Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wardiningsih Soerjohardjo
Depok: Serat Alam Media, 2017
994 WAR g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wilding, Michael
Victoria: Penguin Books , 1984.
989.2 WIL p (2);989.2 WIL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sydney : Sydney University Press
050 AEH
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Arychana Sari
"ABSTRAK
Hubungan Australia dengan wilayah sekitarnya tidaklah begitu dekat untuk jangka waktu yang cukup lama. Sebagai akibat dari pengalaman masa Perang Dunia IT, Australia kemudian lebih memperhatikan kawasan Asia. Keamanan regional di kawasan Asia Tenggara menjadi panting dan menempati prioritas utama dalam penentuan kebijaksanaan politik luar negeri Australia. Hal tersebut didorong oleh kekhawatiran akan datangnya bahaya dari `utara' yang dalam hal ini adalah ancaman invasi Jepang dan ancaman komunis; baik dari Uni Soviet, Cina maupun Indochina.
Australia kemudian menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah garis depan pertahanannya -kebijakan forward defence -yang bertujuan untuk mencegah meluasnya komunisme di Asia Tenggara. Kebijakan tersebut dilandasi oleh adanya ketakutan bahwa bila Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis, maka ancaman komunis semakin dekat ke Australia.
Konflik di Malaya-The Malayan Emergency-merupakan awal keterlibatan langsung pemerintah Australia dan ujian bagi perkembangan politik luar negeri Australia di Asia Tenggara. Dalam keterlibatannya di Malaya, Australia mulai merurnuskan kebijaksanaan luar negeri sendiri dan merealisasikan kebijakan antikomunisnya, meskipun tetap diwarnai oleh rasa kesetiaan kepada negara pelindungnya yaitu inggris dan Amerika Serikat.
Realisasi kebijaksanaan antikomunis Australia dalam konflik Malaya lebih tegas karena peranan Partai Komunis Malaya yang semakin kuat di Malaya meningkatkan kecemasan Australia terhadap prospek Malaya menjadi suatu negara komunis. Akibatnya Australia bersikap lebih tegas secara militer dengan menyediakan Bala bantuan berupa perlengkapan militer dan pengiriman pasukan darat yang tergabung dalam Far East Strategic Reserve. Keberhasilan dan pola yang diterapkan di Malaya pada masa selanjutnya menjadi dasar bagi Australia untuk bersedia terlibat dalam Perang Vietnam yang dikaitkan dengan garis depan pertahanan Australia yang berada di luar wilayah Australia.

"
2001
S12379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemmy Helmi Berlian
"Skripsi ini pertama-tama mencoba menelusuri proses Benua Australia menuju _penal colony', kemudian mengupas kehidupan mereka di pembuangan sampai mereka bebas dan berperan dalam perkembangan sosial-ekonorni koloni Inggris tersebut. Tujuan akhir dari karya ini adalah menggambarkan bahwa narapidana memiliki peranan yang sangat penting pada masa-masa awal koloni Inggris di New South Wales.Hasil penelitian dari berbagai arsip menunjukkan peran penting narapidana sebagai sumber daya manusia yang potensial baik sebagai tenaga kerja pada sektor pemerintahan maupun sektor swasta, Narapidana merupakan peletak dasar kaum buruh di Australia. Secara umum peranan yang diberikan narapidana adalah hasil kerja kolektif, seperti pembangunan jalan dan jembatan, pengembangan tanah pertanian, pembangunan gedung-gedung baik untuk pemerintahan maupun swasta. Sejarah membuktikan adanya beberapa bekas narapidana yang sukses dan berperan dalam perkembangan ekonomi Australia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S12473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riani Handayani
"Salah satu peran pers adalah memberikan berita, menyampaikan, merekam apa yang terjadi, dilakukan dan dipikirkan dunia dengan jelas dan terinci. Melalui pemberitaan pers, kondisi atau keadaan masyarakat pada suatu masa dapat diketahui. Melalui pemberitaan media masa perang dapat diketahui bagaimana peranan wanita saat itu. Pecahnya PD II yang melibatkan Australia telah menjadi berita hangat di berbagai media termasuk di majalah wanita The Australian Women's Weekly. Pada saat perang merupakan majalah yang memiliki jumlah edaran tertinggi dari media sejenis. Selama masa perang majalah tersebut banyak mengangkat berita perang dan partisipasi kaum wanita Australia di dalam beberapa kegiatan perang. Partisipasi wanita pada masa PD II mengalami peningkatan dari PD I, Khususnya kegiatan yang dilakukan di luar rumah dan terlibat dalam usaha perang. Pekerjaan sebagai perawat merupakan profesi wanita paling tua pada perang. Pada masa ini pula kesempatan wanita di bidang industri dan militer cukup terbuka lebar, karena pekerja pria sebelumnya meninggalkan lahan industri dan mereka lebih tertarik bergabung di militer selama perang berlangsung. Mobilisasi pekerja wanita terjadi pada masa perang, karena mereka mulai mengisi lahan pekerjaan yang kosong, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berita dan propaganda pemerintah di media untuk merekrut sebanyak mungkin tenaga kerja secara tidak langsung turut mempengaruhi kesadaran kaum wanita untuk bekerja. Mereka berusaha membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Kesempatan menjadi tentara baru diberikan pada PD II, memegang senjata dan ikut perang. Membuktikan mereka mempunyai kemampuan yang sama dengan pria, walaupun secara fisik mereka berbeda, tapi jika diberi kesempatan mereka dapat melakukan pekerjaan pria. Bidang industri, Land Army, dan beberapa kedinasan mulai menerima tenaga wanita sebagai pekerjanya. Kehidupan wanita Australia mulai dikenalkan pada pekerjaan di luar rumah dan mencoba lahan kerja kaum pria. Saat perang berakhir pekerja wanita bersedia kembali ke rumah, namun ada sebagian pekerja lainnya mempertahankan posisi mereka karena telah mendapat jabatan tertentu. Keadaan itu sempat membuat kaum pria bereaksi karena pada dasarnya mereka akan kembali menempati tempat kerja yang telah ditinggalkan sebelumnya, di militer merupakan pekerjaan sementara waktu selama perang masih berlangsung."
2000
S12429
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadus Djoko Susilo
"Pada tanggal 12 Juni 1902, hak pilih bagi kaum wanita kulit putih Australia disahkan menjadi undang-undang federal. Dengan demikian, kaum wanita Australia memiliki hak untuk memilih dan sekaligus dipilih sebagai anggota parlemen baik pada tingkat Senate rnaupun House of Representatives Hak ini baru digunakan 18 bulan kemudian pada pemilihan umum tingkat federal yang perform pada tahun 1903. Sebelum kaum wanita Australia memiliki hak pilih di tingkat federal, terdapat dua koloni Australia yang sudah memberikan hak pilih kepada penduduk wanitanya. Australia Selatan memberikan hak pilih penuh (hak untuk memilih dan dipilih) kepada kaum wanitanya pada tahun 1894, sedangkan kaum wanita Australia Barat mendapatkan hak untuk memilih (tidak termasuk hak untuk dipilih) pada tahun 1899. Pada saat itu baru terdapat sedikit negara yang sudah memberikan hak untuk memilih kepada penduduk wanitanya, antara lain: Negara Bagian Wyoming Amerika Serikat (AS) pada tahun 1869, Negara Bagian Colorado AS pada tahun 1893, Negara Bagian Utah dan Negara Bagian Idaho AS pada tahun 1896, kemudian Selandia Baru pada tahun 1893. Begitu cepatnya kaum wanita Australia Selatan mendapatkan hak pilih penuh, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan seputar aktivitas politik wanita dalam sejarah Australia. Apakah mereka secara aktif menuntut dan berjuang demi mendapatkan hak pilih mereka yang sekaligus merupakan simbol pengakuan persamaan kedudukan, atau apakah mereka sekedar menjadi ahli waris dari kampanye politik para politisi pria yang bersaing mendapatkan pemilih."
2000
S12199
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Fitriani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penerapan kebijakan asimilasi terhadap anakanak Aborigin half-caste di Australia. Pembahasan dimulai dari tahun 1937 dimana seluruh perwakilan dari negara bagian dan Northern Territory Australia berpartisipasi di dalam Konferensi Nasional Pertama Australia tentang masalah Aborigin yang diadakan di Canberra. Konferensi tersebut dianggap sebagai tolak ukur yang berkaitan dengan penerapan kebijakan asimilasi terhadap orang-orang Aborigin, khususnya keturunan half-caste. Sayangnya pengenalan kebijakan asimilasi tersebut tertunda dengan adanya Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1951, seluruh negara bagian dan Northern Territory Australia akhirnya mengadopsi kebijakan asimilasi. Kebijakan asimilasi menganggap bahwa _kebudayaan dan cara hidup kulit putih superior dan kebudayaan dan cara hidup orang-orang Aborigin tidak memiliki nilai_. Penerapan kebijakan asimilasi tampaknya menjadi kontroversial karena kebijakan tersebut tetap melanjutkan praktik-praktik dari kebijakan proteksi sebelumnya yang memindahkan anak-anak Aborigin half-caste dari keluarganya ke lembaga-lembaga Aborigin. Tahun 1967 secara hukum menyaksikan akhir dari kebijakan asimilasi. Sejak tahun tersebut kebijakan integrasi terhadap orang-orang Aborigin , termasuk anak-anak Aborigin half-caste diimplementasikan. Hal ini menandakan bahwa orang-orang Aborigin dimasukkan ke dalam masyarakat Australia yang lebih besar dibawah sistem pemerintahan Australia

Abstract
This undergraduate thesis discusses the application of assimilation policy towards Aboriginal half-caste children in Australia. The discussion begins from 1937, where all of the States_ representatives as well as the representative of the Northern Territory participated in the Australian National First Conference on the Aboriginal issues held in Canberra. The Conference has been considered as a milestone regarding the application of assimilation policy towards Aboriginal people, especially half-caste descents. However, the introduction of assimilation policy was delayed because the World War II. By 1951 all of the Australian States and the Northern Territory adopted the assimilation policy. The assimilation policy assumed _the white culture and lifestyle is superior and Aboriginal culture and lifestyle is without value_. The application of assimilation policy seemed to have been controversial since the policy continued the practices of the previous protection policy that removing Aboriginal half-caste children from their families to the Aboriginal institutions. The year 1967 legally witnessed the end of assimilation policy in Australia. Since that year the integration policy towards the Aboriginal people, including the half-caste children has been implemented. This, means the Aboriginal people has been included into the larger Australia society under the Australian governmental system"
2010
S12096
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 >>