Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Nikmatullah
"Etnoekologi dan Etnobotani Tumbuhan Obat pada Masyarakat Baduy-Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Telah dilakukan kajian pengetahuan pemanfaatan lanskap dan pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Baduy-Dalam. Tujuan penelitian ini mengungkapkan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang tersebar pada berbagai lanskap yang sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy-Dalam. Penelitian telah dilaksanakan pada September 2017 sampai Januari 2018. Pengambilan data menggunakan pendekatan emik dan etik melalui wawancara semi terstruktur close ended, open ended, observasi partisipatif, Focus Group Discussion FGD, analisis vegetasi dan jelajah bebas. Wawancara dilakukan pada 3 informan kunci dan 108 responden umum. Data dianalisis secara kualitatif dengan statistika deskriptif untuk menggambarkan pengetahuan lokal masyarakat dan kuantitatif dianalisis dengan menghitung nilai kultural Index of Cultural Significance, ICS, dan nilai kepentingan lokal Local User Value Index, LUVI. Berdasarkan hasil penelitian, Baduy-Dalam mengenal 7 unit lanskap, yaitu Leuweng lembur Pemukiman, Cai sungai, Huma ladang, Jami bekas ladang ditinggalkan 1 tahun, Rheuma bekas ladang ditinggalkan 3 tahun, Rheuma kolot bekas ladang ditinggalkan 7 tahun, dan Leuweng kolot hutan lindung. Lansekap yang dianggap paling penting ialah leuweung lembur pemukiman dengan nilai rata-rata kepentingan 28.8. Pada 7 lanskap ditemukan 98 spesies tumbuhan obat yang memiliki 46 kegunaan, terdiri dari 91 genus dan 46 famili. Famili terbanyak ialah Asteraceae dan Zingiberaceae. Nilai ICS dan LUVI tumbuhan obat tertinggi di Cibeo dimiliki oleh Cocos nucifera ICS=24, LUVI=2.25 untuk laki-laki muda, Cocos nucifera ICS=24 dan Kaempferia galanga LUVI=1.91 untuk laki-laki dewasa, Kaempferia galanga ICS=16 dan Cocos nucifera LUVI=1.95 untuk laki-laki tua, Psidium guajava ICS=24, LUVI=2.15 untuk perempuan muda, K. galanga dan Z. cassumunar ICS=12 dan Zingiber cassumunar LUVI=1.63 untuk perempuan dewasa, Pterocarpus indicus, Kaempferia galanga, Dinochloa scandens, Gigantochloa apus, Zingiber officinale, dan Crassocephalum crepidioides ICS=9 dan Cyrtandra pendula LUVI=1.57 untuk perempuan tua. Adapun Nilai ICS dan LUVI tumbuhan obat tertinggi di Cikeusik dimiliki oleh Cocos nucifera ICS=18, LUVI=2 untuk laki-laki muda, Cocos nucifera ICS=24 dan Cassia alata LUVI=1.35 untuk laki-laki dewasa, Cassia alata, Ageratum conyzoides, Cyrtandra pendula, Kaempferia galanga, Abrus precatorius, Mikania cordata ICS=9 dan Bridelia monoica LUVI=1.65 untuk laki-laki tua, Cocos nucifera ICS=24, LUVI=1.35 untuk perempuan muda, Kaempferia galanga ICS=12 dan Bridelia monoica LUVI=1.06 untuk perempuan dewasa, dan Gigantochloa apus, Blumea balsamifera ICS=12 dan Cassia alata LUVI=1.01 untuk perempuan tua.

Ethnoecology and Ethnobotany of Medicinal Plants in Baduy Dalam Society Kanekes Village, Leuwidamar District, Lebak Regency, Banten.A study of utilization of landscape and medicinal plants has been undertaken in Baduy Dalam society. The purpose of this study is to reveals the diversity of medicinal plant species scattered in various landscapes that have been known and utilized by Baduy Dalam society. The study has been conducted from September 2017 to January 2018. Data was collected through semi structured close ended, open ended, participatory observation, focus group discussion FGD interviews, vegetation analysis and free roaming interviews. Interviews were conducted from 3 key informants and 108 general respondents. Data were analyzed qualitatively by descriptive statistics to describe local knowledges society and quantitative analyzed by calculating of Index of Cultural Significance ICS, and local user 39 s value Index LUVI. Based on research results, Baduy Dalam society recognizes 7 landscape units, namely Leuweung lembur residential area, Cai river, Huma field, Jami one year abandoned field, Rheuma three years abandoned field, Rheuma kolot seven years abandoned field, and Leuweung kolot protected forest. Leuweung lembur residential area considered the most important landscape which it has average of importance value of 28.8. It has been found 98 species of medicinal plants which is have 46 usefulness. It consists of 91 genera and 46 families. The most of families are Asteraceae and Zingiberaceae. The highest of ICS and LUVI values in Cibeo, category of young male chosen C. nucifera ICS 24, LUVI 2.25, category of adult male Cocos nucifera ICS 24 and Kaempferia galanga LUVI 1.91, category of old male Kaempferia galanga ICS 16 and Cocos nucifera LUVI 1.95, Psidium guajava category of young female chosen ICS 24, LUVI 2.15, category of adult female Kaempferia galanga and Zingiber cassumunar ICS 12 and Zingiber cassumunar LUVI 1.63, and category old female Pterocarpus indicus, Kaempferia galanga, Dinochloa scandens, Gigantochloa apus, Zingiber officinale, and Crassocephalum crepidioides ICS 9 and Cassia pendula LUVI 1.57. The highest of ICS and LUVI values in Cikeusik category young male chosen Cocos nucifera ICS 18, LUVI 2, category of adult male Cocos nucifera ICS 24 and Cassia alata LUVI 1.35, category of old male Cocos alata, Ageratum conyzoides, Cyrtandra. pendula, aempferia. galanga, Abrus precatorius, Mikania cordata ICS 9 and Bridelia monoica LUVI 1.65, category of young female Cocos nucifera ICS 24, LUVI 1.35, category of adult female Kaempferia galanga ICS 12 and Bridelia monoica LUVI 1.06 and category of old female Gigantochloa apus, Blume balsamifera ICS 12 and Cassia alata LUVI 1.01."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2018
T49831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sodikin
"Masalah ini dilatarbelakangi pada masyarakat Baduy sampai sekarang dikenal mempunyai otoritas penuh dalam mengatur lingkungan alam dan adat istiadatnya. Suku bangsa Baduy ini hidupnya terletak di sekitar pegunungan di antara rimbunan potion di tanah perbukitan dan lereng gunung selama berabad-abad Iamanya. Suku Baduy mendiami tanah dan hidup di dalam adat tanpa banyak terganggu oleh derasnya modernisasi. Alain yang damai dan kesederhanaan menjadi sahabat adalah cara hidup mereka. Para penghuninya menjaga dan melindungi dengan baik lingkungan alamnya, tidak saling menggusur. Semua yang dilakukan seperti menebang, mencabut dan memotong tanaman menggunakan aturan-aturan adat Baduy. Akrab seperti menyatu dengan lingkungannya, semua tumbuh dan berkembang menurut kodrat saling berdampingan.
Hal-hat yang demikian merupakan salah satu kearifan lingkungan masyarakat Baduy yang diwujudkan dengan dipaharni, dikembangkan, dipedamani dan diwariskan secara turun temurun oleh komunitas masyarakatnya dalam bentuk karuhun (hukum adat) yang dipimpin oleh Kepala Adat Baduy (Puun). Sikap dan perilaku penyimpangan dalam kearifan lingkungan dianggap penyimpangan, tidak arif, merusak, mengganggu dan lain-lain, sehingga masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan karuhun dianggap mengganggu kelestarian lingkungan alarn sekitarnya.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana kearifan lingkungan pads masyarakat Baduy akibat dengan adanya kontak dengan masyarakat luar Baduy selama ini. Faktor-faktor yang bagaimana terjadinya perubahan kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy selama ini, bagaimana kearifan Iingkungan pada masyarakat Baduy untuk masa yang akan datang.
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy yang selama ini dipedomani dan diwariskan secara turun temurun dalam melestarikan fungsi lingkungan. Hal ini, dikarenakan menjadi tujuan penelitian disebabkan bahwa kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy pada saat ini telah terjadinya kontak dengan masyarakat luar Baduy, sehingga berpengaruh pada kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy untuk masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, ada faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan kearifan lingkungan pada masyarakat Baduy.
Manfaat penelitian adalah memberi masukan bagi Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Banten, maupun Pemerintah Kabupaten Lebak dalam membantu masyarakat Baduy untuk tetap pads tradisinya dalam menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan sekitarnya sesuai dengan adat istiadat yang disebut dengan karuhun, sehingga tidak dirusak oleh masyarakat luar Baduy. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan pada masyarakat yang mempunyai sistem sosial dan budaya sendiri. Dapat dijadikan pijakan empiris untuk melakukan penelitian lanjutan tentang ekologi manusia pada masyarakat yang mempunyai sistem sosial dan budaya sendiri.
Penelitian dilaksanakan di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Pelaksanaan penelitiannya dimulai tanggal 12 Juli sampai dengan 10 Agustus 2005. Mulai tanggal 12 sampai 25 Juli 2005, penulis melakukan penelitian di lapangan yaitu di pedalaman wilayah Baduy desa Kanekes untuk mendapat data empirik secara langsung dari masyarakat Baduy.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif-analitik. Maksudnya adalah menggambarkan, menjelaskan dan menganalisis keadaan daerah penelitian sebagai obyek penelitian, dengan menganalisis secara kualitatif. Data yang sudah diolah, kemudian dianalisis secara cermat sesuai dengan tujuan penelitian ini. Analisis data diinterpretasikan dan membandingkan data yang satu dengan yang lain, untuk mengungkapkan dan memahami makna-makna yang muncul dibalik kegiatan yang sedang diteliti, kemudian untuk menjamin ketepatan dan peningkatan kualitas, maka temuan yang dihasilkan melalui penelitian ini dikonfirmasikan dengan pihak yang berkompeten dan bila perlu didiskusikan dengan konsultasi secara perorangan, balk dengan dosen pembimbing maupun dengan pihak yang terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat hukum adat Baduy yang mendiami tanah atas hak ulayat seluas 5.101,85 hektar merupakan wilayah adat yang sudah menyatu sejak dahulu kala sehingga pola kehidupan mereka menyatu dengan lingkungan alam sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ketentuan adat yang dikenal dengan karuhun. Masyarakat hukum adat Baduy hidup dengan bersandar pads hukum adat yang berlandaskan pads pola hidup sederhana dan seadanya (dalam arti tidak berlebihan), dengan meyakini amanat karuhun yang terwujud dalam hukum adat dapat menimbulkan kesadaran bagi warganya akan hak dan kewajibannya sehingga pada akhirnya mampu menciptakan suatu tertib hukum.
Perubahan jugs telah terjadi, bahkan telah terjadinya tank menarik antara perubahan dan yang tetap mempertahankan adat istiadat. Perubahan sebagai akibat dari kontak dengan masyarakat luar Baduy, dan perubahan hanya terjadi pada masyarakat Baduy Luar saja, tidak pada masyarakat Baduy Dalam. Perubahan-perubahan itu misalnya perubahan fungsi daerah kampung Dangka, perubahan dalam penggunaan obat-obatan, perubahan dalam jangkauan wilayah adat, perubahan dalam sikap menggunakan peralatan modem, perubahan dalam cara berpakaian.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa menjaga keseimbangan antara manusia, lingkungan alam fisik dan lingkungan transendental hingga sekarang masih merupakan nilai falsafah hidup masyarakat Baduy yang paling hakiki. Nilai tersebut tidak lepas dari sumber acuan seluruh gerak dan langkah mereka dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti sistem kepercayaan mereka yang bertumpu pada ajaran agama Sunda Wiwitan dengan karuhunnya yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu faktor terjadinya perubahan kearifan lingkungan adalah kontak dengan budaya luar Baduy. Akan tetapi perubahan kearifan tersebut hanya berlaku pada masyarakat Baduy Luar saja, tidak pada masyarakat Baduy Dalam. Kearifan lingkungan masyarakat Baduy tersebut hingga sekarang masih dapat dipertahankan dan juga pada masa yang akan datang.

The issue presented here is based on the fact that the Baduy community up-to-date possessed full authority on the management of their natural environment as well as their traditional customs. The Baduy tribe has been living in a mountainous area amongst the forest on hills and mountain slopes for centuries. They lived here and occupied the land in traditional manners and customs without being disturbed by the advancements of modernization. The peace provided by the surrounding nature as well as their simplicity has become attached to their way of life. The inhabitants of this area take care and properly protected their natural environment, and they did not shift or moved one another to different places. All activities involving woodcut, pulling-out of as well as the cutting of plants were performed in accordance with Baduy customs. Environmentally friendly and fully united with nature, all grew and developed according to its destiny and was living side by side.
Such was then one of the ecological wisdoms of the Baduy community which was implemented with full understanding, then developed, and further utilized as guidelines and inherited from generation to generation by the Baduy community in the form of what they called karuhun (traditional customary Iaws) that was guided and lead by the Baduy Traditional Chief (Puun). Any attitude and behaviour that diverted from these traditional ecological wisdom guidelines was regarded as erroneous, not wise, damaging, and disturbing and as such any person not complying with the stipulations as stipulated by the karuhun was regarded as disturbing the surrounding environment.
Problems arose with these ecological wisdom guidelines of the Baduy community as a result of contacts established between this community with other members of communities outside the Baduy community. What factors influenced the changes in these ecological wisdom guidelines adhered to by the Baduys since olden days, and what will become of the Baduy ecological wisdom in the future.
The purpose of this thesis research is to assess the ecological wisdom of the Baduy community that up-to-date has been utilized as guidelines and inherited from generation to generation to preserve the environment. This research purpose was taken, due to the fact that as a result of contacts being established with communities outside the Baduy region, the ecological wisdom of the Baduy tribe has been affected in the future. Again, certain factors exists that cause changes in the ecological wisdom of the Baduy community.
The benefit of this research is to provide input to the Central Government, the Banten Provincial Government, as well as the Lebak District's Government regarding how to assist the Baduy community to maintain their traditions and to take care and preserve the functions of the surrounding environment in accordance with their traditional customs which they call karuhun, and to prevent this from being damaged by community members from outside the Baduy area. Enrich to the scientific horizons in particular environmental science related to the management and preservation of the environment in communities that possess their individual social and cultural system. And to utilize this as an empirical lever to perform further research on human ecology in communities possessing its own social and cultural system.
The research was performed in the village of Kanekes, located in the Leuwidamar Sub district, District of Lebak, in the Banten Province. The implementation of this research started on 12 July and continued until 10 August 2005. From 12 July until 25 July 2005, the author performed field research in the interior Baduy area of the Kanekes village to obtain direct empirical data or primary data from the Baduy community.
The research method utilized was the descriptive-analytical research method. The purpose of this was to provide a picture, to explain, and to perform quantitative analyses of the research area as a research object. The data that was then processed was then cautiously analysed in accordance with the objectives of this research. The analysed data interpreted and compared one against another, to expose and to comprehend the significance arising behind the activities being researched, and to further assure its accurateness and improve its quality, the findings of this research was then confirmed with other competent parties and if necessary discussed and consulted individually, with the academic mentor as well as with other parties related to the issue.
Results of the study show that the Baduy traditional community inhabit land under the traditional customary law land rights, known as hak ulayat. This land, which has an area of 5,101.85 hectares, has been a holistic part of the Baduy community since olden days and as such the community's living patterns have been united to its natural environment and surroundings. This again, is proven by the various customary law stipulations known as karuhun. The traditional Baduy community living is based on this traditional law which principle is simplicity and acceptance in living patterns (meaning living not in profusion), and by trusting that the stipulations in the karuhun as accepted as the traditional law can instigate the awareness of the community regarding their rights and responsibilities and as such in the end creating a legal order.
Changes have occurred, and even some arguing evolved between those that approve of change and those that want to adhere to and defend traditional customs. Such changes as a result of contact with outsiders only occur at the Outer Baduy community and not at the Inner Baduy community. These changes, for instance, include changes in the function of the Dangka village, changes in the use of medicine, changes in the reach of the customary law, changes in community's attitude towards the use of modem equipment, and changes in the way of clothing themselves.
As a conclusion of this research, it could be said that taking care of the balance between humans, the physical environment and the transcendental environment are still up-to-date the essential life philosophy of the Baduy community. These values are attached to the reference source of the entire movement and as such the community steps in various living dimensions, such as their belief which is based on the Sunda Wiwitan traditional religion that include the karuhun, which has been inherited from one generation to the next generation. One factor causing change in the ecological wisdom is its contact with culture coming from outside the Baduy region. However, such changes in wisdom, only occur in the Outer Baduy community, and has not affected the Inner Baduy community. The ecological wisdom of these Inner Baduy community is up-to-date still being adhered to, and is still being maintained and is expected to sustain into the future.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Yulianti
"Kerangka pemikiran dari penelitian ini menggunakan teori coordinated management of meaning dari Pearce dan Cronen serta dilakukan dengan pendekatan kajian budaya dan teori perubahan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pikukuh sapuluh merupakan pancaran dari kepercayaan dan agama yang dianut oleh suku Baduy Luar. Isi terpenting dart pikukuh Baduy tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Dan ternyata suku Baduy Luar membuat interpretasi dan bertindak berdasarkan aturan-aturan yang telah ditentukan. Suku Baduy bertindak atas dasar pemahaman mereka dengan menggunakan aturan-aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai.
Pengertian suku Baduy terhadap makna teks pikukuh sapuluh dipengaruhi oleh hubungan suku Baduy dengan teks tersebut. Dan hubungan itu pada gilirannya dipengaruhi oleh teks itu sendiri. Pikukuh sapuluh telah memberikan sebuah rasa bagaimana interpretasi dan tindakan suku Baduy tampak logis atau sesuai dalam situasi tertentu.Rasa inilali yang disebut daya logika.
Pada day pregurative, suku Baduy melaksanakan ketentuan adatnya karena adanya daya kausal. Artinya orang-orang terdahulu (nenek moyang atau karuhun) mereka telah mewariskan pikukuh sapuluh ini untuk dijalankan oleh generasi penerus mereka. Pada sebagian generasi muda Baduy tentu saja hal ini menjadi tekanan karena pada satu sisi mereka tak terlepas dari penetrasi sosial masyarakat di filar Baduy. Pengkoordinasian makna terjadi secara baik karena apa yang diwariskan oleh leluhur dilakukan sepenuhnya oleh suku Baduy Luar.
Daya Praktis merupakan sebuah perkaitan tindakan dengan konsekwensi di mana suku Baduy berperilaku dengan suatu cara tertentu untuk mencapai suatu kondisi dimasa depan. Ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada dan terjangan arus globalisasi serta harapan untuk merubah kondisi yang ada, telah membuat adanya berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut sebenarnya tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan ketentuan adat.
Daya kontekstual merupakan sebuah tekanan dari konteks. Di sini, suku Baduy percaya bahwa tindakan atau interpretasi adalah sebuah bagian alamiah dari konteks. Di dalam konteks dari konsep diri suku Baduy, misalnya, pada suku Baduy dilarang untuk bersekolah atau mengenyam pendidikan formal, akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali generasi muda Baduy yang pandai membaca dan menulis. Pendidikan formal memang dirasa tidak diperlukan, hanya mungkin sekedar bagian dari siapa suku Baduy. Ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar mereka, suku Baduy bisa menunjukkan bahwa ternyata mereka juga tak ada bedanya dengan orang di luar mereka. Mereka juga tidak bodoh dan mampu mengimbangi orang-orang yang menyatakan dirinya modern.
Daya implikatif, disini suku Baduy bertindak untuk menciptakan sebuah konteks baru atau merubah konteks yang sudah ada. Tindakan-tindakan yang berimplikasi terhadap kehidupannya dan ini memainkan peranan dalam kehidupan suku Baduy. Untuk proses sosialisasi pikukuh itu sendiri dilakukan melalui penjelasan tetua adat (Puun) yang dilaksanakan setahun sekali dan akhirnya proses transferisasi dilakukan oleh pihak keluarga melalui pola pengasuhan. Sistem kontroling melalui pemberian sanksi sangat membantu juga.
Pada intinya bahwa pikukuh sapuluh tersebut konsisten di sepanjang putarannya, putaran inilah yang disebut dalam teori coordinated management of meaning sebagai charmed atau menyesuaikan diri. Adapun implikasi teoritis dari penelitian ini bagi perkembangan ilmu komunikasi adalah menambah khasanah pada kelompok (cluster) teori pemaknaan yang dipakai di Departemen Ilmu Komunikasi khususnya Program Pascasarjana UI.
Pada akhirnya peneliti berharap teks pikukuh sapuluh bisa menjadi legal drafting di bidang hukum sebagai sebuah kearifan lokal karena ia telah terbukti bisa menjaga keseimbangan alam dan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat Baduy."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Yulianto
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang pariwisata saba budaya baduy yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial pada masyarakat baduy dalam kampung Cibeo menggunakan pendekatan kualitatif. Hasilnya, telah terjadi perubahan sosial sebagai akibat kegiatan pariwisata saba budaya baduy yang digambarkan dalam tahapan fenomena pariwisata multiplier melalui periodesasi perubahan sosial: pra kunjungan wisatawan, kunjungan wisatawan, pasca kunjungan wisatawan dan menutup siklus kunjungan wisatawan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan sosial terjadi secara lambat, besar dan terencana melalui variasi aspek proses sosial, pola sosial, interaksi sosial atau organisasi sosial dan perubahan dari unsur ndash; unsur jaringan hubungan sosial yang meliputi adat, ritual, aturan dan prosedur.

ABSTRACT
The research discusses Saba Budaya Baduy tourism activities cause social changes in the inner baduy society, Cibeo village used qualitative approach. The results showed the social changes occurred due to Saba Budaya Baduy tourism activies that described in multiplier tourism phenomena stagest through social change periodization pre tourist visit, tourist visit, post tourist visit and end of cycle tourist visit. The research concludes social changes occurred slowly, major and planned through variation aspects of social process, social pattern, social interaction or social organization and changes social relationship networks elements that covered customs, rituals, rules and procedures."
2017
T48040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santy Yulianti
"

Frasa preposisional merupakan salah satu konstruksi bahasa yang mampu menggambarkan representasi mental seseorang atau komunitas tutur. Tuturan yang bermakna spasial dan berbentuk frasa preposisional menjadi fokus kajian penelitian ini.  Tujuan penelitian adalah untuk menyusun  skema kognitif spasial masyarakat Baduy. Suku Baduy terpilih karena memiliki keunikan berdasarkan aturan adat mengenai tata letak bangunan dan ladang dalam kehidupan mereka. Kosakata dasar  membantu mengarahkan kognisi spasial mereka dalam  interaksi dengan alam sekitar dan isinya, disamping itu  konstruksi frasa preposisional bahasa Sunda dialek Baduy merupakan representasi  verbal kognisi spasial mereka terhadap lingkungan tempat mereka hidup. Landasan teori yang digunakan untuk menghasilkan kaidah frasa  preposisional adalah semantik konseptual Ray Jackendoff (1985) dan peta kognitif Lynn Nadel (2013). Semantik konseptual Ray Jackendoff   merupakan perpaduan ilmu tata bahasa dan makna yang bersumber dari proses kognisi seseorang dan menghasilkan konsep- makna sebagai representasi mental seseorang ataupun komunitas bahasa. Manfaat  peta kognitif Lynn Nadel membantu dalam menemukan lokasi, orientasi dan reorientasi, dan konsep kognitif yang mendasari orientasi ruang masyarakat bahasa Sunda dialek Baduy. Data yang digunakan adalah frasa preposisi lokatif dan direktif yang diperoleh dari hasil wawancara dengan satu informan Baduy Dalam dan dua informan Baduy luar. Hasil dari penelitian ini terdiri atas kaidah frasa preposisional yang terbagi atas place function dan path function. Selain itu, preposisi yang banyak digunakan adalah perposisi ti, di, dan ka. Objek acuan untuk frasa preposisional ini berupa nomina tempat seperti imah, leuit, dan huma, dan nomina arah seperti luhur, kaler, kidul, kenca, dan katuhu. Skema kognitif yang diperoleh adalah konstruksi objek acuan yang sebagian besar alosentris hanya mengenal makna selatan (kidul) dan utara (kaler). Hal ini berhubungan dengan pengalaman mereka mengenai tata letak perkampungan , ladang, dan tempat sakral mereka yang dimulai dari wilayah yang paling utara sebagai wilayah umum (perkampungan) sampai dengan wilayah paling selatan sebagai tempat sakral (tempat ibadah) suku Baduy.


The prepositional phrase is one of the language constructs capable of describing the mental representation of a person or a speech community. Speech utterances that have spatial meaning and are in the form of prepositional phrases are the focus of this chapter. The objective is to develop a spatial cognitive scheme of the Baduy society. The Baduy tribe was chosen because of its unique customary regulations in their lives regarding the layout of buildings and fields. Basic vocabulary helps to direct their spatial cognition in their interaction with the natural surroundings. The construction of prepositional phrases in the Baduy dialect of Sundanese is a verbal representation of their spatial cognition of the environment where they live. Ray Jackendoff’s conceptual semantics (1985) and Lynn Nadel's cognitive map (2013) are used as the theoretical basis to generate prepositional phrase rules. The conceptual semantics of Ray Jackendoff is a fusion of grammar and meaning derived from a person's cognition process and produces concepts as the mental representation of a person or a language community. One of the benefits of Lynn Nadel’s cognitive maps is that it helps in finding location, orientation and reorientation, and the cognitive concepts underlying the spacial orientation of the community speaking the Baduy dialect of the Sundanese language. The data used are locative and directive prepositional phrases obtained from interviews with one Baduy Dalam informant and two Baduy Luar informants. Prepositional phrase in Baduy utterances consist of rules for place function and path function. In addition, the widely used prepositions are the prepositions ti, di, and ka. The reference object for these prepositional phrases are place nouns such as imah  (house), leuit (barn), and huma (field) , and direction nouns such as luhur (above), kaler (north), kidul (south), kenca (lefthand), and katuhu (righthand). The cognitive scheme obtained is the construction of reference objects that are mostly alocentric and only recognize the significance of south (kidul) and north (kaler). This relates to their experience of the layout of their settlements, fields and sacred places starting from the northernmost region as the common area (kampung or village) to the southern most region as the sacred place (place of worship) of the Baduy tribe.

"
2018
T51708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Risyad Fadli
"Tulisan ini menyajikan penelitian secara doktrinal terhadap pengelolaan dana desa yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagaimana dana Desa Adat Baduy Kanekes. Persoalan yang muncul berupa ketika Desa Adat Baduy Kanekes menolak pemberian dana desa oleh pemerintah pusat, sehingga dana yang sudah diberikan mengendap dalam Rekening Kas Daerah Kabupaten Lebak yang kemudian dimanfaatkan untuk dikelola. Pengelolaan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah, dimana desa merupakan satuan pemerintahan di bawah daerah. Namun sejatinya desa pun memiliki otonominya sendiri yang berdasarkan hak asal usul dan istiadatnya terlebih lagi desa adat. Oleh karenanya, desa mempunyai kewenangan atas pengelolaan keuangannya termasuk dana desa, sehingga pola pertanggungjawaban atas keuangan desa berbeda dengan keuangan daerah secara yuridis maupun administratif. Kendati pun belum ada aspek yuridis untuk memayungi pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, aspek pengelolaan dana desa harus dipertanggungjawabkan berdasarkan tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi penyimpangan terhadap keuangan negara dengan mempertimbangkan kewenangan pemerintah itu sendiri. Langkah yang ditempuh dalam pengelolaan tersebut dapat diwadahi diskresi dalam administrasi pemerintahan ataupun beranggapan bahwa pemerintahan desa masih sebagai sub pemerintahan daerah selama belum ada pengakuan secara administratif dari pemerintah pusat.

This paper presents doctrinal research on the management of village funds carried out by regional governments such as the Baduy Kanekes Traditional Village funds. The problem that arose was when the Baduy Kanekes Traditional Village refused to provide village funds from the central government, so that the funds that have been given are deposited in the Lebak Regency Regional Cash Account which is then used to be managed. This management is the authority of the regional government based on regional autonomy, where the village is a government unit under the region. However, in reality villages also have their own autonomy based on their rights of origin and tribes, especially traditional villages. Therefore, villages have authority over the management of their finances, including village funds, so that the pattern of accountability for village finances is different from regional finances, both juridically and administratively. Although there is no juridical aspect to cover the management of village funds carried out by the regional government. However, aspects of village fund management must be accounted for based on actions taken by the regional government so that there are no irregularities in state finances by considering the authority of the government itself. The steps taken in management can be accommodated by discretion in government administration or assume that the village government is still a regional sub-government as long as there is no administrative recognition from the central government."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Fernandez
"Tentang orang Baduy sudah banyak ditulis oleh banyak pihak baik dari kalangan antropolog maupun pemerintah terutama pemerintah Hindia Belanda.
Di antaranya tulisan Ende (1889), Van Trick (1929), Geise (1992), Garna (1987), Ekadjati (1995), dan sebagainya. TuIisan-tulisan itu berupa laporan ataupun etnografi umum.
TuIisan yang lebih spesifik misalnya dari Johan Iskandar (1992) tentang sistem perladangan. Tulisan studi kasus belum banyak yang dipublikasikan.
Dari semua tulisan itu ditemukan bahwa masyarakat Baduy menolak ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mereka tidak terlibat dalam aktivitas modernisasi. Sementara itu, masyarakat di sekitar Baduy sudah terlibat dalam pembangunan dan modernisasi.
Masyarakat Baduy sengaja menghambat modernisasi di komunitasnya dengan Cara mempertahankan tradisi sistem pewarisan budaya mereka. Masalah yang diteliti adalah bagaimana peranan transmisi pengetahuan di keluarga Baduy terhadap upaya mempertahankan tradisi nenek moyang mereka.
Tujuan penelitian adalah, memahami proses pewarisan budaya atau transmisi pengetahuan melalui studi pola pengasuhan anak di Gajeboh, salah satu dusun di Baduy Luar.
Temuan penelitian antara lain, orang Baduy tidak mengenal sekolah dan media massa sebagai agen sosialisasi. Transmisi pengetahuan terjadi di keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hampir semua wujud pengetahuan diperoleh melalui orang tua dengan peranan ibu yang dominan dibandingkan ayah atau kerabat dekat lainnya. Ketika menjelang remaja transmisi pengetahuan dilakukan oleh teman bermain atau masyarakat di sekitarnya.
Transmisi pengetahuan dari luar Baduy mengalami hambatan oleh adat istiadat yang berlaku, meskipun demikian pelanggaran adat sering terjadi. Sanksi terhadap pelanggaran tidak tegas bahkan ada yang tidak diberi sanksi selain pergunjingan. Peluang untuk perubahan tetap ada karena hagi masyarakat Gajeboh, apa yang dianggap baik boleh ditiru, meskipun kemudian dibambat pula oleh adat Sunda Wiwitan.
Orang Baduy yang mendapat transmisi pengetahuan dari keluarga dan masyarakat komunitasnya, memang masih mepertahankan adat istiadat terutama larangan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi, bersawah, beternak kecuali ayam, memelihara ikan dan sebagainya. Bagi mereka yang ingin melakukan perubahan tradisi diperbolehkan meninggalkan Baduy dan tidak diakui sebagai orang Baduy lagi secara adat."
2000
T1770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zanten, Wim van
"ABSTRAK
Baduy pantun stories are part of the larger Sundanese oral tradition of pantun storytelling in west Java. The stories recount the deeds of the nobility of such old Sundanese kingdoms as Pajajaran and Galuh. Although the Baduy still recite the pantun stories in their rituals, in the larger cities to the east of the Baduy village Kanékés pantun recitation almost disappeared. On the basis of short periods of fieldwork in and around Kanékés village between 1976 and 2014, in this essay I shall discuss Baduy pantun storytelling. I shall summarize earlier major publications and analyse some performance aspects of two Baduy pantun stories which I recorded. Although I do not concentrate on the text, I do discuss a few cultural issues arising from the texts. Baduy oral literature also includes children?s and women?s songs, as well as fables and myths of origin (dongéng) which do not involve music. These will not be discussed here."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2016
909 UI-WACANA 17:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Athiyyahmaulidya Refyan
"Latar Belakang: Baduy merupakan suku yang masih melestarikan budayanya tersendiri tanpa dipengaruhi oleh faktor luar yang menyebabkan variasi genetik dan dapat mempengaruhi komposisi mikroba dalam rongga mulut. Variasi mikroba dan status kebersihan rongga mulut berhubungan dengan pertumbuhan biofilm yang dipengaruhi oleh hasil metabolit sejumlah mikroorganisme, seperti protein dan nitrat. Protein berperan penting dalam perlekatan mikroba dan mendukung adhesi intraselular serta komunikasi antar mikroba sehingga meningkatkan pembentukan biofilm. Keberadaan NO dalam rongga mulut dapat mengurangi tingkat c-di-GMP yang menyebabkan terjadinya dispersi pada biofilm sehingga dapat memecah matriks biofilm. Tujuan: Mengamati pengaruh spent medium isolat bakteri usap lidah individu Baduy terhadap viabilitas sel dan massa biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy dalam kondisi aerob. Metode: Pemeriksaan konsentrasi protein dari spent medium isolat bakteri usap lidah Baduy dilakukan dengan uji Bradford, uji Griess untuk menetapkan konsentrasi nitrat, uji Crystal Violet untuk menetapkan nilai optical density yang merepresentasikan massa biofilm, dan uji Total Plate Count (TPC) yang menentukan viabilitas sel. Masing-masing perlakuan dibedakan berdasarkan konsentrasi protein dan nitrat pada spent medium 5% dan 10% dengan waktu inkubasi selama 24 jam dalam kondisi aerob. Selanjutnya data diolah secara statistik menggunakan uji komparasi One-Way ANOVA, Independent T-test, dan Mann-Whitney U. Hasil: Uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada perbandingan viabilitas sel biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy yang diintervensi oleh spent medium isolat bakteri usap lidah individu Baduy berdasarkan konsentrasi protein dan nitrat sebesar 5% dan 10%, massa biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy yang diintervensi spent medium dengan konsentrasi nitrat 5% dan 10%. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada massa biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy dengan perbedaan konsentrasi protein 5% dan 10%, serta viabilitas sel dan massa biofilm yang diintervensi oleh spent medium isolat bakteri usap lidah individu Baduy yang mengandung KNO3 dan tanpa KNO3. Kesimpulan: Peningkatan konsentrasi protein pada spent medium isolat bakteri usap lidah individu Baduy sebagai bahan uji meningkatkan massa biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy. Namun, peningkatan konsentrasi nitrat pada spent medium isolat bakteri usap lidah Baduy dapat menurunkan viabilitas sel pada biofilm in vitro bakteri usap lidah individu Non-Baduy. Selain itu, kandungan KNO3 pada spent medium juga meningkatkan viabilitas sel dan massa biofilm in vitro Non-Baduy. Kata kunci: Suku Baduy, spent medium isolat bakteri usap lidah, konsentrasi protein, konsentrasi nitrat, viabilitas sel, dan massa biofilm.

Background: Baduy is a tribe that still preserves its own culture without being influenced by external factors that cause genetic variations and can influence the composition of microbes in the oral cavity. Microbial variations and oral hygiene status are related to biofilm growth which is influenced by the metabolites of several microorganisms, such as proteins and nitrates. Proteins play an important role in microbial attachment and support intracellular adhesion and communication between the microorganisms, thereby increasing biofilm formation. The presence of NO in the oral cavity can reduce the level of c-di-GMP which causes dispersion in the biofilm, so that it can break down the biofilm matrix. Objective: To determine the effect of spent medium of bacterial isolates of tongue swab from the Baduy on cell viability and biofilm mass of the Non-Baduy's tongue swab bacterial under aerobic conditions. Methods: Protein concentration of spent medium of bacterial isolates from tongue swabs of the Baduy was examined using the Bradford test, the Griess test to determine nitrate concentration, the Crystal Violet test to determine the optical density value which represents the biofilm mass of the Non-Baduy's tongue swab bacterial, and the Total Plate Count (TPC) test which determines cell viability of in vitro biofilm of the Non-Baduy's tongue swab bacterial. Each treatment was differentiated based on the concentration of protein and nitrate at 5% and 10% of spent medium of bacterial isolates of tongue swab from the Baduy with an incubation time of 24 hours under aerobic conditions. Afterwards, the data was collected and tested statistically using One-Way ANOVA, Independent T-test, and Mann-Whitney U test. Results: There were statistically significant differences in the comparison of cell viability of Non-Baduy tongue biofilms that were intervened by spent medium based on protein concentrations of 5% and 10% and nitrates of 5% and 10%, the mass of in vitro biofilm of the Non-Baduy's tongue swab bacterial that were intervened by spent medium of bacterial isolates of tongue swab from the Baduy based on nitrate concentrations of 5% and 10%. There were no statistically significant differences in comparison of the mass of in vitro biofilm of the Non-Baduy's tongue swab bacterial with 5% and 10% protein concentration of spent medium of bacterial isolates from tongue swabs of the Baduy, as well as cell viability and biofilm mass that were intervened by spent medium of containing KNO3 and without KNO3. Conclusion: Increasing the protein concentration in spent medium of bacterial isolate of tongue swabs from the Baduy as a test material increases the mass of in vitro biofilm of bacterial tongue swabs from the Non-Baduy. However, increasing the nitrate concentration in spent medium of bacterial isolate of tongue swab from the Baduy can reduce cell viability in the in vitro biofilm of bacterial tongue swabs from the Non-Baduy. In addition, the KNO3 content in the spent medium of bacterial isolate of tongue swab from the Baduy also increased the cell viability and tongue biofilm mass of in vitro biofilm of bacterial tongue swabs from the Non-Baduy. Key words: Baduy, spent medium of bacterial isolate of tongue swab, protein concentration, nitrate concentration, cell viability, and biofilm mass.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>