Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pramudyo Abdul Azis Sukodono
"Lingkungan hidup telah menjadi isu global pada abad 21 ini. Perdagangan internasional banyak diwarnai oleh isu lingkungan hidup. Kesadaran masyarakat
internasional tentang pentingnya melestarikan fungsi lingkungan telah mempengaruhi cara pandang mereka dalam melakukan transaksi perdagangan
antar bangsa. Pelestarian fungsi lingkungan dijadikan pertimbangan/tolok ukur oleh masyarakat internasional (negara-negara maju) untuk menerima atau menolak suatu produk barang memasuki pasar mereka. Produk barang yang ditengarai merusak lingkungan sudah pasti akan terkena embargo/sanksi dagang. Kini keunggulan suatu produk semata-mata tidak lagi dilihat dari mutu produk itu sendiri, melainkan dilihat pula dampak lingkungan dari pembuatan produk tersebut. Isu lingkungan hidup yang dikaitkan dengan perdagangan intemaslanal ini jelas akan merepotkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana standar mutu iingkungannya masih jauh berada di bawah standar mutu lingkungan negara-negara maju. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan devisa dari sektor non-migas. Caranya dengan mengekspor sebanyak mungkin produk barang ke manca negara,
terutama ke negara-negara maju. Dengan adanya isu lingkungan hidup ini,
maka mau tidak mau pemerintah dan pelaku bisnis di Indonesia harus menyikapinya dengan arif dan bijaksana. Pelaku bisnis di Indonesia harus bersikap proaktif menghadapi perkembangan ini apabila ingin menembus pasaran internasional. Sikap proaktif yang dimaksud ialah menerapkan audit lingkungan. Audit lingkungan akan memberikan nilai tambah bagi pelaku bisnis Indonesia di mata konsumen internasional. Mereka akan menilai bahwa pelaku bisnis di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk melestarikan fungsi lingkungan. Hal ini jelas sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana dinyatakan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh generasi masa kini harus dilakukan sedemikian rupa tanpa mengurangi kemampuan generasi masa mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Penerapan audit lingkungan akan meningkatkan citra positif pelaku bisnis Indonesia di dunia internasional dan otomatis hal ini akan memudahkan produk barang buatan Indonesia melakukan perietrasi pasar internasional. Mulai saat ini pelaku bisnis di Indonesia harus disadarkan bahwa dalam rangka mengantisipasi era perdagangan babas, isu lingkungan dapat menjadi kendala untuk bersaing di pasaran internasional. Untuk memenangkan persaingan di pasaran internasional maka pelaku bisnis di Indonesia harus melakukan efisiensi secara total. Audit lingkungan merupakan salah satu cara untuk melakukan efisiensi. Dengan efisiensi ini maka pelaku bisnis sekaligus dapat menghemat biaya, menghemat energi, menghemat sumber daya alam/ bahan baku, mengurangi limbah buangan, mengurangi pencemaran lingkungan dan pada akhirnya akan melestarikan fungsi lingkungan. Melestarikan fungsi lingkungan berarti mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara nyata untuk masa depan yang tak terbatas.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Elvira
"Latar belakang Kuman patogen yang paling sering diisolasi dari feses anak dengan diare berdarah di negara berkembang adalah Shigella spp. Proporsi shgellosis terhadap diare berdarah berkisar antara 18,3-50%. Namun spektrum klinis shgellosis sangat luas mulai dari diare akut cair, diare berdarah, diare persisten dengan berbagai komplikasi. Sejauh pengetahuan dan penelusuran literatur oleh peneliti, sejak tahun 1985 belum ada penelitian yang menggambarkan besaran masalah dan gambaran klinis shigellosis pada anak balita di masyarakat di Indonesia.
Metode dan subyek: Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang dengan populasi terjangkau adalah anak balita (0-59 bulan) dengan diare akut yang berobat di Puskesmas Kecamatan lobar Baru, Senen, Kemayoran, dan Tebet. Setelah mendapatkan persetujuan dari orangtua maka dilakukan anamnesis tentang gejala klinis, ditentukan status gizi dan derajat dehidxasi, serta pada subyek penelitian diambil sampel feses untuk kultur lases. Kultur feses dilanjutkan dengan uji resistensi bila didapatkan Shigelta spp.
Hasil: Sebanyak 475 subyek diare akut diikutsertakan dalam penelitian Hanya ditemukan 12 kasus diare berdarah dengan persentasi 2,5% dari seluruh diare akut. Proporsi shigellosis dari seluruh kasus diare akut pada penelitian ini hanya sebesar 0,6°x,1/12 kasus diare berdarah. Ketiga subyek diare akut dengan Shigelia spp positif, semuanya menunjukkan gejala demam tetapi tidak terdapat muntah. Hanya dua strain yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu Shigella sonnei dan ShigeIla flexneri. Ketiga kuman Shigella spp tersebut resisten terhadap kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasildin. Kedua ShigelIa sonnei pada penelitian ini masih sensitif terhadap ampisillin dan amoksisilin, tidak demikian halnya dengan Sliigella flexneri. Ketiga kuman ShigeIta spp tersebut masih sensitif terhadap asam nalidiksat, kloramfenikol, sefiksi n, dan siprofloksasin.
Kesimpulan: Proporsi shigellosis pada anak balita di masyarakat yang didapatkan dari penelitian ini sangat kecil sehingga tidak dapat disimpulkan gambaran klinis shigellosis yang khas pada anak balita dan gambaran pola strain Shigella setempat serta resistensinya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Suryani
"Industri pulp dan kertas adalah industri yang banyak menggunakan air untuk kegiatan proses produksinya yaitu antara 40-200 m3/ton produk. Untuk memproduksi 1 ton pulp, sebuah pabrik membutuhkan 4-5 m3 kayu. Untuk memenuhi kebutuhan kayu dan menjamin ketersediaan kayu, industri pulp dan kertas diwajibkan mempunyai Hutan Tanaman Industri (HTI) sebelum pabrik beroperasi. Tetapi pada umumnya pihak industri lebih memilih menggunakan kayu dari hutan alam yang lebih murah apabila dibandingkan dengan HTI. Hal tersebut akan menyebabkan meningkatkan laju kerusakan hutan.
Penggunaan bahan baku kayu untuk membuat kertas boros penggunaan air dan beban pencemarannya tinggi. Penggunaan bahan baku kayu untuk bahan baku kertas akan meningkatkan laju kerusakan hutan jika industri tidak memiliki HTI sendiri. Terbatasnya sumber daya alam (air dan kayu) mendorong perusahaan mengubah bahan bakunya dari campuran kayu dan kertas bekas menjadi 100% kertas bekas.
Penelitian ini bertujuan: (1) Mengkaji berapa pohon yang dapat dihemat setelah dilakukan penggantian bahan baku kertas. (2) Mengkaji penurunan beban pencemaran akibat penggantian bahan baku kertas. (3) Menghitung penghematan biaya pengolahan air limbah setelah dilakukan perubahan bahan baku kertas. (4) Mengetahui manfaat lingkungan (pengurangan pencemaran berupa bau dan kekeruhan pada air sungai dan bau pada udara ambien) bagi masyarakat setelah penggantian bahan baku kertas.
Hasil perhitungan menunjukkan terjadi penghematan air dan kayu serta penurunan beban pencemaran dengan dilakukannya perubahan bahan baku dari bahan baku campuran kayu dan kertas bekas menjadi bahan baku 100% kertas bekas. Selain itu juga terjadi penurunan pada biaya pengolahan air limbah dan biaya pembuangan air limbah serta membawa manfaat yang posit-if bagi lingkungan masyarakat sekitar khususnya masyarakat sekitar sungai tempat pembuangan air limbah dad PT. KBT."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kim, Young Soo
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Kalsum Supardi
"Pendahuluan : Tuberkulosis merupakan permasalahan kesehatan global yang telah menjadi perhatian dunia selama 2 dekade terakhir (WHO, 2015). Indonesia merupakan penyumbang TB nomor dua sedunia dengan estimasi insiden 1.020.000 dan estimasi kematian 110.000 (WHO, 2017). Penyakit menular ini menginfeksi hampir seluruh dunia dan menyerang seluruh kelompok umur baik anak-anak, dewasa, maupun lansia. Proporsi kasus pada kelompok umur ≥15 tahun sebesar 90% selebihnyanya 10% kasusnya pada anak-anak (Kemenkes RI 2013). Determinan penyakit TB paru adalah kependudukan dan faktor lingkungan. Kependudukan meliputi jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban (Achmadi UF, 2008). Berdasarkan data secara nasional menunjukkan sebesar 24,9% rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat (RISKESDAS 2010). Tingginya beban penyakit TB paru masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama Indonesia. Namun faktor risiko penularan dari segi lingkungan belum banyak diperhatikan. Hal ini di indikasi dengan kurangnya keberadaan rumah sehat (Mahmuda, 2010). Prevalensi TB ditemukan menjadi yang tertinggi di antara orang tua, tidak ada pendidikan dan anggota keluarga yang secara teratur terpapar asap rokok di dalam rumah lebih rentan terkena TB dibandingkan dengan rumah tangga di mana orang tidak merokok di dalam rumah. Ada beberapa faktor risiko yang sangat terkait dengan TB : asap di dalam rumah, jenis memasak bahan bakar, dapur terpisah, lantai, atap dan bahan dinding, jumlah orang yang tidur di kamar, berbagi toilet dan minum air dengan rumah tangga lain; dan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, pencapaian pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal dan indeks kekayaan. Inilah mengapa lingkungan yang bersih harus dipromosikan untuk menghilangkan TB (Singh, Kashyap, and Puri 2018). maka peneliti merasa perlu mengkaji hubungan lingkungan rumah terhadap kejadian TB paru pada individu usia ≥15 tahun dengan mempertimbangkan peranan faktor risiko lain yang tidak dapat dikesampingkan yang juga berhubungan terhadap kejadian TB paru. Metode : Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Sebanyak 56.198 individu usia ≥15 tahun menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh dari Mandat Litbangkes RI dan dianalisis menggunakan uji Regresi Logistik. Hasil : Risiko lingkungan rumah tidak sehat 1,3 kali lebih besar terhadap kejadian TB paru pada individu Usia ≥15 tahun dibandingkan dengan individu yang memiliki lingkungan rumah sehat (POR=1,3 : 95% CI 1,010-1,560). Kesimpulan : Kolaborasi jangka panjang (Subdit TB dengan Dinas PUPNR) mengenai kebijakan dan pemberian (IMB) diperlukan untuk mengurangi pembangunan tanpa didahului studi kelayakan berwawasan lingkungan rumah sehat seperti penerapan (AMDAL), rancangan Plan Of Action/framework dan Kolaborasi layanan di tingkat kader TB yang selanjutnya ke tingkat FKTP semakin diperkuat, serta perlu dipertimbangkan kembali untuk melaksanakan program penemuan active case finding khususnya pada individu yang memiliki lingkungan rumah tidak sehat.

Introduction : Tuberculosis is a global health problem that has become a worldwide concern for the past 2 decades (WHO, 2015). Indonesia is the number two contributor to TB worldwide with an estimated incidence of 1,020,000 and estimated deaths of 110,000 (WHO, 2017). This infectious disease infects almost the entire world and attacks all age groups both children, adults, and the elderly. The proportion of cases in the ≥15 year age group is 90%, the remaining 10% of cases are in children (Ministry of Health RI, 2013). Determinants of pulmonary TB disease are population and environmental factors. Population includes gender, age, nutritional status, socio-economic conditions. While environmental factors include occupancy density, house floors, ventilation, lighting, humidity (Achmadi UF, 2008). Based on national data, 24.9% of the houses in Indonesia are classified as healthy houses (RISKESDAS 2010). The high burden of pulmonary TB disease is still a global health problem, especially in Indonesia. However, the risk factors for transmission in the environment have not been much noticed. This is indicated by the lack of a healthy home (Mahmuda, 2010). The prevalence of TB is found to be the highest among parents, there is no education and family members who are regularly exposed to cigarette smoke in homes are more susceptible to TB than households where people do not smoke inside the house. There are several risk factors that are strongly associated with TB: smoke in the house, type of cooking fuel, separate kitchens, floors, roofs and wall
materials, the number of people sleeping in rooms, sharing toilets and drinking water with other households; and individual characteristics such as age, gender, educational attainment, marital status, place of residence and wealth index. This is why a clean environment must be promoted to eliminate TB (Singh, Kashyap, and Puri 2018). the researchers felt that it was necessary to examine the relationship of the home environment to the incidence of pulmonary TB in individuals aged ≥15 years taking into account the role of other risk factors that cannot be excluded which also relate to the incidence of pulmonary tuberculosis. Method : This study used cross-sectional design. Sample were 56,198 Individuals ≥15 Years Old. Data was obtained from the Indonesian Litbangkes and analyzed using the Logistic Regression. Result : The risk of unhealthy home environment is 1.3 times greater for the incidence of pulmonary tuberculosis in individuals ≥15 years of age compared to individuals who have a Long-term collaboration (TB Sub district with Public Works Agency) on policies and grants (IMB) is needed to reduce development without preceding healthy environment-oriented feasibility studies such as implementation (AMDAL), Plan Of Action/framework and collaborative services at TB cadre Levels. FKTP levels are increasingly strengthened, and need to be reconsidered to implement a program to find active case finding especially for individuals who have an unhealthy home environment.healthy home environment (POR=1,3 : 95% CI 1,010-1,560). "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Ardiansyah
"ISPA menjadi salah satu penyebab kematian pada balita di dunia khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. ISPA dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan rumah, perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk. Tingginya mortalitas ISPA di Kota Depok pada balita menjadikannya perlu dilakukan penelitian terkait kondisi lingkungan rumah dan perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di Kota Depok. Tujuannya untuk mengetahui hubungan faktor-faktor serta faktor apa yang paling dominan terkait kondisi lingkungan rumah dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian ISPA. Penelitian ini berdesain croos sectional dengan populasi penelitian seluruh balita di Kota Depok. Sampel penelitian ini adalah balita berdomisili di Kecamatan Sawangan, Bojong Sari dan Cipayung. Teknik Sampling dalam penelitian ini adalah multistage sampling dengan jumlah 110 anak balita per kecamatannya secara acak. Total sampel 330 balita. Hasilnya variabel dengan nilai p <0,05 yaitu pencahayaan alami p=0,033 (OR=2,474, 95% CI 1,120-5,469), luas ventilasi p=0,005 (OR=2,987, 95% CI 1,804-4,946) dan memasak sambil menggendong anak p=0,002 (OR=2,459, 95% CI 1,426-4,240). Kesimpulan pada penelitian ini adalah ada hubungan pencahayaan alami yang tidak masuk kedalam rumah, ukuran ventilasi <10% luas lantai dan kebiasaan memasak sambil menggendong anak dengan kejadian ISPA di Kota Depok tahun 2019. Luas ventilasi <10% luas lantai merupakan faktor dominan.

ARI is one of the leading causes of death in children in the world, especially developing countries like Indonesia. Factors causing ARI are a problem of the house environment, poor hygiene, and healthy behavior. Mortality rate of ARI in Depok is hight, specifically for cildren under-fives years old, requires research about house environment and behavior associated with ARI in children under five years old. This study aimed to determine the associated of the house environment and behavior with ARI and find the dominant factor. This study used cross-sectional design. The population were children under five years old in Depok. The sample were children under five years old at the Bojongsari, Cipayung, and Sawangan District. Sampling technique was multistage sampling with 110 children/district with a random system. The total sample was 330 children. Result is natural lighting p=0,003 (OR=2,474, 95% CI 1,120-5,469), ventilation area p=0,005 (OR=2,987, 95% CI 1,804-4,946), and cooking while holding the children p=0,002 (OR=2,459, 95% CI 1,426-4,240) have p value <0,05. The conclusion is natural lighting, ventilation size, and cooking while holding the children asociated with ARI in Depok 2019. Ventilation size is the dominant factor for the incidence of ARI in Depok."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T55337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusmiyanti
"This research is intended to know the effect of leadership, environment work and motivation to the performance of employee at Akademi Ilmu Pemasyarakatan. The background of this research is many problems that connected with the performance of employee. By this indication, there are many problem that unbalance.
The researcher use Nash?s theory, Gary Yulk?s theory and John D. Miller?s theory to illustrate about leadership, Alex S.Nitisemito?s theory to illustrate about environment work, Abraham Maslow?s theory to illustrate about motivation and Miner?s theory to illustrate about performance. This research method in used is a survey method. The writer use primary and secondary data. Approach which used in this research is the quantitative research an spread closed questioner to 37 respondents.
Before conducting the analysis, a validity test was conducted on all instruments and reliability test. Verified and reliable data then was analyzed further by using correlation test of t test to determine the relation between leadership-performance, environment work-performance, and motivation-performance. As to determine the relation between leadership, environment work and motivation on performance, F test analysis is used.
From the analysis, it can be concluded that between motivation, there is a high coefficient correlation with correlation 0,380. Between environment work and performace, there is a second coefficient correlation with correlation 0,360. Between motivation and performance there is a third coefficient correlation with correlation 0,253."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25011
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Ka`Bah D. Yanti
"Tesis ini mengungkapkan besarnya pengaruh masing-masing faktor lingkungan dan faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh paling besar pada perilaku konsumsi sagu, serta meninjau dampak perilaku konsumsi sagu pada lingkungan. Metode yang dilakukan adalah metode survei melalui kuesioner dan interview dengan pendekatan deskriptif kuantiatif. Variabel yang diamati adalah pengetahuan (X1), sikap (X2), keterbatasan bahan pangan (X3), harga bahan pangan (X4), nilai gizi pangan (Xs), dan Dukungan Pemerintah (X6), pada variabel perilaku konsumsi individu (Y). Hasil penelitian memperlihatkan untuk wilayah Jakarta besarnya pengaruhuh masing-masing faktor lingkungan adalah pengetahuan (X1) sebesar 52,9%, sikap individu (X2) sebesar 12,4%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 5%, harga bahan pangan (X4) sebesar 17,9%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 7,2%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 9,9%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Jakarta adalah faktor pengetahuan individu. Pada wilayah Papua, pengaruh pengetahuan (X1) sebesar 31,8%, sikap (X2) sebesar 6,2%, keterbatasan bahan pangan (X3) sebesar 66,1%, harga bahan pangan (X4) sebesar 19,1%, nilai gizi bahan pangan (Xs) sebesar 37,8%, dan dukungan pemerintah (X6) sebesar 23,7%. Faktor lingkungan yang dominan pada wilayah Papua adalah faktor keterbatasan bahan pangan. Berdasarkan kajian teori, perilaku konsumsi sagu dapat menjaga kestabilan ketahanan pangan dan menjaga ekosistem lingkungan. Karena tanaman sagu adalah tanaman asli hutan Indonesia yang tersedia cukup melimpah dan dapat tumbuh dilahan marginal basah dan kering. Membudidayakan tanaman sagu berarti menjaga keberlanjutan ekosistem hutan dan lingkungan, sebab tanaman sagu bukan merupakan monokultur. Sagu dapat tumbuh dengan baik bersama tanaman hutan lainnya
This thesis reveals the magnitude of the influence of each environmental factor and the environmental factor that has the greatest influence on sago consumption behavior, and examines the impact of sago consumption behavior on the environment. The method used is a survey method through questionnaires and interviews with a quantitative descriptive approach. The variables observed were knowledge (X1), attitudes (X2), limited food ingredients (X3), food prices (X4), nutritional value of food (Xs), and Government Support (X6), on individual consumption behavior variables (Y) . The results show that for the Jakarta area, the magnitude of the influence of each environmental factor is knowledge (X1) of 52.9%, individual attitudes (X2) of 12.4%, food limitations (X3) of 5%, food prices (X4 ) of 17.9%, the nutritional value of food (Xs) of 7.2%, and government support (X6) of 9.9%. The dominant environmental factor in the Jakarta area is the individual knowledge factor. In the Papua region, the effect of knowledge (X1) is 31.8%, attitude (X2) is 6.2%, limited food ingredients (X3) is 66.1%, food prices (X4) is 19.1%, the value of food nutrition (Xs) of 37.8%, and government support (X6) of 23.7%. The dominant environmental factor in the Papua region is the factor of food shortages. Based on theoretical studies, sago consumption behavior can maintain food security stability and protect environmental ecosystems. Because sago plants are native to Indonesian forests, they are abundantly available and can grow in wet and dry marginal lands. Cultivating sago plants means maintaining the sustainability of forest ecosystems and the environment, because sago palms are not a monoculture. Sago can grow well with other forest plants."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meilati Suryani
"Perilaku caring perawat selainditentukan oleh faktor individu juga didukung oleh lingkungan kerja yang baik. Penelitian ini mengetahui hubungan lingkungan kerja dengan perilaku caring. Jenis penelitian deskriptif korelasi dengan sampel 95 pasien dan 95 perawat. PErsentase perawat yang berperilaku caring tinggi menurut persepsi pasien adalah 53%.
Hasil analisis menggunakan Chi Square menyatakan pengaturan beban kerja dan pengembangan profesional berhubungan dengan perilaku caring (p=0,000). Perawat perlu meningkatkan komppetensi dan komunikasi dengan pasien. Rumah sakit perlu meninjau kembali kebutuhan tenaga dan beban kerja perawat, menjadikan caring sebagai salah satu komponen penilaian kinerja perawat, meningkatkan role model kepala ruangan.

Caring nurse behavior not only determined by individual factor but also supported by good work environment.. This research was to recognize the relationship between work environment and nursing caring behavior according to patient's perception. This is descriptive correlation with 95 patient and 95 nurse as samples. According o patient's perception, as much as 53% of nurse are caring.
The result showed that professional development and workload managemnt are significantly associated with nursing caring behavior (p=0,000). Nurse require to improve communication skill. The hospital require improve head nurse as role model, make caring as component for nursing appraisal performance, asses the need for nursing workloada and staffing."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28396
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Daningrum
"Penyakit chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus. Salah satu faktor penyebaran penyakit chikungunya adalah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dan sosiodemografi dengan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Desa Anyar. Rancangan penelitian ini adalah Kasus Kontrol dengan studi analitik.
Hasil penelitian menyatakan faktor yang berhubungan dengan penyakit chikungunya adalah keberadaan tempat penampungan air, kebersihan lingkungan rumah, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan dan mobilitas. Dari penelitian ini disarankan masyarakat melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk di semua tempat penampungan air baik di dalam maupun di luar rumah.

The Chikungunya disease is a contagious disease caused by a virus and transmitted to a human by mosquito bites of the Aedes albopictus. One of factors in spreading the disease is the environment. This study has an objective on exploring the relationship between environment and socio-demographic factors with the outbreak of Chikungunya at Anyar village. The design of the study is using a Case-Control with analytical study.
The result of the study revealed that factors have relation with the disease of Chikungunya are: the existences of water reservoir, house environment cleanliness, sex, level of education, knowledge, occupation and mobility. It is suggested that the community should always carried out a continuous activities regarding to the Mosquito Breeding-place Eradications (PSN) in all water reservoir both inside and outside of the house.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T41294
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>