Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vernon, Philip E.
London : Methuen, 1972
153.9 VIR i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elliott, David
London: Routledge , 1997
303.483 ELL e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soekisno
"Kearifan tradisional masyarakat desa Tenganan di permukiman yang melestarikan lingkungan hidup, baik lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatannya merupakan dambaan bagi setiap warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Permukiman desa Tenganan adalah salah satu kawasan permukiman tua di Bali, terletak di Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali. Dibangun sebelum masuknya Majapahit ke Bali, dikenal dengan sebutan desa Bali Aga atau Bali Mula, sedangkan desa-desa di Bali lainnya dibangun setelah pengaruh Majapahit berkembang, dan disebut sebagai Bali Dataran, dimana desadesa di Bali Dataran ini merupakan mayoritas kawasan permukiman di Bali sekarang ini.
Sebagai kawasan permukiman, desa Tenganan ini memiliki ciri khas yang tidak ditemui di desa Bali yang lain, yaitu:
1. Masyarakat desa ini memeluk agama Hindu aliran Indra, dengan tradisi berbeda dibandingkan masyarakat Bali pada umumnya.
2. Desa ini memiliki awig awig (peraturan adat) desa Tenganan, yang mengupayakan pelestarian lingkungan hidup.
3. Masyarakat desa ini memiliki keahlian merajut kain dengan teknik dobel ikat, salah satu dari dua desa di dunia yang memiliki keahlian ini, yang dipergunakan untuk keperluan upacara, namun sekarang dalam jumlah terbatas sudah mulai diproduksi untuk konsumsi wisatawan.
Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat desa Tenganan mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup melalui adat dan budaya setempat. Sedangkan manfaat penelitian dapat memberikan masukan pada pengelolaan pariwisata di Bali yang mengembangkan potensi wisata pedesaan, dan dapat mengembangkan pemikiran tentang "etika lingkungan" masyarakat desa Tenganan yang didasarkan pada norma budaya yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai tradisi masyarakat desa Tenganan yang melestarikan fungsi lingkungan hidup masih berjalan hingga saat ini, dan bagaimana persepsi masyarakat desa ini terhadap kegiatan wisata dan teknologi.
Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif, tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, nyata dan akurat, dan mempelajari masalah masalah yang ada di masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam situasi tertentu di masyarakat, termasuk yang harus diamati adalah hubungan, pandangan, kegiatan kegiatan, sikap sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1988: 63-65).
Sampel diambil dan ketiga Banjar Desa yang berpenduduk 605 orang dalam 233 KK, diambil jumlah responden sekitar 10% dari jumlah KK, yaitu sebanyak 26 KK. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, mengingat ketiga banjar merupakan masyarakat desa yang homogen. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara terstruktur, wawancara mendalam, pengambilan foto dan data data primer serta studi literatur. Data data setelah dikelompokkan dianalisa secara deskriptip.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. Awig awig desa Tenganan Pagringsingan yang ditulis kembali tahun 1925 teryata hanya mengatur upaya pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial, sedangkan upaya pelestarian lingkungan buatan tidak tersentuh oleh awig . awig tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan ini, masyarakat desa ini membuat peraturan khusus tentang tata cara perluasan atau perbaikan rumah pada tahun 1987, namun tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena beberapa perubahan fisik tetap dilakukan warga desa.
2. Persepsi masyarakat desa ini terhadap unsur unsur pembaharuan dibidang pendidikan, kesehatan, pariwisata dan teknologi ternyata ditanggapi positif, meskipun disadari bahwa ekses negatip yang muncul akibat kedatangan wisatawan tetap ada.
3. Unsur pendidikan ternyata menjadi unsur pokok yang merubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang melestarikan lingkungan hidup.

The Traditional Discretion and Sustainable Environment (The Case Study at Tenganan Pagringsingan Villages, Karangasem, Bali)The traditional discretion at the habitat which is conserve living environment, weather nature environment, social environment and human made environment is every people deire for getting a better life for him and his family. The traditional villages of Tenganan, is one of oldest habitat area in Bali, they are at Manggis Distract, Karangasem, Bali. Tenganan it was built before the Majapahit people come to Bali which is called as Bali Aga village or Bali Mula, but the other villages in Bali was built after the Majapahit influence have been grown, and called as Bali Dataran, where the Bali Dataran villages is the majority of the habitat area in Bali nowdays.
As the Tenganan villages has a specific caracteristic which is can't found in other village in Bali, that is :
1. The people in this village embraces the Indra Hindus religion, different with the Bali society.
2. This village have awig awig (the traditional rules), which is trying to conserve environment.
3. They have skill todo a textile with a double bundle technique, which one out of two village in the world has this skill, used for the ceremonial. Nowdays, in limited addition have been produce for tourist consumption.
Indeed the goal of this studies is to know how the people of Tenganan Pagringsingan village conserving the living environment function through its culture and tradition. On the other hand, the using of this study has made an input to Bali tourism center, which is to open tourist potention in the village, and also to expend the mind about "environment ethics" of Tenganan Pagringsingan villagers, which is based on cultural ethics.
The problem of this study is how the traditional discretion of Tenganan people to sustained on living environment function still running in this days, and how this villagers perception to tourism activity and technology.
The study being established by descriptive method, the goals of this study is to make description, sistematic, phenomena description, real and accurate, and to study problems within the society and action has been done at specific situation, including the study of relationship, the view, activities, manners, and the running process also the impact of a fenomena.
Samples taken form the three banjar village, which have 605 peoples in 233 families, and the respondent about 26 families. Sample has been taken with purposive sampling, knowing that the three banjar villagers is homogen. Data gathered which structured interview, inside interview, photo and primer data also literatures study. The data being analize descriptively.
The result of study and examination shows as follows :
1. The awig awig of Tenganan villages was rewriten in 1925, actualy only to organize nature and social conservation. But the human made concervation not writen on it. To solve this, the villager made a special rule, which is about how to maintance home in 1987, but it is not fully work, because some of phisical changes still been done by the villagers.
2. Villagers perception about some changes in education, health, tourism and technology has positive feed back, although it is realized also has a negative side due to tourist visitors.
3. Education turn up to be the main elemen transformed to knowladge, attitude and people behavior to traditional vallues which is conserves living environment.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wibowo
"Ruang Terbuka Hijau (RTH) aktual tahun 1999 yang luasnya mencapai 41% dari Iuas wilayah Jakarta, mempunyai kandungan biomassa hijau 330.556 ton. Kondisi ini hanya mampu mendukung sekitar dua per tiga penduduknya. Berkurangnya ruang terbuka hijau maka daya dukung untuk memenuhi kebutuhan udara bersih bagi penduduk menurun pula. Hal ini akan memberikan dampak negatif yakni penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menginformasikan terjadinya penurunan Iuas RTH 13 DAS yang melalui Jakarta dari tahun 1970 - 2000 di seluruh wilayahnya, dari Iuas RTH tahun 1970 yakni 52.179.33 ha berubah menjadi 15.117.77 ha pada tahun 2000.
Dalam paparan di BPLHD DKI Jakarta dinyatakan bahwa meningkatnya luas bangunan beton, plesteran da aspal ± 18.798,5 ha atau + 28,7% Iuas daratan Jakarta, hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan dan laju tingkat erosi 152,7 ton/ha/tahun pada wilayah kikisan, serta meluasnya wilayah endapan sebagai akibat hasil sedimentasi yang berpengaruh, bahkan memberikan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman ± 5.640 ha atau 8,6% dari luas daratan Jakarta. Dengan meningkatnya bangunan berdinding kaca f 4.061 ha atau 6,25 % dari luas daratan Jakarta, menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota, yaitu dari suhu udara rata-rata dari 28°C menjadi 29,1°C. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tampak bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan. Secara mendasar kondisi lingkungan hidup terus menurun di kawasan perkotaan, dikarenakan terus menurunnya luas daerah terbuka, sehingga menurunkan daya dukung lingkungan (fungsi ekologi vegetasi) Kota Jakarta. Berkaitan dengan permasalahan di atas, yaitu perubahan penggunaan tanah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, tujuan penelitian ini adalah Pertama, mengetahui hubungan antara jenis penggunaan tanah dan perubahannya dengan daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Kedua, mengetahui kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Ketiga, mengetahui kaitan antara manusia dengan perubahan penggunaan tanah dan daya dukung di wilayah Kota Jakarta. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode expostfactoyang dibahas secara deskriptif analitis. Data yang digunakan berupa data table dan peta yang diambil dari instansi terkait. Daya dukung yang diteliti hanya fungsi ekologis vegetasi yakni memperbaiki suhu (ameliorasi iklim) dan penyerap air hujan (hidrologis). Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Pertama, suhu dan air larian dipengaruhi oleh jenis penggunaan tanah, yaitu: (a) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan suhu yang terjadi. Lokasi sekitar Kantor Walikota Jakarta Barat memiliki suhu paling rendah dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur tahun 2003 memiliki suhu paling rendah dari Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Selatan. (b) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan air larian. Lokasi Kantor Walikota Jakarta Barat persentase air larian lebih sedikit dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur air larian lebih sedikit dari Wilayah Kota Jakarta Pusat dan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa luasan vegetasi punya peran dalam perbedaan suhu dan air larian sebagal daya dukung lingkungan hidup dalam hal fungsi ekologis, maka terlihat kaitan antara penggunaan tanah dengan daya dukung lingkungan hidup. Kedua, perubahan penggunanan tanah menyebabkan penurunan Iuasan vegetasi yang berakibat dengan berubahnya suhu dan kemampuan untuk meresapkan air, sehingga air larian menjadi meningkat. Tahun 1940 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 20 : 80, sedangkan tahun 2003 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 74 : 26, hal ini menyebabkan: (a) Jakarta pada tahun 1940 suhu masih dibawah angka 27°C (suhu nyaman) yakni 26,48°C, sedangkan pada tahun 2003 suhu sudah melebihi suhu nyaman yakni suhu mencapai angka 31,48°C. (b) Persentase air larian pada tahun 1940 adalah 22% dari volume hujan setahun, sedangkan tahun 2003 telah mencapal 60.38% dari volume ar hujan setahun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah menyebabkan penurunan luasan vegetasi, yang mengakibatkan perubahan daya dukung lingkungan hidup dalam hai fungsi ekologis, sehingga suhu dan air larian meningkat. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara perubahan penggunaan dan penurunan daya dukung Iingkurigan hidup di wilayah Jakarta.
Ketiga, kapasitas daya dukung Jakarta tahun 1940 masih melebihi 100% sedangkan tahun 2003 menurun 86,76% untuk memperbaiki suhu (ikiim), sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air hujan tahun 1940 masih 100% sedangkan tahun 2003 menurun menjadi 66,25% setahun, untuk proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 76 : 24 pada tahun 2003. Berdasarkan hal ini maka pada tahun 2010 sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 87 : 13 dapat diprediksikan suhu menjadi lebih panas dan air larian meningkat yang menjadi potensi banjir akan semakin meluas. Keempat, manusia tidak hanya jumiahnya yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah, melainkan aktivitas yang membutuhkan ruang. Tahun 1940 jenis pekerjaan adalah lebih banyak petani sehingga luasan lahan pertanian (sawah, ladang, kebun, tambak) masih luas. Tahun 2003 luasan permukiman lebih luas dari lahan pertanian. Hal ini menggambarkan profesi petani tergantikan dengan profesi non petani (pegawai, jasa, di!). (b) perubahan penggunaan tanah memberikan dampak pada penurunan daya dukung lingkungan yakni kenaikan suhu dan menyebabkan banjir yang berkibat timbuinya biaya perbaikan dan biaya pengobatan.
Berdasarkan hasii peneiitian ini maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah hares melakukan pemantauan perubahan penggunaan tanah dan mempertahankan luasan vegetasi yang masih ada serta meningkatkan kualitasnya, agar tercipta strata tajuk yang Iengkap dan rapat agar fungsi ekologinya meningkat. Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kuantitas luasan vegetasi dengan cara membuat tanaman rambat dengan jaring di dinding (rumah, perkantoran atau pertokoan) atau membuat pot tanaman yang diletakkan vertikal di sepanjang dinding, yang disesuaikan dengan jenis tanaman dan estetika. Ketiga, memperbesar kuantitas air hujan yang terserap ke dalam tanah dengan memberlakukan secara ketat pelaksanaan sumur resapan di rumah perkantoran dan pertokoan, sehingga dapat menjadi asupan air tanah agar tidak terjadi dampak banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Keempat, membangun sumur resapan dan saluran air di sepanjang jalan, baik jalan utama maupun jalan lokal, sebagai tempat limpasan air saat hujan, serta membuat saluran air tersebut juga berfungsi sebagai sarana resapan air dengan tidak membuat bagian dasamya kedap air.

In the year of 1999, existing green area in Jakarta reached 41% of the total area, and it contains 330.556 tons of green biomass. This condition only could support two-third of its population. With the lack of green area, it makes the carrying capacity to fulfill the need of clean air for the population also decreasing. This situation gives a negative impact on the environment, and it was strengthened by Tambunan's research in 2005 which described on decreasing green area of 13 watersheds which passed trough Jakarta from 52.179,33 hectares in the year 1970 becoming 15.117,77 hectares in 2000. The increasing area of concrete buildings, cements, and asphalt surface in Jakarta ± 18.798,5 Ha or ± 28,7% of Jakarta causes the high surface run off and erosion in the area or 152,7 tons/ha/year, also creating a vast sedimentation area and effecting on the wide spreading of inundation area ± 5.640 hectare or 8,6% of Jakarta. This meant the increasing number of glass buildings ± 4.061 hectare or 6,25 % of Jakarta causes the increasing of the city temperature from 28°C to 29,1°C. Based on the background, it looks like there has been an environmental damage. Basically, the conditions of the environment in the cities are always descending because of the decreasing of the open area and also causing the deteriorating of environment carrying capacity (vegetation ecological function). Related to the problems that certain land use changes cause the descending of environment carrying capacity, the purposes of this research are: (1) To observe the relationship between land use with its changes and the environment carrying capacity in Jakarta City. (2) To observe the environment carrying capacity in Jakarta City. (3) To observe the relationship between human being and land use change and the carrying capacity in Jakarta City.Quantitative approach of this research is carried out by using the ex post facto method and analyzed by descriptive analytic method. The data that being used are tabular data and spatial (maps) data taken from related institutions. Several conclusions of this research can be withdrawn: First, run off and temperature influenced by type of land use, that is: (a) the type of land use affecting the temperature condition of the area. Location around West Jakarta City Hall office has the lowest temperature than other location. Temperatures in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type land use cause difference run off. Location around West Jakarta City Hall has the lowest run off than other location. Run off in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. This matter indicate that vegetation area have a role in run off differentiation and temperature as environmental carrying capacity in the case of ecological function, it shown that there is a relationship between land use and environmental carrying capacity.
Second, land use changes cause the decreasing of vegetation area and gives impact on the increasing temperature and run off. In 1940 the proportion of build up and open area was 20 : 80, while in 2003 the proportion of build up and open area are 74 : 26, this matter cause: (a) Jakarta in 1940 temperature still below 27°C (balmy temperature) which is 26,48°C, while in 2003 temperature have exceeded balmy temperature namely tired temperature of 31,48°C. (b) Percentage run off in 1940 is 22% of one year rain volume, while in 2003 has reached 60.38% of one year rain volume. This indicate that the changing of land use cause the changing of vegetation area, and environmental carrying capacity, resulting on the increasing of temperature and run off. It shown that there is a relationship between the changing of land use and carrying capacity. Third, In 1940 carrying capacity still over 100% and in 2003 carrying capacity become 86,76% to get the ideal temperature and carrying capacity for water absorption still 100% and in 2003 carrying capacity for water absorption become 66,25% to get the ideal water absorption, those condition for proportion of build up and open area of 74 : 26. Base on those conditions in 2010 the proportion of build up and open area are 87 : 13, this mean the temperature and run off will be higher. Fourth, the human being also can affect the environments by their occupation and quantities: (a) the occupation on 1940 most of the farmer's causes the agriculture area (paddy field, plantation, and fishpond) still vast. In 2003 the settlement area more than the agriculture area. (b) land use changes cause the decreasing carrying capacity which is the high temperatures and flood, causing the government and people's spent more money for healthy and maintenance cost.
Several recommendations are: First, the government has to conduct monitoring of usage of land use and maintain the green area and also upgrade the quality, to create a complete and closed vegetations canopy, so it will increase the ecological function. Second, Government and society should improve amount of green area in their homes and office. Third, to create a large amount of water that can be absorb by soil, by creating an absorption well in house and office in order to mitigate the effect of flood and a water supply in the dry season. Fourth, to create abso;ption well and aqueduct alongside the main road and also local road; as place for run off, and also make the aqueduct also function as a medium for absorption without making its base waterproof.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leny Veronika
"Salah satu desa di Kawasan Puncak yang mengalami degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan adalah Desa Tugu Utara. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, Desa Tugu Utara termasuk dalam kawasan hutan lindung, pertanian, dan pariwisata. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tipologi pengelolaan sumber daya alam, mengevaluasi tata guna lahan, mengetahui tingkat keberlanjutan lingkungan dari perspektif masyarakat, dan menemukan model pengembangan masyarakat berbasis sumber daya alam. Pengumpulan informasi dilakukan melalui kuesioner, diskusi kelompok terarah, wawancara semi terstuktur, dan data sekunder. Terdapat empat tipologi pengelolaan sumber daya alam yakni hutan, pertanian, perternakan, dan pariwisata. Atas lima peruntukkan lahan di Desa Tugu Utara yakni kawasan hutan lindung, hutan konservasi, perkebunan, permukiman, dan pertanian lahan kering, hutan lindung menempati urutan tertinggi yang mengalami alih fungsi lahan ke bentuk-bentuk lain yakni seluas 528,52 ha dengan pengalihan terbesar ke bentuk kebun teh mencapai 395,51 ha. Keberlanjutan lingkungan berada pada kategori cukup berkelanjutan yang dihasilkan dari aspek keberlanjutan lingkungan 65,36 , keberlanjutan sosial 62,25 , dan keberlanjutan ekonomi 68,25 . Agroforestri yang mengombinasikan tanaman pertanian di lahan hutan adalah potensi pengembangan yang paling tepat untuk menjawab kebutuhan ekonomi, ketahanan pangan wilayah, pendukung sektor pariwisata, dan keberlanjutan lingkungan.

Tugu Utara is one of villages in Puncak area which experiences to environmental degradation arising from population growth and land conversion. In spatial planning for 2005 2025 Bogor regency, Tugu Utara village is allocatted as protected forest area, agriculture, and tourism area. This study aim to i identify the typology of natural resource managed by communities, ii to evaluate the land use, iii to identify the level of environmental sustainability from community perspective iv and to find appropriate model for natural reources based community development. The information are collected from primary and secondary data through questionnaires, focus group discussions, semi structured interviews and desk analysis. The study shows four typologies of natural resources management which are forests, agriculture, livestock, and tourism. From five 5 the designation of land in Desa Tugu Utara i.e protected forest, conservation forest, plantation area, residential areas, and agricultural land, protected forest occupies the highest rank that experienced land conversion into other forms that is an area of 528.52 ha and the largest shift into the form of tea garden reached to 395.51 ha. Desa Tugu Utara in the category of sustainable enough. Percentage of environmental, social, and economic sustainability, based on community perception, is successively 65.36 , 62.25 , and 68.25 . Rehabilitation of forests need to be pursued as part of the protection of ecosystems and the cessation of the tendency of land conversion. Development of agroforestry combines agriculture need to be forest pursued as a source of food and economic activities. The use of sustainable forest can support other sectors including tourism.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zastrow, Charles
Boston, MA: Cengage Learning, 2016
302 ZAS u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Willem Benyamin Mariawassy
"Sesuai dengan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, maka dalam Pelita ke IV prioritas diletakkan pada Pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor Pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan yang akan terus dikembangkan dalam Pelita-pelita selanjutnya.
Disamping itu pembangunan industri harus makin diarahkan pada usaha memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan pada impor serta meningkatkan ekspor hasil-hasil industri. Dengan demikian diharapkan bahwa jumlah penduduk yang hidup dari sektor-sektor di luar pertanian semakin bertambah dan komposisi ekspor Indonesia akan berubah, yaitu tidak lagi hanya berupa bahan mentah akan tetapi akan berubah menjadi bahan yang telah diolah dan bahan jadi.
Pembangunan industri diarahkan pada usaha memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik, namun industri juga dapat membawa pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup masyarakat dengan menimbulkan pencemaran fisik seperti pencemaran air, tanah,dan udara serta pencemaran sosial yang seringkali menimbulkan keresahan-keresahan sosial yang rawan dan gawat.
Oleh karena itu perlu ditempuh cara atau pola dalam prosedur pelaksanaan pembangunan industri untuk menghindari keresahan-keresahan sosial dan mengembangkan ekonomi masyarakat ketingkat yang lebih baik, sehingga masyarakat memperoleh manfaat dari pembangunan industri tersebut. Sehubungan dengan persyaratan tersebut, maka dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup seyogyanya proyek-proyek yang sudah berjalan seperti halnya dengan PT. Pupuk Kujang di Desa Dawuan memerlukan evaluasi pengaruh, untuk mengetahui pengaruh positif dan pengaruh negatif yang telah terjadi sehingga diharapkan akan sangat berguna bagi penelaan kembali kebijaksanaan dan pengawasan dalam usaha meningkatkan kualitas lingkungan yang optimal di masa mendatang. "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ataupah, Hendrik, authro
"ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara peternak mengelola sapi supaya dapat mengatasi masalah-masalah kekurangan makanan ternak, terutama pada musim kemarau. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui keputusan-keputusan apakah yang biasa diambil peternak untuk mengatasi kekurangan makanan ternak, faktor-faktor apa yang mendorong peternak untuk mengambil keputusan, dan apakah akibat dari kegiatan-kegiatan peternak terhadap lingkungan.
Peternak-peternak di lokasi penelitian ini bekerja dari ekosistem sabana Timor yang ditentukan dan dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks diantara : musim hujan yang singkat dengan curah hujan yang tidak menentu, musim kemarau yang panjang, tanah list yang mudah mengalarri erosi, tanah kapur yang poreus dan tanah karang berbatu-batu yang kering dalam musim kemarau, sungai-sungai musim yang tidak tetap debit airnya, pertumbuhan vegetasi yang targantung pada keadaan cuaca, dan pertambahan penduduk yang tidak memperdulikan daya dukung lingkungan dalam mencari nafkah. Pengelolaan ternak yang tidak dikaitkan dengan pengelolaan padang rumput, sedangkan padangrumput sabana diandalkan sebagai sumber makanan ternak, merupakan titik ancang dari proses kerusakan lingkungan yang didalangi peternak.
Padang rumput menjadi arena kegiatan peternakan oleh peladang, tukang-tukang di pe desaan,pedagang,penyiar agama, pegawai negeri, dan sebagainya sehingga daya dukung lingkungan makin menurun. Ketika rumput alam makin habis oleh sapi, tidak segera dilakukan kegiatan penanaman rumput dan pohon-pohon lain untuk diberikan sumber makanan ternak, dan tidak dilakukan pengelolaan padang rumput yang baik, tetapi justru peternak berpaling pada pohon - pohon yang relatif sedikit jumlahnya. Padang rumput, hutan, dan tanah menjadi rusak, dan terjadi suatu rangkaian kerusakan lingkungan, sehingga manusi a dan sapi terpengaruh. Kawanan sapi yang lapar menyerbu ladang, sawah, dan tanaman pekarangan. Petani inempertahankan .pertaniannya dengan pagar yang tinggi dan kokoh dengan menggunakan kayu, pelepah lontar dan gebang, bambu, dan sebagainya sehingga proses perusakan hutan berlangsung.
Peternakan sapi yang dinaksudkan sebagai pengganti perdagangan cendana sebagai tulang punggung perekonomian Timor ternyata merupakan faktor perusak lingkungan meskipun demikian Pemerintah berusaha agar sapi tetap d.ipelihara rakyat, tetapi kebebasan sapi harus dibatasi, diberikan makanan dan minuman yang cukup, serta kualitasnya diper baiki. Pembatasan kebebasan sapi antara lain dilakukan relalui pembuatan pagar desa, tetapi segera timbul parselisihan antara peternak yang masih melepaskan sapi dengan penduduk desa yang membuat pager pencegah sapi. makanan utama sapi yang diikat terdi ri atas lantoro.
Kehadiran lantoro yang pada mulanya ditanam untuk penyuburan tanah dan anti erosi tetapi yang kini menjadi sumber makanan penggemuk sapi merangsang petanimenjadi peternak dan peternak meningkatkan Jumlah sapinya yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Peternak dapat memutuskan untuk melakukan peternakan dengan mengikat sapi dan sekaligus melepaskan sapi lainnya, tetapi keputusan itu menimbulkan masalah tenaga kerja dan masalah lainnya yang tidak dapat dipecahkan peternak sendiri.
Bimbingan dan penyuluhan untuk perbaikan kualitas sapi melalui kontes sapi dan inseminasi buatan dilakukan pemerintah dan diikuti peternak, tetapi menimbulkan masalah penyediaan makanan ternak.
Penanggulangan kekurangan air dilakukan melalui penggalian sumur, pembuatan cekdam, dan penggunaan batang pi-sang. Keadaan curah hujan yang tidak teratur, jenis tanah, dan kenampuan teknologi peternak yang terbatas menghambat usaha penanggulangan kekurangan air ini.
"
1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamrus Angkuna
"Perubahan pemanfaatan lahan di perkotaan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan perindustrian dan permukiman telah membawa dampak terhadap perubahan rona lingkungan yang mengarah pada degradasi iingkungan. Salah satu tujuan penataan ruang (UU No. 24 /1992 tentang Penataan Ruang) adalah mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Kota Sungai Raya merupakan ibukota Kecamaian Sungai Raya Kabupaten Pontianak, secara administratif terdiri dari 3 (tiga) desa, yaitu: Desa Sungai Raya, Desa Arang Limbung dan Desa Kuala Dua. Luas Kota Sungai Raya sekitar 7.011,7 Ha. Kota Sungai Raya perbatasan langsung dengan Kota Pontianak (ibukota Propinsi Kalimantan Barat). Sepanjang Kota Sungai Raya dibatasi oleh Sungai Kapuas. Kota Sungai Raya merupakan kota industri. Industri dan permukiman penduduk lebih banyak terdapat di sepanjang Sungai Kapuas ruas Kota Sungai Raya.

Land use change in the city, which shows more increasing for area that functions as industrial and housing uses that, already occupy and give impact on the environmental quality. This means environmental degradation ocurred. One of the purposes for spatial planning, is staled law number 24/1992 concerning spatial management in realizing the spatial functions and avoid the adverse effect to environment.
Sungai Raya City as the capital Sungai Raya District, Pontlanak Regency, administratively consists of three villages, namely: Sungai Raya Village, Arang Limbung village and Kuala Dua Village. The area Sungai Raya City is about 7011,7 hectares. Sungai Raya City ls directly neighbourhood or near by Pontianak City (the capital of West Kallmantan Province). Sungai Raya City along Kapuas river. Sungai Raya City ls an industrial city. Industries and housing areas are located along Kapuas river as a part of Sungai Raya City."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Supriadin
"Salah satu upaya untuk mencegah dan mengurangi pencemaran yang disebabkan ofeh aktivitas perkantoran adalah dengan menerapkan manajemen lingkungan dari ISO 14000 di lingkungan perkantoran melalui program eco-office atau green office. Eco-office adalah salah satu upaya yang efektif untuk rnewujudkan efisiensi penggunaan sumberdaya sekaligus menjadikan komunitas ramah lingkungan. Ecaoffce sebagaimana sifat dari suatu standar ini bersifat umum sehingga dapat diterapkan di berbagai jenis perkantoran seperti kantor pemerintahan pusat maupun daerah, swasta, publik atau privat, kantor besar dengan jumlah karyawan yang banyak maupun kantor kecil dengan karyawan beberapa orang saja.
Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mendapatkan baseline data mengenai faktor-faktor penerapan Program eco-office seperti konsumsi energi, konsumsi air bersih, pengadaan barang, penggunaan kertas/stationery, upaya pengurangan timbulan sampah dan pengolahannya, dan penggunaan kendaraan. Data tersebut akan digunakan menjajaki kemungkinan penerapan eco-office di lingkungan kantor pemerintahan. Kedua adalah untuk mengkaji penerapan era-office di kantor yang menentukan kebijakan lingkungan dibandingkan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. Untuk studi kasus dipilih Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah 1) Jika konsep eco-office dapat diterapkan di setiap perkantoran di Indonesia, maka dapat menghemat penggunaan energi dan air, dan jumlah sampah yang dihasilkan dapat direduksi; 2) Kantor penentu kebijakan lingkungan akan lebih banyak menerapkan aspek eco-office dibandingkan dengan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan.
kWh/orang/bulan. Konsumsi listrik di KPDT rata-rata pada dari bulan Pebruari-Desember 2004 adalah 76036,4 kWh perbulannya dan rata-rata perorang tiap bulannya adalah 337,94 kWh/orang/bulan; 3) Pengadaan Barang: Pengadaan barang di KLH dan KPDT yang dipenuhi oleh Bagian Kerumahtanggaan hanya bersifat pengadaan rutin sedangkan untuk kebutuhan suatu proyek tertentu dipenuhi masing-masing; 4) Konsumsi Kertas: Konsumsi kertas perorang tidak dapat diketahui karena tidak ada informasi yang jelas jumlah pengadaannya, karena tersebar di tiap-tiap unit kerja berdasarkan kebutuhan nyata/proyek. Pegawai di kedua kantor rata-rata terlibat aktif dalam pengurangan jumlah sampah kertas. Manajemen penggunaan kertas lebih banyak menggunakan prinsip reuse, 5) Timbulan Sampah dan Pengelolaannya: Rata-rata timbulan sampah perhari 972,6 Titer/hari di KLH dan 165,4 liter/hari di KPDT. Jadi rata-rata tiap prang menghasilkan sampah 1,273 liter/prang/had di KLH dan 0,735 liter/orang/hari di KPDT. Sosialisasi pemilahan sampah pemah ada di KLH dan fasilitas tempat sampah berdasarkan jenisnya juga tersedia, akan tetapi belum berjalan semestinya. Sudah tersedia fasilitas pengomposan dan program pengomposan. Di KPDT belum ada sosialisasi tersebut dan fasilitas tempat sampahnya masih disatukan; 6) Penggunaan Kendaraan: KLH mempunyai kebijakan pengujian emisi kendaraan pegawainya, sedangkan di KPDT belum ada; 7) Persepsi Pegawai: Pegawai di masing-masing kantor memberikan respon dan persepsi yang baik pada konsep eco-office.
Kesimpulan dari studi kasus ini yaltu: 1) Kebijakan lingkungan yang secara khusus dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan eco-office belum ada, balk di KLH maupun di KPDT. Di KLH kebijakan iingkungan mengenai eco-office ini bare dirumuskan dan masih dalam tatanan konsep yang akan segera diformulasikan menjaadi suatu kebijakan 2) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa KLH sebagai institusi penentu kebijakan lingkungan hidup mempunyai kelebihan dari KPDT dalam beberapa aspek eco-office yaitu kebijakan pengelolaan lingkungan kantor, jumlah pemakaian air bersih dan listrik, pengelolaan sampah, program uji emisi kendaraan.
Saran-saran: 1) Pembuat kebijakan di tiap kantor dapat segera menerapkan program eco-office sebagai upaya kesadaran terhadap lingkungannya dengan prioritas pada konservasi energi dan air bersih serta reduksi timbulan sampah perkantoran. Konsep SML pada ISO 14001 dapat menjadi rujukan untuk pengembangan yang berkelanjutan; 2) Penyediaan fasilitas tempat sampah yang memadai dan terdistribusi secara merata berdasarkan jenisnya disertai dengan pelabelan yang jelas, sosialisasi yang baik serta pengawasannya yang kontinyu; 3) Penyediaan tempat sampah khusus untuk kertas (paper bin) di setiap sumber penghasilnya seperti dekat mesin fotokopi dan printer; 4) Berkenaan dengan penghematan energi maka perlu diupayakan pengaturan waktu penggunaan elevator/lift pada jam jam tertentu untuk menghemat penggunaan energi listrik, penyetelan mode stand by pada tiap komputer, mematikan listrik di ruangan pada saat istirahat atau tidak ada prang, reformulasi arsitektural dengan mempertimbangkan kelimpahan energi terbaharukan dan konsep green building, 5) Menurut pengamatan visual maka terjadi ketidakefisienan dari pemakaian AC yang disebabkan oleh sistem penyekatan ruangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan sistem penyekatan ruangan dengan mempertimbangkan hal tersebut; 6) Untuk mengurangi jumlah sampah, maka penggunaan kertas perlu menjadi perhatian khusus tenatama dengan membudayakan penggunaan double sided dan paradigma 3R dengan mengutamakan tahapan reduce, reuse dan recycle. Dengan dihubungkan saran ke-3 maka pengefolaan sampah kertas terpisah dari sampah Iainnya. Untuk keperiuan makan-minum pada saat ada kegiatan seminar, sidang, rapat, daan lain-lain disediakan dengan sistem perasmanan; 7) Penerapan eco-office menyentuh masalah teknis dan pengelolaan melalui Sistem Manajemen Lingkungan maka berkenaan dengan INPRES No.5 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi sebaiknya pemerintah menerapkan secara komprehensif dengan mendukung terciptanya eco-oft ceaeco-project-eco-city.

The implementation of environment management from ISO 14000 through eco-office or green office will be one of pollution prevention and reduction effort in office activities. Eco-Office is an effective effort to establish resources efficiency and environmentally communities. Eco-Office can implement in various office activities including central and regional government office, private sector office as well as big and small office.
The objective of research are as follow, first, to collect data baseline in regard to eco-office implementation factor e.g. energy and clean water consumption, material supplying use of paper/stationery, waste and its handling and, vehicle use. The data will be use for possibility of implementation of eco-office program in government offices. Second, to investigate eco-office implementation in office that issued environmental regulatory compared to another office. The State Ministry of Environment (KLH) and The State Ministry of Less Developed Region (KPDT) have been chosen for this case study. The purpose of research hypothesis are 1) if concept of eco-office is applied to office in Indonesia, energy and clean water consumption can be minimized and reduction of waste generation; 2) the office that issued environmental regulatory should be applied better eco-office aspects rather than another office.
The results of research from each office show that 1) water consumption: average KLH's water consumption in 2004 is 1818,83 m3 per month or 2,3807 m3/person, whereas the average of clean water consumption in KPDT from June 2004 to March 2005 is 1962,3 m3 per month or 8,7213 m3/person; 2) energy consumption: average KLH's electrical consumption in 2004 is 167200 kWh per month or 218,85 liter/person in KPDT. Publication of waste separation has been applied in KLH and waste disposal facilities are also available for each type of waste, however this program didn't work properly. Composting facility and its program has been established. Whereas in KPDT both of them were not applied yet; 6) vehicle use: transportation emission test has been implemented for employing KLH, however it is not done in KPDT; 7) employees perception: employees in both of offices have given a positive response and good perception to eco-office concept.
The conclusion of this case study are as follow 1) especially in KLH or KPDT there ware no regulation of eco-office which implemented. But in KLH, they will establish the concept of eco-office to regulation 2) based on study it known that KLH was better efforts than KPDT in eco-office aspect e.g. regulatory of office environment, clean water and electric consumption, waste management, test of vehicle emission.
Recommendations: 1) the policy authorized in each could be immediately implemented eco-office program as environmental effort awareness which conservation of water and energy, and waste minimize. EMS in ISO 14001 can be referenced to sustain development; 2) the facilities of waste disposal should be in good manner, distributed properly for its types of waste, and a clearly label, a good publication and monitoring; 3) specific waste disposal for paper is provided near to the source e.g. photocopier machine and printer; 4) management of elevator/lift use at certain time, establish stand by mode in all computers, turn off the lighting of room in rest time or if no one, architecture reformulation to use renewable energy and green building concept for electrics energy efficiency; 5) Visually, there are inefficiency of AC system caused by room partitioning system, thus it is necessary to modify the system; 6) reduction of waste amount that produced from food accomplishment at the seminar activity, conference, meeting of group, and others are provided by "prasmanan" and separately handling for waste paper, double sided printing, and implement the 3R principle; 7) implementation of eco-office is improved technically and its management from EMS aspects. Therefore the INPRES No. 5 of 2005 regarding Energy Efficiency should be comprehensively implemented by fully support ecooffice-ecoproject eco-city.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>