Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akmal Hasan
Abstrak :
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu bentuk upaya terhadap konservasi yang mempunyai fungsi dan peran penting sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sisters zoning yang telah dideklarasikan pada The IV th World Congres on National Park and Protected Area di Caracas, Venezuela 1992. Penelitian dengan judul "Sebaran Wilayah Berpotensi Rawan Perambahan Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Dan Sekitarnya" bertujuan ingin mengkaji perubahan spatial terhadap kondisi wilayah yang telah ditentukan menurut hukum yang secara formal (legal) maupun yang terjadi saat ini berkembang. Adanya penetapan suatu daerah Taman Nasional sering menimbulkan konflik antara masyarakat sekitar dengan pihak pengelola, untuk mengurangi gangguan tersebut perlu adanya pengaturan yang memadai untuk kehidupan masyarakat serta pengetahuan tentang pentingnya kawasan hutan/ Taman Nasional sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitar. Sasaran yang ingin dicapai secara umum memberikan kerangka pendekatan yang dapat mengakomodasikan kepentingan sosial masyarakat disekitar bufferzone Taman nasional Gunung Gede Pangrango. Secara singkat perrmasalahan yang muncul dalam study ini adalah "bagaimana sebaran wilayah rawan rambah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, baik menurut kebijakan Pemerintah maupun keberadaan (existing) penggesarannya?" selanjutnya, pertanyaan lainnya adalah "dimana wilayah yang berpotensl rawan rambah ?". Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh perubahan spatial penggunaan lahan yang secara fisik rawan rambah terdapat diwilayah bagian utara TNGGP pada Kabupaten Bogor khususnya di kecamatan Caringin, Megamendung dan Ciawi. Sedangkan Kabupaten Sukabumi adanya penambahan areal kawasan hutan khususnya di Kecamatan Cisaat. Kata Kunci : Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kebijaksanaan Pemerintah, Konservasi, Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Masyarakat, Rawan Perambahan, Penggunaan Lahan.
a Distribution Which is Potential to be Encroached in Gunung Gede Pangrango National Park and Its Surrounding.Gunung Gede-Pangrango National Park has been determined as a National Park by the Ministry of Agriculture in 1980. As a conservation area, the National Park has its function as a protection of livelihood buffer system and sustainability biodiversity including its ecosystem. According to law no. 5/1990 concerning Conservation of Natural Resources and Biodiversity with its ecosystem, it has been defined that as a nature reserve area which has natural and original ecosystem, the area should be managed by zoning system such as being declared by the IV th World Congress on National Park and Protected area in Caracas, Venezuela 1992. The Research on :"Area Distribution which is potential to be encroached in Gunung Gede Pangrango National Park and its surrounding:, has objective to analyze the spatial change of area condition which has been defined based on legal and formal law or based on situational condition. By declaring the area as a National Park, it has caused conflict between community surrounding the area and the management site. To minimize the conflict, it is needed a standard regulation for a community livelihood and a knowledge on how important is the forest area/National park as a buffer for livelihood of the community. The general objective is to give a framework of approach which could accommodate social communities' needs in the buffer zone of Gunung Gede-Pangrango National Park. In Brief, the problem rise on this study is about "How is the distribution pattern of the area potential to be encroached in Gunung Gede-Pangrango, either based on the Government policy or by the existing movement?" and the next question is : "Where is the area potentially being encroached?" Result of the study showed that there has a spatial change in using area that physically potential being encroached. The areas are located within the North Part of Gunung Gede-Pangrango National Park that is in Bogor District especially in Caringin Regency, Megamendung and Ciawi. The other location is in Sukahumi district, which is located in Cisaat Regency. Keywords: Gunung Gede-Pangrango National Park, Government Policy, Conservation, Biodiversity Natural Resources and Ecosystem, Community, Encroachment, Land Use.
2001
T2819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwan
Abstrak :
Adanya perbedaan tingkat pembangunan di berbagai daerah dalam suatu negara dapat disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan terutama ketidaksamaan dalam hal potensi yang dimililki daerah diantaranya adalah potensi sumber daya, baik sumber daya alam ataupun sumber daya manusia, infrastruktur, dan sebagainya Perbedaan kepemilikan tersebut menyebabkan ketimpangan antar daerah bahkan semakin melebarnya jurang antar daerah satu dengan daerah lainnya. Apalagi kepemilikan sumber daya yang adat tersebut belum dikelola secara optimal sehingga antar daerah satu dengan daerah lainnya nampak jelas perbedaan tingkat pembangunan antara lain perbedaan tingkat pendapatan per kapita, prasarana dan sarana ekonomi dan sosiai, struktur kegiatan ekonominya dan sebagainya. Mengacu pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tingkat kesenjangan perekonomian antar daerah kabupaten/kota melalui indeks Willianson, menganalisa pengaruh variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi kesenjangan perekonomian antar daerah di Propinsi Lampung seperti jumlah investasi, jumlah tenaga kerja, sumbangan dan faktor-faktor lainnya dan menganalisa pengaruh perubahan variabel kebijakan terhadap kondisi kesenjangan petekonomian antar daerah di masa yang akan datang. Studi ini menggunakan model ekonometrika dengan model persamaan simultan yang terdiri dari 11 persamaan yang meliputi 8 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas. Jumlah seluruh variabel adalah 19 dengan variabeI endogen 11 buah dan variabel eksogen sebanyak 8 buah. Dari hasil estimasi model, sebanyak 3 persamaan mempunyai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0,70 hingga 0,92 dan 4 persamaan mempunyai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0,62 hingga 0,69. Bila dilihat dari nilai F hitung berkisar antara 15,8039 hingga 246,845, dan nilai Durbin Watson berkisar airtara 1,695 hingga 2,258. Daya validasi model dengan melihat nilai koefisein U-Theil hampir 85 per= mempunyai nilai koefisien U-Theil di bawah satu, hal berarti sebagian besar model dapat dipergunakan atau valid untuk dilakukan simulasi baik simulasi maupun proyeksi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa telah teijadi kesenjangan perekonomian antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Lampung yang diperlihatkan oleh besarnya nilai indeks Willianson antara 4 kabupaten/kota. Selain itu tingkat kesenjangan dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja, jumlah sumbangan yang diterima daerah, jumlah investasi yang masuk ke daerah tersebut dan adanya dummy krisis. Dari ke-4 variabel tersebut jumlah tenaga kerja lebih resposif terhadap tingkat kesenjangan dibandingkan variabeI yang lain. Hal ini akan semakin besar bila dalam suatu daerah tersebut telah terjadi aglomerasi tenaga kerja. Dari hasil proyeksi dari tahun 2000-2005 terhadap model persamaan simultan menunjukkan bahwa semua variabel endogen mengalami pertumbuhan yang meningkat untuk semua skenario kecuali variabel pendapatan per kapita mengalami penurunan pada tahun 2001 skenario moderat di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Utara. Hasil proyeksi variabel target menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan dipengaruhi tenaga kerja, sumbangan, jumlah investasi dan adanya dummy krisis tahun 1997-1998 menghasilkan hasil proyeksi yang meningkat Hal ini berarti daerah kabupaten/kota harus berupaya seoptimal mungkin untuk meningkatkan taraf pembangunan di daerahnya agar tidak tertinggal jauh dibandingkan daerah lainnya dengan berbagai upaya seperti menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi, perizinan yang mudah dan sebagainya terutama agar para investor mau datang menanamkan investasi di daerah. Akibat lebih lanjut ketertinggalan antar daerah dapat dikurangi/diperkecil.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T1636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Hartanto
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan kehidupan menjelang akhir abad ke 20 ditandai dengan kemajuan di hampir semua aspek kehidupan yang kemudian mendorong tumbuhnya arus globalisasi dan liberalisasi. Salah satu hasil kemajuan IPTEK adalah teknologi penerbangan, yang kemudian memacu berkembangnya industri jasa transportasi udara yang kemudian mendorong munculnya kebijakan open sky, yang berkeinginan untuk memanfaatkan ruang udara seluas-luasnya bagi kepentingan perusahaan penerbangan dari negara tertentu.

Sebagai suatu hak penuh dan utuh dari suatu negara (complete and exclusive right of the State), ruang udara memiliki potensi yang dapat memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi pendapatan negara, apalagi bila negara tersebut memiliki wilayah udara yang luas serta berada dalam posisi strategis sebagaimana yang dimiliki oleh Indonesia. Pemanfaatan ruang udara akan terkait erat dengan kegiatan industri penerbangan dan kegiatan ruang angkasa. Dalam tesis ini pembahasan akan dibatasi dalam kaitan dengan kegiatan industri penerbangan, khususnya bisnis penerbangan.

Ruang udara sebagai hak penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayah kedaulatan negara telah diakui oleh hukum internasional, yaitu dalam Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919, kemudian dalam Convention On International Civil Aviation tahun 1944 dan yang terakhir adalah dalam United Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982 atau UNCLOS 1982.

Konvensi-konvensi internasional tersebut menjadikan Indonesia memiliki wilayah kedaulatan seluas 8,4 juta km2 dan berada di posisi silang strategis di antara 2 benua dan 2 samudera, sehingga hak penuh dan utuh atas wilayah ruang udaranya yang memiliki keunggulan komparatif, dapat dimanfaatkan sebagai suatu bargaining power dalam berbagai perundingan dengan negara lain diantaranya adalah untuk Air Service Agreement.

Pemanfaatan yang tepat serta didukung oleh perangkat hukum internasional maupun nasional yang berlaku ditambah dengan sumber daya yang berkualitas, akan memberikan keunggulan bagi Indonesia dalam memanfaatkan ruang udara nya sebagai salah satu sumber daya nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 (3) UUD-45.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryono
Abstrak :
Copepoda merupakan zooplankton yang dominan di lautan, dan mempunyai peranan penting dalam rantai makanan di ekosistern perairan, termasuk perairan mangrove (estuarine). Penelitian mengenai Copepoda di perairan mangrove Cilacap, Jawa Tengah, telah dilakukan pada bulan Oktober 1997 dan April 1998. Dari hasil identifikasi ditemukan sebanyak 25 jenis yang termasuk dalam 17 marga, 12 suku, dan 4 bangsa (ordo). Calanoida merupakan ordo yang paling besar, dengan jumlah anggota 17 jenis. Frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada Acartia erythraea dan Pseudodiaptomus incisus, masing-masing 58,34% dan 52,08%. A. erythraea paling melimpah pada bulan April (rata-rata 7,81% dan 10,59%) dengan kepadatan maksimal 102 ind./l.; sedangkan P. incisus paling melimpah pada bulan Oktober (rata-rata 6,56% dan 14,73%) dengan kepadatan maksimal 62 ind./l. Keanekaragaman jenis Calanoida berkisar antara 0,424-0,849, kemerataan individu tiap jenis 0,256-0,429, kekayaan jenis 0,610-2,471, kesamaan jenis antara dua lokasi 0,182-0,933. Hasil analisis kluster pada musim dan waktu pengamatan yang berbeda, tidak terbentuk pengelompokan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan pada St. 1, 2, dan 3 membentuk kelompok yang terpisah dari St. 4. Penyebaran dan kelimpahan Copepoda sangat dipengaruhi oleh salinitas. Kisaran salinitas pada bulan Oktober 18,1-31,7 %0 dan 9,2-29,1 %0 pada bulan April. Selain salinitas, pengaruh musim juga turut menentukan komposisi jenis dan kelimpahan Copepoda.
Copepods is a dominant group of marine zooplankton, and has an important role in the marine food chain. Copepods lives in various habitats, in freshwater, estuarine, and marine. Information on copepods in Indonesia mostly came from expedition reports on East Indonesian waters. Nevertheless, information concerning copepods in mangrove waters (estuarine) is very limited. The Cilacap mangrove waters has a unique ecosystem. It has high estuarine biodiversity lives, in which of them is copepods. From this fact, a study on the taxonomy and community structure of copepods in Cilacap mangrove waters was conducted on October 1997 and April 1998. The aims of study is to know the diversity and fluctuation of copepods species, the relationship community structure of copepods with the environmental factors in Cilacap mangrove waters, to available information on description and illustration of copepods that area from two seasons. Twenty-five species belonging to 12 families was recorded. They include 17 species of Calanoida, three species of Poecilostomatoida, four species of Cyclopoida, and one species of Harpacticoida. Two species showed high frequency of occurrence and abundance, i.e. Pseudadiaptonius incises at dry season, and Acartia erytlhraea at wet season. This indicated that the two species were common and distributed more widely than others. The highest diversity and richness indices of copepods species were found in Sapuregel (St. 3) at two seasons, and Teluk Penyu had highest evenness index at dry season. Donan mouth river and Sapuregel had the highest similarity index at dry season. Cluster analysis resulted in one group at all study on October 1997 and April 1998. Stations 1, 2, and 3 had the highest relationship than station 4. The water conditions of Cilacap mangrove waters showed that salinity ranged from 9,2-31,7 %0 temperature ranged from 25-32°C, pH ranged from 6,58-8,74, turbidity ranged from 0-7 NTU, DHL ranged from 10,4-44,7 mg/l, and DO ranged from 4,40-8,52 mg/l.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwandi Idris
Abstrak :
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, dan kurang lebih 17.508 pulau. Dua pertiga atau sekitar 62% (± 3,1 juta km2) dari keseluruhan wilayah Indonesia berupa perairan laut. Wilayah laut ini meliputi 0,3 juta km2 (5,17%) perairan teritorial dan 2,8 juta km2 (48,28%) perairan nusantara. Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Indonesia diberi hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 (46,55%). Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terdapat bentukan-bentukan terumbu karang yang luas, ekosistem hutan mangrove yang luas dan berbagai ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun, pantai pasir, pantai berbatu. Di samping itu peran lain dari wilayah pesisir adalah sebagai kawasan wisata, budidaya perikanan, usaha penambangan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya. Keadaan demikian menyebabkan banyaknya penduduk yang hidup di daerah pesisir, sehingga tingkat eksploitasi sumber alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) di daerah pesisir menjadi tinggi, yang disertai dengan turunnya kualitas Lingkungan. Sementara itu, wilayah pesisir juga memiliki berbagai peranan penting bagi kelestarian fungsi ekosistem alam dan kehidupan umat manusia. Misalnya, dari segi biogeofisik sebagai daerah penyangga bagi kehidupan aneka ragam biota laut; secara ekologis merupakan tempat berkembangnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, dan secara hidrologis berperan sebagai kelestarian sumber tanah dan air di daratan dan kepentingan lainnya. Pengertian wilayah pesisir dan laut yang mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya masih sulit dilakukan. Namun demikian penelitian ini mencoba mengambil pengertian; bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan atau kegiatan manusia di darat. Dilihat dari segi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia dihadapkan kepada suatu dilema. Di satu pihak beberapa kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara intensif sehingga telah melampaui daya dukungnya seperti tangkap lebih dan pencemaran. Di pihak lain pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum optimal bahkan di beberapa wilayah belum dijamah sama sekali. Permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut adalah disebabkan oleh meningkatnya kegiatan sektor pembangunan, baik oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kegiatan pembangunan tersebut di samping belum dilakukan secara terkoordinasi, juga belum sepenuhnya memperhitungkan dampak lingkungan. Sebagai akibat dari kegiatan tersebut potensi sumberdaya laut semakin menurun, seperti kerusakan terumbu karang, menurunnya luas hutan mangrove, gejala penangkapan sumberdaya perikanan yang berlebihan (over fishing) dan pencemaran perairan laut. Apabila ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah pesisir dan laut, salah satu penyebab permasalahan ini adalah belum adanya Kelembagaan Nasional dan Daerah yang mempunyai tugas dan wewenang secara khusus mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sementara instansi yang terkait dalam pengelolaan tersebut cukup banyak, seperti Departemen Pertanian, Kehutanan, Perhubungan, Perindustrian, Pariwisata dan Telekomunikasi, Pertambangan dan Energi, Pekerjaan Umum, Pertahanan Keamanan, Kantor Menteri Negara Lingkungan HidupBapedal, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, LIPI, dan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek hukum dan kelembagaan serta sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan taut, dengan mengambil studi kasus wilayah pesisir di Teluk Arnbon Dalam, Kotamadya Arnbon, Propinsi Maluku. Hipotesis penelitian yang digunakan adalah : " Adanya berbagai kepentingan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan taut yang terbatas di Teluk Ambon Dalam telah mengakibatkan tumpang tindih tanggungjawab kelembagaan yang mengelola sumberdaya alam, sehingga penggunaan lahan pesisir dan sumberdaya kelautan tidak sesuai dan serasi dengan peruntukan dan daya dukungnya". Studi dilakukan di kawasan pesisir dan taut Teluk Ambon Dalam dengan difokuskan kepada pengumpulan data dan informasi melalui: (i) Pengkajian kebijakan Pemerintah dalam pembangunan wilayah pesisir dan taut yang dimuat dalam GBHN, Repelita VI Nasional, Pala Dasar Pembangunan Daerah, Repelita Daerah serta fungsi dan tugas instansi terkait lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan; (ii) Mengumpulkan data dan informasi tentang aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, meliputi: potensi aktivitas pembangunan, kondisi lingkungan, Peraturan Perundangundangan, sosial-ekonomi penduduk, tingkat pendidikan dan sosial budaya masyarakat; dan (iii) Pengamatan langsung ke lapang untuk melakukan wawancara semi terstruktur terhadap pengambil kebijakan pada instansi Pemerintah dan masyarakat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif, meliputi kajian terhadap: (i) Aktivitas pembangunan yang ada (Existing Development Activities), (ii) Analisis Keserasian antar sektorlkegiatan Pembangunan (Compatibility Analysis), dan (iii) Analisis Fungsi dan Wewenang Kelembagaan. Hasil penelitian di Teluk Ambon Dalam menunjukkan bahwa pada saat ini telah berkembang berbagai kegiatan pembangunan seperti, perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan, pangkalan angkatan laut, konservasi alam, industri, pertanian, pertambangan, energi, industri kayu dan perumahan. Namun atas dasar segi kesesuaian yang ideal (ekologis), maka pembangunan sektoral yang dapat dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah Perikanan Tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan/perkapalan, konservasi alam, lahan industri, pertanian dan perumahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari segi ekologis keruangan, pesisir Teluk Ambon Dalam telah jenuh dan relatif tidak dapat lagi menampung pengembangan sektoral. Hal ini diperkuat oleh adanya kerusakan lingkungan di wilayah pesisir ini, seperti pencemaran, sedimentasi, dan kerusakan fisik habitat. Terjadinya tumpang tindih dan pengembangan pembangunan sektor yang saling merugikan yang menimbulkan konflik di Teluk Ambon Dalam disebabkan karena kurang jelasnya tugas dan wewenang sektor, belum terkoordinasinya pelaksanaan tugas antar sektor serta belum jelasnya peran Pemerintah Daerah di wilayah pesisir dan laut. Penanggulangan permasalahan di atas dalam jangka pendek, perlu dikembangkan sistem pengelolaan yang bersifat terpadu di wilayah pesisir dan laut, melalui adopsi model pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang dilakukan mulai dari proses penelitian, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengembangan. Sedangkan untuk jangka panjang diperlukan adanya restrukturisasi kelembagaan instansi Pusat dan Daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Untuk mendukung terlaksananya pengelolaan terpadu di wilayah pesisir, diperlukan adanya wadah yang berfungsi sebagai koordinator pengelolaan, dengan anggota semua instansi dan lembaga masyarakat yang mempunyai kegiatan di wilayah pesisir dan laut dan memiliki ciri-ciri produktivitas dan kelestarian fungsi. Prinsip-prinsip keterpaduan yang perlu dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah: Pertama, Prinsip keterpaduan antara tata lingkungan daratan dengan wilayah pesisir dan laut yang dapat mencerminkan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Kedua, Pembentukan suatu wadah koordinasi yang bersifat integral antara instansi Daerah dan antara Pusat dan Daerah untuk mengatur kembali tumpang tindih pemanfaatan lahan dan untuk memelihara kelestarian lingkungan Teluk Ambon. Ketiga, Perlu diprioritaskan perlindungan dan rehabilitasi kawasan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
ABSTRAK Institutional Arrangements For Marine And Coastal Resource Management (A Case Study in Ambon Dalam Bay, Ambon Regency)Indonesia is an Archipelagic Nation containing 17,508 islands with a coastline of approximately 81,000 kms. Two third of the area of Indonesia (approximately 5.8 million km2) is marine. This vast area is divided into Territorial Sea (0.3 million km2 or 5.2%) Archipelagic sea (2.8 million km2 or 48.28%) and Exclusive Economic Zone (2.7 million km2 or 46.55%) Coastal and marine areas of Indonesia contain a wide range of ecosystem type; these support some of the largest and most divers assemblages of coral reefs , mangroves and sea grass in the world. These ecosystem also support a wide range of human activities. Marine transportation, port/harbors, mariculture, tourism, oil and gas production and coastal settlements all depends on coastal and marine ecosystem and resources. The multiple use nature of many coastal resources combined with rapid economic and industrial growth in recent decades has attracted an increasing percentage of the Indonesia population to live in coastal areas. With increasing in population and related direct and indirect use pressures, many coastal and marine resources throughout Indonesia have become depleted and degraded. Coastal areas, as the interface between land and sea, serve several import biological, physical, economic and social functions and are inter-connected with adjacent terrestrial and marine ecosystems via a range of linking processes. For example, a key bio-geophysic function of coastal areas is to "buffer" the impact of land activities on marine areas and vice versa. Via physical and ecological processes and pathways, coastal ecosystems regulate the input of nutrients and sediments to marine waters. Many global studies have shown that the maintenance of these ecosystems and their component processes is required if the functions they serve are to be sustained. Since function and processes of coastal ecosystems are broad and complex, an holistic approach to coastal and marine resource management is required. This study thus proposes that such an approach requires the definition of the coast as a road ecotone which extends from the inland limit of marine ecosystems on land systems to the seaward limit of land influences on marine ecosystems. Management of coastal and marine areas poses a particular dilemma in the context of sustainable development due largely to uneven nature of coastal and marine resource exploitation throughout the archipelago. In many areas coastal and marine resources, particularly fisheries, have been overexploited beyond sustainable use (carrying capacity) limits. In other areas various resources remain unutilized or under-utilized, often due to access or technological constraints. Various studies identified that the major problem facing coastal and marine management in Indonesia is the sectorally-oriented development approach which has been used by government agencies, private sector investors and local communities. Development activities throughout the archipelago have, in general, not been well coordinated, nor have they adequately taken into account the environmental impact of development. As a consequence resources have not been optimally utilized and, in many cases, have been degraded as a result of development activities. That degradation can be described in terms of both loss of ecosystem quantity (e.g. over harvesting of fisheries) and loss of quality (e.g. pollution of coastal waters by industry). Contemporary coastal management practice now recognizes the important of adequate institutional arrangement that provide the authority and allocate responsibility for co-ordination of resource planning and management. However, at present in Indonesia there are many sectors (e.g. agriculture, forestry, transportation, industry, tourism, telecommunication, mining, public work, defense, environmental management and research) and levels (national, provincial, sub-regional and local) of government which act independently or in an uncoordinated manner in coastal and marine resources management. The aim of this study is to review legal and institution arrangements and approach that are used in coastal and marine resource management. The study focuses on a case study of Ambon Dalam Bay (Teluk Ambon Dalam) in Ambon Regency, the capital of Maluku Province in Eastern Indonesia. The hypothesis of the study is that because of the uncoordinated and overlapping responsibilities of agencies involved in management of this area, resources are not being used optimally or sustainably. The data and information for this study was collected from : 1. Reviews of government policy and planning documents and guidelines, including National Policy Guidelines (GBHN), the Sixth Five Years National Development Plan (REPELITA VI), Regional Policy Guidelines (Pola Dasar), the Sixth Five Year Regional Development Plan (REPELITADA), and overview of the role and function of various government agencies. 2. Data and information obtained as part of development activities including information on potential development options, environmental conditions, regulations, community/socio-economic studies; and 3. Field observations and survey interviews (using a semi-structural approach) of the local decision-maker and community leader. This information was analyzed by descriptive and matrix-based methods which sought to assess (i) existing development activities and responsibilities for development control; (ii) the compatibility of existing development activities with sectoral objectives and (iii) improved institutional arrangements for coastal and marine resource management. The case study analysis of Ambon Dalam Bay revealed that development activities have expanded considerably over time, both in terms of the area subject to development and in terms of the types of activities undertaken within development areas. These have led to physio-chemical, ecological and socio-economic change in the Bay and around the foreshores. These changes have also generated increasing conflict between resource uses. Based on results of the compatibility analysis it was observed that activities which are most suitable for Ambon Dalam Bay are : a) Fish catching/aquaculture; b) Nature conservation; c) Industrial development (indemnified areas) d) Agriculture; and e) Settlement/housing When these most suitable activities were compared with the existing development pattern in the Bay area, it was concluded that developments within coastal areas of Ambon Bay currently exceed the carrying capacity of the Bay. Furthermore. it was noted that the overlapping jurisdiction of sectoral agencies have led to conflicting and inappropriate resource use. This is considered to be due largely to the fragmentation of administrative responsibilities and to the lack of clearly defined management authority. These problems are exacerbated by uncertainty about the roles and responsibilities of government agencies at all levels, especially at the local government level. In order to overcome this problem in the short term, an integrated and systematic approach to coastal and marine resources management has to be imposed. This process should begin with identification and agreement on problems, development of spatial an/or resource use plans which better reflect the sustainable use limits of Bay resources, clarification of management responsibilities and institutional restructuring to facilitate plan implementation and evaluation. This process can be supported by adoption of integrated coastal zone planning and management (ICZPM) principles, including: a. integrated of environmental management both terrestrial and marine ecosystems to ensure that resource uses within these areas sustainable; b. establishment of a Co-ordinating board which involves regional and national agencies in Maluku Province and which embraces in the interest of all stakeholders in the Bay, including government agencies, private sector interests and NGOs so at to achieve a more effective balance between economic development and environmental quality; and c. to define and then conserve andlor rehabilitate key ecosystems in the Bay - the initial priorities identified in this study included mangroves, coral reefs and seagrass ecosystems. Total of References 68 bibliographies (1967-1997)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moesadin Malik
Abstrak :
Pembangunan kekuatan pertahanan keamanan suatu bangsa pada umumnya akan selalu berkaitan dengan ciri-ciri spektrum perang dan damai. Pada masa damai merupakan suatu kurun waktu yang lebih panjang daripada masa perang. Pada masa damai upaya pembangunan dititik beratkan kepada faktor kesejahteraan, sedangkan faktor keamanan diupayakan secara terbatas pada tingkat pemeliharaan keamanan, penagkalan serta kewaspadaan dalam menghadapi kompetensi. pemeliharaan kekuatan dimasa damai tidaklah efisien apabila dilakukan dalam wujud pemeliharaan kekuatan besar seperti waktu perang. Oleh karena itu dimasa damai diwujudkan dengan kekuatan kecil sabagai basis bagi pengembangan kearah kekuatan yang diinginkan baik dalam keadaan bahaya maupun tidak. Pengembangan kekuatan tersebut memerlukan kekuatan cadangan yang cukup dan dibina secara terarah dan profesional. Pembangunan Hankamneg yang diarahkan pada segenap keomponen kekuatan Hankamneg harus terus dilanjutkan sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk mewujudkan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dengan ABRI sebagai kekuatan inti, yang berdaya tangkal tangguh serta mampu memelihara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, dengan senantiasa terus mewaspadai perkembangan strategis. Di bidang pembangunan komponen pendukung kekuatan Hankamneg yang meliputi sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sarana prasarana nasional termasuk industri strategis, dikembangkan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan Iptek untuk dapat didayagunakan secara nasional. Pada perkembangan pola pertahanan modern dewasa ini suatu rekayasa kekuatan cadangan pada hakikatnya dipersiapkan untuk menghadapi ancaman yang mungkin terjadi, dan dalam hal ini sebagai akibat dari ketidakpastian perkembangan lingkungan. Karena itu, ABRI perlu dibangun dengan kekuatan yang relatif kecil tetapi dapat dikembangkan menjadi kekuatan yang lebih besar melalui penyiapan bala cadangan pada keadaan damai. Dengan demikian, dalam rangka pembangunannya perlu direkayasa aset nasional yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pembangunan kekuatan matra laut dan pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan serta kemampuan dana pembangunan ABRI yang telah diprogramkan. Laut bagi bangsa Indonesia adalah ruang juang guna mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Kepentingan bangsa Indonesia di laut tercerminnya keutunan perairan yurisdiksi nasional guna memanfaatkan lautan sebagai medium perhubungan, penggalian sumberdaya maupun memproyeksikan kekuatan. Pemenfaatan sumber kekayaan alam yang terkandung di wilayah laut secara tepat bagi peningkatan kesejahteraan dan keamanan dilakukan dengan pendayagunaan aset nasional yang tersedia di bidang maritim. Dalam rangka menciptakan kemampuan Hankamneg yang memiliki daya tangkal handal perlu adanya upaya nasional terpadu yang melibatkan segenap potensi dan kekuatan Hankamneg. Oleh karena itu, agar yang dilaksanakan dapat berhasil secara optimal dipersyaratkan adanya keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan saran prasarana nasional untuk kepentingan Hankamneg antar Departemen dan Instansi pemerintah yang terkait dalam penyelenggaraan manajemennya. Upaya Hankamneg pada dasarnya merupakan suatu proses manajemen yang memadukan berbagai kegiatan dalam rangka mentransformasikan segenap potensi dan kekuatan nasional menjadi kekuatan dan kemampuan Hankamneg yang siap untuk digunakan dalam mengahadapi setiap bentuk ancaman. Agar proses manajemen sumberdaya Hankamneg tersebut selaras dengan upaya Hankamneg, maka segenap unsur baik sebagai obyek maupun subyek, metoda serta fungsi-fungsi pendayaguanaan dan pembinaannya dalam arti yang sempit harus terpadu dan terpola secara jelas dalam suatu bentuk tatanan kesisteman. Prosedur dan mekanisme, yang mewujudkan hubungan antar badan-badan pelaksana pengelola sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sarana prasarana nasional untuk kepentingan Hankamneg perlu ada dan tegas. Untuk mewujudkan pembianaan secara terpadu diperlukan suati sistem informasi yang menghubungkan instansi-instansi terkait.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T.A. Nurwinakun
Abstrak :
Kepulauan Indonesia terletak di daerah perbenturan tiga lempengan raksasa, yaitu lempeng Australia yang bergerak ke utara, lempeng Pacific yang bergerak ke barat dan lempeng Eurasia yang relatif diam. Benturan ketiga lempengan tersebut mengakibatkan Indonesia dipenuhi deretan gunung api, yang selain berpotensi mendatangkan bencana, juga menawarkan potensi sumber daya mineral dan energi yang besar dan beragam. Di kawasan timur Indonesia, batuan yang dihasilkan bersifat ultra bass yang berpotensi mengandung besi, nikel, khrom dan kobalt. Di kawasan barat Indonesia batuannya bersifat asam yang berpotensi mengandung tembaga, timah putih, emas, perak dan platina. Disamping itu proses alam lainnya telah melakukan pengikisan dan pengendapan, sehingga terbentuk endapan batuan yang berpotensi mengandung minyak bumi, gas, batubara, dan gambut. Dengan kondisi geologi yang menjanjikan ditemukannya berbagai ragam sumber daya mineral dan energi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia selama PJP-I (Pembangunan Jangka Panjang Pertama) secara umum telah berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan. Sektor pertambangan khususnya, baik pertambangan minyak dan gas bumi (migas) maupun pertambangan umum (non-migas) telah memainkan peranan yang amat penting dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya sebagai sumber penerimaan negara dan penghasil devisa. Peranan lainnya antara lain dalam memproduksi bahan-bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industri dan energi dalam negeri serta pembangunan prasarana dan sarana sosio-ekonomi. Tidak kurang penting adalah peranannya dalam penyediaan lapangan kerja dan dalam menumbuhkan kehidupan sosial ekonomi berbagai wilayah di tanah air yang semula merupakan daerah terpencil tanpa kehidupan berarti. Dampak lainnya dapat terlihat dari tumbuh dan berkembangnya berbagai industri samping dan industri penunjang. Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 secara jelas telah merumuskan falsafah mengenai pengelolaan kekayaan alam termasuk berbagai bahan galian sebagai berikut: Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahbidin
Abstrak :
Salah satu wadah perlindungan bagi sumber daya alam dan keanekaragamana hayati yang kita miliki adalah hutan lindung Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup mengesankan. Di hutan lindung Meratus terdapat berbagai fauna : 29 spesies mamalia, 62 spesies burung, dan 6 spesies reptilia, dimana 38 spesies diantaranya adalah jenis spesies yang dilindungi. Juga ditumbuhi flora : 141 jenis potion, 17 jenis rotan, 8 jenis palem-paleman, semua itu termasuk ke dalam 41 famili, yang terbanyak adalah famili dipterocarpaceae, kemudian famili graminea (rotan). Sebagian dari jenis diatas adalah flora endemik Pulau Kalimantan. Selain itu hutan lindung ini juga memiliki fungsi hidrologi bagi daerah-daerah di bawahnya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Di sisi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa, yang berarti keberadaan mereka disana adalah legal (bukan sebagai perambah). Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia dewasa (angkatan kerja) sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Hutan lindung Meratus juga mempunyai fungsi hidrologi bagi daerah bawahannya seperti kota Barabai dan kota Birayang. Jika hutan ini rusak, maka kedua kota akan berada dalam ancaman bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Di sisi/tepi hutan lindung Meratus ini terdapat pemukiman penduduk yang telah lama menetap secara turun temurun, jauh sebelum status hutan lindung diberikan, yakni Batu Perahu. Pemukiman penduduk ini secara administratif diakui sebagai desa. Kondisi desa Batu Perahu masih memprihatinkan, miskin secara ekonomi, kualitas sumber daya manusia sebagian besar masih buta huruf, masih terisolir dan hanya dicapai dengan berjalan kaki di jalan setapak.

Para stakeholder memiliki dua kepentingan berbeda, pertama, membuka isolasi desa Batu Perahu. Kedua, mempertahankan kelestarian dan meningkatkan status hutan lindung Meratus menjadi taman nasional. Permasalahan muncul, karena beberapa pihak meragukan kemampuan pemerintah daerah menjaga kelestarian hutan lindung Meratus, jika jalan dibangun ke desa Batu Perahu. Alasannya sederhana, seandainya jalan telah dibangun, maka akses bagi penebang liar untuk masuk dan menebang kayu di hutan lindung akan lebih mudah. Para penebang liar biasanya memanfaatkan jalan umum untuk mengangkut kayu tebangan dengan menggunakan mobil truk atau mobil jeep. Disaat jalan tidak tersedia, maka akses penebang liar untuk mengangkut kayunya juga tertutup, dan hutan lindung akan aman dari penebang liar.

Melalui penelitian menggunakan Arialitycal Hierarchy Process (AHP), dengan beberapa kelompok : kelompok responden masyarakat lokal desa Batu Perahu diwakili Kepala Desa Batu Perahu, Sekretaris Desa Batu Perahu, dan Kepala Balai Adat Batu Perahu, Kelompok responden masyarakat kota diwakiii oleh Sekretaris Kecamatan Barabai, Lurah Barabai Barat, dan Ketua.Kelompok Tani Desa Wawai. Kelompok Kelompok responden LSM diwakiii ketua umum LSM Pecinta Pegunungan Meratus, dan Kelompok responden Pemda diwakili oleh Bappeda, Dinas Hutbun, Dinas Pertanian, dan Dinas PU dan Bangwil.

Hasil penelitian menunjukkan alternatif kebijakan yang paling tinggi bobotnya yakni 0,407 sebagai prioritas pertama adalah Pembangunan jalan skala roda dua & peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (R2&TN). Sedangkan alternatif kebijakan Peningkatan hutan lindung menjadi taman nasional (TN) dengan bobot 0,261 sebagai prioritas kedua, alternatif kebijakan Status quo (SQ) dengan bobot 0,203 sebagai prioritas ketiga, dan pembangunan jalan skala roda empat (R4) dengan bobot 0,129 sebagai alternatif terakhir.

Alternatif R2&TN dinilai sebagai win-win solution bagi stakeholder yang memiliki kepentingan. Alternatif ini bisa diterima oleh semua stakeholder.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah
Abstrak :
ABSTRAK
Pemanasan global merupakan salah satu indikator bahwa bumi ini sedang berada pada kondisi tertentu yang memerlukan perhatian lebih besar dari sebelumnya. Dalam isu pemanasan global, Arktik menjadi salah satu kawasan yang menarik perhatian dunia karena efek pemanasan global paling besar dapat dilihat di kawasan ini. Pada tahun 1996, sebuah forum kerjasama bernama Dewan Arktik dibentuk. Tujuan utama dari forum ini adalah untuk melindungi lingkungan, melestarikan sumber daya alam yang tersimpan, dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan Arktik. Setelah hampir 24 tahun pembentukan forum ini, kondisi Arktik justru semakin memprihatinkan. Lapisan es yang semula tebal menutupi permukaan, kini semakin menipis seiring dengan semakin bertambahnya suhu bumi. Sumber daya alam yang terkandung di dalam kawasan ini juga perlahan mulai berkurang kadarnya, dan hal ini bukan digunakan untuk kepentingan masyarakat Arktik itu sendiri. Dengan menggunakan teori regional security complex, penelitian ini akan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan forum ini, serta alasan atas ketidakmampuan forum Dewan Arktik dalam mencapai tujuan pembentukannya. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam peneltian ini adalah Mengapa pasca Dewan Arktik terbentuk masih terjadi eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta militerisasi di kawasan Arktik yang menyebabkan dampak pemanasan global tidak berkurang di kawasan ini? Pertanyaan selanjutnya adalah Mengapa negara-negara anggota Dewan Arktik tidak dapat memenuhi komitmen awal pembentukannya?
ABSTRACT
Global warming is one of the indicator that the earth, to some extent, requires greater attention than it does before. On the issue of global warming, the Arctic has become one of the regions that has attracted global attention because of the greatest global warming effect could be seen in this region. On 1996, a cooperation forum, named the Arctic Council, was created. The main purposes of this forum are to protect the environment, to conserve the stored natural resources, and to manage sustainable development for people in Arctic. After nearly 24 years of its establishment, the Arctic condition is even more alarming. The layer of ice that was originally thick has become thinner as the earth's temperature increases. The natural resources contained in this region are also starting to diminish, but not for the good of Arctic society. Using the regional security complex theory, this research will analyze the factors that influence the formation of this forum, as well as the reasons for the inability of the Arctic Council forum to achieve its goals. The question that needs to be answered in this research is: Why is it that after the Arctic Council was establish there was still natural resources excessive exploitation and the militarization in the Arctic region that caused the effects of global warming to not diminish in this region? The next question is, why can't the members of the Arctic Council meet their commitments to establish the forum?.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan Djalal
Abstrak :
ABSTRAKk
Wacana pemekaran Kota Sofifi merupakan kasus yang berujung pada potensi konflik pengelolaan sumber daya alam. Di lihat dari dana perimbangan dengan visi misi pemerintah daerah yang memprioritaskan peningkatan perekonomian berbasis pertanian dan kurang optimalnya tenaga penyuluh merupakan kesenjangan yang mengarah pada potensi konflik pengelolaan sumber daya alam. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif sebagai metode yang mengetahui potensi pendapatan asli daerah dari sumber daya alam wacana Pemekaran Kota Sofifi, dengan melakukan perbandingan besar potensi sumber daya alam wilayah 4 (empat) Kecamatan Pulau Halmahera. Hasil penelitian ditemukan 4 (empat) kecamatan wacana pemekaran Kota Sofifi memiliki potensi sumber daya alam yang bernilai tinggi dengan wilayah daratan yang luas dimungkinkan pengembangan jangka panjang daerah tersebut berkembang dengan cepat. Konsep pemecahan sudah dilakukan akan tetapi pemecahan hanya bersifat kesepakatan antara pemerintah induk Kota Tidore Kepulauan dan pemerintah Provinsi. Kesepakatan yang dilakukan menghasilkan solusi dan menetapkan 1 (satu) kecamatan Oba Utara sebagai daerah secara administrasi layak dimekarkan. Dengan melihat titik permasalahan baru di 3 (tiga) kecamatan dimungkinkan berdampak pada potensi konflik pengelolaan SDA wacana pemekaran Kota Sofifi. Dari hasil observasi lapangan, penulis menawarkan formulasi model sebagai langkah pemecahan masalah potensi konflik pengelolaan SDA yang didalamnya menjelaskan pembangunan kapasitas, transformasi, negosiasi dan solusi sebagai rumusan langkah-langkah kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat wacana pemekaran.
ABSTRAK
The public view of autonomus City of Sofifi is a case which potentially lead to natural resources management conflict. By comparing equalization centreregional fiscal transfer with regional government vision and mission which prioritize agricultural-based economic development and extension workers who did not work optimally made disparity and potentially led to natural resources management conflict. This research used descriptive qualitative method to know local income from natural resources by comparing the potential natural resources in four districts in Halmahera Island. The result of the study indicated that in four districts have great value of potential natural resouces and vast area of land which can hasten the long term regional development. A resolution concept had been made however this concept was temporary solution between the central government of Tidore Islands Regency and provincial government. The number of conflicts had been descended from the previous situation where each governments insisted on different interest. The settlement had been reached, one district, North Oba, is administratively passed as autonomous region. The people in three districts felt disappointed at government decision. As the result, this decision can lead to the new problem of natural resources management conflict in those three districts. Based on field observation, writer suggests a model of formulation to resolve the problem caused by the public view of natural resources management. The model also included capacity building, transformation, negotiation, and solution as formulation of settlement steps between govenment and society
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12   >>