Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"This important and timely volume brings together experts in political economy from across the globe, to comment on the return of Marxian macro-dynamics in East Asia. The contributions explore macro-dynamics, the role of the state and hegemony in the context of transnational capitalism, and Marxian alternatives for East Asia."
United Kingdom: Emerald, 2017
e20469471
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zahid, Wahid
"The study aims to probe the effect of perceived price, perceived quality, brand awareness, and social influence on purchase intention of South East Asian (SEA) Young Adults towards global smartphone brands. This explanatory research uses quantitative empirical data collected from 200 SEA Young Adults studying in one of the public universities in Malaysia. Stratified random sampling is used while ensuring fair representation of SEA countries, viz., Singapore, Malaysia, Philippines, Thailand, Indonesia, Vietnam, and Cambodia. Correlation and regression analysis were carried out using SPSS 20.0. The study resulted in the finding that social influence has the highest level of linear relationship and so is the most influential factor among four. The findings provide guidelines to global smartphone brands for developing value proposition and better promotion mix for smartphones promotion."
[Place of publication not identified]: Management Research Center (MRC) Department of Management, Faculty of Economics, University of Indonesia and Philip Kotler Center, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Erlinda
"Kawasan Asia Timur yang meliputi Asia Tenggara dan Asia Timur Laut mempunyai wilayah perairan yang sangat kaya dan strategis. Ada beberapa permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama sengketa batas laut dan tindakan saling klaim. Berdasarkan Analisis Regional Security Complexes (RSC), kepentingan bersama negara-negara di kawasan Asia Timur, khususnya negara-negara yang berkonflik, adalah terorisme, perompakan, penyelundupan, dan stabilitas ekonomi. Negara-negara tersebut tidak dapat disatukan pemikiran dan kebijakannya pada tataran politis karena adanya sengketa wilayah yang berpotensi peperangan. Indonesia mempunyai kepentingan ekonomi dan politik yang tinggi di bidang keamanan maritim. Kepentingan tersebut dapat dicapai dengan berfokus pada kepentingan bersama negara-negara di kawasan, khususnya di bidang perekonomian. Walaupun berada pada tingkatan yang berbeda, hampir semua negara di kawasan mempunyai kepentingan ekonomi yang tinggi di dalam pengamanan maritim. Indonesia dapat mendorong peningkatan kerja sama penanganan keamanan maritim dengan dalih menjaga stabilitas ekonomi kawasan."
Bogor: Universitas Pertahanan Indonesia, 2017
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marcellino Sebastian
"Sejak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Jepang berada di bawah kependudukan Sekutu selama 7 tahun, yaitu 1945-1952. Dalam Konstitusi Jepang yang diberlakukan sejak pada tahun 1947, terdapat pasal (pasal 9) yang memuat larangan bagi Jepang untuk memiliki militer. Namun, kondisi Jepang yang rentan terhadap ancaman negara lain, seperti RRC, Rusia dan Korea Utara membuat Jepang membutuhkan perlindungan dari Amerika. Di sisi lain Amerika melihat Jepang sebagai garis depan dalam menghadapi pengaruh komunisme di Asia pada masa Perang Dingin. Oleh karena itu Amerika merasa perlu membangun pangkalan militer di Jepang. Setengah beberapa dekade ketergantungan dan kehadiran Militer Amerika Serikat di Jepang menjadi perdebatan dalam masyarakat Jepang. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pro kontra terkait keberadaan militer AS di Jepang dan factor penyebabnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui wawancara terstruktur terhadap berbagai narasumber yang berdomisili di wilayah Jepang dengan kerangka teori dari Foucault tentang kekuasaan dan Barry Buzan tentang pertahanan negara.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa di satu sisi, Jepang masih membutuhkan militer Amerika Serikat, namun di sisi lain keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan beberapa masalah bagi Jepang. Keberadaan militer Amerika di Jepang diperlukan terutama dikaitkan dengan perkembangan kondisi geopolitik di kawasan Asia Timur pada tahun 2022. Antara lain memanasnya hubungan RRC-Taiwan pada bulan Juli 2022, kembalinya uji coba rudal balistik Korea Utara diatas wilayah Jepang pada Oktober 2022, dan tegangnya hubungan Jepang-Rusia sebagai imbas dari invasi Ukraina pada Februari 2022. Di sisi lain, masalah yang timbul di daerah sekitar markas AS (terutama kepulauan Okinawa) seperti tindakan kriminal para personil militer AS dan polusi yang ditimbulkan membuat keberadaan militer Amerika Serikat menimbulkan permasalahan bagi Jepang. Apalagi pemerintah Jepang juga harus membayar ‘Anggaran Simpati’ untuk memelihara pasukan AS di wilayahnya. Hal itu merupakan beban bagi pemerintah Jepang.

Since Japan's defeat in World War II, Japan was under Allied occupation. Within the Japanese Constitution that was published in 1947, lies an article (Article 9) which prohibits Japan from possessing a military. This however left Japan's vulnerable to threats from neighboring countries such as the PRC, the Soviet Union and North Korea and thus required Japan to ask America for military protection. On the other hand, America saw Japan as the front line in preventing the spread of communism in Asia during the Cold War. Because of that America felt the need to build military bases in Japan. After more than half a century later, Japans dependency of the United States Military presence Japan is still prevalent and has becoming a debate within the Japanese Society. This study investigates the pros and cons regarding the presence of the US military in Japan and the multiple factors behind it. The method used in this research is a qualitative method through structured interviews with various sources (in this case, Japanese Nationals) who reside in Japan with the theoretical framework of Foucault on strength and Barry Buzan on national defense.

The results of this study found that on the one hand, Japan still needs the United States military, but on the other hand the presence of the United States military creates several problems for Japan. America's presence in Japan is needed, especially in relation to geopolitical developments in the East Asia region in 2022. This include the rising tension of PRC-Taiwan relations in July 2022, the return of North Korea's ballistic missile tests over Japanese territory in October 2022, and the worsening of Russo-Japan relations as a result of the invasion of Ukraine in February 2022. On the other hand, problems within in the area around US bases (especially the islands of Okinawa) such as criminal acts of US military personnel and various pollutions caused by military activities. Moreover, the Japanese government also has to pay the 'Sympathy Budget' to maintain US troops on its territory which is becoming a huge burden for the Japanese government to bear."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharwanto
"ABSTRAK
Amerika Serikat mulai melihat Asia Tenggara sebagai daerah yang potensial bagi perkembangan komunisme, hal ini ditambah dengan terbentuknya negara Republik Rakyat Cina (RRC) pada tanggal 1 Oktober 1949. Oleh karena itu Amerika Serikat melakukan serangkaian tindakan pembendungan (Containment Policy) bagi perkembangan komunisme di kawasan tersebut. Tindakan itu terbagi dalam bentuk bantuan ekonomi, dukungan politik dan bantuan militer yang diberikan kepada negara-negara yang terletak di Asia Tenggara.
Berkaitan dengan itu, untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan itu Amerika Serikat membentuk Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) pada tanggal 8 September 1954 yang bertujuan membendung komunisme. Anggota-anggota dari Pakta Pertahanan itu adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Thailand,'Philipina, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru.
Adapun reaksi dari negara-negara yang terletak di Asia Tenggara menolak dengan terbentuknya Pakta Pertahanan SEATO tersebut. Keengganan mereka untuk menjadi anggota disebabkan adanya keyakinan dalam pandangan negara-negara di Asia Tenggara bahwa pada masa sekarang dimana dunia sedang dilanda perang dingin. Dalam hal ini pembentukan SEATO di Asia Tenggara mengundang kekuatan lain untuk hadir di kawasan ini. Oleh karena itu pembentukan SEATO menambah suasana tegang dan membawa pada peperangan bukan perdamaian.
Bagi Indonesia pembentukan SEATO yang diprakarsai oleh Amerika Serikat adalah menolak dengan tegas. Selain bertentangan dengan politik luar negeri babas aktif yang diumumkan oleh H. Hatta pada tanggal 2 September 1948 di muka sidang KNIP, Indonesia juga sebagai negara yang baru saja lepas dari alam kolonialisme dimana perasaan-perasaan nasionalisme masih terasa kuat. Indonesia dalam mencapai kemerdekaan memerlukan perjuangan darah dan air mata dari rakyat Indonesia. Oleh karena itu .penentuan kebijakan luar negeri bukan didasari oleh dorongan atau tekanan dari negara-negara besar tetapi didasari oleh kepentingan rakyat Indonesia sendiri.

"
1995
S12545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Utami Gunawan
"ABSTRAK
Regionalisme merupakan salah satu fenomena yang sering dibahas dalam Ilmu
Hubungan Internasional. Asia Timur yang sebelumnya dianggap sebagai kawasan
yang sulit untuk terintegrasi, dalam perkembangannya mampu disatukan melalui
pembentukan regionalisme ASEAN Plus Three (APT). Tinjauan pustaka ini
berfokus untuk menjawab pertanyaan bagaimana perkembangan literatur
mengkaji regionalisme APT. Kajian pustaka ini memperlihatkan mayoritas
literatur mengenai APT berfokus kepada faktor penghambat dan pendorong
integrasi APT. Faktor pendorong utama peningkatan integrasi APT adalah krisis
keuangan Asia 1997/1998. Sementara, faktor penghambat utama adalah kompetisi
power antar negara anggota APT. Berdasarkan temuan literatur, pendekatan realis
dengan metode kualitatif merupakan pendekatan yang paling sering digunakan
oleh para akademisi untuk menganalisis regionalisme APT. Tinjauan pustaka ini
menemukan masih terbatasnya literatur mengenai APT yang berusaha menyoroti
kepemimpinan ASEAN di kawasan serta dibutuhkannya studi teoritis lebih lanjut
untuk menganalisis karakteristik khas dari regionalisme APT. Studi ini
berkontribusi kepada pemahaman regionalisme Asia Timur.

ABSTRACT
Regionalism is one of many phenomenons which are often discussed in
International Relations. East Asia is considered as a region that faces difficulty
when integrating; during development they faced integration by ASEAN Plus
Three (APT) regionalism. This literature review has a focus to answer how
literatures development explains APT regionalism. Literature studies showed that
majority of literatures in regards to APT are focused on the pushing and constraint
factors of APT integration. The main pushing factor of APT integration is Asia
Financial Crisis in 1997/1998. Meanwhile, the main constraint factor is power
competition among APT state members. Based on literature findings, a realist
approach with qualitative method is the most common approach which is used by
scholars. This literature review found there are limited literatures surrounding
APT that focus on ASEAN leadership in region and further theoretical studies are
needed to analyze the special characteristic of APT regionalism. This study aims
to contribute to the understanding of East Asian Regionalism."
2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Putri Azzuhra
"Regionalisme merupakan konsep yang sering ditemukan dalam studi ilmu hubungan internasional. Konsep ini berkaitan erat dengan kerja sama sejumlah negara guna mencapai sebuah tingkat kedekatan sebagai suatu kawasan. Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang tengah melangsungkan proses regionalisme semenjak tahun 1990-an. Tulisan ini merupakan tinjauan literatur yang bertujuan untuk memetakan literatur- literatur akademik mengenai regionalisme Asia Timur. Pemetaan mencakupi 31 literatur yang dikelompokkan ke dalam tiga tema dengan menggunakan metode taksonomi. Ketiga tema tersebut, antara lain: (1) karakteristik regionalisme Asia Timur; (2) upaya membangun regionalisme Asia Timur; dan (3) perkembangan regionalisme Asia Timur. Setelah melakukan pembacaan terhadap literatur yang dikumpulkan, tulisan ini mengidentifikasi konsensus, perdebatan, dan kesenjangan yang ada di dalam literatur akademik terkait topik regionalisme Asia Timur. Berdasarkan temuan di dalam tinjauan literatur ini, regionalisme Asia Timur tidak akan mengalami peningkatan ke depannya sebagaimana para akademisi memiliki skeptisisme terhadap perkembangan proses regionalisme. Pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis memberikan rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya terkait dengan topik regionalisme Asia Timur.

Regionalism is a concept that appears frequently in the study of international relations. This concept is strongly related to the cooperation of several nations in order to reach a degree of regional connectedness. East Asia is one of the regions that has been undergoing a regionalism process since the 1990s. The purpose of this paper is to map academic literature on East Asian regionalism. The mapping covers 31 literatures that are classified into three themes based on taxonomic method. The three themes are: (1) the characteristics of East Asian regionalism; (2) efforts to build East Asian regionalism; and (3) the development of East Asian regionalism. After reading the collected literatures, this paper identifies the consensus, debates, and gaps on the topic of East Asian regionalism. According to the findings of this literature review, East Asian regionalism will not flourish in the future as the scholars are skeptical of the development on the regionalism process. At the end of the paper, the author provide recommendations for further study on the topic of East Asian regionalism."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulkadir Jailani
"Penulis sengaja memilih topik "Pembentukan Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara" (KBSN-AT) sebagai suatu upaya melindungi lingkungan hidup mengingat selama ini belum ada satu penelitian hukum yang secara khusus membahas masalah ini.
Tujuan penulisan adalah menjelaskan seluruh permasalahan yang timbul melalui sebuah, penelitian hukum guna menemukan prinsip-prinsip hukum yang ada dan berlaku dalam KBSN-AT. Selain itu, Penulisan ini dimaksudkan guna menganalisa seluruh ketentuanketentuan yang terdapat dalam Traktat KBSN-AT serta kompleksitas hukum yang mungkin timbul dan penerapan ketentuan-ketentuan dimaksud.
Penulisan ini didasarkan pada sebuah penelitian yang menggunakan perencanaan experimental design. Disini Penulis menganalisa serta memberikan penjelasan lebih jauh mengenai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Traktat KBSN-AT dengan tujuan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul serta antisipasi penyelesaiannya. Selain itu, Penulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih jauh tentang pembentukan KBSN-AT sebagai suatu fenomena politik internasional.
Selain tujuan secara umum yaitu mendorong penghapusan senjata nuklir secara menyeluruh dalam kerangka global, secara khusus pembentukan KBSN-AT dimaksudkan untuk:
1. Melarang negara-negara Asia Tenggara untuk memiliki, mengembangkan, melakukan uji coba, menempatkan, atau menggunakan senjata nuklir;
2. Menegaskan kembali hak-hak negara Asia Tenggara untuk memanfaatkan energi nuklir guna maksud-maksud damai;
3. Mengupayakan jaminan dari Negara Bersenjata Nuklir bahwa mereka tidak akan menyerang atau mengancam menyerang negara-negara Asia Tenggara dengan senjata nuklir.
Guna memastikan efektifitasnya, KBSN-AT disertai pula sebuah Protokol yang isinya merupakan jaminan dari semua Negara Bersenjata Nuklir untuk menghormati ketentuanketentuan yang ada dalam Traktat serta memberikan "jaminan keamanan negate (negative security assurance). Namun sejauh ini belum ada satupun Negara Bersenjata Nuklir yang menandatangani Protokol Traktat KBSN-AT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Andhika Prajuli
"Penelitian ini membahas pilihan kebijakan akuisisi persenjataan Indonesia tahun 1998-2004 sebagai respon terhadap dinamika lingkungan strategis Asia Tenggara. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam mengambil pilihan kebijakan tersebut, baik faktor intemasional maupun domestik.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data-data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari dokumendokumen yang dikeluarkan oleh institusi-institusi yang terkait. Sementara data sekunder diperoleh dari berbagai tulisan terkait yang dimuat di beragam publikasi seperti, hasil penelitian, jurnal, buku, koran, majalah dan artikel ilmiah. Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian di atas penelitian ini menggunakan konsep dan definisi arms maintenance, arms build-up dan arms race yang diajukan Barry Buzan.
Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa sejak awal 1990an hingga kini, sejumlah negara di Asia Tenggara terus melakukan modernisasi persenjataan. Pada saat krisis ekonomi menghantam Asia Tenggara pada 1997, modernisasi ini sempat terhenti. Namun setelah perekonomian pulih Negara-negara tersebut kembali melakukan modernisasi persenjataan. Modernisasi persenjataan terutama ditujukan bagi pengembangan dan penguatan kekuatan taut dan udara.
Di Asia Tenggara juga terjadi sejumlah konflik antar negara, hanya saja konflik-konflik ini merupakan konflik eskalasi rendah yang tidak menjurus pada kemungkinan terjadinya perang antar negara. Konflik lainnya yang terjadi di Asia tenggara adalah konflik domestik, baik yang berupa separatisme maupun konflik horizontal bersenjata. Konflik domestik ini cukup mendominasi persoalan keamanan di negara-negara Asia tengagra. Contoh dari separatisme tersebut adalah, GAM dan OPM di Indonesia, MILF di Filipina dan Pattani di Thailand. Sementara konflik horizontal bersenjata yang terjadi adalah konflik agama yang terjadi di Ambon dan Poso, Indonesia. Selain itu ancaman-ancaman nonkonvensional, seperti perompakan dan terorisme, juga mengalami peningkatan aktivitas di Asia Tenggara.
Dalam menyikapi dinamika lingkungan strategis yang demikian, akuisisi persenjataan Indonesia mengambil pilihan arms maintenance. Pilihan arms maintenance ini terlihat dari pertama, Indonesia tidak memiliki persepsi bahwa negara lain merupakan ancaman keamanan. Hal ini disebabkan karena Indonesia merasa kemungkinan terjadinya invasi atau agresi terhadap Indonesia adalah kecil sekali. Kedua, peningkatan persentase anggaran militer Indonesia terhadap GNP tidak drastis dan peningkatan persentase tersebut berjalan di dalam perekonomian yang bergerak lambat. Selain itu, anggaran pertahanan juga tidak mencukupi kebutuhan pertahanan Indonesia karena hanya mampu memenuhi 74,12% dari total anggaran pertahanan yang diajukan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan akuisisi persenjataan Indonesia di atas yaitu, pertama, kehadiran AS sebagai payung keamanan di Asia Timur. Kedua, menguatnya isu anti-perang dan ancaman non-konvensional di dunia, termasuk Asia Tenggara. Ketiga, Asia Tenggara tidak memiliki kontlik eskalasi tinggi. Keempat, kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih. Kelima, pemegang otoritas gagal mengembangkan kebijakan pertahanan yang efektif dan keenam, isu pertahanan bukan isu popular di Indonesia.
Akuisisi persenjataan sepanjang 1998-2004 tidak mampu meningkatkan kesiapan operasi persenjataan-persenjataan yang dimiliki. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya persenjataan yang memiliki kesiapan operasi 100%. Rata-rata kesiapan operasi persenjtaan TNI adalah antara 30%-89%. Selain itu, untuk saat ini penguasaan teknologi RMA mutakhir masih sangat sulit untuk dilakukan Indonesia. Ini bisa dilihat dari tidak adanya teknologi persenjataan yang mendukung perkembangan mutakhir di dunia militer tersebut diakuisisi Indonesia sepanjang tahun 1998-2004.Dengan kondisi kemampuan pertahanan yang demikian sejumlah persoalan pun muncul, yaitu:
1. Indonesia tidak akan mampu mempertahankan diri, khususnya di zona I dan II, jika seandainya terjadi agresi atau invasi dari negara lain.
2. Kontrol Indonesia terhadap wilayah kedaulatanya menjadi lemah.
3. Lemahnya kemampuan persenjataan menyebabkan Indonesia tidak mampu memberikan efek pengentaran terhadap negara-negara tetangga.
Dengan demikian perbaikan perlu dilakukan dan harus dimulai dengan pembentukan dewan pertahanan nasional dan penyusunan kebijakan umum pertahanan negara. Tujuannya adalah agar sistem pertahanan Indonesia lebih terarah dan memiliki visi jauh ke depan.
Pembenahan selanjutnya adalah mengubah model koter agar tercipta postur yang ramping, fleksibel dan profesional. Kemudian Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi peran penjagaan keamanan laut dengan membentuk satuan penjaga pantai (coast guard) dengan tugas utama pengamanan taut teritorial, terutama untuk menghadapi ancaman non-konvensional, seperti perompakan, terorisme, pencurian ikan (illegal fishing) dan penyelundupan. Sementara TNI AL diprioritaskan pada pengarnanan laut mulai dari wilayah ZEE hingga wilayah musuh. Dengan model ini pengembangan TNI AL dapat diprioritaskan pada power projection capabilities yang memiliki efek penggentaran."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22031
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>