Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara Choiriyah Fajriyanti
"ABSTRAK
Fenomena dakwah yang tersebar di berbagai platform media sosial serta turut diproduksi oleh para pendakwah Islam (ustadz) saat ini tengah berupaya untuk merangkul pengikut dakwah yang berasal dari golongan muda. Organisasi Shift-Pemuda Hijrah yang dikelola oleh Ustadz Hanan Attaki bersama rekan tim adalah contoh bagaimana fenomena tersebut berlangsung. Studi-studi mengenai dakwah digital di media sosial terdahulu menjelaskan bahwa proses bekerjanya fenomena tersebut dilakukan melalui adanya tawaran berupa format konten dakwah dengan orientasi baru yang diproduksi di dalamnya. Guna memperkaya studi-studi sebelumnya, bagi peneliti, fenomena kemunculan dakwah digital di media sosial lebih dari sekedar penjelasan atas fenomena tersebut melalui format konten yang ditawarkan. Dalam penelitian ini, peneliti berargumen bahwa gerilya dakwah digital Shift-Pemuda Hijrah merupakan gerakan sosial yang dilakukan sebagai upaya guna mentransformasi struktur secara kultural lewat framing Islamisme pada pemuda. Melalui observasi, wawancara mendalam, serta data visual, peneliti menyimpulkan bahwa berbaurnya Shift-Pemuda Hijrah dalam penggunaan jaringan komunikasi di kegiatan dakwahnya, berbaur dalam ruang urban, serta mengikuti tren konsumsi, dapat membangun intepretasi atas aktivisme gerakannya dalam penguatan nilai-nilai Islam yang memungkinkan adanya mobilisasi atas berbagai representasi dan mampu mentransformasi struktur secara kultural.

ABSTRACT
The phenomenon of Islamic preach that has been spread across various social media platforms and being produced by Islamic preacher (ustadz) itself is trying to embrace followers from the younger generation. The Shift-Pemuda Hijrah managed by Ustadz Hanan Attaki and his team is an example of how the phenomenon has took place. Previous studies explained that this phenomenon was carried out through a process of a preach form which offers new orientation within its production. However, this study argues that the propagation of Shift-Pemuda Hijrahs digital preach is a form of social movement as an effort to transform the existing structures with cultural aspects through Islamism as framing within its movement on youth. Through observation, in-depth interviews, as well as visual studies, this study finds that the use of the communication networks in the preach activities, blended in the urban space, and following consumption trends, could help the movement build interpretations in order to strengthening Islamic values within the youth lifestyle, which possibly mobilize various representations and transform the existing social structures through cultural aspects."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhanah Aleyda Giri
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana gerakan sosial anak muda yang bernama Green Welfare Indonesia memanfaatkan media sosial dan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuannya. Studi terdahulu fokus pada kehadiran internet terutama media sosial bagi anak muda dalam mengekspresikan suaranya melalui media sosial yang menjadi arena baru bagi gerakan sosial, seperti gerakan Fridays for Future. Namun, terdapat studi terdahulu yang berfokus pada lemahnya gerakan sosial yang didukung oleh internet karena partisipasi dari gerakan sosial tersebut dinilai lemah dan tidak cukup merepresentasikan perjuangan gerakan dalam mengatasi isu tertentu. Peneliti berargumen bahwa arena digital sebagai arena baru bagi anak muda dalam menyuarakan suaranya dapat menciptakan perbedaan dalam memanfaatkan kekuatan media sosial dan cara anak muda dalam memobilisasi sumber daya. Hasil penelitian ini melihat bahwa para aktor Green Welfare Indonesia memiliki berbagai platform media sosial yang dimanfaatkan dengan strategi tertentu. Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa Green Welfare Indonesia dapat mencari serta memobilisasi sumber daya dengan baik sehingga membantu gerakan untuk mencapai tujuannya. Adapun hasil ini terefleksi dari kanal media sosial dan program kerja yang dibuat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengambilan data wawancara mendalam dan observasi digital terhadap konten-konten media sosial dari Green Welfare Indonesia.

This research aimed to analyze how a youth social movement called Green Welfare Indonesia utilized social media and resources to achieve their objectives. Prior studies focused on the existence of the internet, especially social media that is being utilized by youth to express their concern in social media, such as Fridays for Future. Prior study also focused on the weakness of social movement that plays a role in the digital arena due to lack of participation and effort to solve the issue that is carried by the movement. This research argues that the digital arena as a new arena for youth can create a difference in utilizing social media power and how youth mobilize resources that exist. The result of this research is that actors from Green Welfare Indonesia are able to search and mobilize resources. The results are reflected in both social media and events that they held. This research is using qualitative methods with in-depth interviews and digital observation of Green Welfare Indonesia’s Instagram content to collect data."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Setiawati
"Disertasi ini membahas mengenai organisasi LBT (Lesbian, Biseksual,dan Transgender) Ardhanary Institute di Jakarta. Organisasi feminis ini, dimaknai “coming out” di tengah kondisi sosial budaya yang tengah mengalami perubahan global dan pasca reformasi. Pada dasarnya penolakan-penolakan lebih kuat dari pada penerimaan keberadaan mereka, namun berani untuk “coming out”. Disebabkan adanya jaringan sosial yang dilakukan aktor-aktor di dalam organisasi ini melalui relasi dengan aktor serta lembaga lainnya. Sebagai kajian antropologi feminis, lebih menekankan pada jaringan sosial yang bersifat deskriptif, tidak pada tataran analitik.
Manfaat kajian ini; Pertama, mengisi ruang penelitian akademik tentang organisasi LBT (Lesbian, Biseksual dan Transgender) telah “coming out” dalam perspektif antropologi. Kedua, menambah kajian selama ini terabaikan, yakni tentang jaringan sosial bersifat deskriptif pada organisasi LBT (Lesbian, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia. Kesimpulan kajian ini: 1). Situasi global sangat mempengaruhi eksistensi dari organisasi LBT di Indonesia terutama organisasi AI “coming out” melalui jaringan sosial yang relasi internasional yang dilakukan aktor-aktor dalam organisasi ini, 2). Sebagai organisasi yang telah “coming out”, memberikan effek“struggling”dimana aktor-aktor lesbian inilah sebagai motivator, fasilitator, inspirator dan berimplikasi dalam pergerakan organisasi LBT yang ada di daerah-daerah seluruh Indonesia, 3). Organisasi ini secara aktif membangun jaringan sosial yang lebih luas dan secara eksternal relasi sosial diperoleh melalui dukungan kerjasama dari berbagai organisasi-organisasi perempuan lainnya, baik secara langsung maupun tidak, dan 4). Berkaitan dengan negara, adanya kontestasi dan sikap negara yang “ambivalen” terhadap LGBT/LBT. Satu sisi negara seakan-akan tidak pernah hadir atau absen bahkan negara seakan-akan berada dalam wilayah yang tidak jelas atau dengan istilah “the blurred zone’.Negara yang memiliki tugas untuk melindungi setiap warga negaranya dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan yang sewenang-wenang, tanpa memandang orientasi seksual dari warga negaranya.

This dissertation discusses the LBT organization (Lesbian, Bisexual, and Transgender) Ardhanary Institute in Jakarta. The feminist organization, has interpreted "coming out" in the middle of the socio-cultural conditions of global change and post-reform. Basically denials are more powerful than the acceptance of their existence, but they dare to "coming out". Due to the social networks that they do through actors within this organization that builds relationships with actors and other institutions .As discipline of anthropology, the study was more emphasis on the social network that is descriptive, not at the level of analytics. So in the data collection techniques no measurements but rather on the process of intensive observation and in-depth interviews and participant observation. The study also rests on an ethnographic approach feminist, which is the action and practice everyday be material from an ethnographic study.
Benefits of this study; First, fill the space of academic research on the organization LBT (Lesbian, Bisexual and Transgender) that have been "coming out" in the perspective of anthropology. Secondly, adding studies have been neglected, which is about the social network that is descriptive in the organization LBT (Lesbian, Bisexual, and Transgender) in Indonesia. Conclusion of this study: 1). The global situation greatly affect the existence of LBT organization in Indonesia especially AI organizations "coming out" via social networks which international relations are conducted actors in this organization, 2). As an organization that has been "coming out", giving effect "struggling" in which actors lesbian is as a motivator, facilitator, inspiration and organizations implicated in the movement of LBT in areas throughout Indonesia, 3). This organization is actively building a broader social network and social relationships acquired externally through cooperation support of various women's organizations, whether directly or indirectly, and 4). In connection with the state, there is a contestation and the country's stance that "ambivalent" towards LGBT / LBT. One side of the country as if it was never present or absent even a country as if it were in the area that are not clear or with the term "the blurred zone '. Countries that have a duty to protect all citizens from violence, discrimination and arbitrary treatment, regardless of the sexual orientation of citizens.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Arief Sumirat
"Gerakan sosial memanfaatkan media digital untuk bersuara dan menggalang dukungan publik. Salah satu gerakan sosial di Indonesia yang aktif menggunakan media sosialnya adalah Wadas Melawan. Wadas Melawan adalah gerakan akar rumput yang lahir karena adanya konflik lahan antara masyarakat Desa Wadas dengan pemerintah. Mengacu pada konsep digital repertoire of contention, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk repertoar digital yang dilancarkan masyarakat dan aktivis Wadas Melawan. Repertoar diartikan sebagai serangkaian taktik gerakan sosial yang digunakan untuk bertindak secara kolektif guna mencapai tujuannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode netnografi untuk mengeksplorasi fenomena budaya dalam konteks daring. Penelitian ini mengungkap repertoar digital Wadas Melawan tidak terlepas dari aksi tradisional serta komunikasi tatap muka peserta aksi. Media sosial memfasilitasi aksi-aksi untuk memobilisasi pesan dan massa. Eskalasi atensi publik terhadap Wadas Melawan terjadi sebanyak tiga kali, salah satunya ketika kerusuhan masyarakat dengan aparat kepolisian terjadi di Desa Wadas. Selama lima tahun berjalan, aktivisme digital Wadas Melawan tidak sepenuhnya mulus karena adanya hambatan-hambatan yang memengaruhi aktivitas di dunia maya.

Social movements use digital media to raise their voice and gather public support. One of the social movements in Indonesia that actively uses social media is Wadas Melawan. Wadas Melawan is a grassroots movement that was born due to a land conflict between the people of Wadas Village and the government. Referring to the concept of digital repertoire of contention, this research aims to see the forms of digital repertoire launched by the community and activists of Wadas Melawan. Repertoire is defined as a set of tactics a social movement uses to act collectively to achieve its goals. This research is a qualitative research using netnography methods to explore cultural phenomena in an online context. This research reveals that Wadas Melawan digital repertoire is inseparable from traditional actions and face-to-face communication between participants. Social media facilitates actions to mobilize messages and mass. Escalation of public attention towards Wadas Melawan occurred three times, one of which was when community riots with the police occurred in Wadas Village. During the five years that have been running, Wadas Melawan digital activism has not been completely smooth due to obstacles that have affected activities in cyberspace."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisha Adistya Pramita
"Gerakan sosial tidak hadir secara tiba-tiba; ia muncul sebagai respon atas ketidakadilan terkait permasalahan sosial dan politik yang dihadapi. Begitu pun yang dialami oleh jutaan masyarakat sipil pro-demokrasi Hong Kong di tahun 2019 hingga kemudian mereka bergerak melawan RUU Ekstradisi yang dapat mengizinkan Hong Kong untuk menyerahkan warganya ke daratan Tiongkok agar diadili. Intensitas kebertahanan gerakan ini pada akhirnya dapat secara efektif menekan pemerintah untuk melakukan tuntutan utama gerakan, yakni dibatalkannya RUU Ekstradisi. Penelitian ini akan melihat mengapa Gerakan Anti RUU Ekstradisi 2019 dapat menekan pemerintah untuk mengabulkan tuntutan utama gerakan dengan melihat kemunculan dan proses mobilisasi gerakan. Gerakan ini dapat muncul setidaknya karena kesempatan politik yang ada seperti sistem politik semi terbuka; adanya ketidakseimbangan relasi kuasa; sekaligus konflik elit politik Hong Kong. Struktur gerakan yang terdesentralisasi, serta cara partisipan gerakan mobilisasi sumber daya yang ada mampu memberikan efektifitas dalam mempertahankan gerakan dan memberikan dampak maksimal pada pemegang otoritas. Tidak adanya dukungan dari elit bisnis kepada pemerintah Hong Kong dan keterlibatan Internasional dalam mendukung gerakan juga menjadi kondisi kontekstual yang membuat RUU Ekstradisi berhasil dicabut.

Social movements do not appear suddenly; they emerged as a response to injustice related to the social and political problems that are faced. The same thing happened to millions of Hong Kong's pro-democracy civil society in 2019 when they moved against an extradition bill that would allow Hong Kong to turn its citizens over to mainland China for trial. The intensity of this movement's resilience can effectively pressure the government to annul the Extradition Bill. This study will analyze why the 2019 Anti Extradition Bill Movement can pressure the government to grant the movement's main demands by looking at the emergence and mobilization process of the movement. This movement could occur because of the existing political opportunities such as a semi-open political system; power relations imbalances; and conflicts between Hong Kong's political elites. The decentralized structure, as well as the way participants mobilize existing resources, are able to provide effectiveness in maintaining the movement and providing maximum impact. The absence of business elite support for the Hong Kong government and international involvement in supporting the movement also became a contextual condition that made the Extradition Bill successfully be annulled"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Farouk Alwyni
"

Artikel ini membahas konsep one-state solution yang dapat dianggap sebagai alternatif untuk mengatasi konflik antara Palestina dan Israel serta tantangan-tantangan dalam mewujudkan gerakan one-state solution terhadap para pendukungnya. Tujuannya adalah untuk melihat persoalan solusi konflik Palestina-Israel secara lebih mendalam serta mengukur sejauh mana konsep one-state solution dapat menjadi sebuah gerakan politik yang jelas bagi rakyat Palestina. Penelitian ini diharapkan dapat menilai potensi perkembangan gagasan one-state solution sebagai gerakan politik bagi masyarakat Palestina dalam mewujudkan hak-hak yang tak terlindungi oleh two-state solution, serta berkontribusi untuk mencarikan usulan pemecahan atas persoalan Palestina-Israel. Penelitian ini mengaplikasikan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan metode studi pustaka, pengumpulan data yang memusatkan sumbernya pada penggunaan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama. Hasil dari penelitian ini adalah konsep one-state solution dapat dijadikan gerakan politik internasional yang dapat dipertimbangkan, untuk setidaknya menjamin kesetaraan hak bagi seluruh rakyat Palestina.


This article discusses the concept of the one-state solution, which can be considered an alternative to addressing the conflict between Palestine and Israel, as well as the challenges in realizing the one-state solution movement among its supporters. The goal is to explore the matter of resolving the Palestine-Israel issue more profoundly and evaluate the potential for the one-state solution to emerge as a distinct political movement for the Palestinian people. This research is expected to assess the potential for developing the idea of a one-state solution as a political movement for the Palestinian people in realizing rights that are not protected by the two-state solution, as well as contributing to finding proposals for solutions to the Palestinian-Israeli problem. This research applies a descriptive qualitative research method using a literature review approach, with data collection primarily focusing on the use of books and other literature as the main sources. The result of this research is that the one-state solution concept can be considered as an international political movement to at least ensure equal rights for all Palestinian people.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aloysius Alvino Tawas
"Gerakan mahasiswa merupakan hal yang selalu saja terjadi di Indonesia sejak pra maupun pasca kemerdekaan 1945. Konsep gerakan mahasiswa di Indonesia adalah untuk bangkit dan melakukan perubahan agar kehidupan sosial menjadi lebih baik (Budiman, 2006: 23 dalam Manalu & Darmansyah, 2017: 1) permasalahan muncul dalam tingkat pembentukan pengetahuan dan pola pikir dalam gerakan sosial mahasiswa. Internalisasi pendidikan dan pembentukkan knowledge dalam menentukkan framework pergerakan masih lalai disampaikan oleh penulis terdahulu. Peneliti dalam hal ini akan mencoba untuk menggali lebih mendalam mengenai permasalahan Internalisasi pendidikan dalam gerakan sosial mahasiswa, serta lebih jauh melihat proses frameworking dalam pergerakan sehingga gerakan sosial mahasiswa menjadi suatu praktis yang sifatnya berkelanjutan. Penelitian dijalankan menggunakan metodologi penelitian etnografi dan wawancara mendalam. Penulisan ini memberikn gambaran jelas peran internalisasi pendidikan dalam pembentukkan social movement knowledge para anggota FMN UI. Social Movement Knowledge yang diterima dimaknai dan dipahami kembali oleh pra anggota FMN UI dan menjadi identitas baru bagi diri mereka. Social movement knowledge tersebut kemudian menjadi basis penting dalam membentuk framework pengorganisasian dan pergerakan FMN UI.

The student movement is something that has always happened in Indonesia since pre and post-independence of1945. The concept of the student movement in Indonesia is to rise up and make changes so that social life is better (Budiman, 2006: 23 in Manalu & Darmansyah, 2017: 1). Problems arise in the level of knowledge formation and thought patterns in student social movements. The internalization of education and the formation of knowledge in determining the framework for movement have been neglected to be conveyed by previous authors. Researchers in this case will try to dig deeper into the problems of internalization of education in student social movements, and further see the frameworking process in the movement so that the student social movement becomes a practical, sustainable nature. The research was conducted using ethnographic research methodologies and in-depth interviews. This writing provides a clear picture of the role of internalization of education in shaping the social movement knowledge of FMN UI members. Social Movement Knowledge received is interpreted and re-understood by pre FMN UI members and becomes a new identity for themselves. This social movement knowledge then becomes an important basis in forming an organizing and moving framework for FMN UI."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardhyani Dwiannisa
"ABSTRAK
Potensi sumber daya air mendorong pemerintah Brazil untuk membangun proyek bendungan di kawasan Amazon. Akan tetapi, pembangunan bendungan menyebabkan gerakan sosial dari aktor penentang. Skripsi ini akan melihat efektivitas dari gerakan sosial dalam pembangunan Bendungan Belo Monte di Brazil dengan melakukan studi komparasi pada dua kurun waktu. Penelitian ini menggunakan teori mobilisasi sumber daya oleh Edwards dan Gillham dan teori struktur kesempatan politik oleh Sidney Tarrow. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka, temuan dari skripsi ini memperlihatkan bahwa faktor-faktor perbedaan efektivitas dari gerakan sosial pada kedua kurun waktu disebabkan oleh faktor internal gerakan sosial, yaitu sumber daya moral, sumber daya kultural, sumber daya manusia, sumber daya material, dan sumber daya sosial-organisasional, serta faktor eksternal dari gerakan sosial, yaitu keterbukaan akses, penyusunan kembali dalam pemerintah, perpecahan elite-elite politik, dan ketersediaan sekutu yang berpengaruh.
<
ABSTRACT
The potential of water resources encourages the Brazilian government to build dam projects in the Amazon region. However, dam construction has caused social movements from opposing actors. This thesis will look at the effectiveness of social movements in the construction of the Belo Monte Dam in Brazil by conducting comparative studies at two time periods. This study uses resource mobilization theory by Edwards and Gillham and political opportunity structure theory by Sidney Tarrow. By using qualitative methods through literature studies, the findings of this thesis show that the factors of differences in the effectiveness of social movements in both periods are caused by internal factors of the social movement, namely moral resources, cultural resources, human resources, material resources, and social-organizational resources, as well as external factors of the social movement, namely increasing access, shifting alignments, divided elites, and influential allies."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Deviatika
"Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana aksi repertoar digital berperan dalam membentuk sebuah aksi gerakan sosial beserta strateginya dalam kasus Candlelight Movements tahun 2008 di Korea Selatan. Menurut Charles Tilly sebuah gerakan sosial membutuhkan aksi repertoar yang menekankan kepada inovasi-inovasi strategi. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, aksi repertoar turut mengembangkan strateginya kepada pemanfaatan media-media internet. Strategi yang tergolong inovatif tersebut tepat dilakukan di Korea Selatan sebagaimana negara tersebut menduduki peringkat tertinggi dunia dalam angka penggunaan internet diawal tahun 2000-an. Kasus Candlelight Movements tahun 2008 ini dianalisa melalui teori aksi repertoar digital (digitalized action repertoires). Teori aksi repertoar digital yang digagas oleh Jeroen Van Laer dan Peter Van Aelst memercayai bahwa kehadiran media internet memudahkan pelaksanaan aksi dalam segi pembagian informasi dan mobilisasi.
Untuk melakukan penelitian ini, digunakan metode kualitatif dengan jenis pendekatan studi kasus. Berdasarkan konsep aksi repertoar digital, Candlelight Movements tahun 2008 digolongkan sebagai gerakan sosial yang didukung penuh oleh media internet (internet-supported). Rangkaian strategi dalam tahap sebelum melaksanakan aksi tersebut menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Aksi repertoar digital berimplikasi kepada partisipan dari Candlelight Movements tahun 2008 yang beragam dan terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan. Serta, menggambarkan komitmen masyarakat sipil yang cukup tinggi atas keikutsertaan mereka dalam proses politik di Korea Selatan. 

This paper aims to assess how digitalized action repertoires has helped in shaping social movement and its strategies in the case of South Koreas Candlelight Movements in 2008. Charles Tilly suggests a notion of repertoires of action, which means social movement needs of innovative sets of strategies. In this digital age, the repertoires of action expanded it strategies into the role of internet media. Such innovative strategies was perfectly in line with South Koreas internet traffic ranking as the highest in the world in the early 2000s. The 2008s Candlelight Movements would be analysed through digitalized action repertoires theory proposed by Jeroen Van Laer dan Peter Van Aelst. Both theorists believe that the present of internet media would help the society to build relations, mobilizations, and collecting informations. In the end, the relations that were built on the internet would easily shape the movement.
This research was conducted by using a qualitative method and a case study approach. According to the theory, the 2008s Candlelight Movement can be classified as social movement which was entirely internet supported. The digitalized action repertoires which happened before the movement showed the high threshold of peoples participation in political process in South Korea. It also impacted the Candlelight Movements to became the biggest and longest movement in the history of South Koreas democracy. 
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zikril Hakim
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak transformasi gerakan sosial petani koka penduduk asli (Cocaleros) menjadi partai politik Movimiento Al Socialismo (MAS) terhadap penguatan proses demokratisasi di Bolivia. Penelitian iniberangkat dari adanya permasalahan mengenai krisis representasi demokrasi perwakilan yang terjadi di Bolivia sejak tahun 1985. Krisis representasi demokrasi perwakilan ini ditunjukan dengan adanya oligarki partai politik tradisional dari hubungan yang harmonis dengan masyarakat Bolivia, khususnya dari kalangan penduduk asli. Ketimpangan sosial dan minimnya representasi politik yang dialami oleh penduduk asli Bolivia menimbulkan munculnya berbagai gerakan sosial sebagai basis perlawanan terhadap pemerintah Bolivia. Salah satunya adalah Cocaleros, gerakan petani koka penduduk asli yang berusaha melawan kebijakan pemusnahan budidaya tanaman koka dengan dalih perang melawan narkotika. Cocaleros akhirnya bertransformasi menjadi partai politik dan terbukti menuai kesuksesan dengan terpilihnya Evo Morales sebagai presiden Bolivia yang pertama dari kalangan indigenous lewat pemilihan umum tahun 2005. Penelitian ini difokuskan untuk melihat dampak kemenangan partai etnik MAS terhadap proses demokratisasi di MAS dalam menata ulang bangunan demokrasi Bolivia yang sempat rapuh akibat krisis legitimasi dan kepercayaan dari masyarakatnya.

The purpose of this research is to analyze the impact of indigenous social movement transformation of becoming a political party Movimiento Al Socialismo (MAS) concerning the democratization process in Bolivia. This study departs from the problems concerning the representation of the crisis of representative democracy in Bolivia since 1985. This representation crisis of the representative democracy was shown by the existence of the white oligarch traditional political party that were too centralized and failed to build a harmonious relationship with Bolivian society, particularly among the indigenous population. Social inequality and lack of political representation faced by indigenous peoples in Bolivia led to the emergence of various social movements as their basis for resistance against the Bolivian government. One of them is Cocaleros, movements of indigenous coca farmer who attempted extermination policy against the cultivation of coca plants on the pretext of war against narcotics. Cocaleros eventually turned into a political party and proved hugely successful with the election of Evo Morales as Bolivia's first president of indigenous people through general elections in 2005. This study focused on the impact of ethnic party MAS victory towards democratization process and Bolivia's new government effort to rearrange their fragile democratic institution that mostly caused by crisis of legitimacy and lack of trust in the society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5954
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>