Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catur Hadianto
"Krisis di selat Taiwan merupakan peristiwa yang dapat membawa hubungan antara dua negara besar di kawasan Asia Pasifik mengarah ke dalam konflik. Kedua negara tersebut yakni Amerika Serikat -- yang merupakan satu-satunya kekuatan global dan negara adi daya yang masih tersisa pasca perang dingin -- dan RRC -- yang merupakan kekuatan regional yang mulai tumbuh menjadi negara yang mempunyai potensi menjadi negara adi daya. Karena itu, isu Taiwan merupakan salah satu isu yang dapat mempengaruhi hubungan kedua negara besar tersebut, selain masalah-masalah lainnya seperti, hak-hak asasi manusia, proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya, perdagangan dan sebagainya.
Taiwan secara de facto merupakan negara berdaulat tetapi secara de jure bukanlah negara yang merdeka, karena Taiwan tidak mendapat pengakuan intemasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terutama dari PBB. Ditambah lagi, Amerika Serikat telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan pindah ke RRC, walaupun tetap mempertahankan hubungan informalnya dengan Taiwan melalui Taiwan Relations Act.
Sebagai negara adi daya, Amerika Serikat mempunyai peranan dalam menentukan masa depan Taiwan. Tetapi politik domestik Amerika Serikat yang mempunyai banyak kelompok kepentingan yang selalu berusaha mempengarnhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sehingga turut menentukan apa yang akan terjadi di lintas selat Taiwan.
Di lain pihak, RRC juga ikut menentukan masa depan Taiwan dengan menyatakan bahwa Taiwan merupakan "bagian" dari wilayah RRC dan untuk mempertahankannya bila perlu dengan menggunakan kekuatan militer,
Krisis di selat Taiwan pada tahun 1995/1996 dan tahun 1999/2000 mendapat reaksi yang berbeda dari pemerintah Amerika Serikat. Dalam krisis pertama, pemerintah Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya ke lokasi krisis sehingga dapat memicu perang terbuka, sedangkan pada krisis yang kedua pemerintah Amerika Serikat hanya menyampaikan keprihatinannya saja kepada RRC. Dalam dua krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengarnbil tindakan yang bertolak belakang, di mana pada krisis pertama tindakannya menyampaikan pesan lebih tegas kepadaRRC sedangkan yang kedua lebih lunak.
Pengaruh dari dalam negeri Amerika Serikat seperti Kongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan dan kepentingan kelompok lainnya yang tentunya mempengaruhi perbedaan tersebut. Selain itu, kondisi domestik RRC sendiri turut pula mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintah Amerika Serikat terhadap RRC dalam menghadapi dua krisis yang terjadi di selat Taiwan tersebut
Penulis menerapkan kerangka pemikiran dari Kegley dan Wittkopf mengenai proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Menurut Kegley dan Wittkopf, proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dipengaruhi faktor-faktor internal (domestik) dan faktor-faktor ekstemal. Kedua sumber tersebut merupakan input yang masuk ke dalam Decision Making Process politik luar negeri Amerika Serikat. Kemudian, dari input tersebut akan keluar output berupa kebijakan Amerika Serikat terhadap RRC.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal (domestik) seperti KCongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan, kepentingan kelompok lainnya dan sebagainya, ditambah faktor-faktor eksternal yakni perubahan yang terjadi di RRC telah merubah sikap pemerintah Amerika Serikat pada krisis yang terjadi di selat Taiwan 1999-2000. Karena pada krisis tahun 1995/1996, pemerintah Amerika Serikat berani berisiko terjadi konflik dengan RRC."
2000
T2330
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosaline Elizabeth
"Zhou Enlai sebagai Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri RRC berkontribusi besar dalam peningkatan hubungan RI-RRC selama Perang Dingin berlangsung, khususnya sejak tahun 1951 hingga puncaknya di Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955. Oleh karena itu, hubungan RI-RRC sebelum KAA, prinsip ‘koeksistensi damai’ dalam diplomasi Zhou Enlai, penerapan prinsip tersebut terhadap Indonesia melalui diplomasi Zhou Enlai di KAA, dan peranan Zhou Enlai dalam peningkatan hubungan RI-RRC menjadi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peranan Zhou Enlai terletak pada penyesuaian kebijakan luar negeri Cina terhadap Indonesia, pembangunan citra Cina yang baru melalui KAA, penyelesaian masalah dwikewarganegaraan etnis Cina, dan penarikan Indonesia menjadi mitra Cina di masa Perang Dingin. Dalam konteks kepentingan nasional Cina, diplomasi Zhou Enlai terhadap Indonesia pada tahun 1951-1955 sejatinya mengandung agenda Cina untuk membebaskan diri dari politik pembendungan AS serta memperkuat propaganda ‘koeksistensi damai’ di mata dunia dalam rangka memperoleh lingkungan internasional yang kondusif bagi pembangunan dalam negeri Cina, yaitu Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I) yang berlangsung sejak tahun 1953 hingga tahun 1957.

Zhou Enlai as the Prime Minister and Foreign Minister of the PRC contributed greatly to the improvement of Sino-Indonesian relations during the Cold War, particularly since 1951 to its peak at the Asian-African Conference (AAC) in 1955. Therefore, Sino-Indonesian relations before AAC, Zhou Enlai's principle of 'peaceful coexistence', its implementation on Indonesia through AAC, and the role of Zhou Enlai in improving Sino-Indonesian relations are the issues discussed in this study. This research is a qualitative research with a historical approach. The results indicate that Zhou Enlai's role lies in adjusting China's foreign policy towards Indonesia, building a brand new image of China through AAC, solving ethnic Chinese dual citizenship, and developing Sino-Indonesian partnership during the Cold War. In the context of China's national interests, Zhou Enlai's diplomacy towards Indonesia during 1951-1955 intrinsically embodied China's agenda to break free from US containment policy and to strengthen the propaganda of 'peaceful coexistence' internationally in order to provide a favourable international environment for China’s internal development, namely the First Five-Year Plan which took place since 1953 until 1957.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 >>