Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ryan Muthiara Wasti
"Indonesia mengakui eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya di dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satunya adalah lembaga perwakilan masyarakat adat yang memperlihatkan nilai-nilai tradisional yang masih hidup hingga sekarang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum sepenuhnya mengakomodir nilai-nilai adat di setiap daerah terutama perwakilan adat di Nagari Minangkabau. Oleh sebab itu, terdapat dua pokok permasalahan: Pertama, kedudukan dan kewenangan lembaga perwakilan adat dalam struktur pemerintahan nagari di Minangkabau dan Undang-Undang tentang Desa dan Kedua, konsep ideal mengenai lembaga perwakilan adat di Indonesia.
Analisis dilakukan dengan menggunakan teori hukum tata negara adat karena memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai ketatanegaraan Indonesia yang diikuti dengan penerimaan terhadap keberadaan adat yang lahir dari sebuah persekutuan hukum dan memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dilakukan perbandingan pengaturan masyarakat adat di Amerika Serikat, Australia, Kamerun dan China. Kesimpulan adalah lembaga perwakilan adat nagari belum sepenuhnya terakomodir dalam Undang-Undang tentang Desa sehingga dibutuhkan sebuah pengaturan ideal untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat adat nagari di Minangkabau terutama dalam unsur keanggotaan, metode pemilihan dan kedudukan dan kewenangan dari lembaga perwakilan adat tersebut. Untuk itu, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam hal pengaturan mengenai desa adat yang dapat dibandingkan dengan negara lain yang lebih mempunyai pengaturan dan perlakuan terhadap desa adat di negarannya seperti di AS, Kamerun, RRC dan Australia.

Indonesia acknowledges the existence of indigenous law communities along with their traditional rights in Article 18 of the Indonesian 1945 Constitution. One of these institution is the traditional people representatives that embrace traditional values that lives up to the present. Law Number 6 of 2014 on Villages have not fully accommodated tradition values that exists in the respective regions, particularly the traditional representation in Nagar Minangkabau. As such, there are two issues: the position and authority of traditional representative institutions within the governance structure of nagari in Minangkabau and the Village Law; and, secondly, the ideal regulation on traditional representative institutions in Indonesia.
The analysis is conducted using the theory of traditional constitutional law as it bears close relation to Indonesia's state constitutional values followed by acceptance of the diversity of customs that arise from an amalgamation of laws that have their own characteristics. Additionally, a comparison is carried out as regards regulations that govern indigenous communities in the United State, Australia, Cameroon, and China. The conclusion is that the nagari indigenous representative institution is not fully accommodated in the Village Law and thus an ideal regulatory instrument to accommodate the need of the nagari indigenous community in Minangkabau, among others membership, method of election and the position and authority of the indigenous representative institution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewo Baskoro
"ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang rawan akan keadaan bahaya. Untuk itu, perangkat hukum yang ada haruslah memadai agar dapat mengatasi keadaan bahaya tersebut. Namun, kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif pada saat negara berada di dalam keadaan bahaya seringkali diiringi dengan kesewenang-wenangan. Skripsi ini akan menjabarkan dan meninjau kembali kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif dalam rangka mengatasi keadaan bahaya dari masa ke masa dan mengklasifikasi teori keadaan bahaya yang dianut dari masing-masing masa pengaturan tersebut. Penelitian ini juga akan membandingkan pengaturan konstitusi di Indonesia terkait Keadaan Bahaya dengan konstitusi di negara-negara lainnya. Akhirnya, skripsi ini menemukan bahwa Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif terkait Keadaan Bahaya Indonesia dewasa ini mencakup bidang-bidang terkait orang, tempat, barang, kebebasan berekspresi, komunikasi, transportasi, dan perundang-undangan. Skripsi ini menyimpulkan bahwa Pengaturan Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif di Indonesia saat ini condong kepada teori keadaan bahaya Carl Schmitt, dan pengaturan konstitusi di Indonesia sama sekali tidak mengikuti tren pengaturan negara-negara lain

ABSTRACT
Indonesia is full of state of emergency hazards. Therefore, it rsquo s law needs to be able to overcome those threats. But the given authority of the Executive in times of emergency could become a tool of abuse. This Thesis will describe and review those power in times of emergency from time to time and determine which theory of exception that it imply. This research will also compare constitutional statutes pertaining state of emergency in Indonesia with other countries. By the end of this thesis, we will be able to know the authority of the Executive of Indonesia in times of emergency which include the matter of individual freedom, places, the use and claiming of material things, freedom of expression, communication, transportation, and in regards of rules. We shall be able to conclude that the authority that are given to the Executive of Indonesia regarding state of emergency are more of a Carl Schmitt rsquo s state of exception view than the Hans Kelsen rsquo s one. This research will also show that the rule in the constitution of Indonesia pertaining state of emergency doesn rsquo t follow the current trend of rulling in many countries."
2017
S69431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinan, John
New York: Oxford University Press, 2014
342.755 DIN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Rajawali Press, 2017
342 JIM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Astim Riyanto
"Unitary state as provided for in Article l (l) injunction with Article i8 of the 1945 Indonesia?s Constitution, as amended in year 2000 in junction with Law No. 32/2004, falls into an decentralized unitary state model with a federalistic sub-model. In dealing with the problem, a research on the actualization of unitary state after the amendment of Article 18 of the 19-I5 Indonesia's Constitution was carried out. Research used methods of juridical-normative, juridical-historical, and juridical-comparative. The results obtained were as follows. First, notional territory is organized into provincial and local/municipal territories. Second, authority relationships between central government and local government and among local governments are in form of coordination, guidance, and supervision in administrative and territorial aspects. Third term of "territories extraordinary in nature" as provided for in Article 18 of the 1945 Indonesia`s Constitution is originally intended as Swapraja and Village. Based on proportionality principle as upheld by Law No. 32/2004. indonesia should pursue a proportional, decentralized unitary state, with a focus of local autonomy on district/municipal. In order to deal with the problem. under constitutional power, Law on Local Government should be invoked in actualizing a unitary state in implementing local governance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
HUPE-36-1-(Jan-Mar)2006-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muñiz-Fraticelli, Victor Manuel
New York: Oxford University Press, 2014
342.001 MUN s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wicitra Wening Palupi
"Salah satu fenomena yang sangat penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah berkembang pesatnya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undangundang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja. Lembagalembaga ini seringkali disebut dengan Lembaga Non Struktural. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana perkembangan Lembaga Non Struktral di Indonesia pasca era reformasi yang lebih spesifik menganalisa tentang kedudukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Lembaga Non Struktural.
Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode kualitatif. Lembaga Non Struktural di Indonesia berkembang sangat pesat setelah adanya perubahan UUD 1945 pada tahun 2002 lalu. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pembahasan mendalam mengenai Lembaga Non Struktural yang ada di Indonesia agar lembaga lembaga baru yang bersifat independen ini tidak semakin menjamur, salah satunya dengan dibuat peraturan yang jelas menerangkan bagaimana ciri, syarat, dan urgensi untuk membentuk Lembaga Non Struktural. Dalam menganalisa, Komnas Perempuan dapat dikatakan sebagai LNS yang memiliki fungsi sebagai National Human Right Institution yang berfungsi mengawasi pelaksanaan dari hak-hak perempuan agar tidak terjadi pengabaian, pelanggaran HAM warga negara, serta melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemajuan HAM.

A phenomenon that is very important after the amendment of the Constitution of 1945 is the rapid growth of independent state institutions (state auxiliary agencies) in the state system of Indonesia. These institutions formed by different legal basis, it can be formed with the constitutional mandate, acts, and some have formed by presidential decree only. These institutions are often called as non-structural institutions. This thesis will discuss about the development of Non Structural Agencies after reformation in Indonesia, specifically analyzing in the position of National Commission Anti Violence Against Women as an Non Structural Agencies.
This research is using normative juridical method, with qualitative data analysis. Non Structural institutions in Indonesia is rapidly growing after the amandement of 1945 constitution in 2002. Therefore, further research about Non Structural Agencies in Indonesia is necessary to be done. In order to reduce excessive independent agencies, which have been established earlier, we need to make an explicit regulation that explains characteristic features, and also the requisite urgencies in creating a new Non-Structural Agencies. In analyzing, Komnas Perempuan can be regarded as LNS that has a function as a National Human Rights Institution that watch the implementation of women's rights in order to avoid negligence, violation of human rights of citizens, and the efforts to protect and promote of human rights as well."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hudiana
"Polemik terkait sah atau tidaknya jabatan pimpinan DPD periode 2017 - 2019 terus menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, bahkan hingga berakhirnya kepengurusan DPD. Menurut beberapa ahli hukum, pergantian pimpinan DPD yang dilakukan pada tahun 2017 bukan merupakan pergantian pimpinan yang sah, pasalnya pergantian tersebut dianggap menerobos aturan hukum yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di internal DPD. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan norma hukum yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan membandingkannya dengan beberapa negara. Hasil dari penelitian adalah permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan etika anggota lembaga perwakilan. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikannya yaitu internal DPD sendiri melalui Badan Kehormatan DPD. Namun karena belum diatur secara rinci mengenai mekanisme evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD, akhirnya proses penyempurnaan dikembalikan kepada mekanisme politis yang sulit untuk tercapainya keadilan. Adapun alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memperkuat peraturan DPD dan membentuk standar etika penyelenggara negara. Dengan demikian, DPD disarankan untuk memperbaiki peraturan tentang tata beracara badan kehormatan DPD. Dan disarankan kepada DPR RI untuk membuat rancangan undang-undang tentang etika penyelenggara negara.

The related polemic whether or not holding the leadership of the DPD for the period 2017 - 2019 continues to be a hot issue to be discussed, even to the end of the management of the DPD. According to some legal experts, the replacement of the leadership of the DPD conducted in 2017 is not a legitimate change of leadership, because the change is considered to break the existing legal rules. But the problem is that there are currently no parties who can solve this problem. Therefore, the author conducted a study to find out how to resolve disputes in the internal DPD. Research carried out by juridical-normative method is by examining problems based on laws related to the laws and regulations that apply in Indonesia and comparing them with various countries. The results of this study are the problems that occur are ethical issues of members of representative institutions. Therefore, what was agreed to solve was the internal DPD itself through the Honorary Board of DPD. DPD, finally the refinement process is related to a difficult political evaluation to achieve justice. As an alternative to resolve this problem by completing the regulations of the DPD and establishing ethical standards for state administration. Thus, DPD agreed to regulate the rules regarding the procedure for the proceedings of  DPD. And agreed to DPR RI to draft a law on the ethics of state administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Al Hadi Nst
"Konflik di Papua telah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak masih dikenal dengan nama Irian Jaya. Sejarah panjang proses integrasi Papua yang bermasalah telah melahirkan konflik yang hingga kini tidak kunjung mencapai kata selesai. Dalam perkembangannya, kini ancaman tidak hanya datang dari kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Papua. Studi terbaru juga menunjukkan besarnya potensi konflik, baik di antara orang Papua itu sendiri, maupun antara orang Papua dengan penduduk pendatang. Untuk menangani situasi di Papua, pemerintah telah melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga membatasi Hak Asasi Manusia, seperti pengerahan aparat bersenjata dan pembatasan akses terhadap informasi dan media. Pada masa orde baru, secara faktual Papua bahkan pernah menjadi Daerah Operasi Militer. Uniknya, terlepas adanya indikasi kedaruratan yang nyata, pemerintah tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat secara resmi berdasar hukum. Padahal, menurut doktrin Hukum Tata Negara Darurat, tindakan-tindakan khusus yang membatasi Hak Asasi Manusia tersebut hanya dapat dilakukan dalam suatu keadaan darurat yang dideklarasikan secara resmi. Melalui studi pustaka, penelitian ini berusaha menelusuri norma pembatasan hak asasi manusia dalam keadaan darurat, baik dalam teori, hukum positif di Indonesia, dan pengaturannya dalam konstitusi negara-negara lain. Uraian-uraian menyangkut konflik yang terjadi di Papua juga disajikan untuk menambah pemahaman terhadap persoalan yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan tindakan-tindakan khusus yang dilakukan dalam penanganan konflik di Papua telah bertentangan dengan asas proklamasi yang dikenal dalam Hukum Tata Negara Darurat. Selain itu, kasus-kasus pembunuhan di luar proses hukum dan penyiksaan juga menunjukkan pelanggaran serius terhadap non-derogable rights yang dijamin Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights. Lebih-lebih lagi, ketiadaan pengawasan oleh parlemen dan pengadilan menyebabkan tidak terdeteksinya tindakan-tindakan lain yang patut diduga tidak beralasan dan tidak proporsional terhadap ancaman bahaya yang ada.

The conflict in Papua has been ongoing for decades, dating back to when it was known as Irian Jaya. The troubled integration process has led to a conflict that remains unresolved. Recently, studies have shown that threats come not only from armed groups seeking Papuan independence. Recent studies also show the potential conflicts, both between Papuans themselves, and within the Papuan community and between Papuans and the migrant population. The government's efforts to handle the situation, including the deployment of armed forces and restrictions on information access and the media, have raised concerns about human rights restrictions. Despite indications of an emergency, the government has never officially declared a state of emergency based on law, as required by the Emergency Constitutional Law doctrine. This study aims to explore how human rights restrictions during state of emergency in theory, Indonesian law, and in the constitutions of other countries. In addition, it presents descriptions of conflict in Papua to shed light on existing problems. The research reveals that the special measures used to manage the conflict in Papua conflict with the proclamation principle outlined in the Emergency Constitutional Law doctrine. Furthermore, cases of extrajudicial killings and torture demonstrate serious violations of the non-derograble rights guaranteed by the Article 28I of Constitution of the Republic of Indonesia and the Article 4 of the International Covenant on Civil and Political Rights. The absence of oversight by parliament and the courts has led to the failure to detect other actions alleged to be unreasonable and disproportionate to the gravity of the events."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 >>