Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratu Alam Nugraheni
"Dampak keterbatasan pelayanan kesehatan akibat pandemi Covid-19 membuat Pemerintah Kota Semarang menginisiasi Program Kampung Siaga Candi Hebat (KSCH) sebagai pendekatan terpadu untuk membangun ketahanan, meminimalkan biaya, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Adapun, masyarakat diorganisasikan untuk dapat membantu sesama sebagai langkah penanggulangan Covid-19 di tingkat terendah. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan masyarakat Kecamatan Semarang Utara pada aspek Kesehatan Program KSCH melalui mekanisme co-production sekaligus menjadi keterbaruan literatur co-production pandemi Covid-19 di Indonesia. Penelitian ini menggunakan paradigma post positivist dengan tujuan deskriptif. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan dua aktor pemerintah, lima aparat pemerintah, dua elemen masyarakat, serta tiga masyarakat penerima manfaat. Studi kepustakaan dengan dokumen Dinas Kesehatan Kota Semarang, Laporan Kinerja Relawan Program KSCH, dan sumber artikel berita. Teknik analisis data yang digunakan adalah illustrative method. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam co-production Program KSCH, pemerintah berperan sebagai fasilitator dan inisator, sedangkan masyarakat Semarang Utara secara sukarela telah beperan dalam seluruh proses co-production, yaitu: co-commissioning, co-design, co-delivery, dan co-assesment. Adapun, penyelenggaraan aspek kesehatan Program KSCH terbukti memberikan manfaat baik masyarakat maupun pemerintah. Untuk itu, peran dari pemerintah dan masyarakat dalam co- production aspek kesehatan Program KSCH mampu mengurangi dampak dari pandemi Covid- 19 di Semarang Utara
The impact of limited health services due to the Covid-19 pandemic has prompted the Semarang City Government to initiate the Kampung Siaga Candi Hebat (KSCH) Program as an integrated approach to build resilience, minimize costs, and increase community participation. Meanwhile, the community is organized to be able to help others as a step to overcome Covid-19 at the lowest level. Therefore, this study aims to analyze the role of the North Semarang District community in the Health aspect of the KSCH Program through a co- production mechanism as well as being an update of the Covid-19 pandemic co-production literature in Indonesia. This study uses a post-positivist paradigm with descriptive purposes. The data collection technique is through in-depth interviews with two government actors, five government officials, two community elements, and three beneficiary communities. Literature study with documents from the Semarang City Health Service, KSCH Program Volunteer Performance Reports, and news article sources. The data analysis technique used is the illustrative method. The results of this study indicate that in the co-production of the KSCH Program, the government acts as a facilitator and initiator, while the people of North Semarang voluntarily have a role in the entire co-production process, namely: co-commissioning, co- design, co-delivery, and co-assessment. Meanwhile, the implementation of the health aspect of the KSCH Program has been proven to provide benefits to both the community and the government. For this reason, the role of the government and the community in the co- production of the health aspect of the KSCH Program is able to reduce the impact of the Covid- 19 pandemic in North Semarang."
Depok: Fakultas Ilmu Admnistrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Jusnadi
"Paradigma "good governance" atau kepemerintahan yang baik akhir-akhir ini menjadi wacana kuat dalam kebijakan administrasi publik di Indonesia. Untuk mewujudkan praktek kepemerintahan yang baik ada tiga institusi utama yang secara bersama-sama harus diberdayakan yaitu pemerintah, sektor privat dan masyarakat (civil society). Semangat reformasi dan penerapan model pembangunan yang partisipatif dengan orientasi kepada kepentingan rakyat. Mencuatnya isu reformasi selama ini bagi masyarakat sebagai obyek pembangunan, belum memiliki posisi tawar sebagai pengambil keputusan yang terkait dengan kepentingannya.
Untuk mengangkat masyarakat sebagai subyek pembangunan utama, sejalan dengan tuntutan otonomi dan desentralisasi, maka disusunlah Tesis ini dengan melakukan penelitian terhadap proses penguatan kelembagaan lokal dalam proyek penanggulangan kemiskinan perkotaan di enam kelurahan di kota Semarang yaitu di Kelurahan Bangunharjo, Gemah, Sumurbroto, Tandang, Kuningan dan Kemijen.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor atau variabel yang berpengaruh dalam pembentukan tampilan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang mandiri yang patut dipertimbangkan dalam kebijakan untuk memperkuat terwujudnya praktek kepemerintahan yang baik dalam kerangka manajemen perkotaan.
Dari hasil penelitian berdasarkan pembuktian hipotesis statistik regresi, berganda dinyatakan bahwa, terdapat hubungan keterpengaruhan oleh variabel independen, yaitu faktor pengaruh lingkungan eksternal dan faktor penerimaan internal komunitas terhadap variabel dependen tampilan BKM dimana pengaruh penerimaan internal komunitas memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan tampilan BKM dari pada pengaruh lingkungan eksternal.
Dari rincian koefisien korelasi antar variabel, diperoleh urutan (rank) faktorfaktor yang mempengaruhi kemandirian BKM, yaitu sebagai berikut :
1. Kepemimpinan dalam komunitas.
2. Penerimaan masyarakat terhadap misi dan strategi organisasi.
3. Sikap aparat yang membatasi diri untuk tidak mencampuri internal organisasi.
4. Bantuan dana langsung kepada masyarakat melalui BKM.
5. Aturan main yang transparan.
6.Budaya lokal yang peduli kemiskinan.
Dalam penguatan praktek kepemerintahan yang baik, agar terjadi proses transformasi kelembagaan lokal yang berkelanjutan, perlu penguatan terhadap visi strategis dan membangun komitmen antar para pelaku, selain penerapan unsur demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Dengan demikian diharapkan BKM yang sudah terbentuk saat ini dapat diberdayakan untuk memberikan kontribusi dalam manajemen pembangunan perkotaan, terutama mewujudkan program pembangunan kota yang terpadu dan tepat sasaran.
Untuk mencapai percepatan pencapaian tersebut masih diperlukan peran "mediator" baik dari privat sektor maupun "civil society" yang bisa membangun sinergitas antara pelaku lokal : eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam membangun interaksi, membangun kapasitas dan membangun sumber daya atau modal organisasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frimadhona Syafri
"Pemelajaran Bahasa inggris sebagai bahasa asing merupakan mata pelajaran wajib diajarkan di STLP. Salah satu tujuan pemelajaran itu adalah mengembangkan kemampuan membaca siswa agar mereka mereka mampu mempelajari teks berbahasa inggris ketika melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Pada saat ini, kemampuan membaca teks berbahasa inggris siswa SLTP masih jauh dari tingkat yang diharapkan. Kenyataan itu telah ditulis dalam berbagai laporan penelitian oleh para ahli pengajaran bahasa.
Mengingat hat itu, diperlukan ancangan yang dapat mengefektifkan pemelajaran membaca, khususnya membaca interpretatif dalam bahasa inggris. Salah satu ancangan pemelajaran yang dapat diuji cobakan adalah ancangan Coopertive Learning (CL). Ancangan CL adalah ancangan pemelajaran yang melatih siswa agar dapat sating berbagi pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman dengan sesama anggota kelompoknya sehingga tercapai keberhasilan dalam pemelajaran. Untuk itu kebenarannya periu dibuktikan di lapangan melalui sebuah penelitian.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan. Tujuan penelitian itu adalah untuk mengetahui pengaruh kerja sama kelompok dalam pemelajaran membaca teks berbahasa inggris dengan menggunakan ancangan CL. Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 5 siklus.
Penelitian itu dilakukan di salah satu kelas II SLTP Hj. Isriati yang siswanya berjumlah 35 orang yang terdiri atas 13 perempuan dan 22 laki-laki_ Kelas dibagi dalam B kelompok Setiap kelompok terdiri atas 4 - 5 siswa perempuan dan laki-laki yang memiliki kemampuan akademik berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ancangan CL dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa. Hal itu terlihat pada evaluasi proses dan evaluasi basil. Evaluasi proses dilakukan dengan cara mengamati perilaku siswa dan guru selama pemelajaran. Hasil observasi tindakan dari aspek siswa menunjukkan kemajuan tindakan pada siklus pertama 40 persen, kedua 56 persen, ketiga 71 persen , keempat 77 persen , dan kelima 85 persen. Dari aspek guru, hasil observasi menunjukkan pada sikkius pertama 58 persen , kedua 64 persen, ketiga 75 persen, keempat 80 persen, dan kelima 89 persen. Kedua hasil observasi itu membuktikan keberhasilan tindakan dari siswa dan guru selama pemelajaran. Evaluasi hasil dapat dilihat pada hasil belajar siswa berdasarkan niiai rata-rata kelas di setiap siklus. Pada siklus pertama nilai rata-rata kelas 58,2, kedua 64,8, ketiga 70,0, keempat 76,4 dan kelima 79,7. Hal itu menunjukkan keberhasilan siswa dalam melaksanakan pemelajaran membaca interpretatif dalam bahasa inggris dengan menerapkan ancangan CL."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T8103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poerba, Zakarias
"Tesis ini mendiskripsikan tentang penanganan pelaku kejahatan anak oleh polisi di kodya Semarang, untuk mengetahui sejauh manakah hak-hak tersangka anak mendapatkan perhatian polisi di Poltabes Semarang. Pendiskripsian dimaksud difokuskan pada langkah-langkah penyidikan dengan lebih fokus lagi pada tindakan penangkapan, penahanan dan pembuatan berita acara pemeriksaan tersangka anak.
Latar belakang teori dalam penulisan ini dilakukan dengan melihat tindakan penyidikan dimaksud sebagai tindakan sosial (analisa tindakan sosial COHEN:1973) dan pengaruh kondisi lingkungan penyidik yang mempengaruhi tindakannya sebagai penyidik tersangka anak (sebagaimana yang dikemukakan oleh DONALD BLACK : 1980).
Dari hasil penelitian yang melatar belakangi tesis ini, diperoleh gambaran bahwa terdapat kecenderungan pilihan tentang tujuan penyidikan tersangka anak, yang mengarah kepada penyelesaian berkas perkara dan mengabaikan alternatif tentang tujuan lain, berupa jaminan perlindungan terhadap pertumbuhan pisik, mental dan sosial tersangka anak. Kondisi semacam inilah yang mempengaruhi perilaku polisi yang menangani tersangka anak dalam prakteknya, yang menimbulkan tindakan-tindakan yang mengabaikan hak-hak tersangka anak, termasuk tindakan kekerasan dan kecenderungan melakukan penahanan terhadap tersangka anak."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahaya Indriaty
"LATAR BELAKANG. Pemantauan pertumbuhan balita merupakan kegiatan penting dalam menunjang upaya perbaikan gizi, karena memiliki fungsi penapisan, deteksi gangguan pertumbuhan, penentuan intervensi, dan sebagai alat edukasi. Untuk dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan di masyarakat, maka harus dihasilkan'" informasi yang berkualitas baik, terutama yang berkaitan dengan hasil penimbangan balita. Selama ini masalah kualitas data penimbangan posyandu sering dipertanyakan karena data yang sangat terbatas.
TUJUAN. Tujuan studi ini adalah untuk mempelajari kualitas data hasil penimbangan kader, mempelajari faktor-faktor, dan merumuskan saran-saran untuk peningkatan kualitas data.
METODOLOGI. Studi dilakukan di 4 kabupaten yaitu Sukabumi dan Bogor di Jawa Barat, serta Demak dan Semarang di Jawa Tengah. Sebanyak 18 posyandu di masing-masing Kabupaten di pilih dengan cara Multistage sampling. Secara keseluruhan ada 72 posyandu sebagai lokasi studi. Di masing-masing posyandu dipilih satu orang kader yang bertugas menimbang sebagai sampel studi. Kualitas data hasil penimbangan dinilai dengan presisi dan akurasi kader dalam penimbangan. Setiap kader menimbang 10 anak sebanyak 2 kali, kemudian anak yang sama ditimbang oleh petugas peneliti sebanyak 2 kali. Penilaian presisi dan akurasi dilakukan dengan metode yang tercantum pada buku 'Measuring Changes of Nutritional Status (WHO, 1983). Variabel lain yang dikumpulkan meliputi data diri kader meliputi umur, pendidkan, pekerjaan dan data yang berkaitan dengan lama kerja, pelatihan, perekrutan, pembinaan, pengetahuan dan ketrampilan kader dalam menimbang. Analisa dilakukan secara deskriptif, dan analisa hubungan antara variabel bebas dengan tingkat presisi dan akurasi dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.
HASIL. Sebanyak 59,7 % kader memiliki tingkat presisi yang kurang baik dan hampir semua kader (97,2%) memiliki tingkat akurasi yang kurang baik. Dengan demikian kualitas data hasil penimbangan oleh kader masih sangat rendah. Dari 97,2% kader yang tidak akurat ternyata 82,5% tidak mendapat pembinaan yang baik. Faktor ketrampilan merupakan faktor penting pada kualitas data, sebagian besar kader kurang trampil, terutama dalam hal mengatur posisi bandul timbangan. Faktor ketrampilan kader ini lebih lanjut dipengaruhi oleh pengetahuan kader dan pembinaan yang kurang dalam materi cara menimbang balita. Faktor-faktor lain tidak mempunyai hubungan dengan tingkat presisi maupun tingkat akurasi.
KESIMPULAN. Kualitas data hasil penimbangan oleh kader masih sangat rendah. Faktor pengetahuan dan ketrampilan kader terutama dalam mengatur posisi bandul timbangan merupakan variabel yang penting dalam kaitannya dengan kualitas data.
SARAN. Untuk meningkatkan kualitas data perlu dilakukan pembinaan secara berkesinambungan disamping pelatihan-pelatihan resmi yang dibentuk. Dalam hal ini pembinaan yang berkaitan dengan cara penimbangan perlu mendapat perhatian serius, disamping pembenahan posyandu dalam aspek lainnya seperti pemberian penghargaan dan sanksi. Selain itu juga dilakukan penyebaran informasi cara menimbang yang benar melalui kegiatan pembinaan yang teratur agar dapat ditingkatkan kualitas data penimbangan, dan menimbulkan budaya malu apabila tidak melaksanakan tugas dengan tanggung jawab.
Daftar bacaan: 43 (1930-2002)

The Relationship Between the Characteristics and the Precision and Accuracy of Posyandu Cadres in Weighing the Children, in the Districts of Sukabumi, Bogor, Demak and Semarang, in 2002BACKGROUND. One among others, growth monitoring is an important activity to support nutrition improvement program. Growth monitoring has several functions such as to identify the targets for intervention, to detect growth failure, to identify appropriate nutrition intervention, and as educational tool. A good quality growth monitoring data could be used as an indicator of social welfare, therefore, the reliability of weight data from monthly weighing activity at posyandu should be improved. Thus far, the quality of weight data is still questionable, but the effort to evaluate it is still rarely carried out.
OBJECTIVES. The objectives of the study are to evaluate the quality of weight data measured by posyandu cadre, to determine factors that are related to quality of weight data, and to formulate recommendation for improving the quality of weight data.
METHODS. The study was carried out in 4 districts, namely: Sukabumi and Bogor in West Java, Demak and Semarang in Central Java. Eighteen posyandus in each district were selected using multistage sampling. In a total 72 posyandus were covered as study locations. In each posyandu one cadre whose task is weighing was selected as a study sample. The quality of weight data was evaluated by looking at the precision and accuracy of cadre in weighing. Each cadre weighed 10 children twice. The same children also weighed by field staff twice. The evaluation of precision and accuracy is based an method provided in the guidance book for `Measuring Changes of Nutritional Status', WHO, 1983. Other variables were also collected such as age of cadre, educational level, occupation, duration of being cadre, frequency of training followed by cadre, recruitment, advisory, and the knowledge and the ability of cadre in weighing. Two types of data analysis were employed: descriptive analysis and association between dependent and independent variables using Chi-square test.
RESULTS. The precision and accuracy of cadre in weighing is significantly low. As many as 59.7% cadres were found to be imprecise, and 97.2% were found to be inaccurate in weighing. Around 83% of cadres who were inaccurate in weighing did not receive better guidance from the advisor. The ability of cadre in weighing is found to be an important factor that influences the quality of weight data, particularly in positioning the scale balancer ("bandul timbangan"). The ability of cadre in weighing is influenced by the lack in cadre's knowledge in how to weigh the child and the lack in guidance from the advisor. The other factors do not have significant association with precision and accuracy of cadre in weighing.
CONCLUSIONS. The quality of weight data measured by cadres is still very low. The knowledge and the ability of cadres in weighing, particularly in positioning scale balancer are the important factors that associated with the quality of weight data.
RECCOMENDATIONS. To improve the quality of weight data measured by cadres requires a regular and continuous guidance besides providing the cadres with formal trainings. Other than efforts to improve posyandu activity such as providing rewards and sanctions, a guidance related to method of weighing needs a serious attention, In addition, information related to quality of weight data needs to be observed, evaluated, and improved by the advisor through a regular advisory visit.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T13009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estri Aurorina
"Gangguan pernafasan masih menjadi masalah kesehatan di Desa Bandarharjo sebab dari 10 besar penyakit (data Puskesmas), penyakit pernafasan berada diurutan pertama (50,6%) dan di Bandarharjo terdapat kegiatan pengasapan ikan. Akibat pengasapan mernungkinkan terjadinya gangguan fungsi paru. Sehubungan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui hubungan debu total dengan gangguan fungsi paru pada pengasap ikan Bandarharjo.
Penelitian dilakukan di lokasi pengasapan ikan Bandarharjo Semarang, pada bulan Desember 2002 - Maret 2003. Jenis penelitian explanatory dengan metode cross-sectional. Populasi adalah pengasap ikan di pengasapan ikan Bandarharjo, besar sampel dari rumus sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi didapat 45 responden. Alat untuk mengukur fungsi paru yaitu Spiro analyzer ST-250, debu dengan height volume sampler, status gizi (IMT) dengan timbangan badan dan mikrotoise, sedangkan umur, riwayat penyakit, lama kerja, masa kerja dengan kuesioner terstruktur.
Data meliputi data sekunder dan primer, data primer dianalisa secara univariat, bivariat, multivariat dengan basil akhir model persamaan regresi logistik ganda.
Berdasarkan penelitian diperoleh rata-rata kadar debu dari 10 ruang pengasapan sebesar 10,93 mg/m3. Pengasap ikan (45 orang) yang mengalami gangguan fungsi paru (FEVIIFVC<75% atau FVC<80%) 25 orang (55,6%) dengan jenis gangguan restriksi 23 orang (51,1%) berumur 54 tahun; 26 orang (57,8%) mempunyai riwayat penyakit; jumlah pekerja dengan IMT>25 sebanyak 28 orang (62,2%); 27 orang (60%) yang bekerja >8 jam/hari; 24 orang (53,3%) bermasa kerja <9 tahun. Variabel kadar debu total ruang pengasapan ikan berhubungan bermakna dengan kejadian gangguan fungsi paru (p=0,006), dengan risiko sebesar 8,96 kali. Variabel umur (OR=1,9), riwayat penyakit (OR=3,86), status gizi (IMT) (OR=1,7), lama kerja (OR 2,13) dan masa kerja (OR=2,36) tidak berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi paru (p>0,05) tetapi dapat sebagai faktor risiko dilihat dai nilai OR. Peluang masalah gangguang fungsi paru yang dapat ditimbulkan oleh kadar debu sebesar 3,3 kali.
Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah mengganti bahan bakar, pembuatan ventilasi umum atau local ex/wasters. memberikan APD (masker), pemeriksaan kesehatan berkala, pendidikan/penyuluhan tentang kesehatan dan keselamatan kerja, monitoring kualitas udara ruang kerja, perancangan bangunan pengasapan ikan.
Daftar Bacaan : 36 (1976 -- 2002)

Correlation between Smoke Particulate at Smoking Fish Area with Pulmonary Deteriorating Function of Smoked Fish Worker at Bandarharjo, Semarang, 2003 The inhalation distraction is on top rank of health problem (50,6%- Puskesmas data) at Bandarharjo regarding to the smoking fish activities. The research was done to analyze the correlation between smoke particulate with pulmonary detenorating function of smoke fish worker at Bandarharjo village, Semarang on December 2002-march 2003.
Using explanatory research with cross sectional methods with 45 smoked fish worker as population sample by hypotheses. The equipment and methods used on research : spyro analyzer ST-250 for determine pulmonary function, high volume samples for particulate, body scale weighing and mikrotoise for nutrient status (BMI), structure questioner for age-historical disease-work time per day-work age. Using data secondary and primer that analyzed by univariate, bivariate, multivariate with the end result multiple logistic regression equation.
The result of research show that mean particulate level in 10 smoke fish room is 10.93 mglm3. Smoke fish worker (45 worker), 25 worker (55.6% ) has pulmonary detenorating function (FEV1IFVC<75% or FVCc80%) with restriction type; 51.1% on age 540 years; 57.8% have historical disease; 62.2% BM1>25 (over weight); 60% work time >8 ours/day; 53.3% work age >9 years. Variable that related with pulmonary function is particulate level (p::I.006). Worker extended by particulate out of limit will get risk 8.96x, age (OR=1.9), historical disease (OR=3.86), nutrient status (BMI) (OR=1,7), work time per day (OR=2,13), work age (OR=2,36) don't have internal relation, but these 5 variables can be as risk factor. No other variables so particulate have strong relation (p=0,004; exp.B=8,95) with worker has pulmonary detenorating function, the model persamaan : Logit p(pulmonary deteriorating function) = - 1,299 + 2,193 (particulate).
Safety precautions by protecting the workers change the fuel, make general ventilation or local exhausters, using masker, health check with explanation of particulate effects and air quality control.
References : 36 (1976 - 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T13033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karyanto
"ABSTRAK
Pembangunan lingkungan hidup merupakan subsistem dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan nasional adalah kegiatan terencana yang dilakukan secara terus menerus daiam rangka mencapai tujuan nasional. Setiap kegiatan pembangunan tersebut diperkirakan menimbulkan dampak negatif di samping manfaat positif terhadap lingkungan hidup. Untuk mencegah dampak negatif dan memperbesar manfaat positif tersebut, telah dilaksanakan pembangunan lingkungan hidup sebagaimana arahan dalam GBHN 1993 yaitu terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Tanggungjawab dalam pengendalian dampak lingkungan hidup merupakan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sedangkan untuk mencapai tujuan pembangungan lingkungan hidup tersebut telah dibuat berbagai kebijaksanaan dan perangkat hukum pendukungnya baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hai ini sesuai dengan prinsip pembangunan itu sendiri bahwa pembangunan dilaksanakan secara menyeluruh dan merata baik di pusat, di daerah, di perkotaan, dan di perdesaan. Demikian juga dalam kelembagaan bidang lingkungan hidup. Di tingkat pusat telah dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Pusat dengan badan lininya di daerah yaitu BAPEDAL Wilayah. Di tingkat daerah pun secara formal diperbolehkan membentuk Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah baik di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat Il. Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 98 tahun 1996 tentang Pedoman Pembentukan, Organisasi, dan Tatakerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah.
Sebelum Kepmendagri Nomor 98/1996 dan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 135/1995 tentang Bapedal Wilayah diterbitkan, di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang telah dibentuk suatu lembaga yang mempunyai otoritas formal dalam pengendalian dampak lingkungan yang disebut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA). Dasar hukum pembentukannya adalah Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Tengah Nomor 061.1/34/1992 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.
Menilik pembangunan industri di Semarang yang kian pesat, jumlah industri besar dan menengah 292 buah, industri kecil 4.868 buah, dan industri yang potensial mencemari lingkungan 267 buah, maka setiap dampak kegiatannya dipastikan menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti masalah air bersih, limbah, penghijauan, transportasi. Dengan demikian maka keberadaan BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dirasa sangat penting.
Pembentukan BAPEDALDA yang relatif baru dengan tanggungjawab dalam menangani permasalahan lingkungan yang besar merupakan obyek menarik untuk diteliti.
Permasalahan dalam penelitian ini meliputi :
1. Permasalahan menyangkut kinerja (performance) lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Permasalahan hukum; berupa taraf sinkronisasi vertikal, yaitu tingkat kesesuaian antara Keputusan Gubernur KDH I Jawa Tengah Nomor 061.1/3411992 dengan Kepmendagri Namor 98 tahun 1996.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengatahui kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dan mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.
2. Mendalami dan menganalisis aspek-aspek hukum yang mendasari pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Dati II Semarang.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang. Populasinya adalah keseluruhan karyawan BAPEDALDA berjumlah 29 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, eksploratif, dan metode penelitian hukum normatif taraf sinkronisasi vertikal. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara rinci fenomena, katagori, dan karakteristik tertentu dan secara kuantitatif yaitu menggunakan instrumen statistik regresi linier berganda dengan bantuan SPSS for Window. Sedangkan yang terkait dengan hukum menggunakan instrumen Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR Gotong Royong, dimana di dalamnya terdapat Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
Hasil penelitian adalah :
1. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) Kotamadya Dati II Semarang diselenggarakan berdasarkan atas desantralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka peningkatan otonomi daerah di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup.
2. Program kegiatan yang berhasil dilaksanakan oleh BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang adalah; Program Kali Bersih, Program Penanganan Kasus Pencemaran Lingkungan, Program Pengawasan RKL dan RPL, Program Pengendalian Dampak Usaha Kecil, Program Identifikasi Pencemaran Sungai, Program Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Program Pembuatan Buku Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pembangunan Laboratorium Lingkungan, Kursus Apresiasi AMDAL, dan Program Penanganan Lingkungan Dukuh Tapak.
3. Kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dilihat dari realisasi pelaksanaan program terhadap target yang ditetapkan dan tingkat kepuasan karyawan daiam pelaksanaan program kegiatan memiliki katagori tinggi, yaitu persentase rata-ratanya 90,24%.
4. Kinerja lembaga BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dalam upaya pengendalian dampak lingkungan dipengaruhi oleh faktor-faktor tatakerja dan proses organisasi meliputi; kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, sumberdaya, dan struktur organisasi. Faktor kepemimpinan mencakup perhatian pimpinan terhadap upaya pengendalian dampak lingkungan dan perhatian kepentingan bawahan. Faktor komunikasi mencakup pemberian informasi, pemahaman langkah kegiatan, dan kemudahan melakukan interaksi dalam pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan. Faktor koordinasi mencakup koordinasi antar unit dan koordinasi antar instansi dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Faktor sumberdaya mencakup sumberdaya manusia, sumberdana lembaga, bahan dan peralatan. Faktor struktur organisasi mencakup pola pendelegasian wewenang dan tanggungjawab, ada/tidaknya kegiatan pengendalian dampak lingkungan yang tumpang tindih. Rata-rata skor termasuk dalam katagori tinggi yaitu 89,62%.
5. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, diketahui bahwa kinerja BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, sumberdaya, dan struktur organisasi. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung sebesar 75,404 lebih besar dari F tabel sebesar 2,02. Berdasarkan nilai R2 = 0,943 dapat disimpulkan bahwa kinerja BAPEDALDA dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari seluruh faktor tersebut ternyata kepemimpinan memberikan kontribusi terbesar dalam menentukan kinerja BAPEDALDA dengan koefsien persamaan sebesar 1,304.
6. BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang yang sudah terbentuk adalah Badan Staf Pemerintah Daerah sebagai unsur pembantu Walikotamadya, bukan perangkat daerah yang memiliki kewenangan langsung dalam pelaksanaan tugas pengendalian dampak lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya sudah berfungsi sebagai perangkat daerah yang mempunyai kewenangan langsung dalam pengendalian dampak lingkungan di Kotamadya Dati II Semarang.
7. Meskipun ada perbedaan susunan organisasi BAPEDALDA Kotamadya Dati II Semarang berdasarkan Kepgub No. 061.1134/1992 dengan Kepmendagri No. 98 tahun 1996, namun lembaga tersebut sudah berjalan sesuai dengan fungsinya. Dengan mengacu pada pasal 90 ayat (4) Kepmendagri Nomor 98 tahun 1996, bahwa perubahan susunan organisasi BAPEDALDA Tingkat I, BAPEDALDA Tingkat II dan BAPEDALDA Kotamadya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan teknis dari Kepala BAPEDAL dan persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN), maka perbedaan tersebut dimungkinkan.

ABSTRACT
Institutional Analysis Of District Environmental Impact Control Agency OfSemarangEnvironmental development is a sub system of national development as a whole. National development is a planned activity which is carried out continuously in order to achieve national goal. Each activity of development is expected to cause both positive and negative impact towards the environment. To prevent negative impact and to increase positive benefit, environmental development has been carried out as directed by the [993 GBHN, namely, the realization of sustained environmental function in a balance and dynamic harmony equilibrium with population growth in order to guarantee sustainable national development.
Responsibility in controlling environmental impact is a joint commitment between the government and society. Whereas, in order to achieve environmental development goal, various policies and supporting laws and regulations have been made both at the national and regional level. This in accordance with development principles, namely that development is implemented in its entirety at the national and regional level, in rural and urban areas. The same is true in environmental institutions.
At the national level, the office of the State Minister for Environment, Environmental Impact Control Agency (BAPEDAL) and its line agents in the regions namely Regional Environment Impact Control Agency (BAPEDAL Wilayah) were established. At the regional level Provincial Environmental Impact Control Agency (BAPEDALDA I) and District Environmental Impact Control (Bapedalda II) are formally permitted to be established. The legal foundation is Domestic Affairs Minister Decision (Kepmendagri) No. 9811996 on guidance of establishment of organization and procedures of BAPEDALDA. Long before the existence of Kepmendagri No. 9811996 and Decision of the Director of Environmental Impact Control Agency Agency No.13611995 on Regional Environmental Impact Control Agency, in Semarang an institution that has formal authority in controlling environmental impact has been established that is called BAPEDALDA. The legal basic of its existence is the Decision of the Governor of Central Java No. 061.11341 1992 on the formation of organizational chart and procedures of District Environmental Impact Control Agency of Semarang.
The rapid growth of industrial development in Semarang, the sum are 292 big and middle industrials level, 4,868 small industrials, and 267 industrials potentially degrading environment hence each activity to cause environmental problems, such as clean water, solid wastes, reboisation, transportation, etc., the establishment of District Environmental Impact Control Agency of Semarang is deemed to be important.
The establishment of a relatively new District Environmental Impact Control Agency of Semarang with responsibilities in managing big environmental problems is an interesting object to study. The problems in this study include :
1. Performance problems, namely organizational performane of District Environmental Impact Control Agency of Semarang and influencing factors.
2. Legal problems, namely synchronization at the vertical level dealing with conforming the Decision of Governor of Central Java No. 061.1/34/1992 and that of the Decision of Domestic Affairs Minister No.98/1996.
The objectives of this research include :
1. To know how organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang and to identify each factors which influences it.
2. To deepen and analyse legal aspects which constitute the bases of establishing District Environmental Impact Control Agency of Semarang.
Unit of analysis of this research is the organization of District Environmental Impact Control Agency of Semarang. The population is the entire personnel of District Environmental Impact Control Agency of Semarang, the total is 29. The research methods used is descriptive, explorative as well as normative law at vertical synchronization level. Data analysis used were descriptive qualitative, that is, describing in detail the phenomena, categories, and characteristics by scoring. Meanwhile, quantitative analysis used statistical approach helped by SPSS Computer Program. Whereas data related the laws instrument used is Determination the MPRS No. XX/MPRS/1966 on DPRGR Memorandum, mentioning the sequence acts and regulations of Republik of Indonesia is used as an instrument.
The result of the study include :
1. District Environmental Impact Control Agency of Semarang is carried out based on principles of decentralization, deconcentration and coadministration with the framework of increasing regional autonomy in the environmental management sector.
2. Programs carried out succesfully by District Environmental Impact Control Agency of Semarang cover River Management, Environment Pollution Cases Management, RKL and RPL Implementation Control, Small Enterprise Impact Control, River Pollution Identification, Environmental Degradation Control, Making the Book in Environmental Management Policy, Building an Environmental Laboratories, AMDAL Appreciation Courses, Environmental Management of Dukuh Tapak.
3. Organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang seen from indicators of achieving targets in implementation programs as well as personnel satisfaction. The score of organizational performance was categorized as high, percentage 90.24%.
4. Organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang in carrying out an environmental impact control was influenced by process and procedure factors such as leadership, communication, coordination, resources, and organizational structure. Leadership factor comprises the leader's attention to task of an environmental impact control and subordinates interests. Communication factor comprises to send information, to know work procedures, to facilitate interaction in carrying out an environmental impact control. Coordination factor consists of coordination among units as well as institutions. Resources factor consists of human resources, budget, tools and materials resources. Organizational structure consist of delegation of authority and responsibility, possibility of overlapping activities in an environment impact control. Mean score of the whole factors was categorized as high, namely 89.62%.
5. Analysis of multiple linear regression shows that all factors such as leadership, communication, coordination, structure, and resources have significantly influenced the organizational performance of District Environmental Impact Control Agency of Semarang.This is shown by F test = 75,404 more than F table = 2.02. The value of R square = 0.94 which indicated that all factors have clearly explained the organizational performance.
6. The established District Environmental Impact Control Agency of Semarang is the regional governmental staff institution as a support element to the Mayor. It is not a regional institution that has direct authority in carrying out the task of handling environmental impact at regional level. Whereas it has function as a regional institution that has direct authority in the field of an environmental impact control.
7. Although there are some differences of articles in the Decision of Domestic Affairs Minister No. 98/1996 on guidance of establishment, organization, and procedures of BAPEDALDA from the Decision of Governor of Central Java No. 061.1134/1992 on the establishment of organizational chart and procedures of BAPEDALDA II Semarang, but those institution has been functioning in an environment impact control. To make a reference by articles 90 clausula 4 Decision of Domestic Affairs Minister No. 9811996 that states changes in organizational structure of Bapedalda I, Bapedalda II and Kotamadya are determined by Domestic Affair Minister after obtaining technical considerations from Directors of Bapedal and written agreement from Minister that responsible in the field of efficiency of state aparatus sector (Menpan), hence some differences have enabled.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharyo
"Di dalam masyarakat yang dwibahasa ada suatu keharusan untuk memilih salah satu dan atau mencampurkan kedua bahasa sebagai alat komunikasinya. Dalam pemilihan bahasa: ternyata ada prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dipatuhi oleh peserta tutur. Jadi, seseorang dalam bertutur akan "dikendalikan" oleh norma-norma sosial, seperti siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, tentang apa, dan dalam situasi bagaimana tuturan itu berlangsung .
Untuk mengkaji pemilihan bahasa, Fishman (1972) menawarkan konsep ranah yang dikaitkan dengan kedwibahasaan. Konsep ini kemudian diterapkan Greenfield (1972), Parasher (dalam Fasold, 1964). dan Sumarsono (1993). Setelah dilakukan penelitian pemilihan bahasa di lima ranah, yaitu rumah, pendidikan, pekerjaan, pemerintahan, dan agama oleh masyarakat tutur J-I di PETS ; diperoleh hasil bahasa Jawa masih sangat dominan di ranah rumah. Meskipun demikian, di ranah ini telah terjadi "kebocoran" diglosia.
Jika bahasa Jawa mendominasi ranah rumah, bahasa Indonesia mendominasi ranah pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan. Hal ini selaras dengan temuan Parasher 1980 (dalam Fasold, 1984), yaitu bahwa ketiga ranah tersebut termasuk ke dalam ranah "resmi" atau Tg. Dengan demikian. di tiga ranah ini terdapat masyarakat tutur yang diglosik. dengan bahasa Jawa sebagai Rd dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Tg. Sementara. di ranah agama penggunaan dua bahasa tersebut berimbang sehingga terbentuk masyarakat yang triglosik.
Terlepas dari adanya keberagaman pemilihan bahasa, sesungguhnya di lima ranah tersebut membentuk pola, yaitu semakin muda usia dan atau semakin tinggi status peran interlokutornya, semakin lebih besar kemungkinan digunakan bahasa Indonesia. Sebaliknya, semakin lanjut usia dan semakin dekat hubungan perannya akan semakin besar kemungkinannya digunakan bahasa Jawa. Akan tetapi, hal ini "tidak berlaku" dalam ranah agama."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Andang Prasetya A.
"Tesis ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan selama lebih kurang satu tahun. Titik berat penelitian ada pada perubahan fisik tata ruang dan tanggapan-tanggapan terhadap perubahan itu dalam konteks sejarah dan sosial politik yang sangat dinamis, dengan harapan dapat mengungkap wujud fisik perubahan tata ruang tersebut dari masa ke masa, faktor-faktor perubahan dan peran masing-masing golongan serta bagaimana perubahan terjadi dalam beragam tanggapan itu. Fokus penelitian ada pada perubahan wujud fisik suatu tata ruang dalam kaitannya dengan tanggapan masyarakat terhadap perubahan tersebut; membawa penelitian ke arah produksi dan konstruksi suatu tata ruang secara sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menempuh jalur sebagaimana yang dilakukan Setha Low (1999) yaitu dengan melakukan pelacakan sejarah tata ruang dan memperhatikan dialektika antara konsep tata ruang (representation of space) yang mengejawantah dalam wujud fisik tata ruang dan wujud fsik yang digunakan atau dihidupi (representational space) oleh golongan-golongan dalam masyarakat, dalam konteks praktek-praktek keruangan. Metode yang digunakan dalam kerangka teori ini adalah metode kualitatif yang lebih menekankan pada pengamatan gejala-gejala sosial, praktekpraktek keruangan, dan wawancara mendalam terhadap informan.
Dari penelitian yang dilakukan ini terungkap bahwa terdapat berbagai tanggapan dalam masyarakat berkaitan dengan kepentingan masing-masing golongan. Fator-faktor perubahan yang paling utama adalah dinamika kehidupan sosial politik yang melingkupi masyarakat, kecenderungan pertumbuhan ekonomi, dan peran pelaku-pelaku dalam masing-masing golongan. Dalam praktek keruangan dengan beragam tanggapan diungkapkan bagaimana perubahan itu dapat terjadi. Di satu sisi terdapat kekuasaan yang menentukan dominasi dan digunakannya suatu konsepsi mengenai ruang, di sisi lain terdapat konsepsi yang berkembang sebagai hasil dari penggunaan suatu ruang. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, hanya mekanisme kontestasi keduanya sepenuhnya dipengaruhi konteks sosial-politik yang sedang berlangsung. Selain itu karakter tata ruang yang liat, dapat diubah dan berubah sewaktu-waktu bersama dengan citra yang diemban kawasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>