri dari tekanan pertanyaan yang diajukan.

This study aims at describing a very small communication aspect in social interactions. The communication aspect, which is the focus of this study, is the speech act, which can be studied under pragmatics or sociolinguistics. The speech act investigated in this study is the questions and answers in dialogues in court.
This study has three purposes, namely: (1) to describe the linguistic characteristics,of various types of language forms of questions used in trial, (2) to describe various pragmatic functions of questions used in trial, and (3) to describe the suspect's or witness's answers to the questions of the judge, prosecutor, and attorney under the consideration of Cooperative Principle and conversation maxims of Brice.
This study is qualitative in nature. The data , are in the form of: (I) language forms used in asking questions in the dialogue in court, (2) pragmatic functions of the use of questions in court, and (3) the answers of defendant or witness indicating the existence of cooperation principless and conversation maxims, were provided by thirty-one respondents which include six judges, six prosecutors, two attorneys, and seventeen defendants/witnesses. The data were collected through selective listening to the subjects speaking formally in court.
The instruments of data collection are a tape recorder (for recording the conversations between the judge, prosecutor, attorney, and defendant/wineses) and obsevation sheets (for recording the situation or context of conversation). The data analysis began with the identification of questions and answers from transcripts of the tape-recorded conversations between subjects. The next step is identifying and classifying the language forms of questions, types of pragmatic functions of questions and the answers which indicate cooperative principle and conversation maxims.
The results of this study show that there are fourteen language forms of questions used by the judge, prosecutor, and attorney in linguistic interaction in court. The fourteen questions are those which are formed by using (1) question intonation, (2) question word apa (what), (3) question word siapa (who), (4) question word mengapa (why), (5) question word berapa ( How many/much), (6) question word bagaimana (how), (7) question word kapan (when),(8 )quetion word mana (where), (9)question phrase d i/ ke/darimana (where or where to/ f rom), { 1 0 ) question particle kah (11) question particle kan,(:12) question particle ya, (13) question particle masa (Is it true??), and (14) question particle kok.
The questions of the judge, prosecutor, and attorney in a trial are used to convey three speech acts, namely: (1) directive act, (2) expressive act, and (3) representative act. Directive acts include the acts of asking for information, asking for confirmation, examining, and giving advice. Expressive acts include the acts of conveying dissatisfaction and expressing good manners; while representative act is the act of asking For clarification of the meaning of an utterance.
In general, the answers of defendants/witnesses attes to the application of the principle of Grice's CP and meet the four maxims, namely: maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relation, and maxim of manner. However, it was found that a number of answers provided by defendants/witnesses violate the maxims of Grice. The maxim broken was the maxim of quantity (the second submaxim), the maxim of quality, and the maxim of relation. The violation of Grice's CP in the answers of defendants/witnesses could not be explained by other pragmatic principles, for instance the politeness principle of Leech (1985). This is due to the fact that the question-and-answer in court is a formal conversation, with clear topics and targets, so that the researcher did not find any indirect questions resulting in implicatures, which could only be explained by using principle of good conduct.
The results of the data analysis indicate that the violation of the maxims of Grice's CP resulted more from the existence of the defendant/witness's desire to avoid the rensponsibilities of accusation or to defend him/herself from the questions asked.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Oeripah Sujanto
"ABSTRAK
Sejak lahirnya Orde Baru (tahun 1966) yang bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen perhatian maayarakat terhadap kehidupan hukum semakin meningkat. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, dalam BAB IV tentang Pola Umum Pelita Keempat huruf D yaitu tentang hukum, direncanakan bahwa:
a. Pembangunan dan pembinaan hukum dalam negara hukum Indonesia didasarkan atas Pancasila dan UUD 1945.
b. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat:
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota dapat menikmati suasana serta ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran.
c. Dalam pembangunan.dan pembinaan hukum ini akan di lanjutkan usaha-usaha untuk
1. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasit hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat.
2. Memantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing.
3. Memantapkan sikap dan perilaku penegak hukum serta kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta aparat penegak hukum.
4. Meningkatkan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum bagi lapisan masyarakat yang kurang mampu.
5. Meningkatkan prasarana don sarana yang diperlukan untuk menunjang pembingunan bidang hukum.
Dalam rangka pembangunan hukum nasional TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tereebut yang secara terperinci dituangkan dalam Repelita Keempat menjadi landasan dan tujuan setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana dilakukan secara menyeluruh, yaitu harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana Straf vollstreckuengsgesetz.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Supriyanto
"In the event of dispute of tax between Tax Payer and Directorate General of Tax cannot be settled in the process of study of tax and objection, the Tax Payer can file appeal against such tax dispute to the Tax Court. The Tax Payer hopes that he will obtain justice and legal certainty according to decision of the Tax Court issued.
Nevertheless, there are some Tax Court decisions which are different upon dispute of the same tax. The Different Decision of the Tax Court does not give legal certainty and justice feeling. One of ways to secure in order that the Tax Court decision resulted consistent is to consider jurisprudence by the judge in making the decision. The Using of this jurisprudence must be carefully studied in order not to violate against the independency of judge in making the decision.
This study is conducted by using theories in connection with jurisprudence, judge independence and tax court and at glance about VAT and Luxury Sales Tax facilities in connection with tax function which regulates. This study uses qualitative approach methods as well as using data source in the form of interview with source person, books, literatures, rules and regulations and other sources in connection with discussion topic in this thesis. In this study uses case study upon the tax dispute concerning facility of postponement of payment of VAT and Luxury Sales Tax to the production Sharing Contract (PSC) where some tax disputes has been decided by the Tax Court.
Based on result of analysis to some decisions of the Tax Court, jurisprudence is not always considered by the judge in making the decision of the Tax Court although according to explanation of theories from experts and result of interview, considering jurisprudence in making the decision will not break judge independent principle. Besides, inconsistency of the decision of Tax Court caused by implementation of legal principles which are different by the judge in making decision of Tax Court. Based on the study mentioned above it can be concluded that procedure of use of jurisprudence not always to be implemented by the judge despite use of jurisprudence not violates against judge independent principle. For that purpose, it is recommended such procedure can be standardized so that consistency of decision of the Tax Court can be secured."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24587
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Annissa Rizki
"Skripsi ini membahas mengenai pertimbangan Hakim dalam putusan perkara pidana yang mengandung unsur bias rasial dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), suatu pertimbangan harus berdasarkan fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Hakim sebagai aparat penegak hukum memiliki peran dan kekuasaan dalam peradilan pidana, sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memberikan pertimbangan putusan, Hakim harus melihat kepada proses pemeriksaan dalam persidangan sebelum akhirnya menyatakannya dalam putusan akhir. Adanya bias atau prasangka rasial tidak diperkenankan dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam perkara pidana, munculnya bias rasial dalam pertimbangan Hakim untuk membuktikan unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa bertentangan dengan hak-hak yang melekat dalam diri terdakwa tersebut dan dilindungi oleh ketentuan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

The focus of this study is about the judge?s consideration in criminal judgment that contains racial bias to prove the defendant?s fault. Based on the Code of Criminal Procedure, a consideration of the judge must be based on fact and condition with the evidence acquired from the result of the trial process that will be a background to determine the defendant?s fault. The Judge as a law enforcer has roles and authorities in a criminal court system, which is explained in the Law Number 4 year 2004 regarding Judicial Power. In providing a consideration of the judgment, the Judge must see the trial process before finally he declares in the judgment. A racial bias is not allowed in every national and international law instrument, because it collides with the principals of human rights. In criminal case, a racial bias appears in the Judge?s consideration to prove the element of a defendant?s criminal action is conflict with the rights that stick in the defendant and protected by the criminal procedural law and related rules."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22598
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>