Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep S. Sambodja, 1967-
"Penelitian ini ditujukan untuk menginterpretasikan sajak-sajak Goenawan Mohamad. Para kritikus dan pengamat sastra yang telah menganalisis, menginterpretasi, yang berarti pula melakukan konkretisasi sajak-sajak Goenawan Mohamad, memperkaya penulis dalam melakukan penelitian Asumsi yang mendominasi wacana sajak-sajak Goenawan Mohamad adalah adanya keterpengaruhan warna budaya Jawa dan filsafat eksistensialisme dalam karya-karyanya. Untuk memfokuskan persoalan tersebut, penulis mengklasifikasikan kedua pengaruh tersebut ke dalam bab-bab tersendiri. Dengan demikian, niat penulis untuk membuktikan keterpengaruhan - sekaligus memperdalam pengkajian tersebut - dapat dideskripsikan dengan gamblang. Dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad yang mengandung warna budaya Jawa, jelas terilhami oleh cerita-cerita dan mitologi Jawa Kuno.
Ada dua cara Goenawan Mohamad mengaktualisasikan unsur budaya Jawa itu. Pertama, cerita dan mitologi Jawa itu dijadikan pautan (cantelan) saja, sementara isi sajak sepenuhnya merupakan pikiran dan perasaan Goenawan Mohamad sendiri. Kedua, Goenawan Mohamad hanya mentransformasikan cerita dan mitologi Jawa yang berbentuk prosa (babad) dan tembang ke dalam bentuk sajak. Dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad yang mengandung pemikiran atau filsafat eksistensialisme, terlihat bahwa sebagai penyair, Goenawan Mohamad pun berusaha menjawab permasalahan kehidupan, mulai soal hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, alam, hingga hubungannya dengan diri sendiri (mempersoalkan nasib). Dapat dikatakan, konsep sajak-sajak Goenawan Mohamad yang mengandung pemikiran eksistensialisme memiliki persamaan persepsi dengan konsep eksistensialisme yang diperkenalkan oleh sebagian eksistensialis, seperti Soren Kierkegaard, Martin Heidegger, dan A. Berdyaev."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S10806
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ekoningsih
"Citra adalah bayangan atau gambaran angan yang ada dalam pikiran dan mental pembaca, sedangkan citraan adalah sarana pembentuk citra itu sendiri yang diungkapkan melalui bahasa. Sarana pembentuk citra itu berawal dari sistem pengindraan, gerak, dan pikiran manusia. Dengan demikian citraan-citraan itu adalah citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, perabaan, gerak, dan pikiran. Citraan yang berfungsi untuk menimbulkan suasana khusus itu telah dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin oleh Abdul Hadi Widji Muthari. Penyair ini banyak menggunakan citraan-citraan itu untuk memberikan suasana dan efek khusus dalam setiap sajaknya. Ke-31 buah. sajaknya yang diambil dari kumpulan Anak Laut Anak Angin menjadi bahan analisis dalam skripsi ini. Dari hasil analisis itu telah didapat kesimpulan bahwa Abdul Hadi cenderung lebih banyak menggunakan citraan pikiran. Penggunaan citraan itu menimbulkan efek yang sangat berarti bagi pembaca. Efek penggunaan citraan pikiran membuat pembaca dituntut untuk memikirkan beberapa kali agar dapat rnenangkap apa yang ingin diungkapkan oleh penyair dengan sajak itu. Ke-31 sajak yang dijadikan media analisis ini, diharapkan telah dapat mewakili sajak-sajak Abdul Hadi yang telah terkumpul dalam sepuluh kumpulan. Kumpulan yang terpilih ini merupakan gabungan dari kumpulan-kumpulan terdahulu, seliingga pemilihan atas ke-31 sajak itu dianggap dapat mewakili sajak-sajak yang telah diciptakan oleh Abdul Hadi WM."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S11210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, J.U.
"Dalam menarik kesimpulan ini saja akan kembali mengulangi beberapa uraian saja dibelakang, djuga hal-hal jang belum saja simpulkan maka disini akan saja lakukan. Tentulah harus diperhatikan bahwa kesimpulan ini adalah pembahasan terhadap seorang pengarang jang belum selesai seperti saja sebut dalam kata pendahuluan. Sudah saja djelaskan bahwa penjair dalam tahun dua puluhan banjak memakai soneta, suatu bentuk jang berlainan dengan pantun. Tapi apabila dibatja sandjak-sandjak penjair tahun dua puluhan maka nafas pantun itu djelas benar. Dapatlah saja katakan bentuk soneta dengan djiwa pantun. Kalau kita teruskan kepada Pudjangga Baru dalam tahun tiga puluhan dimana penjair tahun-tahun dua puluhan tampil lagi seperti Sonoesi Pane bentuk soneta ini masih memperlihatkan dirinja walaupun nafas pantun itu sudah semakin menghilang. Didalam barisan Pudjangga Baru, penjair Amir Hamzah membawa tjorak jang tersendiri..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1961
S10882
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Yuni K.
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur budaya Jawa yang terkandung dalam Pengakuan Pariyem -- melihat sosok wanita Jawa dari kalangan priyayi darn wong cilik -- serta memfokuskan pada keter_bukaan Pariyem terhadap seks. Dari sekian aspek budaya Jawa dalam buku Pengakuan Pariyem ini, penults melihat ada empat aspek budaya yang menonjol. Pertama, tradisi (kebiasaan hidup sehari-hari) manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Kedua, falsafah (sikap hidup) manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Ketiga, perilaku keagamaan manusia Jawa dalam Pengakuan Pariyem. Keempat, pola majikan-pembantu dalam Pengakuan Pariyem. Tradisi manusia Jawa digambarkan dengan jelas dalam Pengakuan Pariyem, di antaranya keakraban manusia Jawa dengan wayang. Sementara sikap hidup manusia Jawa yang ditonjolkan dalam Pengakuan Pariyem adalah nrimo ing pandum. Dan, sikap keagamaan yang dipeluk Pariyem, tokoh utama dalam prosa lirik ini, adalah sinkretis antara mistik Jawa dan agama katolik. Hubungan antara majikan dan pembantu dalam Pengakuan Pariyem memperlihatkan bahwa secara lahiriah, hubungan antara Pariyem (wong cilik) dengan majikannya (priyayi) sangatlah akrab. Akan tetapi, secara batiniah, hubungan antara wong. cilik dengan priyayi sangatlah jauh jaraknya. Hal ini terbukti dengan tetapnya Pariyem menjadi babu Raden Bagus Aria Atmojo, yang notabene adalah suaminya sendiri. Dengan kata lain, Pariyem hanya dijadikan selir. Pengakuan Pariyem memang penuh dengan adegan seks atau pembicaraan mengenai adegnn seks (ada 24 halaman). Meskipun demikian, penilaian bagus atau tidaknya sebuah karya sastra tidak hanya tergantung pada ada atau tidaknya seks dalam karya tersebut, melainkan wajar atau tidaknya pembicaraan seks dalam karya tersebut. menurut hemat penulis, penggambar_an seks dalam Pengakuan Pariyem sangat wajar dan tidak dipaksakan. Sikap Pariyem yang sangat terbuka dan pasrah dalam hidup merupakan salah satu ciri nanusia Jawa pada umumnya. Ini tidak berarti bahwa semua wanita Jawa bersikap seperti Pariyem, melainkan hanya beberapa saja yang ber_sikap demikian, atau bisa jadi hanya Pariyem (tokoh imajiner Suryadi) saja yang bersikap demikian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S11256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library