Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Balqis Salsabila Damanta
"Meskipun sebuah negara kecil, Belanda memiliki daerah pedesaan yang hingga abad 20 masih tetap bercirikan sebagai kawasan yang kaya akan berbagai macam jenis pertanian dan adat istiadat lokal. Daerah pedesaan di Belanda tergolong unik. Setiap desa memiliki beraneka ragam keindahan alam serta falsafah hidup penduduknya yang berbeda-beda. Ada sebuah karya sastra berupa cerita pendek yang mengangkat kisah tentang sosok orang desa di Belanda. Cerpen tersebut berjudul Oogst karya Jacqueline Servais yang terbit pada tahun 2013. Permasalahan dalam penelitian ini adalah representasi sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan representasi sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst. Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra yang digagas oleh Sapardi Djoko Damono. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosok orang desa di Belanda dalam cerpen Oogst digambarkan naif dan menganggap alam sebagai bagian dari kehidupan, hidup dalam lingkungan yang sunyi dan asri, mendukung pendidikan, bekerja dengan giat, serta menjunjung tinggi nilai kejujuran dan ketulusan. Dari kelima representasi tersebut, terdapat representasi yang sesuai dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Berdasarkan analisis makna simbol, simbol gandum dan bunga poppy menandakan bahwa alam mengajarkan kebaikan dan keburukan yang selalu hidup berdampingan. Simbol rambut pirang yang dimiliki gadis desa dan bayi perempuannya menandakan kebodohan. Simbol kejahatan tercermin dari representasi sosok pemuda asal Mediterania.

Despite being a small country, the Netherlands has a rural area which until the 20th century was still characterized as an area that has rich in various types of agriculture and local customs. The village in the Netherlands is unique. Each village has a variety of nature beauties and different philosophies of life for its inhabitants. There is a literary work in the form of a short story that tells the story of the figures of villagers in the Netherlands. The short story is entitled Oogst by Jacqueline Servais which was published in 2013. The problem of this research is representation of the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story. The purpose of this research is to explain the representation of the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story. This study using the sociology of literature theory proposed by Sapardi Djoko Damono. The results showed that the figures of villagers in the Netherlands in Oogst's short story is depicted as naïve and considers nature as part of life, lives in a quiet and beautiful environment, supporting education, working hard, and upholding the values of honesty and sincerity. From the five representations, there are representations that are appropriate and not appropriate with the reality. Based on the analysis of the meaning of symbols, the symbols of wheat and poppies indicate that nature teaches good and bad always coexist. The symbol of blonde hair indicates that the village girl and her baby girl have a sign of ignorance. The symbol of crime is reflected in the representation of a young man from the Mediterranean."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rick Honings
"In the spring of 1851, Austrian traveller and writer Ida Laura Pfeiffer (1797-1858) embarked on her second trip around the world. Her overseas travels also took her to the Netherlands East Indies (now Indonesia): to Borneo (now Kalimantan), Java, Sumatra, and Celenbes (now Sulawesi). She described her experiences in her book Mijne tweede reis rondom de wereld (1856b), the Dutch translation of her German book Meine zweite Weltreise (1856a, ‘My second world tour’). In the last decades, much has been written about the perspective of female travel authors. On the one hand, nineteenth-century Western women travellers were curtailed because of their womanhood, yet they also played a role in the colonial system. While this might have been “different” compared to that of men, they judged the non-white “Other” in equal measure. This article focuses on how Pfeiffer positions herself in her travel texts. Although she adopts elements of the masculine hero narrative, her book also harbours aspects characteristic of her feminine view."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
909 UI-WACANA 25:1 (2024)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sunjayadi
"This article presents the postcolonial analysis of the travel account and guidebook of Marius Buys (1837-1906), a Dutch clergyman. He not only devoted himself as a priest but also travelled in several parts of the Dutch East Indies, such as Java, Sumatra, and Sulawesi in the years 1878-1885. After returning to the Netherlands due to illness in 1885, he returned to the Indies in 1886 and was assigned to Kalimantan, Sumatra, and Java. In May 1887 he posted in Bandung West Java (the Preanger regencies), where he remained until his return to the Netherlands in 1890. As a result of his serving in the Preanger regencies (1878-1890), Marius Buys published Batavia, Buitenzorg en de Preanger. Gids voor Bezoekers en Toeristen (1891), the travel guidebook for travellers and tourists. His experiences in Preanger were also recorded in his travel account In het hart der Preanger (1900). The clergyman’s perspective as a tourist and traveller for the indigenous peoples and colony in his travel text and guide book are analysed by using the concepts of Esme Cleall (2012) about European missionaries thinking in British empire in Asia and Africa in the nineteenth century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
909 UI-WACANA 25:1 (2024)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hoefte, Rosemarijn
"In 1890 the first Javanese indentured labourers arrived in Suriname to work on the colony’s plantations. In total almost 30,000 indentured and free immigrants arrived in this small Caribbean colony. Fifty years later, at the end of the migration period, they formed more than one fifth of the population. Consequently, they constituted a substantial community which had to adapt to a different socio-cultural environment but, at the same time, managed to keep in touch with their homeland. The Javanese thus shaped their own cultural expressions and traditions in Suriname. We attempt to analyse the processes of identity formation, adaptation, and re-creation of culture by examining the worlds which the migrants created by looking at four distinct time periods. The first two (1930s and 1950s) focus on the Surinamese-Javanese population’s connections with Suriname and Indonesia, the latter two (1970s and the present century) on Suriname and the Netherlands. The migration of Javanese from Suriname to the Netherlands around Suriname’s independence in 1975 has in effect produced a third homeland. In terms of identity, the Surinamese Javanese themselves now identify strongly with Suriname as they proudly point out “Ik ben een Javaan uit Suriname” (I am a Javanese from Suriname)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
909 UI-WACANA 23:3 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Selly Riawanti
"Tujuan dan Latar Belakang Studi
Tesis ini bermaksud memperlihatkan kebenaran teori reproduksi yang berlaku dalam sistem pendidikan formal pada masyarakat kolonial Hindia Belanda (1816-1942), dan diikuti oleh sistem pendidikan formal yang dikembangkan oleh kalangan cendekiawan pribumi sejak dasawarsa pertama abad XX.
Pada dasarnya, pendidikan dapat dilihat sebagai proses transmisi kebudayaan dari satu individu atau kelompok atau golongan tertentu, kepada individu atau kelompok atau golongan lainnya dalam suatu masyarakat. Proses pendidikan bisa berlangsung dalam berbagai pranata, baik dalam pranata yang memang khusus mengatur soal belajar dan mengajar, yaitu kegiatan-kegiatan yang paling pokok dalam rangka menyampaikan pengetahuan dari satu pihak ke pihak lain itu; maupun dalam pranata-pranata sosial lainnya, yang tidak menekankan kegiatan penyampaian pengetahuan tersebut sebagai kegiatan pokoknya.
Pranata yang khusus mengatur kegiatan pendidikan biasanya dikelola oleh golongan yang sudah mapan kedudukannya dalam suatu masyarakat tertetu (orang dewasa, pemerintah, golongan terpelajar, golongan profesional dan sebagainya), dalam rangka membekali dan mempersiapkan mereka yang dianggap termasuk dalam golongan yang belum mapan (kanak-kanak dan remaja, golongan buta huruf, para pendatang baru dalam suatu lingkungan tertentu dan sebagainya), dengan ketrampilan, keahlian dan sikap-sikap tertentu yang dibutuhkan agar mereka kelak dapat berperan secara aktif dan sebagaimana semestinya, dalam kelompok dan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Seandainya golongan-golongan dalam suatu masyarakat memiliki kebudayaan yang kurang lebih sama, maka proses pendidikan yang merupakan proses persiapan sebagian warganya untuk menjadi anggota yang aktif dalam masyarakat tersebut, tidaklah menimbulkan banyak masalah, sebab perumusan mengenai peran serta kedudukan dari setiap golongan yang ada dalam masyarakat tersebut bersumber pada aturan yang dianut bersama, sehingga dapat diterima dan disetujui pula oleh sebagian besar warganya. Hal yang sebaliknya dapat terjadi, apabila dalam suatu masyarakat terdapat berbagai golongan dengan kebudayaan yang saling berbeda, apalagi jika saling bertentangan.
Situasi semacam ini ditemukan pada masyarakat-masyarakat majemuk, yaitu masyarakat yang relatif heterogen dengan dua atau lebih satuan sosial dengan kebudayaan yang berbeda-beda, yang hidup saling berdampingan tetapi tidak saling bergabung, dalam sebuah satuan politik. Setiap golongan relatif memiliki otonomi, dalam arti mempertahankan kebudayaannya (agama, bahasa, pandangan dan cara hidup) masing-masing (Furnivall 1939:446; 1948:304; Fan den Berghe, 1971:68)?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parengkuan, Hortensia I.
"Topik ini muncul ketika saya harus memilih topik untuk mata kuliah Seminar Linguistik yang. diselenggarakan. pada semester ganjil tahun 1986. Pertama-tama dosen kami mengusulkan beberapa topik, salah satunya adalah topik me_ngenai Samentrekking atau pelesapan dalam bahasa Belanda. Saya merasa tertarik pada topik ini, karena selain merupa_kan hal yang baru bagi saya masalah ini juga ada dalam ba_hasa Indonesia. Sehingga saya menetapkan untuk memilih topik ini untuk dibahas dalam makalah mata kuliah tersebut. Yang menjadi_ bahan pembahasan saya waktu itu adalah tipe-_tipe mana saja yang dapat kita temui dalam pelesapan? Dari pertanyaan ini saya mendapat 3 tipe pelesapan, yaitu:1. Pelesapan dalam tingkat kata 2. Pelesapan dalam tingkat kelompok kata/frase 3. Pelesapan dalam tingkat kalimat. Selain ketiga tipe ini masih ada 2 tipe lagi, yaitu: 1. Voorwaartse samentrekking (Pelesapan ke muka) 2. Achterwaartse samentrekking (Pelesapan ke belakang). Kedua tipe ini dibedakan dengan faktor arah dilakukannya pelesapan. Oleh sebab itu istilah Indonesia yang diberi_kan di atas sesuai dengan arti harafiahnya. Tetapi lama kelamaan saya ingin mengetahui lebih banyak mengenai masalah pelesapan ini terutama pelesapan yang terjadi dalam tingkat kalimat. Sebab kelihatannya kemungkinan dilakukannya pelesapan dalam tingkat kalimat lebih banyak bila dibandingkan dengan kemungkinan yang ada dalam tingkat kata maupun dalam tingkat frase. Saya tetap akan membahas tentang elemen-elemen kalimat mana saja yang dapat dihilangkan. Tetapi selain itu ada beberapa hal yang akan diperhatikan pula, seperti kemungkinan dilaku_kannya pelesapan dalam kalimat majemuk bertingkat dan antar kalimat. Sebagai tambahan atau pelengkap, di dalam skripsi ini syarat-syarat yang diperlukan dalam ketiga ti_pe pelesapan itu akan tetap dibahas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S15884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widis Aiesha Sabila
"Film Spijt! merupakan film yang diadaptasi dari novel karya Carry Slee dengan judul yang sama. Film yang menceritakan tentang kehidupan seorang siswa bernama Jochem yang menjadi korban perundungan dari tiga orang teman sekelasnya ini diliris pada tahun 2013 di Belanda. Penelitian ini berisi analisis bentuk-bentuk perundungan yang diterima Jochem pada sequence tertentu dengan menggunakan teori semiotik. Hasil analisisnya, ditemukan tiga dari empat bentuk perundungan yaitu perundungan fisik, perundungan verbal dan perundungan relasional dengan total jumlah adegan sebanyak enam belas adegan di dalam sebelas sequence. Perundungan fisik terdapat dalam delapan adegan, perundungan verbal terdapat dalam enam adegan dan perundungan relasional terdapat dalam dua adegan.

Spijt! movie is a film adapted from Carry Slee's novel of the same name. The film which tells the life of a student named Jochem who was a victim of abuse from three of his classmates was released in 2013 in the Netherlands. This research discusses analysis of the forms of bullying that accepted by Jochem in certain sequences by using semiotic theory. The results of this analysis, there are three of the four forms of bullying, named physical bullying, verbal bullying and relational bullying. With a total of sixteen scenes in eleven sequences. There are eight scenes of physical bullying, six scenes of verbal bullying and two scenes of relational bullying."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Reinhart
"ABSTRAK
Penelitian ini hadir untuk menjelaskan bagaimana kebijakan kolonial Hindia Belanda dibuat pada masa akhir kekuasaannya. Satu-satunya penelitian sejarawan Indonesia yang mendalam mengenai masa ini adalah Runtuhnya Hindia Belanda karya Onghokham (1989). Berbeda dengan karya Ong, penelitian ini memberikan perhatian pada pembuatan kebijakan kolonial. Dengan demikian, pertanyaan utama yang dihadirkan adalah mengenai alasan pemerintah kolonial melaksanakan kebijakan kolonial dengan pola reaksioner. Pembahasan pada pembuatan kebijakan tersebut juga berfokus pada figur Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh yang dikenal sebagai golongan liberal. Dengan menggunakan metode kesejarahan Gottschalk (1975), penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan Hindia Belanda tidak mengakomodasi perubahan politik mendasar. Alasan pertama berkaitan dengan struktur kolonial yang membuat gubernur jenderal tidak memiliki kekuasaan untuk membuat perubahan. Sedangkan alasan kedua berkaitan dengan tekanan berbagai kepentingan yang harus dipertimbangkan oleh gubernur jenderal. Kedua faktor ini pada akhirnya membuat Hindia Belanda di bawah seorang gubernur jenderal yang liberal menjalankan kebijakan yang sangat reaksioner dan menghasilkan ketidakpuasan kaum bumiputra. Sekalipun telah memperhatikan berbagai sudut pandang, penelitian ini masih memiliki ruang bagi pembahasan lanjutan yang mempertimbangkan pandangan-pandangan figur kolonial lain dan pertimbangan terhadap sumber kearsipan yang lebih beragam.

ABSTRACT
This research present to explain how the Netherlands Indies policies were made at the end of their rule. The only in-depth study of Indonesian historian on this period was Runtuhnya Hindia Belanda by Onghokham (1989). In contrast to Ongs work, this research pays attention to colonial policy-making. Thus, the main question presented was about the reasons of the colonial government to implement reactionary colonial policies in the changing colonial world. The discussion on policy-making also focused on the figure of Governor-general Tjarda van Starkenborgh, who was known as liberal. Applying the Gottschalk historical method (1975), this study found that there were two main factors which caused the Netherlands Indies not to accommodate fundamental political changes. The first reason related to the colonial structure which made the governor-general powerless to make any changes. While the second reason related to the pressure of various interests that must be considered by the governor-general. These two factors ultimately led the Netherlands Indies, even under a liberal governor-general, to carry out a very reactionary policy and evoke dissatisfaction within the natives. Despite observing various perspectives, this research still has room for further discussion that considers the views of other colonial figures and considerations of a more diverse source of archives.

"
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Hasnaranti
"ABSTRACT
Sekarang, tidak bisa dihindari untuk tidak menggabungkan kegunaan media sosial (medsos) di gaya hidup kita. Seiring dengan itu, dan pertumbuhan berkelanjutannya jumlah pengguna medsos, banyak bisnis yang telah mempergunakan medsos sebagai salah satu media untuk periklanan. Namun, peneliti menyatakan bahwa, pengguna medsos telah memberikan reaksi negatif terhadap iklan-iklan yang terpajang di medsos. Pengguna medsos merasa periklanan di medsos merupakan hal yang mengganggu, dll., hal ini menyebabkan terbentuknya persepsi dan sikap negatif terhadap iklan  di medsos. Akan tetapi, sekarang, kejadian dimana pengguna medsos meninggalkan atau telah berhenti memakai medsos, telah menjadi tren global. Fenomena yang tidak bersandingan ini telah mengarahkan peneliti untuk mengeksplorasi pengaruh signifikan persepsi dan sikap negatif terhadap iklan di medsos kepada kecenderungan pengguna untuk meninggalkan media sosial. Berkaitan dengan itu, negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi memiliki kecenderungan untuk bepersepsi dan memiliki sikap negatif terhadap periklanan di medsos. Oleh karena itu, penelitian ini secara bersamaan menyelidiki pengaruh tingkat individualisme antara dua negara, Indonesia dan Belanda, pada kecenderunhan pengguna untuk meninggalkan media sosial. Meskipun hasil studi komparatif berikut tidak signifikan, penelitian ini memberikan bukti bahwa periklanan di media sosial adalah salah satu alasan pengguna medsos cenderung meninggalkan medsos. Selain itu, tingkat individualisme sebuah negara tidak memperkuat bukti dan tidak menyebabkan pengguna untuk meninggalkan media sosial. "
2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Agama
050 INIS 13 (1997)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
<<   5 6 7 8 9 10 11 12   >>