Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 420 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Topo Santoso
Jakarta: Rajawali, 2016
297.45 TOP a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Jakarta : Rineka Cipta, 2014
345 AND a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mardani
Jakarta: Prenada Media Group, 2019
297.14 MAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Rajawali Press, 2021
345 TOP h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ignatius Sriyanto
"Lembaga pendidikan seharusnya merupakan suatu lembaga yang paling anti terhadap segala bentuk penyelewengan. Namun ternyata masih terdapat banyak lembaga pendidikan khususnya SMP dan SMA yang melakukannya, terutama dalam bidang administrasi, yang apabila ditinjau berdasarkan terori ilmu hukum, pembuatan tersebut ternyata dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana. Perbuatan penyelewengan administrasi tersebut meliputi, pertama mengenai pembuatan laporan tertulis yang isinya tidak benar yang secara periodik disampaikan kepada Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat, kedua adalah mengenai pembuatan Buku Rapor Siswa dengan data yang dibuat secara fiktif. Dari segi Yuridis Formil, perbuatan tersebut memang sudah dapat dikualifikan sebagai tindak pidana Pemalsuan Surat dan bahkan kemungkinannya dapat merupakan Gabungan Tindak Pidana, yaitu Pemalsuan Surat dengan Penipuan. Akan tetapi berdasarkan ajaran di dalam teori ilmu hukum, khuhusnya dalam hukum pidana, yaitu mengenai Sifat Melawan Hukum Secara Materiel (hateriele Wederrechtelijkheid), maka untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku penyelewengan tersebut, harus ditinjau terlebih dahulu Secara Materiel mengenai terdapat atau tidaknya Sifat Melawan Hukum dalam perbuatannya itu. Dalam hal perbuatan penyelewengan administrasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tersebut, secara mateteriel adalah bertujuan agar mereka tetap dapat berdiri, di mana dalam hal ini ternyata dapat membantu beberapa anggota masyarakat yang terpaksa tidak dapat mengikuti pendidikan pada lembaga pendidikan yang memerlukan persyaratan ketat, ataupun yang memerlukan biaya tinggi. Sedangkan dalam hal pembuatan Buku Rapor Siswa dengan data fiktif, ternyata juga dapat membantu beberapa anggota masyarakat yang karena sesuatu hal terpaksa putus sekolah, di mana dengan cara demikian mereka dapat mengikuti ujian akhir pada jenjang pendidikannya masing-masing. Dari kedua macam perbuatan yang dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan tersebut, ternyata secara materiel akhirnya dapat membantu sebahagian anggota masyarakat pencari kerja, di mana pada saat ini kiranya tidak ada lagi suatu lembaga ataupun instansi yang dapat menerima para pelamar yang tidak dapat menunjukkan bukti tertulis atas tingkat pendidikan ataupun kemampuannya, yaitu Ijazah. Hal tersebut pada gilirannya akan dapat membantu mengurangi melajunya jumlah pengangguran. Dengan demikian untuk melaksanakan ketentuan pidana atas perbuatan penyelewengan administrasi oleh beberapa lembaga pendidikan tersebut, kiranya perlu dikaji melalui pendekatan Yuridis-Filosofis, yaitu dengan mencari keserasian (bukan sekedar keseimbangan) antara pasangan nilai-nilai dalam hukum yang sating bertegangan. Pasangan nilai-nilai tersebut antara lain adalah "kesebandingan hukum dengan kepastian hukum", dan "keluwesan hukum dengan keketatan hukum"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Supriyanto
"Latar Belakang
Komunikasi antarmanusia merupakan ciri pokok kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dalam tingkat kehidupan yang sederhana maupun dalam tingkat kehidupan yang lebih komplek seperti pada kehidupan modern dewasa ini.
Komunikasi mempunyai peranan asasi dalam segala aspek kehidupan manusia, masyarakat dan negara, karena komunikasi merupakan wahana utama dari kegiatan dan kehidupan manusia sehari-hari. Manusia berkomunikasi dengan sesamanya karena memang di antara mereka saling membutuhkan, dan juga karena manusia hanya bisa berkembang melalui komunikasi, sehingga komunikasi merupakan kebutuhan vital bagi manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Manusia tidak hanya hidup dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan saja. Kebutuhan akan komunikasi dan informasi merupakan bukti tentang adanya desakan dari dalam tubuh manusia untuk menuju kesatuan kehidupan yang diperkaya dengan kerjasama antarmanusia. Pada mulanya komunikasi itu hanya terjadi pada masyarakat yang terbatas luasnya, yaitu kelompok-kelompok yang hidup berdampingan atau merupakan bagian dari unit politik yang sama. Di beberapa tempat mayoritas terbesar penduduk dunia hidup dalam batas-batas unit sosial kecil atau desa. Komunikasi antar pribadi (interpersonal-comunication) merupakan bentuk pokok hubungan sosial).
Komunikasi dalam suatu negara berkembang dan sedang melaksanakan pembangunan dalam seluruh sektor kehidupannya memegang peranan yang sangat penting. Apalagi seperti negara Indonesia; dengan letak geografis dan situasi kondisi sesuai dengan wawasan nasional Indonesia, yaitu Wawasan Nusantara, mengharuskan adanya komunikasi massa yang dapat menjalin hubungan antara satu daerah dengan daerah lainnya, menyampaikan komunikasi dan informasi untuk melancarkan pembangunan nasional dan sekaligus juga berperan dalam meningkatkan ketahanan nasional berupa menangkal pengaruh-pengaruh komunikasi massa dari luar yang semakin canggih dan terus - menerus memasuki wilayah Indonesia.
Dikatakan oleh futurolog Alvin Toffler, dunia sedang dilanda revolosi ketiga, yaitu revolusi informasi, sehingga suatu negara sebagai media penyebar informasi akan mudah memasukkannya ke negara-negara lain. 2)
Macam-macam informasi yang disampaikan terus menerus dalam berbagi sajian dan melalui berbagai sajian dan melalui berbagai macam media akan dapat mengubah pandangan dan sikap hidup manusia. Hal itu terjadi karena manusia setiap hari hidup dalam curahan informasi dari berbagai media informasi yang diterimanya setiap hari, sehingga tentu mempengaruhi pandangan dan perilakunya, dan terjadilah infiltrasi sosial budaya melalui informasi yang lebih hebat dibandingkan infiltrasi minter. Oleh karena itu jelas dibutuhkan adanya usaha - usaha intensif untuk memantapkan norma - norma, baik norma-norma yang melandasi tugas dan fungsi pokok komunikasi massa sebagi sarana dan proses penyaluran informasi kepada masyarakat, maupun pembinaan dan pengembangan eksistensi fisik teknologinya untuk menunjang pembangunan nasional.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Hentina Hotria
"Tindak piaana narkotika merupakan kejahatan yang mengalami perkembangan sangat pesat. Selain dari angka kejahatan yang terut> menunjukkan peningkatan signifikan tindak pidana narkotika juga membawa kerugian yang tidak sedikit bagi negara. Selain hilangnya nyawa akibat penyakit kehilangan kekebalan tubuh (AIDS) yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, pemerintah harus menanggung beban dana yang cukup besar untuk pengobatan para penyalah guna narkotika. Namun dalam perjalanannya penanganan tindak pidana narkotika masih saja belum dapat dikatakan berhasil.
Paling tidak dalam upaya mencari akar permasalahan dari tindak pidana narkotika yang semakin kompleks. Penanganan perkara tindak pidana narkotika masih berfokus pada satu masalah yaitu peredaran gelap narkotika dengan mengabaikan masalah penyalahgunaan narkotika. Padahal masalah penyalahgunaan narkotika memerlukan penanganan yang serius sama seriusnya dengan masalah peredaran gelap narkotika. Pandangan para aparat hukum saat ini dalam memandang masalah penyalahgunaan narkotika masih terus memerlukan pencerahan.
Dengan pola fikir yang menyeluruh dalam menyelesaikan masalah tindak pidana narkotika niscaya kita dapat menemukan apa yang menjadi akar permaslahan dalam tindak pidana narkotika yang semakin hari semakin meningkat. Masalah pemidanaan yang masih berfokus pada penderitaan juga menjadi kendala dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Sanksi berupa tindakan pengobatan dan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika perlu dikedepankan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T36673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A Ngr Jayalantara
"Hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut diakui dalam konstitusi Indonesia, namun dalam penanganan peristiwa Bom Bali I, menunjukkan hak atas perlindungan dari hukum pidana yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak mutlak di Indonesia. Penelitian ini mengkaji penerapan asas non retroaktif dalam peradilan kasus Bom Bali I, sehingga diketahui alasan kenapa diterapkannya prinsip retroaktif, dan diketahui apakah putusan pidana terhadap pelaku Bom Bali I memiliki keberlakuan hukum. Pendekatan yang dipergunakan diantaranya: interpretasi oleh mereka yang melaksanakanperadilan pidana, pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, dan pendekatan konsep (conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep "aw-in-action" dalam penerapan asas legalitas dan asas non retroaktif. Terhadap kejahatan yang luar biasa (terorisme), pemberlakuan prinsip retroaktif merupakan representasi hak para korban untuk mendapatkan/mencapai keadilan yang penerapannya bersifat terbatas. Tolak ukur keadilan dalam masyarakat dijadikan alasan utama dalam menyimpangi asas fundamental dalam sistem peradilan, yang dapat berdampak merusak tatanan penegakan hukum di Indonesia. Proses penegakan hukum terhadap pelaku Bom Bali I tetap memiliki keberlakuan hukum karena aturan yang digunakan telah disahkan sesuai sesuai konstitusi negara dan diterima oleh sebagian besar masyarakat, jadi dapat dikatakan "rasa keadilan mengenyampingkan asas fundamental". (A.A Ngr Jayalantara, NPM: 1006788933).

Right not to be prosecuted under retroactive law is recognized in the constitution of Indonesia, but in handling the 1st Bali bombing incident, application of the right to protection from retroactive criminal law is a human right was not always absolute in Indonesia. This study examines the application of the principle of non retroactive in judicial case of the 1st Bali Bombing, so in mind the reason why the principle of retroactive are applicated, and known whether that the decision punishment of Bali bombers are have legal validity. The approach that used such as: the interpretation by those how implemented criminal justice, regulatory approach (the statute approach) that relating to the enforcement of the criminal justice system, and conceptual approach that used to understand the concept of "law-in-action" in the application of the principle of legality and the principle of non retroactive. For extra ordinary crimes (terrorism), the application of retroactive principle represent a rights of victims to get/achieve justice that its application is limited. The Measure of justice in society in the main excuse deviate fundamental principle in the judicial system, which can have devastating effects on the order of law enforcement in Indonesia. Law enforcement against perpetrators of the 1st Bali Bombing still have legal validity because rules that are used have been validated according to the state constitution and accepted by most people, so it can be said to be "justice set aside the fundamental principle ". (A.A Ngr Jayalantara, NPM: 1006788933)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30231
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bertinus Haryadi Nugroho
"Transportasi laut memiliki peran penting dalm perekonomian, sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya, untuk menjamin pelayaran yang tertib dan teratur. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah undangundang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut suatu perbuatan ditetapkan menjadi tindak pidana. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif serta sanksi pidana, dan beberapa tindak pidana tersebut sebenarnya bukanlah perbuatan-perbuatan yang karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime), sehingga penetapan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan overcriminalization.
Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah konsep kriminalisasi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remidium. Apakah kriminalisasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebabkan overcriminalization. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memiliki konsep yang jelas dalam penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai overlapping offenses/crimes, adalah Pasal 291, 316, 324, 325, dan 326. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai crimes of risk prevention, yaitu Pasal 286, 294, 302, 303, dan 323. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan cara memasukkan Pasal 316 ke dalam KUHP, melakukan dekriminalisasi terhadap Pasal 324, 325, dan 326, serta melakukan depenalisasi terhadap pasal-pasal lainnya.

Sea transport has an important role economic performance, so we need laws that govern it, to ensure the orderly and regular shipping. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage is the administrative laws that have criminal penalties. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy's problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is the most strategic step because in this step, a behavior is set to be a criminal act. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage to load acts punishable with administrative sanctions and criminal penalties, and some are in fact criminal acts that are not as fundamentally at odds with fairness, morals and general principles of civilized society (mala in se, natural crime), so the determination of the acts are a criminal offense in the Shipping Act 2008 No. 17 on a voyage overcriminalization.
This research to answer the question how the concept of criminalization in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, whether criminal law is really a ultimum remidium. Is the criminalization of the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage causing overcriminalization. This research is a normative juridical research. From the result showed that Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage did not have a clear concept in the use of criminal law as an ultimum remidium. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as overlapping offenses / crimes, is Article 291, 316, 324, 325, and 326. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as crimes of risk prevention, namely Article 286, 294, 302, 303, and 323. Need for revision of Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, by entering into the Criminal Code Article 316, to the decriminalization of Article 324, 325, and 326, as well as doing depenalization to other articles.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>