Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Goodman, Philip
"The history of criminal justice in the United States is often described as a pendulum, swinging back and forth between strict punishment and lenient rehabilitation. While this view is common wisdom, it is wrong. In Breaking the Pendulum, Philip Goodman, Joshua Page, and Michelle Phelps debunk the pendulum perspective, showing that it distorts how and why criminal justice changes. The pendulum model blinds us to the blending of penal orientations, policies, and practices, as well as the struggle among actors who shape laws, institutions, and how we think about crime, punishment, and related issues.Through a reanalysis of more than 200 years of penal history, starting with the rise of penitentiaries in the nineteenth century and ending with ongoing efforts to roll back mass incarceration, the authors offer an alternative approach to conceptualizing penal development. Their agonistic perspective posits that struggle is the motor force of criminal justice history. Punishment expands, contracts, and morphs because of contestation between real people in real contexts, not a mechanical swing of the pendulum. This alternative framework is far more accurate and empowering than metaphors that ignore or downplay the importance of struggle in shaping criminal justice.This clearly written, engaging book is an invaluable resource for teachers, students, and scholars seeking to understand the past, present, and future of criminal justice in the United States. By demonstrating the central role of struggle in generating major transformations, Breaking the Pendulum encourages combatants to keep fighting to change the system."
Oxford: Oxford University Press, 2017
e20470413
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Abbott, Maxwell
"This article will examine the right of early access to criminal legal aid in Indonesia, both in theory and in practice. In theory, the right of early access to criminal legal aid (the Right) is clear and firmly established in Indonesian law and International law which applies to Indonesia: individuals under arrest or in detention are entitled to receive legal aid at all stages of the criminal justice process. Therefore, law enforcement may not deny or delay a suspect's access to a lawyer during the initial procedural stages of arrest, investigation and detention. This article will argue that the Right meets certain criteria of a clear legal rule, as distinguished from a vaguer legal standard, and we would therefore expect a high degree of compliance with the Right. However, in practice, we find frequent violations of the Right in Indonesia. After reviewing evidence of the violations, the article will conclude by briefly addressing several explanations while maintaining that the Right is a clear legal rule."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2018
340 UI-ILR 8:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
""By offering both a comprehensive update and new material reflecting the continuing development of the subject, this continues to be the leading textbook on international criminal law. Its experienced author team draws on its combined expertise as teachers, scholars and practitioners to offer an authoritative survey of the field. The third edition contains new material on the theory of international criminal law, the practice of international criminal tribunals, the developing case law on principles of liability and procedures and new practice on immunities. It offers valuable supporting online materials such as case studies, worked examples and study guides. Retaining its comprehensive coverage, clarity and critical analysis, it remains essential reading for all in the field"--
"The international criminal courts and tribunals which deal with perpetrators of atrocities are an established part of the effort to bring an end to impunity for international crimes. This leading textbook gives an authoritative account of international criminal law, and focuses on what the student needs to know - the crimes that are dealt with by international courts and tribunals as well as the procedures that govern the investigation and prosecution of those crimes. The reader is guided through controversies with an accessible, yet sophisticated, approach. The four authors have rich experience as lawyers in this field, as teachers of the subject, and as negotiators at the establishment of the International Criminal Court (ICC). The book covers new developments in the case law and the practice and is essential reading for students and teachers of international criminal law and international relations. It is supplemented by a package of online resources (www.cambridge.org/​law/​cryer), which offers convenient access to primary sources, excerpts for supplementary reading, problems and questions for reflection and discussion, and materials for exercises and simulations. Robert Cryer is Professor of International and Criminal Law at the University of Birmingham. Hn Friman is is an Associate Judge of Appeals in Sweden and Deputy Director of the Division of Criminal Law at the Swedish Ministry of Justice. He is Visiting Professor at University College London. Darryl Robinson is a professor at Queen's University, Faculty of Law, Kingston, Canada. Elizabeth Wilmshurst is a senior fellow in international law at Chatham House and Visiting Professor at University College London"--"
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2016
345 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
"Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif.
Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan.
Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum.
Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Saropie
"Mekanisme lembaga Praperadilan dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam pelaksanaannya karena dianggap banyak merugikan masyarakat pencari keadilan, sehingga banyak bermunculan pendapat dan pandangan yang menginginkan agar lembaga Praperadilan digantikan oleh Hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008. Konsep lembaga hakim Komisaris yang diajukan dalam RUU KUHAP 2008 merupakan suatu lembaga baru di Indonesia, tetapi bukan merupakan sesuatu hal yang baru di Indonesia. Kewenangan yang diberikan kepada Hakim Komisaris sangat luas dan lengkap dibandingkan dengan lembaga Praperadilan dalam KUHAP. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan timbul permasalahan baru dengan adanya lembaga Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP 2008. Penulisan inimerupakan analisis mengenai konsep lembaga Hakim Komisaris yang menggantikan lembaga Praperadilan sebagai lembaga pengawasan pada tahap pemeriksaan pendahuluan.

Mechanism of Praperadilan institutions are no longer considered not running properly in its implementation because many people seeking justice harmed, so there are many opinions and views to make the institution Praperadilan replaced by the Magistrate proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008. The Magistrate concepts proposed in the revision of Indonesian Code of Criminal Procedure 2008 as a new institution in Indonesia, but not a new issue in Indonesia. The authority given to the Magistrate is more complete than Praperadilan in the Indonesian Code of Criminal Procedure (UU No. 8 Tahun 1981). However, the possibility is new problems arise with the Magistrate institution in Indonesian Code of Criminal Procedure revision 2008. This research is an analysis of the concept of a Magistrate institution replace Praperadilan institutions as institutions supervision at the stage of preliminary examination."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22579
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2010
345 BAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.

Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.

Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   3 4 5 6 7 8 >>