Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 78 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ike Nurjuita Nayasilana
"Penelitian mengenai ekologi orang utan di hutan primer seluas 330 ha dan hutan bekas tebangan seluas 83 ha, Stasiun Penelitian Ketambe, Nanggroe Aceh Darussalam, telah dilakukan sejak Juli 2009-Juli 2010, dengan data tambahan pada 1993-1995 (sebelum penebangan) dan 2003-2008 (pasca penebangan) khusus untuk daerah jelajah orang utan. Perbandingan kedua tipe habitat di hutan primer dan hutan bekas tebangan dilakukan melalui analisis vegetasi, fruit trail, nest count, pemanfaatan fruit patch per km dan penggunaan daerah jelajah. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat sebanyak 20 plot. Sedangkan untuk fruit trail dan nest count menggunakan metode transek (4 jalur transek sepanjang 9,1 km), dan untuk pemanfaatan fruit patch per km serta penggunaan daerah jelajah orang utan menggunakan metode focal animal instantaneous dan GPS. Analisis statistik nonparametrik Mann-Whitney digunakan untuk menguji perbedaan penggunaan kedua tipe habitat. Analisis korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara kelimpahan pohon berbuah (fruit trails) dengan kepadatan sarang (nest counts), kelimpahan pohon berbuah (fruit trails) dengan jelajah orang utan, serta hubungan antara sumber pakan berbuah (fruit patches) dengan jelajah orang utan. Analisis GIS Arc View 3.2 dan Arc GIS 9.3 digunakan untuk melihat luas daerah jelajah orang utan. Hasil analisis vegetasi menunjukkan terdapat 275 pohon dari 99 jenis pohon di hutan primer dengan 67 jenis diantaranya merupakan pohon pakan berbuah. Sedangkan untuk hutan bekas tebangan terdapat 303 pohon dari 87 jenis pohon dengan 56 jenis diantaranya merupakan pohon pakan berbuah. Hutan primer tersusun atas vegetasi asli, sedangkan hutan bekas tebangan tersusun oleh vegetasi perintis. Indeks Keanekaragaman (H?) di hutan primer 3,074; di hutan bekas tebangan 2,961 dan Indeks Kesamaan (ISs) pohon 59,70%; liana 61%, sehingga menyimpulkan bahwa kedua habitat hampir sama dan proses pemulihan hutan dalam 8 tahun terlihat berjalan dengan baik walaupun belum mencapai suksesi akhir. Kelimpahan pohon berbuah tertinggi terjadi pada Juni ? Agustus pada setiap tahun. Kepadatan orang utan berkorelasi positif terhadap ketersediaan buah di hutan primer, tetapi pola yang sama tidak terlihat di hutan bekas tebangan. Jarak jelajah jantan (Asymp.Sig = 0,439) atau betina (Asymp.Sig = 0,121) sebelum penebangan (1993-1995) dan pascapenebangan I (2003-2008), ataupun pascapenebangan II (2009-2010) tidak ada perbedaan. Tidak ada hubungan yang signifikan (0,307 di hutan primer dan 0,119 di hutan bekas tebangan) antara kelimpahan pohon (semua jenis) berbuah di trails dengan jarak jelajah orang utan. Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara sumber pakan orang utan berbuah (fruit patches) dengan jarak jelajah orang utan (0,022 di hutan primer dan 0,015 di hutan bekas tebangan). Tujuan orang utan menjelajah untuk mencari sumber pakan khususnya pakan berbuah (Asymp.Sig = 0,005). Berdasarkan hasil analisis diketahui pula, 79% orang utan menggunakan hutan primer dan 21% hutan bekas tebangan sebagai daerah jelajahnya.

Research on ecology of orangutans in 330 ha area of which is pristine forest and 83 ha of which has been logged, Ketambe Research Station. The study was conducted in July 2009-July 2010, with additional ranging data from 1993 to 1995 and data from 2003 to 2008. Comparison of these two habitat types was done through analysis of vegetation, fruit trail, nest counts, use of food patches per km and use of ranging. Vegetation data collected from squares method (20 sampling plots), fruit trail and nest count 9.1 km transect lines. Ranging data were collected by focal animal instantaneous sampling and GPS. Arc GIS 3.2 and Arc View GIS 9.3 were used for the analysis of ranging area and tested with Mann-Whitney. The results of vegetation analysis revealed that in unlogged forest there were 275 trees comprising 99 species with 67 species being orangutan food trees, whereas in logged forest there were 303 trees with 87 species of which 56 species were orangutan food trees. Unlogged forests are typically composed of native vegetation whereas logged forests comprise pioneer species. Diversity Index (H?) in unlogged forest 3,074; in logged 2,961 and Similarity index (ISs) to trees 59,70%; liana 61%, revealed that both habitats are similar and natural succession during the past eight years has been progressing well although pioneer trees such as Elateriospermum tapos and Macaranga sp. were still present in the logged forest. Fruit trails studies revealed that levels of productivity of trees fruiting were highest between June-August in each year. Nest counts showed that the productivity of fruit trees was positively correlated to the density of orangutans. Orangutan density was positively correlated to fruit availability in unlogged forest, but the same pattern is seen in logged forest. A range pattern of male and female on before and after logging were not difference. They used primary forest wider than in logged area. There was no significant relationship (0.307 and 0.119 in the unlogged forest in logged forest) between the abundance of fruit trees (all) in trails with a orangutans range. However, there is a significant relationship between orangutan fruit patches with an orangutan?s range (0.022 in the unlogged forest and 0.015 in logged forest). Orangutans prefer to range use the primary forest (79%) as compared to logged forest (21%).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30316
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suwarso Heddy
Jakarta: Rajawali, 2012
581.7 SUW m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Naufal Fahrisa
"Pulau Menjangan merupakan salah satu bagian dari Taman Nasional Bali Barat, dikukuhkan sebagai taman nasional sekaligus world heritage. Pulau menjangan memiliki kekayaan bawah laut yang sangat melimpah. dengan gugusan karang sekitar 45 jenis, 32 jenis ikan karang, serta 9 jenis moluska laut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan morfologi dasar laut untuk melihat hubungannya dengan sebaran habitat bentik di perairan dangkal tersebut, yang nantinya dapat digunakan untuk kepentingan konservasi maupun pariswisata. Peta morfologi di deliniasi dari peta batimetri, yang mana sebelumnya peta batimetri dibuat dengan ekstraksi data kedalaman dari Citra WorldView-2 dengan resolusi spasial 2 meter, kemudian dilakukan pemodelan kedalaman dengan algoritma random forest. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model kedalaman efektif merepresentasikan 91,7% kondisi kedalaman sesungguhnya, namun sampel kedalaman kedalaman aktual yang digunakan pada penelitian ini hanya efektif merepresentasikan 56,2% data hasil model.
Pada wilayah penelitian ini ditemukan 5 unit morfologi karang di wilayah penelitian, yaitu reef flat (dominan), lagoon, back reef, reef crest, dan fore reef. Secara garis besar, terdapat 2 tipe terumbu karang di wilayah penelitian yaitu tipe barrier, dan fringing reef. Sedangkan untuk morfologi dasar laut, terdapat 5 unit morfologi dasar laut yaitu garis pantai, bench dangkal, jurang dangkal, shelf break dan gundukan, dengan unit morfologi shallow bench menjadi unit morfologi paling dominan. umum terdapat 5 habitat bentik di laut dangkal di sekitar Pulau Menjangan, yaitu rataan terumbu (reef flat), lereng terumbu (reef slope), terumbu depan (fore reef), mangrove, pasir dan teras, serta rubble. Secara spesifik, terdapat pula makroalga dan padang lamun di wilayah kajian. Penelitian ini menemukan bahwa morfologi karang dan dasar laut dapat digunakan sebagai parameter untuk melihat sebaran habitat bentik.

Menjangan Island is one part of West Bali National Park, confirmed as a national park as well as a world heritage. Menjangan Island has an abundant wealth of underwater. with a group of about 45 species of coral, 32 species of reef fish, and 9 types of marine mollusks. This study aims to map the seabed morphology to see how it relates to the distribution of benthic habitats in these shallow waters, which can later be used for conservation and tourism purposes. Seabed morphological maps are delineated from the bathymetric map, where previously the bathymetric map was made by extracting depth data from WorldView-2 imagery with a spatial resolution of 2 meters, then depth modeling was performed with random forest algorithm. The results showed that the depth model represented 91.7% of the actual depth condition, but actual depth samples is only represented about 56.2% of the model data results.
In this study area, 5 coral morphology units were found in the study area, namely reef flat (dominant), lagoon, back reef, reef crest, and fore reef. Broadly speaking, there are 2 types of coral reefs in the study area, namely the type of barrier, and fringing reef. While for the seabed morphology, there are 5 morphological units of the seabed, namely shoreline, shallow bench, shallow cliff, shelf break and pinnacles, with shallow bench morphological units being the most dominant morphological units. In general, there are 5 benthic habitats in shallow seas around Menjangan Island, namely reef flat, reef slope, fore reef, mangrove, sand and terrace, and rubble. Specifically, there are also macroalgae and seagrass beds in the study area. This study found that coral morphology and seabed can be used as parameters to see the distribution of benthic habitats.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iyan Robiansyah
"The conservation of the endemic tree species Dipterocarpus littoralis (Bl.) Kurz. is hampered by the paucity of
information on its population biology and ecology. Consequently, a targeted survey was carried out in the West
Nusakambangan Nature Reserve to assess its population size and structure as well as habitat preferences. In total, 676
individuals of D. littoralis were located at 52 locations, with an extent of occurrence of 3.66 km2 and an area of
occupancy of 1.71 km2. The population had an inverse-J-shaped distribution of diameter at breast height (DBH), with
63% of individuals in the 0-5 cm class and another 21% in the 5-10 cm class; only 11 (1.6%) mature individuals
(DBH≥30) were found. D. littoralis was associated with steep, low, southwest-facing sites and sites that had high litter
cover and thickness. Illegal logging and fuel-wood chopping were the main threats to D. littoralis and its habitat. In
addition, an invasive shrub, Langkap (Arenga obtusifolia, Arecaceae), was a potential competitor with the seedlings
throughout the reserve. In view of its endemism, narrow range and localized distribution, small population,
environmental preferences, and the severe threats from anthropogenic activities and invasive species, D. littoralis
appears to more than justify its conservation status of Critically Endangered.
Status Populasi dan Preferensi Habitat Jenis Kritis Dipterocarpus Littoralis di Nusakambangan Barat,
Indonesia. Usaha konservasi jenis endemik Dipterocarpus littoralis (Bl.) Kurz. terhambat karena kurangnya informasi
mengenai biologi dan ekologi populasi tumbuhan ini. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan survey terarah di
Cagar Alam Nusakambangan Barat untuk mengetahui struktur dan ukuran populasi serta preferensi habitat dari D.
littoralis. Total sebanyak 676 individu D. littoralis di temukan di 52 lokasi dengan tingkat keberadaan (extent of
occurrence) 3,66 km2 dan luas area yang ditempati (area of occupancy) 1,71 km2. Populasi D. littoralis memiliki
sebaran diameter batang setinggi dada (DBH) berbentuk huruf J terbalik dengan persentase individu dalam kelas DBH
0-5 cm sebesar 63%, kelas 5-10 cm sebesar 21% dan individu dewasa (DBH ≥30) hanya sebesar 1,6%. Keberadaan D.
littoralis berasosiasi dengan lokasi yang terjal, rendah, menghadap ke tenggara dan memiliki tutupan serta ketebalan
serasah yang tinggi. Penebangan dan pengambilan kayu bakar secara liar merupakan ancaman utama terhadap
keberadaan D. littoralis dan habitatnya. Selain itu, tumbuhan invasif Langkap (Arenga obtusifolia, Arecaceae) yang
tersebar di seluruh cagar alam merupakan saingan utama anakan D. littoralis. Karena bersifat endemik, area sebaran
yang sempit dan terlokalisasi, ukuran populasi yang kecil, preferensi terhadap habitat tertentu, dan ancaman yang serius
dari aktifitas manusia dan jenis invasif, maka D. littoralis memiliki dasar yang kuat untuk tetap dalam status konservasi
Kritis (Critically Endangered)."
Norwich: University of East Anglia, Norwich. School of Environmental Sciences, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqa Khairunnisa Putri
"Penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis dan memprediksi pola kekayaan spesies burung dan habitatnya di Taman Nasional Bali Barat TNBB . Penelitian dilakukan pada tanggal 23--27 Juli 2016 di kawasan TNBB, Kabupaten Buleleng meliputi lima lokasi yaitu Trimbawan pelataran , Trimbawan baru, Prapat Agung, Lampu Merah dan Tegal Bunder. Metode observasi burung menggunakan Point Count, sedangkan profil habitat dilakukan dengan analisis vegetasi. Pengolahan data citra menggunakan citra satelit Landsat 7 Thematic Mapper TM. Nilai NDVI dihitung melalui perbandingan rasio band 4 sebagai near-infrared NIR dan band 3 sebagai red-light RED. Analisis hubungan dan pengaruh antara kekayaan spesies burung dengan nilai NDVI dihitung dengan analisis regresi linier. Hasil menunjukkan terdapat 52 spesies burung dan 303 individu. Hubungan antara kekayaan spesies burung dengan nilai NDVI berkorelasi signifikan R2 = 0.808; p-value = 0.037; P < 0.05 menunjukkan bahwa nilai NDVI dapat memprediksi kekayaan spesies burung di TNBB.

Research has been conducted to analyze and predict bird species richness pattern and their habitat in the West Bali National Park TNBB . Research was conducted on 23 27 July 2016 in TNBB area, Buleleng Regency covering five locations namely Trimbawan pelataran , Trimbawan baru, Prapat Agung, Lampu Merah and Tegal Bunder. Bird observation was carried out using Point Count method, while habitat profile is measure by vegetation analysis. Image data processing used Landsat 7 Thematic Mapper TM satellite image. The NDVI value is calculated by comparison of ratio band 4 as near infrared NIR and band 3 as red light RED . Analysis of relationship and the effect of bird species richness with NDVI values was calculated by linear regression. Results showed that there were 52 species of birds and 303 individuals. The association between bird species richness and NDVI values was significant R2 0.808 p value 0.037 P 0.05 indicating that NDVI values can predict the bird species richness in TNBB."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S69857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The number of primates on the brink of extinction continues to grow due to threats such as habitat loss, hunting, and disease. The need to respond with effective conservation measures has therefore never been greater. This edited book brings together an international team of contributing authors with wide-ranging expertise to provide a comprehensive synthesis of current research principles and management practices in primate conservation. The chapters are grouped into three sections: background and conceptual issues, threats, and solutions. In the first section, the authors consider why we should conserve primates, summarize the conservation status of primates, discuss species concepts and their relevance to conservation, review primate conservation genetics, and describe primate abundance and distributions. The second section includes discussion of threats from habitat destruction and degradation, primate trade, hunting, infectious diseases, and climate change. The third section considers solutions to primate conservation challenges from several perspectives: protected areas, landscape mosaics, human-primate conflict, reintroduction, ecosystem services, and evidence-based conservation. The book concludes with consideration of some future directions for primate conservation research.
"
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20469630
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Royyan Noor Arofianto
"Fishscape Museum adalah proyek akhir yang berlokasikan di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara. Direncanakan pada lahan seluas kurang lebih 2700m2, dengan rancangan akhir bermassa 2 lantai dan langsung berinterkai dengan perairan lepas Sunda Kelapa. Dengan adanya latar belakang matinya nilai turisme pada kawasan sehingga disini mengupayakan untuk mengembangkan nilai turisme yang mati pada kawasan tersebut. Dibawa dengan konsep utama bagaimana sebuah narasi dari habitat ikan di Jakarta sendiri dan narasi morfologi dari sungai dapat menyampaikan pesan tentang pentingnya bagaimana kehidupan ikan dan lingkungannya perlu dibudidayakan secara optimal. Museum ini terprogram untuk menyediakan kegiatan turisme berupa edukasi tentang kehidupan perikanan di Jakarta dan budidayanya, yang diharapkan user nantinya dapat memahami dan menyadari pentingnya keberadaan ikan pada kehidupannya. Serta ruang untuk para peneliti dan edukator habitat perairan dapat berkumpul untuk bertukar pendapat tentang isu perikanan Jakarta.

Fishscape Museum is a final project located in the Fish Market area, North Jakarta. Planned on an area of ​​approximately 2700m2, with a final design with a 2-storey mass and directly interact with the waters off Sunda Kelapa. With the background of the death of the value of tourism in the region so here strives to develop the value of tourism that dies in the region. Taken with the main concept of how a narrative of fish habitat in Jakarta itself and the morphological narrative of the river can convey a message about the importance of how fish life and its environment need to be optimally cultivated. The museum is programmed to provide tourism activities in the form of education about the life of fisheries in Jakarta and its culture, which is expected to later users can understand and realize the importance of fish in their lives. As well as space for researchers and educators of aquatic habitats can gather to exchange opinions on Jakarta fisheries issues.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fawzy
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang perilaku dan daerah jelajah harian rusa timor (Cervus timorensis) di Taman Nasional Baluran, dari Juni hingga September 2019. Tujuan penelitian untuk mengukur dan membandingkan perilaku dan daerah jelajah harian rusa timor (Cervus timorensis) pada dua lokasi dengan tingkat gangguan antropogenik yang berbeda di Taman Nasional Baluran. Kedua lokasi dengan tingkat gangguan aktivitas manusia yang berbeda yaitu: adanya pariwisata di Savana Bekol, dan tanpa pariwisata dan adanya penggembalaan sapi (Bos taurus) di Labuhan Merak. Pengumpulan data alokasi waktu harian dilakukan dengan melakukan observasi langsung di habitat rusa timor menggunakan metode continuous focal animal sampling. Individu atau subjek pengamatan dipilih dari 3 lokasi berbeda di Savana Bekol dan 2 lokasi berbeda di Labuhan Merak. Data perilaku harian dianalisis menggunakan uji perbandingan statistika t independen atau Mann-Whitney [n1 = 25 (♀ = 15, ♂ = 10), n2 = 10 (♀ = 6, ♂ = 4)]. Data daerah jelajah harian dianalisis menggunakan uji perbandingan yaitu uji t independen [n1 = 6 (♀ = 3, ♂ = 3), n2 = 6 (♀ = 3, ♂ = 3)]. Hasil perbandingan perilaku dari Savana Bekol dengan Labuhan Merak menunjukkan bahwa pada rusa timor betina terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi perilaku istirahat (36,93% ± 10,97 dengan 63,40% ± 10,05), bergerak (7,13% ± 1,72 dengan 1,83% ± 0,41), dan waspada (1,52% ± 0,39 dengan 0,51% ± 0,19) (P ≤ 0,05). Pada rusa timor jantan terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi perilaku bergerak (6,36% ± 1,84 dengan 1,82% ± 0,56) (P ≤ 0,05). Hasil perbandingan daerah jelajah dari Savana Bekol dengan Labuhan Merak menunjukkan bahwa pada rusa timor betina di Savana Bekol memiliki luas daerah jelajah harian yang lebih luas dibandingkan dengan luas daerah jelajah harian rusa timor betina di Labuhan Merak (19,19 ha ± 0,74 dengan 2,67 ha ± 0,36) (P ≤ 0,05). Pada rusa timor jantan di Savana Bekol juga memiliki luas daerah jelajah harian yang lebih luas dibandingkan dengan luas daerah jelajah harian rusa timor jantan di Labuhan Merak (13,93 ha ± 0,55 dengan 2,18 ha ± 0,40) (P ≤ 0,05). Perilaku daerah jelajah rusa timor dalam penggunaan habitat (tutupan lahan, ketinggian, dan kemiringan) dari kedua lokasi menunjukkan perilaku yang hampir sama yaitu menggunakan strategi optimal patch use.

ABSTRACT
Research had been carried out on the behavior and daily home range of ​​javan deer in Baluran National Park, from June to September 2019. The aim of the study was to measure and compare the behavior and daily home range of javan deer (Cervus timorensis) from two sites with different levels of anthropogenic disturbance in Baluran National Park. The two locations with different levels of human activity disturbances are: the areas with the presence of tourism in Savana Bekol (location 1), and areas without tourism and the presence of livestock grazing of cattle (Bos taurus) in Labuhan Merak (location 2). Daily time budget data collection was conducted by direct observation in the javan deer habitat using the continuous focal animal sampling method. Individuals or observational subjects were chosen from 3 different locations at Savana Bekol and 2 different locations at Labuhan Merak. Daily behavioral data were analyzed using statistical comparison independent t test or Mann-Whitney test [n1 = 25 (♀ = 15, ♂ = 10), n2 = 10 (♀ = 6, ♂ = 4)]. Daily home range data were analyzed using a comparison independent t test [n1 = 6 (♀ = 3, ♂ = 3), n2 = 6 (♀ = 3, ♂ = 3)]. Comparison of behavior from Savana Bekol vs Labuhan Merak showed that in female javan deer, there was a significant difference in the proportion of resting behavior (36.93% ± 10.97 vs 63.40% ± 10.05), moving (7.13% ± 1.72 vs 1.83% ± 0.41), and vigilance (1.52% ± 0.39 vs 0.51% ± 0.19) (P ≤ 0.05). In male javan deer there was a significant difference in the proportion of moving behavior (6.36% ± 1.84 vs 1.82% ± 0.56) (P ≤ 0.05). Comparison of home ranges from Savana Bekol vs Labuhan Merak showed that females javan deer in Savana Bekol has a wider daily home range than the daily home range of females javan deer in Labuhan Merak (19.19 ha ± 0.74 vs 2.67 ha ± 0.36) (P ≤ 0.05). Males javan deer in Savana Bekol also has a wider daily home range than the daily home range males of javan deer in Labuhan Merak (13.93 ha ± 0.55 vs 2.18 ha ± 0.40) (P ≤ 0.05). The home range behavior of javan deer in habitat use (land cover, elevation, and slope) from the two locations showed almost the same behavior, which is using optimal patch use strategy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Nur Muhammad Yahya
"Keberadaan burung pada suatu ekosistem merupakan salah satu indikator penting dalam keberlangsungan ekosistem tersebut. Pohon merupakan komponen penting bagi habitat burung, pohon dimanfaatkan sebagai tempat berlindung, beristirahat, penyedia makanan, dan membuat sarang. Pohon Jeungjing (Paraserianthes falcataria) dan pohon Kluwih (Artocarpus camansi) merupakan tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat, baik pohon Jeungjing maupun pohon Kluwih memiliki manfaat dari segi manusia juga segi alam. Hingga kini, belum banyak penelitian yang membahas asosiasi antara burung dengan pohon sebagai habitatnya, khususnya pohon Jeungjing dan pohon Kluwih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara komunitas burung dengan pohon Jeungjing dan pohon Kluwih serta perbedaan populasi burung pada kedua pohon. Asosiasi dicari menggunakan uji G-test, analisis perbedaan jumlah populasi burung pada kedua pohon dicari menggunakan uji-t dua sampel independen. Berdasarkan hasil yang didapatkan, seluruh populasi burung yang ditemukan pada lokasi pengamatan tidak memiliki asosiasi dengan pohon Jeungjing dan pohon Kluwih. Perbedaan jumlah populasi burung dihitung menggunakan populasi Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) yang terdistribusi normal pada kedua pohon. Hasil analisis uji-t dua sampel independent menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan jumlah populasi Merbah Cerukcuk pada pohon Jeungjing dan pohon Kluwih.

The presence of birds in an ecosystem is one of the important indicators in the sustainability of the ecosystem. Trees are an important component for bird habitats, trees are used as places to shelter, rest, provide food, and make nests. Jeungjing tree (Paraserianthes falcataria) and the Kluwih tree (Artocarpus camansi) is a plant that is widely used by the community, both Jeungjing and Kluwih trees have benefits from a human perspective as well as a natural one. Until now, not many studies have discussed the association between birds and trees as their habitat, especially Jeungjing trees and Kluwih trees. This study aims to determine the association between bird communities and Jeungjing and Kluwih trees and differences in bird populations in both trees. Associations were searched using the G-test, analysis of differences in the number of bird populations in the two trees was searched using the t-test of two independent samples. Based on the results obtained, all bird populations found at the observation site had no association with Jeungjing and Kluwih trees. The difference in the number of bird populations was calculated using the Merbah Cerukcuk population (Pycnonotus goiavier) which is normally distributed in both trees. The results of the t-test analysis of two independent samples showed that there was no significant difference in the number of Merbah Cerukcuk populations in Jeungjing and Kluwih trees."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Tasya Namira
"Hasil ekskavasi Situs Gua Pawon tahun 2019 dan 2021 dari kotak T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, dan T4S1 menemukan sebanyak 976 spesimen gigi hewan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi lingkungan Situs Gua Pawon pada masa lalu. Untuk mengetahui tingkatan taksa hewan hingga keletakan gigi dilakukan analisis taksonomik dan anatomik, sedangkan rekonstruksi lingkungan dilakukan melalui analisis lingkungan berdasarkan pembagian kelompok fungsional fauna menurut Julien Louys (2012). Metode penelitian terdiri dari enam tahapan, yaitu formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Hasilnya, tercatat 120 individu hewan dari 13 famili berbeda ditemukan di Situs Gua Pawon dengan dominasi Famili Cercopithecidae pada keempat unit analisis. Walaupun demikian, sumbangan protein yang dihasilkan juga perlu diperhatikan, sehingga hewan berukuran besar (megafauna), seperti Famili-famili Suidae, Bovidae, dan Cervidae lebih potensial menjadi hewan buruan utama untuk konsumsi, sedangkan Famili-famili Cercopithecidae dan Hystricidae menjadi pelengkap dari variasi makanan yang dikonsumsi. Selain itu, ditemukan juga perhiasan dari gigi ikan hiu, serta gigi taring Carnivora, Cercopithecidae, dan Suidae dengan jejak modifikasi berupa pelubangan bagian akar gigi dan penajaman mahkota gigi. Dengan demikian, manusia penghuni Gua Pawon merupakan pemburu yang dapat memanfaatkan seluruh potensi hewan dari habitat terestrial, arboreal, dan perairan yang berada di sekitar Situs Gua Pawon.

Excavations at the Pawon Cave Site in 2019 and 2021 from boxes T2U1, T2S1, T3U1, T3S1, and T4S1 lead to the discovery of 976 specimens of animal teeth that could be used to reconstruct the past of the Pawon’s Cave Site environment. In order to determine the level of animal taxa to the location of the teeth, taxonomic and anatomical analyzes were carried out, while environmental reconstruction was carried out through environmental analysis based on the distribution of faunal functional groups by Julien Louys (2012). The research method consists of six steps, namely formulation, implementation, data collection, data processing, analysis, and interpretation. As a result, 120 individual animals from 13 different families were found at the Pawon Cave site with the dominance of the Cercopithecidae family in each four units of analysis. However, it is also necessary to the contribution of protein produced, so that large animals (megafauna), such as the Families Suidae, Bovidae, and Cervidae, have more potential to become main game animals for consumption, while the Families Cercopithecidae and Hystricidae become a complement to a variety of foods consumed. In addition, jewelry from shark teeth and canine teeth of Carnivora, Cercopithecidae and Suidae were also found with traces of modification in the form of perforation of the roots of the teeth and sharpening of the dental crowns. Thus, the human inhabitants of Pawon Cave are hunters who can utilize all the potential of animals from terrestrial, arboreal and aquatic habitats around the Pawon’s Cave Site."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>