Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Interprofessional Rehabilitation: a Person-Centred Approach is a concise and readable introduction to the principles and practice of a person-centred interprofessional approach to rehabilitation, based upon a firm scientific evidence base. Written by a multi-contributor team of specialists in physiotherapy, occupational therapy, nursing, psychology and rehabilitation medicine, this text draws together common themes that cut across the different professional groups and the spectrum of health conditions requiring rehabilitation, and sets out a model of practice that is tailored to the specific ne"
Chichester : Wiley-Blackwell, 2012
616.860 3 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Grinnell, Richard M.
New York: Oxford University Press, 2018
361.307 2 GRI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Rahmi Meliansari
"Tesis ini bertujuan untuk membahas hubungan sense of place dalam upaya mengembalikan identitas Kota Palembang sebagai kota sungai. Kota Palembang memiliki warisan sejarah yang kaya dan hubungan yang erat dengan sungai. Namun seiring berkembangnya zaman dan perubahan orientasi semakin ke darat, pergeseran identitas ini pun terjadi. Maka digunakan konsep sense of place yang melihat persepsi individu atau komunitas terhadap suatu tempat. Dalam konteks ini, sense of place menjadi kunci untuk memperkuat identitas kota Palembang. Dengan membangkitkan rasa keterikatan emosional dan nilai-nilai budaya terhadap sungai, masyarakat dapat merasakan kembali keunikan dan pentingnya sungai Musi bagi Kota Palembang. Untuk bagaimana suatu kota mengembalikan identitas kotanya dari berbagai konsep, strategi, dan program digunakan metode Evidence-Based Approach. Metode ini dilakukan dengan melihat dan menganalisis beberapa studi yang telah terjadi di lapangan. Desain yang dihasilkan mempertimbangkan aspek dasar identitas tempat yang diperkuat dengan adanya sense of place. Sehingga nantinya keseluruhan proses ini dapat membantu dalam merancang kawasan yang akan memiliki identitas kuat. 

This thesis aims to discuss the relationship between sense of place in an effort to restore the identity of Palembang as a river city. Palembang has a lot of historical heritage and a strong bond with the river. However, over time and changes in development orientation that are increasingly landward, this shift in identity also occurred. Then the concept of sense of place is used as a basis where it looks at individual or community perceptions of a place. In this context, the sense of place is the key to strengthening the identity of the city of Palembang. By engaging a sense of emotional attachment and cultural values to the river, people can feel the uniqueness and importance of the Musi river. To identify how a city restores its city identity from various concepts, strategies, and programs this thesis uses evidence-based approach method. This method is done by analyzing several studies that have occurred. The final design considers the basic aspects of place identity that are strengthened by a sense of place. In the future this whole process can help in designing an area that has a strong identity."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Punta Ambi Rio
"Kabupaten Sumedang merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kejadian bencana gerakan tanah tertinggi di Jawa Barat. Kejadian gerakan tanah merupakan bencana yang dapat merugikan secara ekonomi hingga dapat memakan korban jiwa, sebab itu kajian mengenai bencana gerakan tanah perlu dilakukan. Kajian yang dilakukan di Indonesia umumnya menggunakan data kejadian gerakan tanah berupa titik, padahal sejatinya gerakan tanah merupakan kejadian yang melibatkan suatu area sehingga penggunaan data kejadian berbasis poligon lebih representatif terhadap kejadian sesungguhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reliabilitas data kejadian poligon jika dibandingkan dengan titik dalam pembuatan peta zona kerentanan gerakan tanah (ZKGT). Pembuatan peta ZKGT menggunakan metode weight of evidence (WoE) dengan parameter penyebab gerakan tanah berupa elevasi, kemiringan lereng, aspek lereng, TWI, plan curvature, profile curvature, jarak terhadap sungai, jarak terhadap sesar, formasi batuan, dan tutupan lahan. Data kejadian gerakan tanah yang digunakan berjumlah 336 kejadian berbentuk poligon dan 336 titik centroid dari kejadian poligon sebagai pembanding. Data kejadian gerakan tanah dibagi menjadi training set dan testing set masing-masing sebesar 70% dan 30%. Penelitian membandingkan pemodelan WoE dengan data kejadian poligon dan titik dalam menghasilkan peta ZKGT. Hasil validasi AUC menunjukkan bahwa peta ZKGT berbasis kejadian titik memiliki AUC success rate dan predictive rate yang lebih baik. Namun Peta ZKGT berbasis kejadian poligon tergolong reliabel untuk dapat digunakan dan diterapkan sebab pada penelitian ini menunjukkan hasil validasi AUC yang dikategorikan baik dan memiliki nilai yang tidak berbeda secara signifikan.

Sumedang Regency is one of the highest region with landslide occurrence rate in West Java. The occurrence of a landslide can cause economic loss and loss of lives, therefore any study about landslide disaster needs to be carried out. Common studies in Indonesia use point-based landslide data, however landslide is actually an event that involves an area so using polygon-based landslide data represent the actual event more. The purpose of this research is to know how reliable polygon-based data compared to point-based data in making landslide susceptibility zone. Landslide susceptibility zone created using weight of evidence method with elevation, slope, slope aspect, TWI, plan curvature, profile curvature, distance to streams, distance to faults, rock formation, and land cover as causative parameters. 336 polygon-based landslide occurrence and 336 point-based landslide occurrence from centroid polygon are used. The landslide occurrence data then divided into 70% for training sets and 30% for testing sets. The study compares WoE modelling with polygon-based and point-based landslide occurrence data in producing landslide susceptibility maps. The result of AUC validation shows that point-based landslide susceptibility map has higher success and predictive rate AUC. However, polygon-based landslide susceptibility still classified as reliable for any use and application because the success and predictive AUC classified as good and the AUC value does not significally different."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maurice Obstfeld
"This book presents an economic survey of international capital mobility from the late nineteenth century to the present. The authors examine the theory and empirical evidence surrounding the fall and rise of integration in the world market. A discussion of institutional developments focuses on capital controls and the pursuit of macroeconomic policy objectives in shifting monetary regimes. The Great Depression emerges as the key turning point in recent history of international capital markets, and offers important insights for contemporary policy debates. Its principal legacy is that the return to a world of global capital is marked by great unevenness in outcomes regarding both risks and rewards of capital market integration. More than in the past, foreign investment flows largely from rich countries to other rich countries. Yet most financial crises afflict developing countries, with costs for everyone."
United States: Cambridge University Press, 2004
e20528118
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Frita Sofia Haryana
"Keberadaan lembaga notaris dilandasi oleh kebutuhan masyarakat dalam membuat akta otentik. Sebagaimana Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, akta otentik yang diterbitkan notaris memberikan jaminan kepastian hukum. Dalam Pasal 1868 KUHPerdata dikatakan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Fungsi akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna di pengadilan. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap akta otentik yang dibuat oleh notaris harus dianggap akta yang sah sepanjang tidak ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya. Pada praktiknya masih ditemukan adanya salinan akta yang dibuat notaris tanpa adanya minuta akta. Berdasarkan pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, notaris wajib membuat minuta akta dan menyimpannya sebagai protokol notaris. Dalam hal ini, pihak yang dirugikan dalam pembuatan salinan akta tanpa adanya minuta akta dapat meminta pertanggungjawaban kepada notaris secara administratif, perdata maupun pidana. Permasalahan tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan pembuatan salinan akta pengikatan jual beli tanpa adanya minuta akta dengan menggunakan penelitian yuridis normatif dan pendekatan deskriptif analitis dengan metode penelitian kepustakaan untuk kemudian menghasilkan data kualitatif.

The existence of notary institution is based on the needs of the community in making authentic deeds. As in Article 15 paragraph (1) of Law Number 2 Year 2014 concerning Amendments of Law Number 30 Year 2004 concerning the Position of Notary Public, an authentic deed issued by a notary provides guarantee of legal certainty. In Article 1868 of the Civil Code, it is stated that an authentic deed is a deed which is in the form determined by law, made by or in front of public officials who are in power for it at the place where the deed was made. The function of an authentic deed is perfect evidence in court. The juridical consequence is that every authentic deed made by a notary must be considered a valid deed as long as no other party proves otherwise. In practice, there are founded notary made copies of deeds without a minute deed. Based on article 16 paragraph (1) of Law Number 2 Year 2014 concerning Amendments of Law Number 30 Year 2004 concerning the Position of Notary Public, notaries are obliged to make a minute deed and keep it as a notary protocol. In this case, the party who is aggrieved in order to making copy of deed without minute deed by notary may ask the responsibility of notary either administrative, civil and criminal responsibility. These problems caused the authors interested in further research on the problem of making copy of sale and purchase binding deeds without any minute deeds using normative juridical research and analytical descriptive approaches with library research methods which produce qualitative data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Syuhada
"Kartel adalah salah satu bentuk Perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, karena merupakan bentuk praktik anti persaingan yang dapat merugikan sesama pelaku usaha, konsumen, maupun stablitas perekonomian di Indonesia. Hal-hal tersebut mendorong penulis untuk mengusulkan pemberlakuan leniency program sebagai salah satu cara pembuktian Direct Evidence untuk mengungkap praktik kartel dengan mudah dan cepat. Penelitian ini akan membahas pengaturan leniency program di 2 (dua) negara yaitu Uni Eropa dan Jepang sebagai rujukan dalam penerapannya dengan tetap berdasarkan hukum persaingan usaha di Indonesia serta membahas potensi pemberlakuan leniency program di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Pemberlakuan leniency program dalam leniency policy di kedua negara (Uni Eropa dan Jepang) walaupun memiliki konsep yang berbeda-beda tetapi tetap memiliki maksud efektifitas dan efisiensi sebagai tujuan dasar dalam penerapannya. Di Indonesia leniency program sempat diatur dalam Perkom No. 4 Tahun 2010 namun ketentuan mengenai leniency tersebut dicabut karena tidak ada landasan hukumnya walaupun potensi penerapannya sudah terlihat dengan adanya RUU anti monopoli dan persaingan usaha yang diatur dalam pasal 64 akan tetapi pembahasan tersebut belum sempat dilanjutkan sejak tahun 2017. Untuk itu perlu dilakukan amademen terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan hukum berlakunya leniency program sebagai salah satu solusi instrumen pembuktian praktik kartel di Indonesia, serta membuat leniency policy dalam bentuk guidelines atau Per-KPPU dalam hal pelaksanaan teknis pengimplementasian leniency program.

Cartel is one form of agreement prohibited in Law Number 5 Year 1999, because it is a form of anti-competitive practice that can harm fellow business actors, consumers, and economic stability in Indonesia. These matters encourage the author to propose the implementation of the leniency program as a way of proving Direct Evidence to reveal cartel practices easily and quickly. This research will discuss the regulation of leniency program in 2 (two) countries, namely the European Union and Japan as a reference in its application while still based on business competition law in Indonesia and discuss the potential for the implementation of leniency program in Indonesia. This research is a normative legal research that uses qualitative analysis. The implementation of leniency program in leniency policy in both countries (European Union and Japan) although has different concepts but still has the intention of effectiveness and efficiency as the basic goal in its application. In Indonesia, the leniency program was regulated in Perkom No. 4 of 2010, but the provisions regarding leniency were revoked because there was no legal basis, although the potential for its application has been seen with the anti-monopoly and business competition bill regulated in article 64, but the discussion has not been continued since 2017. For this reason, it is necessary to amend Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition as the legal basis for the enactment of the leniency program as one of the instrument solutions to prove cartel practices in Indonesia, as well as to make a leniency policy in the form of guidelines or Per-KPPU in terms of technical implementation of the leniency program."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia.

This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Parjono Widodo
"Penyelamatan arsip sebagai bukti otentik bukan semata-mata untuk memperpanjang usia fisik dan kandungan informasinya, tetapi juga agar arsip tersebut dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam fungsi kultural pengelolaan arsip dirancang untuk memberikan bukti-bukti otentik sebagai upaya mengenal jati diri bangsa.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap upaya pelaksanaan kebijakan penyelamatan arsip sebagai bukti otentik seiring dengan pemberdayaan otonomi daerah, jika ditinjau dalam perspektif ketahanan budaya. Data penelitian dikumpulkan melalui pengamatan dokumen, wawancara dengan para informan yang terlibat dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga maupun pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam objek tersebut dan terkait dengan upaya pemberdayaan otonomi daerah. Teknik analisa data yang digunakan adalah content analysis dimulai dengan menelaah seluruh data yang dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif.
Hasil analisis dan interpretasi yang dilakukan diperoleh kesimpulan: (I) Kebijakan penyelamatan arsip sebagai bukti otentik membentuk model inkremental yang memerlukan integrasi dan variasi dari kebijakan yang telah ada sebelumnya, serta terfokus kepada visi arsip sebagai simpul pemersatu bangsa, dengan misinya untuk melestarikan memori kolektif bangsa, karena itu keotentikan arsip bukanlah prioritas dalam kegiatan penyelamatan arsip tetapi prioritas ditujukan kepada arsip-arsip yang informasinya berdampak luas dan berarti bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan; (2) Implementasi penyelamatan arsip yang dilakukan selama ini telah dilaksanakan secara kontinyu dan bertahap, namun langkah pendekatan 'policy' yang bersifat reaktif terhadap suatu peristiwa (terutama ketika periode sebelum berlakunya Undang-Undang Kearsipan) lebih baik dari langkah pendekatan hukum (ketika berlakunya Undang-Undang Kearsipan), terbukti dari khazanah arsip yang berhasil diselamatkan memperlihatkan jati diri bangsa Indonesia semasa kolonial lebih terungkap dibanding ketika masa kemerdekaan dan pembangunan; (3) Upaya kebijakan penyelamatan arsip sehubungan dengan otonomi daerah, di satu sisi memberi peluang keleluasaan kepada setiap daerah untuk melengkapi memori kolektif daerahnya, namun kendala yang menyangkut kelembagaan dan SDM yang tidak teratasi berakibat tidak dimilikinya memori kolektif daerahnya sehingga memupuskan pengenalan jati diri daerahnya; (4) Dalam perspektif ketahanan budaya, fungsi strategis penyelamatan arsip sebagai bukti otentik melalui pendekatan budaya mewujudkan adanya keterkaitan antara khasanah arsip sebagai warisan budaya terhadap keutuhan wilayah, sehingga mengintegrasikan kemajemukan tiap-tiap daerah dalam satu simpul Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Analysis of Archives Safety as Authentic Evidence in Cultural Resilience Perspective; Study of Local AutonomyArchives safety as authentic evidence is not just to prolong the age of physical information but also the archives can be used for public interest. In cultural function the management of archives was designed to produce authentic evidences as effort to recognize nation identity.
This study use descriptive qualitative method by means to describe the effort of archives safety policy as authentic evidences to escort the empowerment of local autonomy. The data used was collected by document observation and interview to the informants in institutions involved in the decision making in the effort of empowerment local autonomy. Data analysis technique used content analysis with narration descriptive.
Conclusion of the result of analysis and interpretation are: (l) The policy of archives safety as authentic evidence to make incremental model that need integration and variation from former policy, and focus to the vision that archives as tie the unity of nations, with the mission to preserve the collective memory of nation. That is why authenticity of archives is not priority in archives safety but to the archives that information give wide impact and meaningful to nationality; (2) Implementation of archives safety that had been done before was done continuously and step by step, but the step with policy approach and reactive to an action (especially in period before the archive law) is better than law approach (when archive law active). It was prove from the archive collection that have been saved that show identity of Indonesian at colonial era is better than developing era; (3) Effort in archives safety policy concerning in local autonomy, in one side give a chance to every region to complete collective memory of its region. But obstacle with institution and human resources give impact that is not collective memory in every to vanish recognition local identity; (4) In perspective cultural resilience, strategically function of archives safety as authentic evidence by cultural approach, create a tie between archives collection as cultural heritage to the unity of territory to integrate the diversity every region in a tie of United of Republic of Indonesian."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library