Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The book is peppered with previously unpublished comments from television executives, performers, producers, journalists, clergy, documentarians, and other industry operatives. During the late 1990s, I conducted taped conversations with scores of industry operatives to create a record of their impressions and intentions in the making of American television. Some are quoted directly in the book; many more of them influenced its writing. "
Malden: Blackwell, 2005
e20394642
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Hartley, John
"This engaging volume, written by one of television's best known scholars, offers a new take on the history of television and an up-to-date analysis of its imaginative content and cultural uses. Explores the pervasive, persuasive, and powerful nature of television : among the most criticized phenomena of modern life, but still the most popular pastime ever. Written by John Hartley, one of television's best known scholars. Considers how television reflects and shapes contemporary life across the economic, political, social and cultural spectrum, examining its influence from historical, political and aesthetic perspectives. Probes the nature of, and future for, television at a time of unprecedented change in technologies and business plans. Provides an up-to-date analysis of content and cultural uses, from the television live event, to its global political influence, through to the concept of the "TV citizen". Maps out a new paradigm for understanding television, for its research and scholarship, and for the very future of the medium itself."
Malden, MA: Blackwell, 2008
e20395048
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Puji Hutami
"Pada saat ini, radio broadcasting masih menjadi salah satu pilihan yang dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat sebagai sarana untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Radio juga menjadi sarana broadcasting yang lebih baik jika dibandingkan dengan teknologi televisi karena hanya data audio yang dikirim. Sehingga informasi-informasi terbaru dapat diinformasikan lebih cepat ke masyarakat. Pada radio broadcasting analog dibagi menjadi radio broadcasting AM (Modulasi Amplitudo) dan radio broadcasting FM (Modulasi Frekuensi). Kondisinya, radio broadcasting FM lebih banyak peminatnya dibanding AM, karena kualitas suara yang lebih baik dan tahan terhadap noise.
Di kota Medan, saat ini terdapat 35 stasiun radio FM yang mengudara. Namun sejak diterbitkannya Peraturan Menteri 13/2010 terjadi perubahan jumlah kanal dan penomoran kanal di seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya terdapat dua stasiun radio di kota Medan yang memperebutkan satu kanal. Sehingga dibutuhkan perancangan kanal baru di kota Medan untuk memenuhi permintaan tersebut. Penambahan kanal tersebut, harus mempertimbangkan kondisi stasiun radio eksisting yang ada di kota Medan. Artinya, ketika stasiun radio baru siaran, sedapat mungkin tidak menginterferensi stasiun radio baru itu sendiri maupun stasiun radio eksisting lainnya. Selain itu perlu diperhatikan juga batasan teknis pemancar berupa field strength, daya, pattern antena, dan adjacent channel.
Pada skripsi ini dirancang penambahan kanal baru untuk kota Medan dengan kemampuan minimum dapat melayani lebih dari 50% populasi dan wilayah cakupannya serta memenuhi persyaratan Minimum Field Strength. Hasil dari simulasi diperoleh suatu sistem pemancar radio FM yang bekerja pada frekuensi 106,1 MHz atau pada kanal 186 dengan daya 3 kW mampu melayani hingga 72,7% populasi dan 52,58% cakupan di wilayah Medan. Walaupun nomor kanal yang digunakan berada pada adjacent-channel kedua dari kanal eksisting di wilayah Medan, akan tetapi kondisi ini masih dapat dipertimbangkan mengingat tidak adanya interferensi yang terjadi ketika stasiun radio tersebut mengudara.

Nowdays, broadcasting radio is still society?s choice as a medium for information and entertainment. Radio is also a better broadcacting medium compared to television because it is only transferred audio data. This would mean that the updated information can be received faster to society. Analog broadcasting radio divided into AM (Amplitude Modulation) and FM (Frequency Modulation). It turned out FM broadcasting radio has more listeners than AM for having better sound quality and resistant to noise.
There are currently 35 FM radio stations in Medan. However, the channel amounts and numbering was changed due the Indonesia Ministerial Regulation number 13 that was published in 2010. As a result, there are two radio stations in Medan that have to compete each other for one channel. The situation would require a new planning for new channel in Medan to fulfill the demands. It means, when a new radio station broadcasts, it doesn?t interfere with itself and any other existing radio. Moreover, it has to consider also the transmitter technique limitations for the planning such as field strength, power, antenna pattern, and adjacent channel.
In this Final Project, there will be a design for a channel addition in the city of Medan with the minimum capacity of serving more than 50 percent of the population on the region and able to meet the requirement of minimum field strength. The result of the simulation is acquired through a FM transmitter on 106,1 MHz or on channel 186 with power of 3 kilowatts which able to serve up to 72,7 percent of population and 52,58 percent coverage area of Medan. Though the channel's number that is used is on the second adjacent channel of the existing channels in Medan, the condition is still be able to considered given while the radio broadcasts that there are no interference."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siwiak, Kazimierz
London: John Wiley & Sons, 2004
621.384 SIW u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Philo, Greg
London: Routledge, 1990
384.554 PHI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jepang: Nippon Hoso Kyokai, 1967
384.5 HIS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ashadi
Yogyakarta: LP3Y, 2001
384.55 SIR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>