Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Barnes, John A.
"Analyzes what made Kennedy, both before and during his Presidency, a unique and dominant force who would serve as the standard by which future leaders would be judged."
New York: American Management Association, 2005
e20441821
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Firdha Amelia
"Tema LGBT, khususnya gay atau boys love, marak diangkat untuk drama serta film Korea Selatan akhir-akhir ini. Beberapa di antaranya mengisahkan perjuangan kaum gay untuk bisa hidup bebas menunjukkan identitas mereka serta terhindar dari stigma negatif dan diskriminasi yang dilayangkan oleh masyarakat. Piteopaenui Kkum dipilih oleh penulis sebagai film yang mewakili representasi identitas kaum gay di Korea Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan representasi identitas gay dalam film Piteopaenui Kkum. Identitas kaum gay yang terdapat dalam film Piteopaenui Kkum diperoleh dengan menggunakan semiotika model John Fiske melalui metode analisis deskriptif. Penulis menganalisis para tokoh dalam film dengan menggunakan teori penokohan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film pendek Piteopaenui Kkum merepresentasikan identitas kaum gay yang sulit mengekspresikan diri, mengalami perundungan secara fisik dan verbal, dan mendapat label stereotip yang cenderung buruk sehingga pada akhirnya kedua tokoh utama ini menyerah pada keadaan dengan mengorbankan hubungan mereka.

LGBT themes, especially gay or boys love, have been widely used in South Korean dramas and films recently. Some of them tell the story of the struggle of gay people to be able to live freely, show their identity and avoid negative stigma and discrimination posted by the community. Piteopaenui Kkum was chosen by the writer as a film that represents the representation of gay identity in South Korea. The purpose of this study is to describe the representation of gay identity in the film Piteopaenui Kkum. The identity of the gay people in the film Piteopaenui Kkum is obtained by using the semiotic model of John Fiske through descriptive analysis method. The author analyzes the characters in the film by using the theory of characterization. The results show that the short film Piteopaenui Kkum represents the identity of gay people who find it difficult to express themselves, experience physical and verbal abuse, and get stereotyped labels that tend to be bad so that in the end these two main characters give up on the situation at the expense of their relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pranti Sayekti
"Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi, nilai-nilai, falsafah, norma, tradisi atau kebiasaan dan keyakinan bersama menjadi pedoman berpikir, berperilaku dan bertindak seluruh anggota organisasi dalam mencapai tujuan tertentu serta memecahkan masalah adaptasi eksternal dan interaksi internal (Deal dan Kennedy, 1982; Senge, 1990; Hofstede, 1991; Schein, 1992; Robbins, 1994). Budaya organisasi merupakan produk dari interaksi antara fungsi-fungsi manajerial yaitu perilaku, struktur, dan proses organisasi dan dengan lingkungan yang lebih luas dimana organisasi itu berada. Budaya yang hidup dalam setiap organisasi mencerminkan keadaan perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan kegiatan pengendalian manajerial. Dalam beberapa kenyataan menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai peran signifikan terhadap kinerja perusahaan terutama yang bergerak di bidang jasa periklanan seperti JWT AdForce. Namun yang menjadi permasalahan pokok di sini adalah apakah JWT AdForce memiliki budaya yang kuat, budaya yang secara strategis cocok dan budaya yang adaptif?
Teori yang penulis gunakan sebagai landasan awal penelitian ini adalah menggunakan tiga pendekatan budaya organisasi yaitu teori I, teori 11, teori III (Kotter dan Heskett). Teori ini memfokuskan pada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan yang terefleksi dalam perilaku organisasi, struktur organisasi dan proses organisasi.
Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif, karena penulis ingin mendeskripsikan tentang bagaimana budaya organisasi JWT AdForce sebagai sebuah perusahaan periklanan global yang berkinerja solid, mendeskripsikan tentang bagaimana karakteristik budayanya dan bagaimana hubungan sosial diantara anggota organisasi mampu memberikan dorongan kepada karyawan untuk melakukan suatu hubungan kerja. Temuan lapangan menunjukkan bahwa ada dua bentuk hubungan yang terjadi dalam manajemen yaitu hubungan kerja dan hubungan non kerja (hubungan sosial). Kedua pola hubungan ini sangat berbeda namun hubungan sosial mampu memberikan dorongan kepada para karyawan dalam melakukan suatu hubungan kerja. Hubungan sosial yang terjalin dengan baik ini akan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif. Dengan demikian hubungan sosial tidak dapat terlepas dari hubungan kerja antar anggota organisasi, tanpa adanya hubungan sosial yang terjalin secara baik dapat mengganggu kekompakan para karyawan dalam bekerja, masing-masing karyawan akan cenderung lebih bersifat individual sehingga akan berpengaruh pada kekuatan tim work dalam bekerja.
Kesimpulan didasarkan atas hasil analisis pada budaya organisasi JWT AdForce yang terefleksi pada perilaku organisasi, struktur organisasi dan proses organisasi dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui teknik observasi partisipatif, dan dengan metode wawancara tak berstruktur, wawancara mendalam, data statistik, media masa yang mempunyai keterkaitan, dokumentasi yang relevan, literatur dan hasil penelitian yang terkait. Untuk mendapatkan data yang valid, peneliti menggunakan trianggulasi dan pendekatan emik-etik. Analisis didasarkan pada reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan yang kemudian disusun menjadi laporan penelitian berdasarkan pemahaman antara peneliti dan subjek yang diteliti.
Temuan lapangan menghasilkan implikasi teoritik terhadap teori yang peneliti gunakan. Kondisi budaya JWT AdForce relevan dengan teori budaya organisasi Kotter dan Haskell, hal ini dapat dijelaskan dari sifat karakteristik budaya yang dimiliki JWT AdForce, pertama, 3WT AdForce memiliki budaya yang kuat karena adanya konsistensi anggota organisasi dalam menganut nilai-nilai yang ada dalam manajemen. Nilai-nilai tersebut dihayati dan dirasakan secara luas oleh semua anggota organisasi dan memberikan tekanan kuat untuk diikuti oleh anggota organisasinya.
Budaya yang dimiliki oleh JWT AdForce mampu menyelaraskan dan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih unggul. Kedua, karakteristik budaya JWT AdForce relevan dengan teori kedua Kotter dan Haskell bahwa JWT AdForce memiliki budaya yang secara strategis cocok. Budaya JWT AdForce berhasil memperoleh kecocokan strategi baik secara internal (memiliki strategi yang cocok untuk diterapkan dalam tubuh organisasi) maupun eksternal (strategi yang diterapkan mampu memberikan peningkatan kinerja perusahaan).
Ketiga, teori budaya organisasi III Kotter dan Heskett relevan untuk memahami keadaptifan budaya 3WT AdForce, dimana dalam budaya yang adaptif para pimpinan sangat mempedulikan konstituensi kunci yakni pelanggan, pemegang saham dan karyawan. Hal ini juga tercermin dalam budaya yang dimiliki JWT AdForce. Selain para pimpinan peduli terhadap konstituensi kuncinya juga sangat menghargai orang dan proses dalam menciptakan perubahan yang bermanfaat dan para pimpinan juga memberikan perhatian secara cermat kepada mereka terutama kepada pelanggan dan melakukan perubahan jika diperlukan walaupun harus mengambil resiko."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isaias Futwembun
"Among America's foremost Naturalists and Transcendentalists, only Emerson and Thoreau are recognized and respected as the greatest and most influential pioneers in America's environmental movement until the present. The name of John Muir has to subdue to the two names in the collective memories of contemporary Americans.
This thesis argues against the above proposition and aims to present John Muir as the greatest and most influential pioneer in America's environmental movement. With his radical, consistent an intensive opposition toward the anthropocentric Transcendentalism and pro-Genesis Western (American) civilization that encourage the mastership of man over nature by means of technology, at the cost of the environment, John Muir, a preservationist offered an alternative civilization with more deep-ecological approach toward nature. Nature was considered as home, university, religion, fountain of civilization, however the most important of all it had equal right and dignity with man. Only in this way the human (America's) civilization will survive."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Minderop, Albertine
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini didasari oleh minat saya untuk meneliti ajaran-ajaran Ralph Waldo Emerson tentang kepemimpinan serta refleksinya dalam kebijaksanaan politik presiden John F.Kennedy khusus terhadap warga negara Kulit Hitam. Emerson adalah seorang sastrawan, moralis Amerika yang banyak menulis tentang hakikat manusia, intelektual, pemimpin, serta kepemimpinan, dan bahkan sampai pada kepemimpinan seorang presiden. Semua ini bertitik tolak pada pemikirannya tentang manusia utuh. John Fitzgerald Kennedy adalah seorang presiden Amerika yang terkenal, antara lain, karena kebijaksanaan politiknya terhadap warga negara Kulit Hitam.
Untuk membatasi ruang lingkup tesis ini saya hanya membatasi dan memfokuskan penelitian pada pandangan dan pemikiran Emerson tentang hal-hal yang saya sebutkan di atas, juga pandangannya terhadap orang Hitam. Demikian pula penelitian terhadap kebijaksanaan politik Kennedy hanya terbatas pada kebijaksanaannya terhadap orang Hitam.
Setelah saya membaca buku-buku mengenai Emerson dan Kennedy, saya menemukan adanya persesuaian pandangan antara kedua tokoh ini dalam masalah orang Hitam di Amerika. Dalam karya Emerson pandangan tersebut ditampilkan secara ideolagi, yang akan disampaikan dalam bab II. Sedangkan Kennedy, menampilkan pandangan tersebut secara praktis melalui kebijaksanaan politiknya.
Adapun tesis skripsi ini adalah: ide Emerson tentang manusia utuh tercermin dalam kebijaksanaan politik presiden Kennedy yang berintikan, demokrasi, kebebasan, dan persamaan. Kebijaksanaan politik yang dimaksud adalah, persamaan hak terhadap orang Hitam dalam lapangan kerja, sarana umum dan pemikiran, pendidikan, dan hak sipil.
Pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan sastra, sejarah, politik, dan filsafat. Pendekatan sastra digunakan karena saya membahas karya sastra Emerson. Pendekatan sejarah saya gunakan untuk mengumpulkan data, berupa peristiwa yang melukiskan kebijaksanaan presiden Kennedy terhadap orang Hitam. Pendekatan yang saya anggap paling penting di sini adalah pendekatan politik dan filsafat sesuai dengan judul skripsi dan tesis. Sehubungan dengan pendekatan ini, maka saya menggunakan kerangka teori sebagai berikut.
Kerangka teori yang dimaksud adalah, filsafat manusia, politik, dan filsafat politik Amerika. Teori filsafat manusia saya gunakan untuk membahas pemikiran Emerson tentang manusia utuh, teori politik digunakan untuk membahas kedudukan Kennedy sebagai presiden Amerika, dan teori filsafat politik Amerika saya gunakan untuk membahas inti dari pemikiran Emerson dan kebijaksanaan politik Kennedy, yaitu demokrasi, kebebasan, dan persamaan. Agar lebih jelas mengenai kerangka teori ini, saya sampaikan penjabarannya dalam sub-bab kerangka teori."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Busman D.S.
"BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia merasa puas ketika memperoleh pembenaran atas peminggiran jenis kelamin tertentu. Namun, pada saat yang hampir bersamaan muncul kecemasan dan kekecewaan dalam hidup. Manusia belajar bahwa begitu banyak perbuatan jahat yang ada di dunia, tidak ada gunanya menambah daftar kejahatan yang mereka lakukan sendiri atas dasar dengki dari prasangka terhadap satu sama lainnya. Karena itu buatlah hidup bernilai untuk setiap individu. "... makes life valuable to the individual human being." Kurang lebih demikian ungkapan John Stuart Mill (1988, h. 108-109) yang sarat muatan filosofis tentang pandangannya mengenai keberadaan manusia jika dikaitkan dengan manusia lain. Pandangannya ini menyiratkan suatu kegalauan bahwa tidak semestinya terjadi diskriminasi antara satu jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu.
Argumen supremasi atas perempuan boleh dikata berlaku di berbagai belahan dunia ini, yaitu keyakinan bahwa kaum laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Kondisi itu lambat laun menjadi alasan klasik atas penindasan hak-hak perempuan. Berbagai upaya ditempuh untuk keluar dari masalah itu, baik oleh kalangan feminis maupun pemerhati masalah-masalah perempuan lainnya. Upaya yang dilakukan bukanlah untuk menyamai laki-laki dalam anti biologis, psikologis, dan sosiologis, melainkan untuk memungkinkan perempuan bertindak atas pilihan bebas dan sadar sebagaimana dimiliki kaum laki-laki. Bahwa perempuan tersebut kemudian memilih peran tradisionalnya atau malah peran baru bukanlah menjadi persoalan. Yang penting ialah bahwa perempuan mempunyai kekerasan untuk menentukan pilihan dan putusannya sendiri.
Pengalaman saat melahirkan, memberikan kehidupan bagi makhluk-makhluk kecil yang amat mereka sayangi, dan ketakutan akan kekerasan menurut Arivia (1996, h. 3) barangkali merupakan pengalaman yang betul-betul dirasakan perempuan secara universal. Pengalaman ini berlangsung dalam sejarah perkembangan budaya dan pemikiran manusia. Diskriminasi dalam bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Berabad-abad lamanya perempuan telah terbiasa diperlakukan kasar, tidak berguna, dan inferior oleh keluarganya, masyarakat, sekelilingnya, kekasih maupun suaminya.
Celakanya, para ilmuwan atau filsuf sekalipun banyak berteori membenarkan alasan mereka mengapa perempuan harus ditindas. Aristoteles misalnya yang mengatakan bahwa perempuan itu setengah manusia, dikategorikan sebagai anak-anak, belum dewasa sehingga tidak mungkin menjadi pemimpin. Demikian halnya Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perempuan secara psikologis tidak matang, karena mempunyai kecemburuan terhadap penis (penis envy), dan masih banyak lagi ilmuwan yang berusaha lewat teori-teori baru sebisa mereka menyepelekan perempuan. Jadi secara historis memang perempuan telah diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua.
Gagasan John Stuart Mill (selanjutnya disingkat Mill) sebagai filsuf sekaligus feminis laki-laki tentang keberadaan perempuan khususnya mengenai persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti. Pada gagasan tersebut kita akan melihat bahwa dasar pemikiran feminisme liberal yang dianut Mill adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi sehingga mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.
Penulisan tentang filsuf terkenal seperti John Stuart Mill sebagai laki-laki pertama yang menuangkan karya besarnya tentang teori-teori feminis yang secara umum diperhitungkan sebagai teori besar dalam tradisi politik Barat terasa masih kurang. Umumnya hanya melihat dari aspek kepentingan sosial dan politik bagi kaum laki-laki, padahal Mill dan karyanya memainkan peran penting dalam memajukan persamaan hak perempuan di Inggris pada abad ke-19. The Subjection of Women, sebagai bentuk penuangan gagasan Mill dianggap sebagai salah satu karya terbesarnya. Dalam karyanya ini terwakili argumen-argumen Mill yang ada pada karya sebelumya seperti On Liberty, Utilitarianism, Considerations on Representative Government, dan teori-teori sosial-politik lainnya.
Menuliskan gagasan tentang persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki tergolong berat, karena tidak semudah menuangkan gagasan tentang politik. Mill mengungkapkan bahwa bagaimana perempuan direndahkan dan didiskriminasikan telah lama mengganggu pikirannya tetapi baru sekarang ia mempunyai perasaan kuat?."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T14592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Delliana M.
"Serikat selalu mencampuri urusan dalam negeri Kuba. Para presiden Kuba adalah orang-orang yang dekat dengan Amerika Serikat. Mereka selain menjalankan pemerintahan juga melindungi aset-aset rnilik Amerika Serikat di Kuba. Selain itu para presiden Kuba sangat senang melakukan korupsi dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Tetapi biasanya mereka tidak bertahan lama karena rakyat sangat tidak suka dengan mereka dan kemudian melakukan pemberontakan. Masalah ini terus terjadi hingga Fidel Castro mengambil alih kepemimpinan. Fidel Castro yang menjadi presiden Kuba pada tahun 1960 adalah orang yang sangat tidak suka dengan Arnerika Serikat, Untuk menghindari Amerika Serikat kembali berkuasa di Kuba ia menolak menerima bantuan dari Arnerika Serikat. Sebaliknya ia rnenerima bantuan dari Uni Soviet. Selain itu ia menyita aset-aset milik Amerika Serikat di Kuba yang membuat pemerintah Amerika Serikat marah dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba. Kedekatan pemerintah Kuba dengan Uni Soviet membuat pemerintah Amerika Serikat menjadi panik dan kemudian menyusun rencana untuk menjatuhkan Fidel Castro. Pemerintah Amerika Serikat kemudian mengumpulkan para pengungsi Kuba di daerah Florida untuk dilatih menjadi tentara pemberontak dan akan menyerang Kuba. Rcncana ini dijalankan pada tahun 1961 pada masa pemerintahan Presiden John F. Kennedy. Tetap serangan ini berhasil digagalkan oleh pasukan Fidel Castro."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S12441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Basari
"Dari uraian latar belakang masalah tersebut akan muncul beberapa pokok permasalahan. Pertama, bagaimanakah pokok-pokok pemikiran John Locke mengenai hak-hak yang inherent pada manusia dan mengapa pemikiran Locke tersebut dikatakan sebagai prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia ? Kedua, bagaimanakah hakikat negara menurut John Locke ? Ketiga, bagaimana hubungan negara dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak asasi Manusia tersebut dan mengapa perlindungan mengenai hak-hak tersebut dijadikan dasar bagi filsafat politik John Locke dalam membahas mengenai kekuasaan dan hukum suatu negara ?Dari uraian pokok-pokok permasalahan yang muncul di atas maka secara singkat dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dasar pemikiran John Locke mengenai hak-hak manusia yang kemudian menjadi dasar pemahaman bagi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia? 2. Bagaimanakah hubungan negara dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia dalam pemikiran John Locke ? 3. Mengapa negara mempunyai kaitan dengan perlindungan prinsip-prinsip Hak-Hak Asasi Manusia ?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rahmadani
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S.Panata Harianja
"Pluralitas dalam masyarakat adalah sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Selain menjadi kekayaan bagi sebuah masyarakat, keberadaan pluralitas ternyata juga memicu ketegangan dan bahkan konflik karena ketidaksetujuan (disagreement) atas nama suatu klaim kebenaran. Berbagai pemikiran mencoba merespon problem pluralitas tersebut, di antaranya adalah konsep toleransi klasik yang biasanya merujuk pada John Locke dengan bukunya yang berjudul A Letter Concerning Toleration. Penelitian ini menganalisis teks John Locke itu dengan metode hermeneutika Gadamer dan bantuan konsep komponen toleransi dari Rainer Forst. Konsep toleransi klasik Lockean digagas untuk mengabolisi intoleransi dalam konteks konflik keagamaan pada abad ke 17. Locke melihat manusia beragama punya kencerderungan bersikap ortodoks yang merupakan pintu menuju sikap intoleran. Susunan argumen Locke ini dirancang untuk menegaskan bahwa intoleransi adalah hal irasional. Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa konsep toleransi klasik Lockean masih memliki potensi relevansi bagi masyarakat plural karena sifat pragmatiknya dan karena pluralitas akan selalu menghadirkan disagreement. Dalam masyarakat plural yang dinamis diperlukan pluralitas pemikiran dan konsep toleransi klasik Lockean adalah salah satunya.

Plurality is something inevitable in today's society. Besides being a great treasure to a society, the existence of society itself actually triggers tension and even conflicts because of disagreements made in the name of a claimed truth. A number of thoughts have tried to respond to this problem regarding plurality; one among them is the concept of classic tolerance that usually refers to John Locke with his book A Letter Concerning Toleration. This research analyzes John Locke’s text with Gadamer’s hermeneutic method and with the help of Rainer Forst’s concept of components of toleration. The Lockean concept of classic tolerance was created to abolish intolerance in the context of religious conflicts in the 17th century. Locke saw that religious people had a tendency to be orthodox in nature, often leading to an intolerant attitude. This argument of Locke’s was used to highlight how intolerance is something irrational. This research also aims to show that the Lockean concept of classic tolerance still holds potential relevance for pluralistic societies because of its pragmatic nature, and because disagreements will always find its way in plurality. A dynamic plural society requires a plurality of thoughts, and the Lockean concept of classic tolerance is one of them."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>