Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 471 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Upaya hukum pidana merupakan pilihan terakhir di antara upaya hukum andministratif dan hukum perdata. Upaya hukum pidanan ini dianggap tidak menyelesaikan masalah karena si perncemarnya akan dimasukkan ke penjara, sedangkan kerusakan yang ditimbulkannya tetap dalam keadaan semual. Meskipun demikian kehadirannya sangat diperlukan demi untuk memerangi pencemaran lingkungan. Sebab dengan adanya ancaman kurungan terhadap si pencemar, diharapkan akan membuat pencemar yang potensial merasa takut dan jera untuk berbuat hal yang sama."
Hukum dan Pembangunan Vol. 25 No. 6 Desember 1995 : 501-513, 1995
HUPE-25-6-Des1995-501
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
A.A Ngr Jayalantara
"Hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut diakui dalam konstitusi Indonesia, namun dalam penanganan peristiwa Bom Bali I, menunjukkan hak atas perlindungan dari hukum pidana yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak mutlak di Indonesia. Penelitian ini mengkaji penerapan asas non retroaktif dalam peradilan kasus Bom Bali I, sehingga diketahui alasan kenapa diterapkannya prinsip retroaktif, dan diketahui apakah putusan pidana terhadap pelaku Bom Bali I memiliki keberlakuan hukum. Pendekatan yang dipergunakan diantaranya: interpretasi oleh mereka yang melaksanakanperadilan pidana, pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, dan pendekatan konsep (conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep "aw-in-action" dalam penerapan asas legalitas dan asas non retroaktif. Terhadap kejahatan yang luar biasa (terorisme), pemberlakuan prinsip retroaktif merupakan representasi hak para korban untuk mendapatkan/mencapai keadilan yang penerapannya bersifat terbatas. Tolak ukur keadilan dalam masyarakat dijadikan alasan utama dalam menyimpangi asas fundamental dalam sistem peradilan, yang dapat berdampak merusak tatanan penegakan hukum di Indonesia. Proses penegakan hukum terhadap pelaku Bom Bali I tetap memiliki keberlakuan hukum karena aturan yang digunakan telah disahkan sesuai sesuai konstitusi negara dan diterima oleh sebagian besar masyarakat, jadi dapat dikatakan "rasa keadilan mengenyampingkan asas fundamental". (A.A Ngr Jayalantara, NPM: 1006788933).

Right not to be prosecuted under retroactive law is recognized in the constitution of Indonesia, but in handling the 1st Bali bombing incident, application of the right to protection from retroactive criminal law is a human right was not always absolute in Indonesia. This study examines the application of the principle of non retroactive in judicial case of the 1st Bali Bombing, so in mind the reason why the principle of retroactive are applicated, and known whether that the decision punishment of Bali bombers are have legal validity. The approach that used such as: the interpretation by those how implemented criminal justice, regulatory approach (the statute approach) that relating to the enforcement of the criminal justice system, and conceptual approach that used to understand the concept of "law-in-action" in the application of the principle of legality and the principle of non retroactive. For extra ordinary crimes (terrorism), the application of retroactive principle represent a rights of victims to get/achieve justice that its application is limited. The Measure of justice in society in the main excuse deviate fundamental principle in the judicial system, which can have devastating effects on the order of law enforcement in Indonesia. Law enforcement against perpetrators of the 1st Bali Bombing still have legal validity because rules that are used have been validated according to the state constitution and accepted by most people, so it can be said to be "justice set aside the fundamental principle ". (A.A Ngr Jayalantara, NPM: 1006788933)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30231
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bertinus Haryadi Nugroho
"Transportasi laut memiliki peran penting dalm perekonomian, sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya, untuk menjamin pelayaran yang tertib dan teratur. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah undangundang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut suatu perbuatan ditetapkan menjadi tindak pidana. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif serta sanksi pidana, dan beberapa tindak pidana tersebut sebenarnya bukanlah perbuatan-perbuatan yang karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime), sehingga penetapan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan overcriminalization.
Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah konsep kriminalisasi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remidium. Apakah kriminalisasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebabkan overcriminalization. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memiliki konsep yang jelas dalam penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai overlapping offenses/crimes, adalah Pasal 291, 316, 324, 325, dan 326. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai crimes of risk prevention, yaitu Pasal 286, 294, 302, 303, dan 323. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan cara memasukkan Pasal 316 ke dalam KUHP, melakukan dekriminalisasi terhadap Pasal 324, 325, dan 326, serta melakukan depenalisasi terhadap pasal-pasal lainnya.

Sea transport has an important role economic performance, so we need laws that govern it, to ensure the orderly and regular shipping. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage is the administrative laws that have criminal penalties. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy's problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is the most strategic step because in this step, a behavior is set to be a criminal act. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage to load acts punishable with administrative sanctions and criminal penalties, and some are in fact criminal acts that are not as fundamentally at odds with fairness, morals and general principles of civilized society (mala in se, natural crime), so the determination of the acts are a criminal offense in the Shipping Act 2008 No. 17 on a voyage overcriminalization.
This research to answer the question how the concept of criminalization in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, whether criminal law is really a ultimum remidium. Is the criminalization of the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage causing overcriminalization. This research is a normative juridical research. From the result showed that Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage did not have a clear concept in the use of criminal law as an ultimum remidium. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as overlapping offenses / crimes, is Article 291, 316, 324, 325, and 326. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as crimes of risk prevention, namely Article 286, 294, 302, 303, and 323. Need for revision of Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, by entering into the Criminal Code Article 316, to the decriminalization of Article 324, 325, and 326, as well as doing depenalization to other articles.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sudradjat Bassar
Bandung: Remadja Karya, 1986
345 SUD t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Binacipta, 1986
345 IND s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Soesilo
Bandung: Politeia, 1990
345.025 SOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
345 BAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Rajawali, 2011
345 BAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Ridwan Halim, 1954-
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
345 RID h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library