Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriana
Abstrak :
ABSTRAK Ekosistem pantai dengan ketiga tipe sumberdayanya, yaitu laut, tambak dan sawah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ekonomi sebagian besar penduduk Marunda di Pantai Utara Jakarta. Di dalam lingkungan bersangkutan, keseluruhan kegiatan ekonomi yang terdiri dari kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi berlangsung atas dasar model pengetahuan kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Keterikatan yang sangat kuat pada bentuk-bentuk mata pencaharian yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan alam di sekitarnya, menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial ekonomi dan sosial budaya, ketika lingkungan tersebut diambil--alih dan dirubah oleh kegiatan pembangunan kawasan industri Pusat Perkayuan Marunda (PPM). Kegiatan pembangunan PPM menyebabkan perubahan bentang alam yang ditandai dengan penyusutan lahan garapan penduduk yang semula tinggal di kawasan industri tersebut. Penyusutan lahan garapan tempat penduduk bersangkutan melakukan kegiatan mata pencaharian menimbulkan dampak terhadap keseluruhan sistem mata pencaharian mereka. Untuk menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan lingkungan dan untuk menghadapi berbagai masalah yang timbul sehubungan dengan perubahan yang terjadi, penduduk dituntut mengembangkan upaya adaptasi, terutama berupa penyesuaian bentuk mata pencaharian dengan keadaan lingkungan yang ada setelah perubahan. Upaya adaptasi yang sebenarnya relatif dapat dianggap paling tepat dipilih untuk menanggapi perubahan lingkungan sumberdaya ekonomi di lingkungan kawasan industri PPM, adalah dengan melakukan diversifikasi mata pencaharian. Diversifikasi mata pencaharian pada bentuk-bentuk yang berbeda dengan bentuk-bentuk mata pencaharian semula sebagian besar penduduk Marunda, perlu dilakukan agar penduduk yang lingkungan sumberdaya ekonominya terkena akibat langsung kegiatan pembangunan PPM, dapat tetap memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa terlalu tergantung pada lingkungan sumberdaya laut, sawah dan tambak di sekitarnya yang masih akan terus berubah, sejalan dengan kelanjutan proses pembangunan PPM. Akan tetapi, pilihan ini tidak dididukung oleh pengetahuan kebudayaan yang luas. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Marunda yang relatif sangat rendah dan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki semata-mata hanya berkisar pada lingkungan pantai di sekitarnya, menyebabkan keseluruhan perangkat pengetahuan kebudayaan mereka menjadi sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghadapi perubahan orientasi ruang yang telah sangat berbeda kondisinya. Dari dua bentuk upaya adaptasi yang dikembangkan oleh penduduk setempat, yaitu mempertahankan bentuk mata pencaharian semula dan beralih ke bentuk mata pencaharian baru, tampaknya upaya mempertahan bentuk mata pencaharian sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagian besar penduduk. Pilihan upaya adaptasi sebagian besar penduduk yang masih terikat pada lingkungan sumberdaya semula (laut, sawah dan tambak) akan dapat lebih memperburuk kondisi sosial ekonomi di masa yang akan datang, terutama pada saat proyek PPM mulai beroperasi, jika tidak segera dicari pemecahan dan penanggulangannya secara tepat dan terpadu. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang di dukung oleh data kuantitatif dan dilengkapi oleh studi kasus. Secara keseluruhan, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Cara yang digunakan untuk memilih sampel adalah proportional random sampling, dengan jumlah responden sebanyak 120 orang dan jumlah informan kunci sebanyak enam orang di antara keseluruhan penduduk Marunda. Pengujian hipotesa dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square (X2), sedangkan pengujian signifikansi perubahan dilakukan dengan menggunakan tes Mc Nemar. Perhitungan kekuatan hubungan dilakukan dengan menggunakan koefisien asosiasi Cramer (C) untuk variabel-variabel nominal dan dengan perhitungan koefisien korelasi pangkat d sommers (d y/x) untuk variabel-variabel ordinal. Studi ini dimaksudkan untuk melihat secara utuh kehidupan sosial-budaya dan sosial-ekonomi penduduk Marunda, khususnya aspek kehidupan ekonomi yang diwujudkan dalam sistem mata pencaharian, baik sebelum maupun sesudah adanya proyek pembangunan PPM. Setelah itu akan dilihat pula gambaran dampak yang timbul dari proses pembangunan kawasan industri tersebut (terutama pada tahap konstruksi) terhadap seluruh aspek kehidupan penduduk di. Kelurahan Marunda yang berkenaan dengan sistem mata pencaharian. Keseluruhan pengetahuan yang diperoleh, diharapkan dapat memberi masukan untuk penyusunan strategi perencanaan pengembangan lingkungan, khususnya pada tingkat lokal bagi pihak PPM dan pemerintah daerah DKI dalam upaya memperbaiki taraf hidup penduduk setempat dan penanggulangan berbagai masalah yang mungkin masih akan timbul. Bagi perencana pembangunan tingkat nasional, terutama yang bertanggungjawab pada proyek pembangunan kawasan industri sejenis, strategi perencanaan dan pengelolaan lingkungan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan hidup penduduk di sekitar lokasi proyek juga dapat diterapkan di daerahdaerah lain di Indonesia yang sedang dan akan mengadapi masalah yang serupa dengan apa yang dewasa ini dialami penduduk Marunda. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa : 1. Perubahan bentuk mata pencaharian sebagai upaya adaptasi yang dilakukan oleh sebagian penduduk relatif kecil (X²=43,02; C=0,36), apabila dibandingkan dengan perubahan lingkungan sumber daya ekonomi yang terjadi. 2. Perubahan lingkungan sumberdaya ekonomi tidak langsung mempengaruhi pilihan bentuk mata pencaharian (X2=0,36; C=0,05). 3. Pilihan bentuk mata pencaharian dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi social dalam hubungan yang tergolong cukup kuat (C= 0,48). 4. Pilihan bentuk mata pencaharian juga dipengaruhi oleh pengetahuan kebudayaan dalam hubungan yang kuat (C=0,55). Berarti lebih kuat daripada hubungan antara pilihan bentuk dengan kemampuan adaptasi sosial. 5. Kemampuan adaptasi sosial dipengaruhi oleh perubahan lingkungan sumberdaya ekonomi dalam hubungan yang tergolong sedang dan bersifat negatif (d y/x = - 0,34). 6. Kemampuan adaptasi sosial juga dipengaruhi oleh pengetahuan kebudayaan dalam hubungan yang tergolong kuat dan bersifat positif (d y/x = 0,59). Berarti hubungan yang ada lebih kuat daripada hubungan antara kemampuan adaptasi dengan perubahan lingkungan sumberdaya ekonomi. 7. Diperlukan suatu kebijaksanaan terpadu agar pembangunan PPM yang mempunyai cakupan kepentingan tingkat nasional ini berhasil dilaksanakan tanpa harus mengorbankan kehidupan penduduk Marunda sebagai korban. Hal ini perlu dilakukan karena terdapat kecenderungan bahwa sebagian besar penduduk sulit merencanakan usaha atau bidang pekerjaan secara kongkrit di lingkungan yang masih akan terus berubah, dengan pengetahuan kebudayaan yang terbatas dan kemampuan adaptasi yang rendah.
ABSTRACT The coastal ecosystem which consists of the three types of natural sources namely the sea, fish farming and rice fields have been forming a most important aspect of living for most Marunda villagers who live in the northern coastal areas of Jakarta. The entire economical process consisting of production, distribution and consumption activities among these villagers have been passed on, through inheritance, from generation to generation. The exclusive dependability on the traditional ways of earning a living, which entirely relies on the environmental condition, has brought along various socio-economical and socio-cultural problems when this area was reclaimed by the authority and changed through the activities of the new industrial area for "Pusat Perkayuan Marunda" (PPM). The PPM development activities have changed the spatial range of nature, which is indicated by the shrinkage of cultivated land belonging to the indigenous people who previously lived in this area, before the industrial estate started. The shrinkage of cultivated land, which the indigenous people made a living from before, has caused changes to the entire system of their means of subsistence. To adjust themselves to the environmental changes and all the various problems these changes have brought along, these villagers will have to develop an adaptive aptitude to the new environment, especially to the new condition. The adaptive effort, which is considered probably, the most effective, to select for the economical environmental changes in the PPM industrial areas, is through the diversification means of subsistence activities. The diversification of economical sources which vary from the original ones most of Marunda villagers used to have, should be designed in order that those villagers whose environmental economical sources are directly affected by the PPM activities can live on properly, without having to depend entirely on the sea fishing, rice fields and fish farming in the surrounding areas, which will continue changing in line with the PPM development processes in the future. However; this approach is not necessarily supported by adequate cultural knowledge. The relatively low level of educational background that most of the Marunda villagers have, including their cultural knowledge, which is restricted to the surrounding coastal areas only, are the source of the incapacity for those villagers to adjust themselves to the entirely new living condition. Of the two forms of adaptation efforts which the Marunda villagers are making, namely to stick to the traditional means of subsistence and to obtain new living sources, the former seems more preferable. The preference of most villagers to stick to the traditional sources of living (sea, rice field and fish farms) could worsen the social economical condition in the future, especially when the PPM project begins operation and no accurate integrated solution and prevention steps are taken immediately. This research is qualitative descriptive by nature and is supported with quantitative data obtained through various study cases. On the whole, the methods used are the qualitative and the quantitative ones. The sampling has been made based on the proportional random system, involving 120 respondents and 6 key sources of information from amongst the entire Marunda villagers. The hypothetic test is done by use the chi-square (X2) method and the significance test using the McNemar Method. The calculation of relativity strength was done using Cramer's association coefficient (C) for nominal variables and correlative coefficient calculation square d Sommers (d y/x) for ordinal variables. The purpose of this study is to see and analyze the Marunda villagers' socio cultural and socio economical lives as a whole, in particular the economical aspect behavior, which is reflected in the means of subsistence system. This research is intended to provide additional information that could be used in setting up the environmental development planning strategies, particularly for the PPM Project Officer and the Jakarta Municipality Office (DKI) in an effort to improve the standard of living of the Marunda villagers and tackle future problems. In addition, this information could also be used by the government authorities, who are dealing with development of similar industrial projects and the environmental planning and development strategies for other areas in Indonesia, which are, or will be facing similar environmental problems which the Marunda villagers are experiencing presently. The results of this research indicate that: 1. The means of subsistence changes as an adaptation effort is relatively smaller than the economical source environmental changes (X2=43,02; C=0,36). 2. The economical source environmental change does not directly influence the choice of the means of subsistence form (x2=0,36; C=0,05) 3. The means of subsistence form choices are influenced by the social adaptation ability in strong relation (C = 0,48) 4. The means of subsistence form choice is also influenced by the cultural knowledge in strong relation (C = 0,05). Thus, a relation between the choices of form of the means of subsistence as compare to social adaptation ability. 5. The social adaptation ability is influence by the changing of environmental economical source in negative and average relation (d y/x = - 0,34). 6. The social adaptation ability is also influenced by the cultural knowledge in the positive and strong relation (d y/x = 0,59). It means that this relation is stronger than the relation between social adaptation ability and the environmental economical source change. 7. An integrated policy is needed in order that PPM development, which is of a National magnitude level, can be successfully implemented without sacrificing the way of life of Marunda's villagers as victims. This is to be implemented because there is a tendency that some of the villagers are unable to plan as to how to make a living, or choose a field of work in reality, due to the limited cultural knowledge and low level adaptation ability, in an environment which is still constantly changing.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hirsch, Philip
Auckland: The Jacaranda press, 1991
959.053 HIR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suahasil Nazara
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005
339.23 Sua a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri-Edi Swasono
Jakarta: UI-Press, 1992
080 SRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Butarbutar, Ade Devi
Abstrak :
Krisis ekonomi yang sedang berkembang dalam era otonomi di Indonesia saat ini berdampak pada ketahanan perekonomian nasional yang sekaligus berdampak juga pada kokoh tidaknya ketahanan perekonomian daerah. Sehingga upaya-upaya untuk memperkokoh ketahanan perekonomian daerah sangat diperlukan. Ketahanan perekonomian daerah tergantung dari perencanaan pembangunan daerah itu sendiri. Sedangkan keberhasilan dari perencanaan pembangunan sangat didukung oleh kebijakan perencanaan pembangunan yang harus didasarkan pada kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dampak otonomi daerah sangat mempengaruhi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Seperti halnya yang dialami oleh Kota Batam, dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang perubahan Kabupaten Pelelawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, sebagal pengejawantahan Undang-Undang Nomo.r22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Dimana pemerintahan daerah harus dapat mengambil kebijakan perencanaan pembangunan daerah yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah itu sendiri. Tetapi sampai saat ini kebijakan perencanaan pembangunan daerah yang diambil masih dilakukan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dimana daerah-daerah diperlakukan secara seragam. Sehingga menimbulkan banyak program dan proyek pembangunan yang kurang sesuai dengan potensi dan aspirasi daerah atau dengan skala prioritas daerah. Akhirnya kebijakan perencanaan pembangunan yang diambil tidak efektif dan tidak mencapai hasil yang optimal. Selanjutnya untuk menjamin kebijakan pembangunan ekonomi dapat mencapai hasil yang optimal, maka kebijakan yang diambil perlu didahului oleh suatu penelitian yang mendalam dan komprehensif. Penelitian ini berusaha menganalisis kondisi perekonomian di Kota Batam yang meliputi identifikasi sektor-sektor basis ekonomi, pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, transformasi struktur ekonomi, multiplier effect sektor-sektor basis dalam perekonomian Kota Batam terhadap perekonomian Propinsi Riau, penentuan prioritas sektor basis dalam kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada 7 sektor basis dalam perekonomian Kota Batam yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sektor lembaga keuangan dan persewaan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor yang paling potensial untuk dijadikan prioritas dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Batam yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya, setelah mengetahui sektor-sektor basis ekonomi di Kota Batam, perlu juga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sektor-sektor basis ekonomi seperti sektor basis industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Untuk sektor basis industri pengolahan ternyata variabel yang mempengaruhi adalah variabel jumlah tenaga kerja karena secara konsisten untuk ketiga model persamaan variable ini terus mempengaruhi sektor basis industri pengolahan. Sedangkan variabel investasi pemerintah mempengaruhi sektor basis industri pengolahan hanya pada model persamaan 2 dan model persamaan 3. Untuk variabel jumlah perusahaan mempengaruhi sektor basis industri pengolahan hanya pada model persamaan 3. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis industri pengolahan. Sektor listrik, gas dan air bersih ternyata faktor-faktor yang mempengaruhinya secara konsisten untuk ketiga model persamaan adalah variabel kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sedangkan variabel investasi swasta mempengaruhi sektor basis listrik, gas dan air bersih hanya pada model persamaan 3. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis listrik, gas dan air bersih. Terakhir untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, faktor-faktor yang mempengaruhi secara konsisten pada ketiga model persamaan adalah jumlah perusahaan. Tetapi secara keseluruhan variabel jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, investasi swasta, investasi pemerintah dan kredit yang disalurkan oleh perbankan mempengaruhi sektor basis perdagangan, hotel dan restoran.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T15311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhrunraji
Abstrak :
Penelitian ini berjudul: "Analisis Sektor Unggulan Kota Bima dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya". Tulisan ini dilatar belakangi oleh pentingnya penyusunan rencana pembangunan yang akurat, berdasarkan kondisi dan potensi aktual yang dimiliki oleh daerah, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di era otonomi daerah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian yang diperlukan untuk menyusun rencana pernbangunan yang sejalan dengan kondisi dan potensi Kota Bima. Dengan kata lain, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai Sektor-sektor ekonomi manakah yang menjadi keunggulan Kota Bima dan Faktor-faktor apa yang menjadi perdukung utama keunggulan tersebut dan faktor-faktor apa pula yang menjadi penghambatnya. Untuk mengidentifikasi sektor unggulan Kota Bima digunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis Input Output. Penerapan analisis Input Output dengan menghitung indeks keterkaitan kebelakang dan indeks keterkaitan kedepan. Mengingat Kota Bima saat ini belum memiliki Tabel Input Output, maka tabel ini akan disusun oleh peneliti dengan menderivasi dari tabel Input Output Propinsi Nusa tenggara Barat melalui aplikasi perhitungan Location Quotien (LQ) Kota Bima tahun 2003. Sedangkan untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat keunggulan sektor ekonomi di Kota Bima tahun 2003, digunakan analisis Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA). Hasil perhitungan LQ Kota Bima tahun 2003 menunjukkan bahwa, terdapat delapan (8) sektor Unggulan Kota Bima yaitu sektor: Listrik dan gas (19); Air bersih (20); Restoran (23); Angkutan clarat (25); Angkutan laut dan penyebrangan (26); Jasa penunjang angkutan (28); Usaha bangunan dan jasa perusahaan (31) dan Pemerintahan dan pertahanan (32). Sedangkan berdasarkan perhitungan Indeks daya penyebaran, terdapat sepuluh (10) sektor utama Kota Bima yaitu sektor: Industri penggilingan beras (8); Industri tembakau dan rokok (10); Industri makanan lain dan minuman (9); Industri pengolahan dan pengawetan makanan (7); Restoran (23); Listrik dan gas (19); Industri alat angkutan dan perbaikannya (17); Bangunan (21); Industri kayu, bambu dan rotan (12); serta Perhotelan (24). Selanjutnva jika dilihat dari Indeks daya kepekaan, ada tujuh (7) sektor utama Kota Bima yaitu sektor: Tanaman bahan makanan dan perkebunan (1); Perdagangan (22); Listrik dan gas (19); Peternakan (2); Komunikasi (29); serta Usaha bangunan dan jasa perusahaan (31). Berdasarkan hasil survey terhadap 154 responden pada 11 sektor ekonomi yang teridentifikasi sebagai sektor unggulan Kota Bima, diperoleh informasi bahwa ada 11 faktor yang mendorong keunggulan sektor ekonomi Kota Bima, yaitu: Adanya aktivitas ekonomi yang cukup dinamis; Adanya nilai tambah; Performance perdagangan dan investasi yang baik; Adanya penerapan analisis strategi bisnis; Jasa pelayanan dan kualitas produksi yang baik; Tingginya tingkat efisiensi usaha; Terbukanya kapasitas pasar; Tingkat pengembalian modal yang cukup tinggi; Tersedianya sumber daya; serta Biaya listrik dan transportasi yang terjangkau. Sebaliknya diperoleh pula informasi bahwa ada 12 faktor yang menghambat keunggulan sektor ekonomi Kota Bima, yaitu: Rendahnya performance sektor ekonmi lokal dalam skala ekonomi domestik; Rendahnya partisipasi ekonomi luar; Kurangnya keterbukaan usaha; belum secara optimal memanfaatkan peluang pasar; Terbatasnya kegiatan riset dan pengembangan; Kurangnya kegiatan pendidikan dan pelatihan; Rendahnya minat tenaga kerja untuk bekerja di sektor ekonomi tertentu; Rendahnya tingkat upah; Masih terbatasnya jaringan kerja antar sektor dan antara daerah; Terbatasnya capital base; dan Kurangnya dukungan kebijakan Pemerintah Kota Bima dalam mendorong berkembangnya sektor ekonomi. Untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan kinerja sektor unggulan yang sudah ada, maka diharapkan kepada pelaku ekonomi di Kota Bima, agar senantiasa menjaga faktor-faktor yang mendorong keunggulan tersebut, serta sedapat mungkin mengurangi dan mengatasi faktor-faktor yang menghambat keunggulan tersebut, dengan meningkatkan kinerja dan prospek sektor ekonomi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia; inovasi dan kreativitas serta meningkatkan kemampuan modal usaha sendiri (skill base). Khususnya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Bima, agar dapat memainkan peran utama dalam rangka memberikan kebijakan yang mendukung berkembangnya sektor ekonomi unggulan, melalui kegiatan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, bantuan modal, serta dukungan dana APBD yang lebih besar bagi sektor ekonomi unggulan tersebut.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Victor Winarto
Abstrak :
Penelitian dan penulisan tesis ini bertujuan untuk melihat perkembangan kesenjangan/ disparitas pendapatan dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesenjangan yang terjadi di Kabupaten Klaten. Untuk mengkaji hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan metode anaiisis deskriptif berdasarkan data ekonomi dl Kabupaten Klaten dan analisis dengan indeks Williamson dan indeks Theils. Berdasarkan hasil perhitungan dengan indeks Williamson, selama kurun waktu tahun 1993-2002 terjadi disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten. Kondisi ini diperkirakan karena adanya pemusatan kegiatan ekonomi khususnya industri dan perdagangan di beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, terutama yang berada di wilayah Tengah yang dilalui oleh jalur transportasi dan perdagangan Yogya-Solo. Sektor industri dan perdagangan di wilayah tersebut lebih berkembang apabila dibandingkan dengan wilayah kecamatan yang lain, sehingga menimbulkan kesenjangan pendapatan. Kesenjangan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin ramainya lalu lintas perdagangan di jalur tersebut. Di samping itu faktor investasi juga mempengaruhi kesenjangan. Alokasi investasi yang berbedu-beda antar wilayah di Kabupaten Klaten semakin memperbesar kesenjangan pendapatan. Sementara itu hasil perhitungan disparitas pendapatan menurut wilayah menunjukkan bahwa disparitas pendapatan di wilayah Utara setiap tahunnya selama kurun waktu tahun 1993-2002 selalu lebih rendah apabila dibandingkan dengan wilayah Tengah dan Selatan. Dengan kata lain tingkat pendapatan/kesejahteraan di wilayah Utara lebih merata. Kondisi ini diperkirakan karena hampir semua kecamatan di wilayah Utara bergantung pada sektor pertanian dan perdagangan hasil-hasil pertanian. Sehingga PDRB yang diperoleh kecamatan-kecamatan di wilayah Utara dari dua sektor tersebut relatif sama/merata dan tidak menimbulkan kesenjangan. Sedang di wilayah Tengah disparitas pendapatan terjadi sepanjang tahun dan cenderung semakin besar. Kondisi ini diperkirakan akibat tumbuhnya sektor industri, perdagangan dan jasa di sebagian kecamatan di wilayah Tengah. Pendapatan cenderung lebih tinggi pada kecamatan-kecamatan yang menjadi lokasi industri, perdagangan dan jasa. Sementara iW di wilayah Selatan kesenjangan pendapatan juga terjadi sepanjang tahun 1993-2002, namun trennya cenderung fluktuatif. Hasil perhitungan disparitas pendapatan menurut sektor menunjukkan bahwa terjadi disparitas pendapatan di semua sektor di Kabupaten Klaten. Disparitas pendapatan paling besar terjadi tahun 1993 pada sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu dengan nilai CVw sebesar 1,9634. Kondisi ini diperkirakan karena pada tahun tersebut sektor listrik, gas dan air bersih belum berkembang merata di semua wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten. Bahkan hingga saat ini instalasi gas dan air bersih belum dapat menjangkau seluruh wilayah kecamatan. Sebaliknya disparitas pendapatan paling kecil terjadi tahun 1997 pada sektor penggalian dan sektor konstruksi. Kondisi ini diperkirakan karena pada saat krisis ekonomi, sektor konstruksi mengalami stegnasi akibat mahalnya harga bahan-bahan bangunan. Sehingga terhentinya pertumbuhan sektor konstruksi berimbas pada sektor penggalian. Kesenjangan rata-rata dari masing-masing sektor adalah sektor pertanian dengan nilai CVw sebesar 0,3469; sektor penggalian (CVw = 1,2561), sektor industri (CVw = 0,3975), sektor listrik, gas dan air bersih (CVw = 0,9896), sektor konstruksi (CVw = 0,6216), sektor perdagangan (CVw = 0,4011), sektor komunikasi (CVw = 0,9899), sektor keuangan (CVw = 1,4318) dan sektor jasa (CVw = 1,1203). Hasil perhitungan disparitas dengan indeks Theils (Tw dan Tb) menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1993-2002 terjadi disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten. Disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten mempunyai tren yang semakin besar dari tahun ke tahun. Selama tahun 1993-2001 faktor antar wilayah (inter region/ Tb)Iebih dominant sebagai penyebab terjadinya disparitas dibandingkan faktor di dalam wilayah(intra region/ Tw). Sedang pada tahun 2002 pengaruh faktor di dalam wilayah (infra region/ Tw) dan antar wilayah (inter region/ Tb) hampir sama besar sebagai penyebab terjadinya kesenjangan/disparitas pendapatan di Kabupaten Klaten.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Pradaning Ratri
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi salah satu pilar utama dalam pembangunan daerah, yaitu bahan bakar minyak. Tingginya tingkat konsumsi bahan bakar minyak namun produksi bahan bakar minyak mengalami penurunan. Pemberian subsidi bahan bakar minyak juga tidak dapat menekan tingkat konsumsi bahan bakar minyak mengakibatkan anggaran pendapatan belanja negara mengalami defisit. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang penurunan subsidi bahan bakar minyak. Di samping memberikan dampak pada perekonomian nasional juga berdampak pada perekonomian wilayah di Indonesia yang salah satunya adalah DKI Jakarta. Tujuan studi ini adalah menganalisa subsidi bahan bakar minyak terhadap perekonomian DKI Jakarta dengan menggunakan sistem neraca sosial ekonomi. Studi ini membahas pengaruh bahan bakar minyak terhadap sektor-sektor ekonomi di DKI Jakarta, serta dampak kebijakan pemerintah tentang penurunan subsidi bahan bakar minyak pada perekonomian serta distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Dengan pembahasan tersebut akan memberikan gambaran sektor-sektor ekonomi yang mana terkena dampak paling kuat dari kebijakan penurunan subsidi bahan bakar minyak. Berdasarkan basil analisa, dapat dikemukan bahwa bahan bakar minyak mempunyai pengaruh sangat kuat terhadap sektor-sektor ekonomi terutama sektor jasa dan perdagangan. Alur pengaruh rumah tangga golongan VII sampai X yang telah diketahui digunakan sebagai dasar penentuan dampak kebijakan pemerintah tentang penurunan subsidi bahan bakar minyak terhadap perekonomian. Kebijakan pemerintah tentang penurunan subsidi bahan bakar minyak secara bertahap disertai dengan pemberian dana kompensasi sangat balk untuk perekonomian DKI Jakarta. Kebijakan pemerintah tersebut berdampak pada kemerataan distribusi pendapatan tenaga kerja serta kemerataan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Kelemahan dan catatan tentang studi ini dapat dijadikan bahan pemikiran studi sejenis di masa depan, yaitu: (1) model ini berasumsi bahwa harga tetap, sedangkan subsidi bahan bakar minyak yang diterapkan di Indonesia dikenakan pada harga. (2) model ini memiliki jumlah sektor yang sedikit sehingga belum dapat mengetahui secara lebih terperinci sektor mana mempunyai dampak paling kuat terhadap kebijakan pemerintah. (3) model ini berasumsi bahwa tidak ada pengaruh perekonomian lain terhadap perekonomian DKI Jakarta, yang selayaknya analisa terhadap suatu wilayah juga memperhatikan aspek keterkaitan antar daerah. (4) model ini dapat memberikan pemahaman tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap perekonomian serta distribusi pendapatan pada satu wilayah.
Background of this thesis on the main point of development region is petroleum. The level of consume petroleum is the highest on contrary the produce is become more lowly. The giving of subsidy petroleum never stop to consume petroleum, contrary government budget become deficit. The government takes out policy of subsidy petroleum. That policy makes a changing in economic of nation or region especially DKl Jakarta. The objective of this study is examining petroleum subsidy against economic of DKI Jakarta with social accounting matrix. This study also examine the effect of petroleum on economic sector on DKI Jakarta, and the effect regulation of government about lowering petroleum subsidy in economic and income distribution in DKI Jakarta. It will give the descriptive the strongest economic sectors that affect that regulation. The resulting of this study, it can see that petroleum has strong impact with economic sector especially service and trade sector. Structural path analysis of household in types VII until X that use for basic of the impact government regulation in economical. Government regulation that lowering subsidy petroleum with gradually and giving fund compensation. It should good impact of economic in DKI Jakarta. It affects even income distribution of labor and evenness of growth distribution on economic sector. The weakness and note of this study are (1) the assume of this model is fixed price, the contrary subsidy of petroleum give on price in Indonesia; (2) The model have little sector, it never knew which sector have strong impact of government regulation; (3) the assume of this model is no effect on the other region in economic DKI Jakarta; (4) the model can give understanding of the impact government regulation in economic sector and income distribution.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20332
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Sarjono
Abstrak :
ABSTRAK
Kondisi krisis moneter saat ini sangat dirasakan oleh bank-bank di Indonesia sebagai pukulan yang berat bagi kelangsungan usahanya. Beberapa bank yang dilikuidasi oleh Pemerintah c.q. Menteri Keuangan terpaksa dilakukan karena berdasarkan tingkat kesehatan bank terutama daii sisi permodalannya, bank yang bersangkutan memang sudah tidak layak lagi untuk meneruskan usahanya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia sangat terpuruk seperti sekarang mi, antara lain yaitu tingkat suku bunga Sertilikat Bank Indonesia (SBI) yang tinggi, fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar, meningkatnya non perfonning loans, serta kondisi perekonomian nasional yang mengalami depresi yang sangat dalam.

Bagi bank, daii beberapa faktor penyebab tersebut daat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu faktor-faktor yang masih dapat dikendalikan oleh perusahaan (controllable) dan faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan (uncontrollable). Kredit bermasalah (non performing loans) merupakan faktor yang relatif dapat dikendalikan perusahaan (bank), sedangkan faktor-faktor lainnya berupa tingkat suku bunga pasar (SBI), nilai tukar (kurs) rupiah terhadap mata uang asing dan kondisi perekonomian nasional adalah merupakan faktor-faktor ekstemal di luar kendali perusahaan (out of control).

Besamya kredit bermasalah sangat ditentukan oleh kebijakan perkreditan yang dijalankan oleh suatu bank. Semakin efektif dan aplicable kebijakan perkreditan yang diterapkan disertai dengan supervisilmomtoring yang ketat maka akan semakin besar kemungkinan untuk dapat menghasilkan kualitas aktiva produklif (kredit) yang baik (performing loans), begitu juga sebaliknya. Kebijakan perkreditan yang akan diambil oleh bank sangat dipengaruhi oleh keadaan (environment) yang melingkupinya, terutama dalam Iingkungan ekonomi nasional maupun intemasional, kondisi sosial dan politik, serta perubahan budaya dan telmologi yang terjadi serta kondisi persaingan diantara bank-bank itu sendiri.

Beberapa hal yang hams diperhatikan dalam menyusun kebijakan perkreditan bank antara lain meiputi posisi modal, tingkat keuntungan (profitabilitas) dan risiko dari berbagai jenis kredit, stabilitas dana masyarakat yang disimpan, kondisi ekonomi, pengaruh kebijakan moneter dan pajak, kemampuan dan pengalaman kaiyawanlmanajemen, serta posisi portofolio kredit yang telah dimiliki. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kebijakan perkreditan yang disusun bank secara umwn akan memuat; wilayah kredit (loan territory), jenis-jenis kredit yang dapat diberikan, jaminan (collateral) yang dapat diterima, jangka waktu kredit, pelampauan plafon kredit, likuidasi kredit, penanganan kredit bermasalah, rekening/saldo kompensasi, komitmen kredit serta besarnya portofolio kredit.

Sebagaimana bank lainnya, Bank X telah memiliki kebijakan perkreditan yang tertulis dan diterapkan sejak tahun 1996. Namun demikian, dalam menetapkan kebijakan perkreditannya masih berdasarkan metode top-down approach. Oleh karenanya, belum mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing cabang yang ada. Selain itu, kebijakan perkreditan yang ditetapkan belum bersifat menyeluruh yakni belum memuat hal-hal yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat atau petugas pelaksana di cabang, sehingga kemungkinan terjadi missintepretation atau menjadi tidak workable dalam pelaksanaannya sangat tinggi.

Agar Iebih efektif, kebijakan perkreditan yang selama mi dijalankan oleh Bank X perlu dilakukan penyempurnaan antara lain dalam hal; penyesuaian terhadap kondisi yang ada saat mi, peran serta cabang dalam penyusunan kebijakan perkreditan, pembentukan unit kerja baru yang bertugas mengelola portofolio (portfolio management) dan pengawasan intern dalam umsan perkreditan, pembuatan pedoman yang dapat digunakan sebagai early warning signal, peningRatan (up grading) kualitas sumber daya manusia, pemberian fasilitas potongan pokok kredit (hair cut facility) terhadap kredit yang macet, pemberian kredit hanya kepada calon debitur yang sudah running well serta penetapan tingkat suku bunga kredit berdasarkan sumber dana yang digunakan dengan lebih mengaktifkan peranan Asset & Liability Committee (ALCO) untuk melakukan review terhadap kemungkinan perubahan suku bunga.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>