Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rengganis Rizka Prasanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan collective narcissism sebagai moderator dalam hubungan antara ideologi politik dan intoleransi politik. Ideologi politik diduga dapat memprediksi intoleransi politik terhadap kelompok yang berbeda nilai, baik pada kelompok ideologi nasionalis sekuler maupun religius. Selain itu, diduga bahwa collective narcissism secara individual dapat menjelaskan intoleransi politik dan juga dapat memoderasi hubungan ideologi politik dan intoleransi politik. Partisipan sejumlah 256 orang WNI yang telah berusia di atas 18 tahun (Musia = 29,81, rentang pendidikan SMP - S3) mengisi kuesioner secara online melalui Survey UI. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ideologi politik dapat menjelaskan intoleransi pada kelompok partisipan berideologi nasionalis sekuler tapi tidak pada kelompok partisipan berideologi religius. Collective narcissism ditemukan dapat memprediksi intoleransi politik pada kedua kelompok, dan hubungan ideologi politik dengan intoleransi politik. Pada kedua kelompok tidak ditemukan peran moderasi dari collective narcissism terhadap hubungan ideologi politik dengan intoleransi politik.


The objective of this study is to see the role of collective narcissism as moderator in the correlation between political ideologi and political intolerance. Political ideology was assumed to predict political intolerance towards social groups with different political views, in both secular nationalist and religious ideological groups. It was also assumed that collective narcissism can individually predict political intolerance, while also moderating the correlation between political ideology and political intolerance. The participants, 256 Indonesian citizens who are at least 18 years old, with education backgrounds ranging from junior high school to doctoral degree (Mage = 29,81), filled in questionnaires online in Survey UI. Results reveal that political ideology only explains political intolerance in the secular nationalist group of participants, but not in the religious group. Collective narcissism is found to predict political intolerance in both ideological groups, along with the correlation between political ideology and political intolerance. In both ideological groups, no moderating effect is found from collective narcissism in the correlation between political ideology and political intolerance.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Gde Bagus Udayana
"Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2, Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang menekankan pentingnya tri hita karana dalam pengemban¬gan pariwisata di Bali. Oleh karena itu, idealnya segala aktivitas pengembangan pariwisata budaya di Bali, termasuk promosi pariwisata benar-benar menunjukkan aplikasi falsafah tri hita karana. Tujuan jangka panjang penelitian ini, terwujudnya media promosi pariwisata budaya Bali yang benar-benar mengimple¬mentasi ideologi tri hita karana. Terkait dengan tujuan ini, target khusus yang hendak dicapai adalah upaya penggambaran marginalisasi ideologi tri hita karana dalam media promosi pariwisata budaya Bali.
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan dan target tersebut, berupa wawancara mendalam dan pengamatan serta penggunaan dokumen. Wawancara dilakukan dengan pihak terkait, seperti Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Dinas Pariwisata Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, dan Gianyar, serta perusahaan di bidang panwisata maupun di bidang disain grafis di Bali. Pengamatan dilakukan terhadap billboard yang terkait dengan pariwisata serta dokumen berupa foto, brosur, leaflet, dan iklan tabloid yang mempromosikan panwisata dan diproduksi oleh para pihat terkait tersebut di atas.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan Based on the result of analysis bahwa yang memarginal-kan ideologi tri hita karana pada media promosi pariwisata budaya di Bali adalah ideologi kapitalisme dan ideologi dualisme kultural. Hal ini teijadi karena pembuatan media promosi pariwisata pada dasarnya bertu¬juan untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang mengunjungi objek yang dipromosikan. Tentu saja tujuan itu berujung pada pemngkatan perolehan keuntungan atau uang. Implikasi utama media promosi pariwisata budaya Bah yang ideologi tri hita karana-nya termarginalkan pada citra Bali sebagai daerah pariwisata adalah bahwa Bali tercitrakan sebagai daerah budaya pariwisata dan bukan pariwisata budaya."
Denpasar: Pusat Penerbitan LPPM Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
300 MUDRA 32:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanti Syas
"Penelitian ini mencoba melihat konsistensi peranan media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang berkuasa. Seperti diketahui, setelah jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) kehidupan media massa mengalami perubahan drastis terutama dari segi isi teks yang disajikannya. Apa yang tabu dibicarakan pada masa Orba menjadi hal yang lumrah diperbincangkan. Penggunaan Bahasa dengan eufemismenya dimasa Orba, kini disajikan dengan hujatan oleh sebagian besar media massa. Kekritisan dan ketajaman analisis yang disampaikan media jauh dari apa yang pernah dilakukan pada masa Orba.
Melalui analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana dinamika atau konsistensi media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan setelah lengsernya Soeharto, Sejauh mana ideologi politik media mempengaruhi dinamika framing yang dikemas dalam berita-berita yang disajikannya dari sudut pandang ekonomi politik media.
Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemberitaan tentang kinerja pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid dengan perspektif ekonomi politik. Pemberitaan yang diangkat adalah mengenai kebijakan pemerintah BJ Habibie mengenai penyelesaian masalah Timtim dan kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang akan membuka hubungan dagang dengan Israel.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan menerapkan analisis framing dan analisis intertekstual. Analisis framing dilakukan terhadap isi teks, dan analisis intertekstual dilakukan terhadap produksi dan konsumsi teks serta analisa terhadap praktek sosial budaya khususnya mengenai perkembangan kehidupan pers di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai proses produksi isi media.
Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga bingkai yang digunakan Republika dalam menilai kebijakan Presiden Habibie dalam mengatasi masalah Timtim, yaitu Human Right, Universalitas dan Nasional Interest. Sedangkan dalam pemberitaan tentang kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, Harian Republika membingkai kasus tersebut dengan : Konstitusi dan HAM, Disintegrasi dan economic Interest. Lebih lanjut di temukan bahwa, pemberitaan tentang kebijakan Presiden Habibie dikemas Harian Republika dengan memberikan positive representation dan memberikan negative representation terhadap kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid.
Positif representation terhadap kebijakan Habibie dikemas Republika dengan menggunakan catchphrase; pilihan terbaik, prestasi terbaik Habibie. dan tindakan Habibie sebagai penghormatan terhadap hak rakyat Timtim. Sedangkan depiction yang digunakan adalah; keberanian Habibie, sikap kenegarawanan, dan dosa sejarah portugal. Negative Representation yang diberikan pada kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dikemas Republika dengan menggunakan retorika yang mendelegitimasi kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini dinilai melalui metaphora yang digunakannya seperti; basa-basi diplomatik, tindakan yang gegabah, sikap arogan pemerintah serta menyakiti hati umat. Sedangkan depiction yang digunakan antara lain; tindakan brutal, pelecehan konstitusi, hubungan RI Israel adalah hubungan yang mubazir.
Lebih ekstrim lagi, jika kebijakan ini dijalankan, maka Republika memberikan consequences berupa; munculnya parlemen jalanan, tumbuhnya polarisasi dalam masyarakat, serta terganggunya hubungan dengan negara Arab lainnya. Sedangkan secara ekonomis efek yang ditimbulkan jika hubungan ini terealisasi adalah; timbulnya kerugian yang sangat besar di pihak Indonesia dan perbankan Yahudi akan memakan sebagian BUMN Indonesia.
Berdasarkan analisis framing yang dilakukan terhadap teks bahwa pada masa pemerintahan Presiden BI Habibie, Republika cenderung memberi bingkai positif terhadap kebijakannya. Sedangkan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika memberikan bingkai negatif dan cenderung mendelegitimasi kebijakan pemerintah, terutama mengenai akan dibukanya hubungan RI - Israel.
Hal ini, secara politis bisa dijalankan, bahwa antara Republika dengan BJ Habibie sebagai presiden pada waktu itu memang ada unsur kedekatan, dimana BJ Habibie adalah Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi yang melatarbelakangi lahirnya Republika. Jadi bisa dipahami apabila pembingkaian berita tentang kasus Timtim yang dibuat Republika adalah positif.
Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika lebih bersikap kritis. Dalam kebijakan mengenai hubungan RI-Israel, Republika sangat gencar memberitakan permasalahan ini dengan mengambil bingkai mendelegitimasi kebijakan presiden. Secara politis dapat dipahami, bagaimana hubungan antara Presiden dengan Harian Republika yang kurang harmonis. Sedangkan dari segi ideologis, apa yang menjadi kebijakan Abdurrahman Wahid memang bertentangan dengan garis ideologi Republika sebagai koran yang berideologi Islam Modernis. Dalam hal ini Republika mendukung suara mayoritas masyarakat muslim yang tidak menginginkan adanya hubungan RI-Israel dalam bentuk apapun. Ini dikarenakan, Israel adalah negara yang telah sering melakukan penghinaan dan penindasan terhadap bangsa Palestina dan ingin menjadikan wilavah suci umat muslim ini sebagai wilayah kekuasaannya.
Secara ekonomis, pembingkaian Republika di kedua kasus ini diharapkan dapat meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia internasional. Sehingga kepercayaan mereka terhadap Indonesia kembali pulih dan secara tidak langsung akan memulihkan perekonomian Indonesia yang selanjutnya berdampak pada perkembangan industri media massa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Surahman
"Masalah Dasar Negara hampir menjadi isu yang "tidak pernah selesai" dalam sejarah politik Indonesia. Mekanisme politik yang diambil oleh Soekarno maupun oleh Soeharto, membuktikan bahwa soal ini tidak pernah tuntas begitu saja. Pada kenyataannya, selalu saja ada pihak yang merasa tidak puas dan berupaya memunculkannya dalam banyak kesempatan. Wacana dan gerakan yang mendominasi masalah ini sepanjang sejarahnya adalah konfrontasi antara kelompok Sekuler atau Agama (Islam). Dua kecenderungan inilah yang bergulir di BPUPKI 1945 dan kemudian memuncak di Majelis Konstituante 1956-59. Bahkan sampai saat ini.
Peneiitian ini bersifat deskriptif analitis, menjelaskan dan menganalisa gejala politik dengan menjelaskan kecenderungan apa yang mengkondisikan hubungan konfliktual antara partai politik yang mewakili dua tendensi tersebut yaitu PKI (sekuler) dengan Masyumi (Islam) di Majelis Konstituante. Untuk keperluan itu data dikumpulkan melalui analisis dokumen dan sejumlah bahan kepustakaan lainnya, serta melalui wawancara dengan beberapa nara sumber terpilih.
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini antara lain teori konflik Ralf Dahrendorf, tipologi konflik Maurice Duverger, klasifikasi ideologi partai politik Herbert Faith dan Lance Castles, sistem kepartaian dari Maurice Duverger, dan interaksi antar unit partai dalam sistem kepartaian dari Daniel Dhakidae.
Wacana yang meliputi masalah ini misalnya soal tentang "tujuh kata" di Piagam Djakarta Juni 1945, negara Islam, negara sekuler, dan lain sebagainya. Baik organisasi massa maupun partai politik yang memperjuangkannya mengambil pilihan karakter gerakan antara yang moderat dan radikal. Solusi dari masalah ini adalah pentingnya membuat konsensus untuk menyelesaikannya melalui mekanisme konstitusional.
Karena, radikalisasi atau pemaksaan kehendak secara sepihak diluar mekanisme tadi, justru hanya akan menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial-politik yang tajam dan spesifik.
Temuan penelitian ini antara lain adanya dua arus kuat yang mendorong partai politik untuk mengambil sikap dan posisi, atau terlibat dalam sebuah keadaan tertentu, yaitu ideologi dan pragmatisme. Pertarungan mengenai Dasar Negara di Majelis Konstituante 1956-59 mencerminkan keberlakuan dua hal tersebut. Terjadi faksionalisasi partai-partai politik di majelis kedalam tiga faksi : Pancasila, Islam, dan Sosial-Ekonomi. Hal pertama yang melandasi faksionalisasi itu adalah kecenderungan ideologi. Partai-partai berideologi sekuler (nasionalis, sosialis, komunis) memilih Faksi Pancasila atau Faksi Sosial-Ekonomi. Kedua, partai-partai itu juga mempertimbangkan aspek-aspek pragmatis. Terlebih lagi ketika Pemilu 1955 tidak berhasil memunculkan parpol yang dominan di majelis. Walhasil, beberapa partai politik yang dalam keadaan normal berjauhan jarak politiknya, seperti antara PNI-PSI-PKI atau antara NU-Masyumi tampak berhasil saling mendekatkan jarak politiknya untuk kemudian bergandengan dalam satu barisan untuk memperjuangkan kepentingan yang sama dan fundamental, Dasar Negara.
Namun, mekanisme demikian ternyata tidak cukup memadai ke arah tercapainya kesepakatan mengenai masalah itu. Jebakan konstitusional yaitu dua pertiga suara di majelis, justru menggiring mereka ke arah jalan buntu. Baik PKI maupun Masyumi menyadari benar adanya kemungkinan seperti itu. Namun, dalam kalkulasi politik pragmatis mereka hasil akhir demikian mungkin jauh lebih baik daripada ada satu pihak yang berhasil memenangkan pertarungan itu. Karena itu, persoalan ini mungkin saja masih akan tersisa di masa mendatang. Sehingga, perhatian dan kearifan kita bersama untuk mensikapinya selalu diperlukan. Semoga."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7066
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Nur Septy
"Penelitian mengenai ideologi teks Undang-Undang tentang Penyiaran No.24/1997 yang diproduksi pada era rezim Orde Baru dilakukan dengan alasan banyaknya fenomena yang menunjukkan intervensi pemerintah berupa pencekalan dan pembatasan pada kebebasan pers.
Tujuan penelitian kualitatif ini berusaha menggali makna dan pesan tersembunyi yang terdapat dalam teks UU Penyiaran, dan mencari ideologi siapa yang dileburkan dalam teks, siapa yang diuntungkan. Selain melihat proses produksi teks yang menitikberatkan pada proses interpretasi/konsumsi teks dalam dimensi praktik wacana, penelitian ini pun ingin mengungkapkan pergumulan ideologi antara kelompok kepentingan.
Pendekatan teori Kritis dipergunakan untuk mengupas kebenaran yang dianggap palsu dari proses produksi dan konsumsi teks UU Penyiaran dan jalinannya dengan konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya pada era Orde Baru. Paradigma Kritik secara metodologis bersifat dialektis dan dialogis yaitu elaborasi diskusi antara peneliti dengan realitas subyek penelitian (Guba & Lincoln, 1994:109). Pengalaman subyektif peneliti sebagai hasil interaksi dengan teks dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan interpretasi atas pasal-pasal dalam UU tentang Penyiaran No.24/1997.
Data penelitian berasal dari data primer berupa wawancara mendalam, dan salinan teks Undang-Undang Penyiaran No.24/1997 yang telah diundangkan tanggal September 1997 menjadi bahan interaksi/observasi. Wawancara mendalam dengan informan, terdiri dari : Ishadi SK (wakil birokrat), A. Muis dan Loebby Loqman (Pakar hukum), Riza Primadi dan D. Assegaf (Praktisi), Hinca Panjaitan (key informan sekaligus wakil LSM). Sedangkan data sekunder berupa risalah rapat penyempurnaan UU tentang Penyiaran No.24/1997, hasil berbagai seminar dalam analisis konsumsi teks, serta literatur lainnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: ideologi teks UU Penyiaran tersebut lebih menguntungkan penguasa. Teks UU penyiaran sebagai produk hukum rezim Orba, sama sekali tidak memberi nafas pada kebebasan pers dan ruang gerak bisnis media untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Penggugatan antara pihak-pihak berkepentingan terjadi dalam tataran praktik wacana konsumsi teks. Secara kontekstual, budaya politik Orba secara struktural telah menjadikan Undang-undang tentang Penyiaran sebagai alat perpanjangan tangan pemerintah yang berkuasa. Kentalnya budaya patemalistik dan `Asal Bapak Senang' dari wakil rakyat - memberikan kontribusi besar atas terciptanya UU yang digodok DPR menjadi bersifat 'represif state apparatus' dengan mengemasnya lewat slogan pembangunan yang berasaskan Pancasila sebagai 'ideological state apparatuses' hegemoni negara saat itu."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Pappilon Halomoan
"Media massa sebagai regime of looking membentuk penilaian yang didasarkan pada 'yang terlihat'. Hubungan kekuasaan yang terjadi adalah pengaturan tentang bagaimana tubuh harus hadir dan juga dialektika antara tubuh yang hadir dan yang tidak hadir (absence). Konsekuensinya terjadi `normalisasi' dalam representasi. Media massa menentukan siapa yang berada dalam batas `normal' siapa yang kurang normal dan siapa yang melanggar kenormalan. Media massa melakukan kategorisasi terhadap tubuh.
Subjek penelitian ini adalah majalah Kawanku, yang merepresentasikan tubuh dan identitas remaja melalui teks berupa artikel maupun foto-foto di dalamnya. Mitos dan ideologi teks tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan semiotika. Melalui metode semiotika ini, akan diungkapkan identitas ideologis yang dibangun dalam penanda-penanda foto maupun tulisan dan juga ideologi apa yang disampaikan melalui representasi tubuh dalam media tersebut.
Ada tiga bingkai teori yang juga menjadi titik perhatian masalah ini, yakni: (1) Identitas ideologik. Bagian ini berisi uraian tentang praktik mode of address oleh media. Beberapa pendapat Althusser tentang ideologi yang berbentuk ajakan bagi pembaca untuk masuk dalam sistem makna media massa menjelaskan proses ini. (2) Media sebagai name of the father. Mendiskusikan proses pembentukan identitas dalam media massa dengan menggunakan teori psikoanalisis dari Lacan. Bagian ini adalah eksplorasi lebih jauh identitas ideologis. (3)Tafsir tubuh. Berisi gagasan-gagasan Foucault tentang tubuh dan disiplin. Bagaimana bentuk kekuasaan yang terus berubah dalam menangani tubuh. Mulai dari hukuman fisik sampai psikis. Yang utama adalah proses kategorisasi tubuh dalam berbagai bidang.
Kawanku membangun mitos-mitos tentang cantik, remaja, cewek, sehat, yang menuju pada pembentukan ideologi tertentu. Ideologi dengan tujuan naturalisasi makna, penyalahpahaman identitas, dan pembentukan subjek bagi tatanan simbolis majalah tersebut, adalah salah satu bagian dari strategi pengontrolan tubuh. Misrecognition, interpellation dan naturalisation adalah bagian dari strategi pengontrolan dan pendisiplinan terhadap tubuh dan identitas individu. Pengontrolan dan pelatihan membentuk tubuh yang patuh, efisien, efektif dan produktif. Majalah ini mengawasi individu supaya tetap berada dalam bingkai nilai-nilai Kawanku. Penekanan pada suatu bentuk kecantikan tertentu memaksa individu untuk juga membentuk tubuhnya sejalan dengan mitos yang direpresentasikan Kawanku. Dengan pendisiplinan dan pengawasan ini maka roda produksi budaya akan tetap berputar. Tubuh yang sudah siap dan terlatih menjadi komoditi bagi produksi dan konsumsi. Pelatihan dan pengawasan terhadap tubuh yang terus menerus bisa mengantisipasi kekurangan persediaan tubuh. Tubuh menjadi stock dalam proses ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hianly Muljadi
"Serial Harry Potter karangan J. K. Rowling yang menjadi best seller dunia bukan saja mengundang pujian, tapi juga menuai protes dan pencekalan dari kelompok religius konservatif di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Serial ini dituding menyebarkan kepercayaan akan Iblis dan mempromosikan tenung lewat sihir yang melatarbelakangi kisah dalam serial ini. Namun, pencekalan serial Harry Potter rupanya tidak terjadi di Indonesia. Pembaca Indonesia tampaknya tidak terpengaruh sama sekali dengan isu ini, walaupun bukan berarti berita tersebut tidak diketahui sama sekali oleh mereka.
Dalam penelitian ini saya melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap para pembaca serial Harry Potter di Indonesia sehubungan dengan reaksi dan tanggapan mereka terhadap unsur sihir dalam serial tersebut. Saya juga mengungkapkan ideologi yang melatar belakangi reaksi dan tanggapan mereka tersebut. Dalam penelitian ini saya menggunakan pendekatan cultural studies, terutama melalui teori Encoding dan Decoding yang dikemukakan Stuart Hall, serta model penelitian audience research yang dilakukan oleh Ian Ang.
Setelah menyelesaikan klasifikasi dan analisis ideologi terhadap para pembaca serial Harry Potter di Indonesia, saya berpendapat bahwa adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mendapatkan satu tafsir yang seragam terhadap sebuah teks, seperti sama tidak mungkinnya untuk menemukan satu ideologi yang terunggul yang bisa mengakomodasi semua tafsir yang ada dalam benak pembaca suatu teks.
Written by an English author, J. K. Rowling, the Harry Potter series that became the world best seller not only received excellent reviews but also strong objection and banning from conservative religious groups in some parts of the United States. The series was accused of spreading Evil beliefs and promoting witchcraft through magic, which becomes the central theme of the story.
The banning of the Harry Potter series did not happen in Indonesia Indonesian readers did not seem to be affected by the accusation at all. But this did not mean that Indonesian readers were completely indifferent to the news.
In this research I identify and categorize Harry Potter readers in Indonesia based on their reactions and comments towards the element of magic in the series. I also analyze the ideology behind those reactions and comments. In this thesis I use the cultural studies approach, especially the Encoding Decoding theory by Stuart Hall and audience research methods used by Ian Ang.
After finishing the classification and analyzing the ideology of Harry Potter readers in Indonesia, I am of the opinion that it is impossible to create one definite reading towards a text, as it is also impossible to find the best ideology that can accommodate all readings articulated by the readers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Ismail
"The main objective of this study is to analyze three major Indonesian Muslim responses to the Pancasila, the state ideology of Indonesia. The first Muslim response occurred when the Secular Nationalists proposed, shortly before Indonesia's independence in 1945 and again later in the Constituent Assembly debates (1956-1959), that the Pancasila be the basis of state. The second Muslim response to the Pancasila took place in 1978 when the New Order government proposed that the P 4 (Guidelines for Understanding and Practicing the Pancasila) be legalized. The Muslims at first objected to both the proposal of the Pancasila as the foundation of the state and that of the P 4, but finally acquiesced. Each stage in this process was marked by debate over the role of Islam in Indonesian society and politics, which often led to antagonism between the government and the Muslim community. When the government proposed in 1982 that the Pancasila serve as the sole basis for all political and mass organizations, the third Muslim response occurred. The Muslims' acceptance of this policy marked the end of the government's application of severe policies towards them and has resulted in the former being allowed to play an even greater role in Indonesian politics than had previously been the case."
1995
D149
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarto
"Tesis ini mengkaji pemberitaan RCTI pada menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Krisis ekonomi sejak awal tahun 1997 memicu gelombang aksi mahasiswa yang kemudian diikuti oleh berbagai unsur dari kalangan kelas menengah serta massa akar rumput di perkotaan. Aksi-aksi protes yang dimotori mahasiswa sendiri menjadi semakin besar, sebagian karena pemberitaan media baik di dalam maupun di luar negeri yang memblow-up aksi-aksi tersebut, sehingga mampu menekan institusi-institusi politik formal seperti DPR/MPR untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden. Selain itu, pemberitaan media tentang krisis ekonomi dan kerusuhan massal dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan masyarakat mampu membangun image tentang situasi chaos dan ketidak-berdayaan negara mengendalikan situasi yang ada, dengan demikian mendelegitimasi penguasa negara.
RCTI sebagai media yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bambang Trihatmojo yang tidak lain dari anak Presiden Soeharto ternyata juga menunjukkan resistensinya terhadap kekuasaan negara. Fakta tersebut membuktikan bahwa media sebenarnya tidak pernah bersifat monolit menampilkan ideologi tunggal. Sebaliknya, media sebenarnya senantiasa menampakkan pluralitas ideologi dan kepentingan. Bahkan di negara-negara totalitarian, wajah media tidak semata-mata mewakili kepentingan negara, melainkan juga kepentingan berbagai pihak yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara.
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto, media diposisikan sebagai aparat ideologi negara, sebagai bagian dari instrumen politik hegemoni negara. Namun negara sebenarnya tidak pernah mampu sepenuhnya mengontrol media. Sekecil apapun selalu ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan resistensi. Realitas masyarakat dan negara Orde Baru sebenarnya sangat kompleks. Struktur ekonomi-politik Orde Baru tidak bersifat kaku, monolit dan tidak tergoyahkan. Sebaliknya struktur ekonomi-politik Orde Baru mengandung kontradiksi-kontradiksi, baik yang bersifat internal maupun yang berasal dari faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi-politik global. Berbagai kontradiksi itulah yang memungkinkan lahirnya peluang bagi resistensi terhadap negara. Studi yang dilakukan dalam tesis ini menunjukkan bahwa media sebenarnya lebih sebagai "the battle ground for competing ideologies" daripada sebagai apparatus ideologi yang senantiasa tunduk dan takluk kepada negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Meilinawati Rahayu
"Tesis ini membahas dua drama karya Utuy Tatang Sontani: Sangkuriang - Dayang Sumbi (1953) dan Sang Kuriang (1959). Walaupun bersumber dari folklor yang sama, kedua teks ini ditulis dalam dua periode yang berbeda sehingga dianggap berkemungkinan untuk mengandung ideologi yang berbeda. lni terutama karena teks Sang Kuriang ditulis setelah penulisnya, Sontani, menyatakan afiliasinya dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui keanggotaannya dalam Lekra pada tahun 1959. Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme Greimas dan teori isotopi yang dikemukakannya. Dari hasil penelitian ditemukan banyak perbedaan dari kedua drama tersebut. Perubahan ini dimaknai dengan pemaknaan tataran kedua (konotasi) dalam kerangka semiotik Barthes. Dari hasil analisis ditemukan bahwa perubahan dalam kedua teks itu bersifat ideologis seperti tampak dari perubahan tokoh, latar, alur, dan tema.

This thesis discusses two dramas written by Utuy Tatang Sontani: Sangkuriang - Dayang Sumbi (1953) and Sang Kuriang (1959). Written in different periods of time, the dramas were assumed to reflect differences in their ideologies. Both texts were developed from one Sundanese folklore by a writer assumed to write those texts with different ideological underpinnings. The latter text, Sang Kuriang, was written after Sontani proclaimed his political affiliation to PKI (Partai Komunis Indonesia/Indonesian Communist Party) in 1959. To investigate and explore these presumed ideological differences, a semiotic-based structural analysis, using Greimas theory on isotopy, was conducted on both texts. Findings from this analysis were discussed within the framework of Barthesian semiotics to disclose the connotative meanings of both texts. The analysis disclosed that differences found in both texts were ideological because of the shifts in various aspects of the texts such as characterization, setting, plot, and theme."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   2 3 4 5 6 7 8 9 10 11   >>