Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jajat Hidajat
"Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)

Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.
The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.
The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.
In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).
The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.
Reference : 46 (1986 - 2000)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T2755
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Martriandra
"Proses pelaksanaan supervisi program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau P2 ISPA yang dilaksanakan mempunyai arti sangat penting terutama dalam pelaksanaan pelayanan P2ISPA di Puskesmas. Dalam pelaksanaan kegiatan supervisi pelaksanaan program P2ISPA tingkat Puskesmas di Kabupaten Ogan Komering Ilir terlihat tren yang terus menurun dari tahun ketahun yang memberikan dampak menurunnya cakupan program P2ISPA.
Penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif untuk mengetahui tentang proses pelaksanaan supervisi dan memperoleh informasi lebih jauh tentang hal-hal yang melatarbelakangi pelaksanaan supervisi program P2ISPA di puskesmas Kutaraya dan puskesmas Indralaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Penelitian ini diharapkan akan dapat memeberikan pemahaman yang lebih mendalam mengingat masih kurangnya data maupun informasi tentang penelitian proses pelaksanaan supervisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa. Secara umum proses pelaksanaan supervisi , (sejak mulai dari perencanaan ,jadwal supervisi,frekuensi kegiatan, maupun dalam pelaksanaannya berupa pengamatan, pembinaan maupun pembimbingan serta pemecahan masalah, sisi pencatatan dan pelaporan kegiatan ;reed back) kenyataannya belum memenuhi harapan.
Kesimpulan dari penelitian ini dapat dikemukakan bahwa belum baiknya kegiatan proses pelaksanaan supervisi program P2 ISPA yang dilaksanakan di puskesmas Kutaraya dan puskesmas Indralaya, dilatarbelakangi oleh kemampuan manajemen.yang belum baik, upaya perbaikan yang berkesinambungan melalui pendekatan Qualitiy Improvement tidak dilembagakan serta pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten yang intensitasnya masih rendah dalam pelaksanaan program P2ISPA dilapangan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan serta kesimpulan yang dapat diambil, dapat diberikan saran kepada atasan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ilir untuk melakukan upaya pelatihan bagi pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas dalam rangka penguatan kegiatan supervisi. Dengan memanfaatkan peluang otonomi daerah, hal lain yang teramat penting adalah pengadaan sarana maupun dana dalam pelaksanaan supervisi program P2ISPA melalui advocacy kepada Pemerintah Daerah Kabupaten maupun DPR sebagai upaya kesinambungan melalui pendekatan Quality Improvement. Bagi puskesmas sendiri, diperlukan inisiatif untuk memberdayakati seluruh petugasnya melalui pelatihan dan pembinaan tingkat puskesmas pada setiap kesempatan pertemuan puskesmas.

Process Analysis of Supervision on Eradication Acute Respiratory Tract Infection (ARI) Program at 2 Community Health Centers, Kutaraya and Indralaya Ogan Komering Regency 2001.Background: The aim of this study is to know and to get further information about the process of supervision. Supervision is very important to improve the performance of eradicataion Acute Respiratory tract Infection ( ARI ) program at the community Health Centers in Ogan Komering Ilir regency, South Sumatera. Eradication ARI program in this regency, still faces problems, i.e. low target/ coverage, and high underfive morbidity and mortality, and the ongoing evaluation tends to decline within the last three years.
Methods: This study wa a qualitative using indepth interview and observation The location of this study was decided through 2 subdistrict Health Centers, at Kutarya and Indralaya. The subjects were health workers who conduct and responsible to the eradication of ARI
Result : Results showed that the proces of planning, scheduling, guiding! problem solving, recording/reporting and feed back activity conducted by the health workers are still the main problem. There are lack of leadership, on the job training, and teamwork problem solving at those 2 Subdistrict Health Center. This study also indicates that supervision was one of the most effective effort to improve the perfonnance of eradication of ARI program at the community health centers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Muharam
"Ketersediaan obat di Puskesmas sangat penting dalam menunjang kelancaran pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pengelolaan obat yang benar sesuai dengan Pedoman Pengelolaan obat di Puskesmas termasuk pencatatan dan pelaporan obat-obatan adalah suatu kegiatan yang harus dilakukan supaya obat tersedia dalam keadaan cukup baik jumlah maupun jenis.
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) adalah suatu format yang digunakan oleh Puskesmas untuk melaporkan keadaan obat dan pengajuan permintaan obat, selain itu LPLPO diharapkan dapat menyediakan data yang cukup dan benar yang diperlukan kapan saja oleh unit diatasnya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan obat dengan baik serta pengaturan dan pengendalian terhadap unit dibawahnya.
Mengingat pentingnya fungsi LPLPO, maka studi ini akan melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas LPLPO yang dihasilkan oleh petugas pengisi LPLPO di Puskesmas.
Penelitian ini menggunakan data primer berupa kuesioner yang diperoleh dari wawancara untuk mendapatkan gambaran kualifikasi petugas pengisi LPLPO, faktor proses dan faktor lingkungannya (variabel independen) serta data sekunder berupa LPLPO Puskesmas untuk memperoleh sejauh mana kualitas LPLPO yang dinilai dari 3 aspek yaitu waktu penerimaan laporan, cara pengisian laporan, dan kesesuaian data laporan dengan stok obat. LPLPO yang diamati sebanyak 252 set yang diperoleh dgri 21 laporan dengan stok obat. LPLPO yang diamati sebanyak 252 set yang diperoleh dari 21 Puskesmas x 12 set LPLPO selama bulan september 1999 hingga agustus 2000 (variabel dependen).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisa bivariat diperoleh variabel independen yang berhubungan makna dengan kualitas LPLPO adalah Pendidikan, Pengetahuan, Motivasi, Lamanya waktu pengisian LPLPO serta Pengawasan dan bimbingan Pimpinan sedangkan pada analisa multivariat diperoleh bahwa Pengawasan dan bimbingan serta pendidikan berhubungan erat dengan Kualitas LPLPO dan Pengawasan dan bimbingan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kualitas LPLPO.
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ditekankan kepada peningkatan Pengawasan dan bimbingan yang terarah dan terencana baik dari Pihak Dinas Kesehatan/Gudang Farmasi maupun Pimpinan Puskesmas terhadap petugas pengisi LPLPO (Pengelola gudang obat Puskesmas) serta penerapan sistem Reward and Punishment yang adil sebagai konsekuensi pengawasan yang dilaksanakan dan bentuk motivasi kepada petugas untuk meningkatkan kualitas kerja.

Factors that correlate with LPLPO quality of all Puskesmas in Kapuas Hulu District in 1999-2000The availability of medicines in Puskesmas (local community health center) is very important for sustaining excellent health service for the local community. Appropriate management of medicines that is in compliance with Medicines Management Guidelines in Puskesmas, including recording and reporting medicines status, is an activity that should be carried out to maintain the medicines availability in terms of their quantity and types.
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) or Medicines Use Report and Request Form is a format that is used by Puskesmas to report the medicines status and to request for medicines supply. In addition, LPLPO is meant for providing adequate and accurate data that are accessible in any time for any unit above Puskesmas to execute the medicines management functions well and for any unit under Puskesmas to regulate and control them.
Considering the importance of LPLPO function, this study was focused on investigating factors that correlated with the quality of LPLPO completed by Puskesmas staffs that were in charge in completing the form.
This study used primary data in the form of questionnaire obtained from interviews that were designed to get the description of the qualification of the staffs completing the LPLPO, the process factor and its environment factor (independent variable). This study also used secondary data in the form of Puskesmas LPLPOs collected for providing information regarding their quality in terms of 3 aspects, namely, the report acceptance time, the report mode of completion, and the report data compliance with the stock of medicines. The number of analyzed LPLPO was 252 sets that were obtained from 21 Puskesmas x 12 sets of LPLPO during September 1999 until August 2000 (dependent variable).
The study results show that, on the basis of bivariate analysis, the independent variables that correlate with the quality of LPLPO are Education, Knowledge, Motivation, Length of time of LPLPO completion as well as Supervision and Guidance from the Executives, while on the basis of multivariate analysis, the results indicate that Supervision and Guidance as well as Education strongly correlate with the quality of LPLPO and that Supervision and Guidance are variables that most dominantly correlate with the quality of LPLPO.
Recommendations based on the study emphasize on several issues such as the improvement of more well-directed and well-planned Supervision and Guidance from the local Health Department / Pharmacy Storehouse of Puskesmas Executives towards the staffs in charge of completing LPLPO (or Puskesmas Storehouse staff), and the implementation of fair Reward and Punishment system as a consequence of the applied supervision and a form of motivation for the staffs to improve their work quality."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T4455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Mutika
"Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di negara berkembang masih merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi dan balita. Di Indonesia proporsi kematian bayi dan balita oleh ISPA terutama pnemonia masih sangat besar yaitu 38,1% dan 38,8%, sekitar 150.000 balita meninggal oleh pnemonia pertahun. Upaya menurunkan kematian karena ISPA dilakukan dengan meningkatkan pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus ISPA secara benar dan tepat waktu. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia diharapkan memiliki kemampuan manajemen yang baik, sehingga berbagai masalah kesehatan dalam wilayah kerjanya dapat diatasi secara paripuma mandiri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi tentang sistem manajemen puskesmas yang berkaitan dengan cakupan Program P2 ISPA di Kabupaten Musi Banyuasin tahun 2000. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan unit analisis adalah puskesmas. Sampel adalah total populasi yaitu 40 puskesmas di Kabupaten Musi Banyuasin.
Variabel-variabel yang diteliti meliputi variabel independen yaitu input yang terdiri dari tenaga pelaksanan program, buku pedoman, Standard Operating Procedure (SOP), Sarana dan Prasarana serta dana dan process terdiri dari Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), Mini Lokakarya, Supervisi dan Bimbingan teknik serta Pencatatan dan Pelaporan. Sedangkan variabel dependen adalah cakupan Program P2 ISPA. Dengan uji statistik Chi-Square didapatkan ada hubungan yang bermakna antara variabel Buku Pedoman, SOP, Sarana dan Prasarana, PTP, MinIok, serta Supervisi dan Bimbingan Teknis dengan cakupan Program P2 ISPA. Secara keseluruhan input dan process mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan Program P2 ISPA. Selanjumya uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang memberikan pengaruh yang paling besar terhadap cakupan Program P2 ISPA adalah SOP serta Supervisi dan Bimbingan Teknis.
Disarankan agar Petugas pelaksana Program P2 ISPA di Puskesmas bekerja dengan menggunakan Standard Operating Procedure (SOP) dan Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin harus melaksanakan supervisi Program P2 1SPA secara terjadwal dan adekuat.

In a number of developing countries, acute respiratory infection (ISPA) is still the first cause of death of infants and toddlers. In Indonesia the death proportion of infants and toddlers caused by ISPA and pneumonia in particular is large, about 38.1% and 38.8% or approximately 150,000 infants die annually due to pneumonia. Efforts to lower the death rate caused by ISPA have been taken by means of improving health treatment and the treatment of ISPA cases properly and in timely manner. Puskesmas (community health center) as spearhead of health service in Indonesia is expected to have good management so that it can solve and overcome various health issues within its work completely and area autonomously.
This study was aimed at obtaining information on the management system of puskesmas relating to the scope of P2 ISPA program in Musi Banyasin district in 2000. This study employed a cross sectional research design with quantitative descriptive analysis. Puskesmas was the unit of analysis. The sample consisted of total population of 40 puskesmas in Musi Banyuasin district.
The study variables were of two types. The first was independent variable consisting of program executor, guideline book, Standar Operating Procedure (SOP), facilities and infrastructure and processes (puskesmas-level planning, mini workshop, supervision, technical guidance and recording as well as reporting. While the dependent variable consisted of scope of P2 ISPA Program. By employing Chi-Square statistic test, it was revealed that there was a significant correlation between guideline book, Standar Operating Procedure (SOP), facilities, infrastructure, puskesmas-level planning, mini workshop, supervision and technical guidance and scope of P2 ISPA Program. Throughly the input and process have a significant correlation with scope of P2 ISPA Program .In addition the logistic regression test also indicated that the most affecting variables on the scope of P2 ISPA Program were SOP, supervision and technical guidance.
A recommendation is made for program executor of P2 ISPA Program in puskesmas work by using Standar Operating Procedure (SOP) and Health Departement in Musi Banyuasin district have to implement the supervision and technical guidance scheduledly and adequatly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismania Osnita
"Dalam rangka upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan yang berkualitas yang menjangkau semua lapisan (Depkes, 1999). Dimana salah satu masalah kesehatan yang dihadapi di Indonesia adalah masih tingginya kematian balita karena pneumonia, pada tahun 1990 sebanyak 150.000 kematian dan diharapkan tahun 2000 turun menjadi 50.000 kematian melalui pengobatan yang sesuai dengan standar kasus ISPA.
Puskesmas adalah salah satu unit pelayanan kesehatan terdepan yang juga perlu meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk itu semenjak tahun 1998 puskesmas Kota Padang sudah melaksanakan program jaminan mutu (Quality Assurance), yang salah satu kegiatannya adalah menerapkan kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP ISPA pada balita. Setelah 6 (enam) bulan pelaksanaan kegiatan ini terlihat bahwa kepatuhan petugas sudah mencapai 70%-80% namun sesuai dengan hasil laporan puskesmas ternyata pada bulan Juni tahun 2000 kepatuhan petugas menerapkan SOP ISPA ini bahkan turun yaitu menjadi 40% yang seharusnya sudah mencapai 80%-100%.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP ISPA serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan petugas terhadap SOP. Faktor yang diteliti adalah faktor internal yang terdiri dari pelatihan, umur, lama kerja, pengetahuan, persepsi, sikap,dan motivasi sedangkan faktor eksternal yang diteliti adalah komitmen pimpinan dan sarana. Kedua faktor ini merupakan variabel bebas, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan petugas menerapkan SOP ISPA.
Disain penelitian yang dipakai cross sectional. Data dianalisis dengan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Dari hasil analisis bivariat didapatkan hanya yang bermakna pengetahuan, motivasi yang berhubungan dengan kepatuhan petugas menerapkan SOP ISPA. Dengan analisis multivariat didapatkan hubungan yang paling kuat antara pengetahuan dengan kepatuhan petugas terhadap SOP ISPA.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan Dinas Kesehatan Kota Padang dapat menyusun langkah yang akan diambil untuk meningkatkan kepatuhan petugas dalam menerapkan SOP ISPA membantu penyediaan buku pedoman P2ISPA untuk puskesmas pembantu, membuat kebijakan agar puskemas yang bertetangga saling menilai kepatuhan dan memberikan penghargaan pada puskesmas dan petugas yang patuh. Pimpinan puskesmas diharapkan memperhatikan hal-hal yang dapat meningkatkan pengetahuan petugas mengenai SOP ISPA misalnya dengan melakukan pelatihan, memberikan tugas baca pada petugas dan juga memperhatikan hal-hal yang dapat meningkatkan motivasi petugas. Dengan demikian dalam menerapkan SOP ISPA ini petugas akan masuk ke tahap kepatuhan internalisasi yaitu petugas memahami makna dari pemberian pelayanan yang berkualitas sehingga masyarakat puas menerima pelayanan yang diberikan yang akhirnya angka kematian balita karena pneumonia dapat diturunkan.

Factors relate to compliance of health personnel to ARTI Standard Operating Procedure in Mother and Children Unit of Community Health Center in Padang, 2000High quality services that can be afford able by all community level in to increase the community health of the Indonesia people to its optimum level is needed. One of the health problems faced by Indonesia is high infant mortality rate due to pneumonia. In 1990 there were 150.000 deaths due to pneumonia to reduce to 50.000 in the year 2000 by applying standard important case management.
The community health center is one important service to increase the quality service. Therefore, since 1998 the community health center of Padang has performed Quality Assurance program, in which one of its activities to ensure the compliance of the health personnel in applying ARTI Standard Operating Procedure in infants. After 6 months of this activity it can be seen that the health personnel compliance has achieved 70-80%. However, according to the report of the community health in June 2000 the compliance of the health personnel declined to 40% while it should have achieved 80-100%.
The purpose of this research is to identify the health personnel compliance in applying the ARTI Standard Operating Procedure and factors related to the compliance towards the SOP. The factors studied are internal factors such as times enlarge from training, age, tenure, knowledge, perception, attitudes, and motivation while external factors are commitment of supervisor and availability of facilities. All of those factors are independent variables, while dependent variable is the health personnel compliance to apply the ARTI Standard Operating Procedure.
The research design used is cross-sectional. Data are analyzed in invariable bivariate and mulivariate analysis. Bivariate analysis reveals than only two rates of those independent variables, namely knowledge and motivation is related with health personnel compliance in applying the ARTI Standard Operating Procedure. The result of multivariate analysis reveals that the strongest relationship is between knowledge and compliance of health personnel towards the ARTI Standard Operating Procedure. Based on the result it is regicides than the Padang Health Office prepare steps to increase the compliance of the health personnel in applying the ARTI Standard Operating Procedure, by increasing than knowledge by providing guidance book for subsidiary Community Health Center, preparing the policy for the Neighboring Community Health Personnel to assess each other performance and giving rewards to the Community Health Center and personnel that are compliant.
It is expected that the Community Health Center forces theirs effort to matters that will increase the knowledge of health personnel regarding ARTI Standard Operating Procedure such as assigning reading to the health personnel and also find ways to increase their motivation. So in applying the ARTI Standard Operating Procedure the health personnel is expected to enter stage of internalization of compliance to understanding the meaning of giving high quality health service to the people that satisfy those receiving the provided service. In this way it is expected to decrease the mortality rate due to pneumonia in the future.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5311
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naipospos, Nila
"Penyakit Tuberculosis (TB Paru), masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Tuberculosis merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit cardiovasculer dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Di Kota Bogor telah dilaksanakan upaya-upaya untuk menunjang tercapainya Kebijakan operasional baru Pelita VI yang dimulai tahun 1995, tetapi masih ditemukan permasalahan-permasalahan dalam pencapaian target program pemberantasan TB Paru.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kinerja Puskesmas dalam program pemberantasan TB Paru di Kota Bogor tahun 2000. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan Cross- Sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian ini adalah 23 Puskesmas untuk mengukur faktor masukan, sedangkan untuk mengamati faktor proses dilakukan dengan Diskusi Kelompok Terarah pada 6 Puskesmas yang mempunyai kinerja baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya fasilitas laboratorium dan dukungan dana amat diperlukan untuk menunjang keberhasilan Puskesmas dalam melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Juga ditemukan bahwa proses pelaksanaan yang baik sesuai dengan protap program dapat diamati pada Puskesmas yang mempunyai kinerja baik mempunyai kegiatan yang innovatif dan pengendalian yang kuat pada setiap penderita TB Paru.
Melihat hasil penelitian maka disarankan untuk meningkatkan keberhasilan cakupan program, setiap Puskesmas dapat dilengkapi fasilitas laboratorium yang memadai, alokasi dan pemanfaatan dana yang optimal untuk program TB Paru serta pelaksanaan proses diharapkan sesuai dengan protap program.

Factors Related With Community Health Center Performance In National Lung TB Control In Bogor City 2001Tuberculosis disease (lung TB), still becomes public health problem. Tuberculosis stands as the second death cause after cardiovascular disease and as the first death cause in the group of infectious disease. In the city of Bogor there had some efforts to support the new operational policy of Pelita VI that had been applied since 1995. However, there are still some problems to achieve target of National lung TB control.
The goal of this research is to analyze the influence of factors that are related to the performance of community Heath Centre in National lung TB control in the city of Bogor. This research is a cross-sectional study design, which applies a Quantitative approach. To measure the incoming factors, twenty-three Community Health Centers has been taken as the samples of this research: and to analyze the process factors, Focus Group Discussion have been applied in six Community Health Centers which have good performance.
The result of this research shows that the existence of adequate laboratories facilities and provision financial support are needed to realize the success of National lung TB control. Furthermore, it could be analyzed that the good operational process happens in the Community Health Centers which have good performance; in those centers, they have innovative program and strong control towards every lung patient.
Analyzing the result of the research, it is suggested that to improve the scope of the successful program, every Community Health Centre need to be supported by adequate laboratory facilities, adequate financial budget allocation, optimum budget operation and appropriate performance of personal in applying the process of national lung TB control.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmansyah
"Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang berdiri kurang lebih satu tahun terhitung sejak April 2000, sampai saat sekarang belum memperlihatkan kinerja yang optimal. Selama April-Juli 2000 permasalahan yang dihadapi adalah keterlambatan dalam hal pengolahan laporan dari puskesmas dan pengiriman ke propinsi. Untuk mengetahui gambaran kinerja perlu dilakukan suatu analisa pada sumber daya manusia dalam rangka pengembangan produktifitas kerja menuju era desentralisasi pada tahun 2001. Analisa ini dilakukan melalui penelitian kualitatif terbadap 19 orang pejabat struktural. Kinerja lima orang kepala seksi ditelaah melalui wawancara mendalam. Kepada 14 orang kepala sub seksi dilakukan fokus grup diskusi. Self assesment tentang penilaian prestasi kerja dan penilaian kehadiran dilakukan terhadap 19 orang pejabat struktural. Secara faktual kepemimpinan kepala seksi sudah cukup baik, tapi belum diikuti dengan ketegasan khususnya kedisiplinan. Kemampuan dan keterampilan kepala seksi dan kepala sub seksi masih kurang. Seluruh kepala seksi dan kepala sub seksi baru satu tahun bekerja di jabatan yang diembannya sekarang. Sarana dan prasarana yang sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tugas masih sangat kurang. Sedangkan motivasi kerja baik kepala seksi maupun kepala sub seksi masih cukup tinggi. Selanjutnya pengawasan dalam bentuk absensi kehadiran masih sangat lemah. Kesimpulan dari penelitian ini memberikan gambaran rendahnya kinerja karena kurangnya kemampuan dan pengalaman kerja kepala seksi dan kepala sub seksi, serta kurangnya fasilitas sarana prasarana ditambah lagi lemahnya pengawasan pengendalian pimpinan. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap kesiapan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang dalam menyongsong otonomi daerah pada tahun 2001. Karena itu disarankan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan baik melalui on the job training, pelatihan, kursus dan tugas belajar. Jabatan rangkap sebaiknya dihilangkan dengan mengisi formasi struktural yang kosong. Pengadaan sarana seperti komputer, mesin ketik, kendaraan roda dua, ruangan yang cukup baik dan representatif untuk jangka panjang penyediaan perumahan untuk pegawai.

Staffs Performance Analysis of Bengkayang Health District Office in the Year 2000 Bengkayang Health District office was founded in April 2000, and has not carried out its optimal performance. As a new founded health service, during April - July 2000, Bengkayang Health District Office faced unpunctuality in the report processing from the Community Health Center and the delivery of the report to provincial level. Identification of the performance portrayal required the analysis of human resources in relation with the work productivity development towards the decentralization period in 2001. The analysis was conducted by qualitative research to 19 structural officials; where five section heads were analyzed by in-depth interview, and 14 sub-section heads were analyzed by focused urn up discussion. Self-assessment was also performed to the 19 structural officials. The leadership of the section heads was good enough, but it hadn't accompanied by showing their determination and discipline. The ability and skill of the section heads and sub section heads were still not favorable. They had held their duties for only a year. Although all the officials were high motivated enough, the facilities were still inadequate to support their tasks. In other side, the absence was also not controlled well enough, The result of this research illustrated low performances, which had been produced by the lack of ability and work experiences of the section heads and sub section heads, inadequate facilities, and inadequate control of the principal. This condition would have great impact to the readiness of Bengkayang Health District Office to encounter the district autonomy in the year 2001. I would like to suggest the 13engkayang Health District Office to enhance the ability and skill of its staffs by providing job training, courses, and study opportunity. Double job responsibility should be eliminated by fulfilling the other vacant position in the organization structure. There are also requirements to provide facilities such as computers, typewriters, motorcycles, representative and comfortable rooms, and for long term, to provide housing facilities for the staffs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T5246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Suhartini
"Hepatitis E adalah peradangan yang menyerang organ hati yang disebabkan virus hepatitis E (HEV), yang ditularkan secara "fecal oral" melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja manusia yang mengandung HEV.
Di Indonesia Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis E pernah terjadi di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, pada tahun 1987, 1989, dan 1991 dan di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur pada tahun 1998. Sampai dengan akhir April 2001 masih ditemukan penderita Hepatitis E yang berobat ke Puskesmas Sukosari dan Wonosari Kabupaten Bondowoso.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas bakteriologi air yang digunakan oleh masyarakat dengan kejadian Hepatitis E di Puskesmas Sukosari dan Wonosari Kabupaten Bondowoso tahun 2000 - 2001.
Disain penelitian menggunakan disain kasus kontrol tidak berpadanan, dengan perbandingan kasus dan kontrol 1 : 1. Jumlah sampel minimal yang diperlukan sebanyak 88 kasus dan 88 kontrol. Populasi kasus adalah penderita Hepatitis E yang berobat ke Puskesmas Sukosari dan Wonosari sedang populasi kontrol adalah penderita bukan penyakit Hepatitis E yang berobat ke Puskesmas Wonosari dan Sukosari sejak 1 Januari 2000 sampai dengan 31 April 2001.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Hepatitis E, sedangkan variabel independen utamanya adalah, kualitas bakteriologi air.
Hasil penelitian menunjukkan air yang terkontaminasi coliform berhubungan dengan kejadian HEV setelah dikontrol oleh faktor konfounder (OR : 2.45 (95% CI : 1.23 - 4.89; p = 0.01)). Variabel konfounder tersebut adalah kebiasaan minum air masak, kebiasaan jajan, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
Jadi orang yang menggunakan air yang terkontaminasi coliform berisiko terkena HEV 2 kali dibanding orang yang menggunakan air yang tidak terkontamininasi tinja/coliform.
Bila kelompok kontrol diasumsikan mewakili populasinya, maka upaya perbaikan kualitas bakteriologi air yang digunakan masyarakat, penerapan kebiasaan minum air masak, dan mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan, maka diperkirakan dapat menurunkan proporsi kejadian HEV sebesar 55%.

Water quality and Hepatitis E Virus at the Health Center of Sukosari and Wonosari, District of Bondowoso, for period 2000 ? 2001Hepatitis E is known as one of the liver inflammation, caused by Hepatitis E virus. The disease is transmitted by the fecal - oral route and fecally contaminated water and food.
The outbreaks of Hepatitis E have been reported from District of Sintang, West Kalimantan, in the year of 1987, 1989 and 1991. So did from District of Bondowoso, Provincial of East Java in 1998.
Up to the end of April 2001, there were still found the patients of Hepatitis E who were treated at the Health Center of Sukosari and Wonosari, District of Bondowoso.
The Objective of this study is to identify the association between the microbiological water qualities used by community with the occurrence of Hepatitis E.
The research design use unmatched case control study, with control to case ratio 1 : 1.
The minimum sample size used is 88 cases and 88 controls respectively. The sources of case are patients of Hepatitis E who were treated at the Health Center of Sukosari and Wonosari. On the other hand, the sources of control are non Hepatitis E patients who were treated in both of the Health Centers mentioned before.
Dependent variable in this study is the occurrence of Hepatitis E, and its main independent variable is microbiological water quality.
The result of this study shown that the microbiological water quality has a significant association with the occurrence of HEV after has been adjusted by the confounder factors. (OR : 2.45; 95% CI 1.23 - 4.89; p = 0.01). Those factors are, the habit of drinking boiled water, and hand washing before eating. Therefore, respondent who used fecally contaminated water has a risk infected by HEV 2 times bigger than the respondent who used safe water.
Referring to the result of this study, if control group is assumed represent its population, a water quality improvement, practical of drinking boiled water and hand washing before eating, are predicted reduce the proportion of HEV occurrence about 55%."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 8178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eny Setyowati
"Puskesmas dalam pembangunan kesehatan khususnya pada upaya kesehatan adalah sebagai pelaksana pelayanan kesehatan dasar. Dalam rangka untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal maka Puskesmas harus dapat memantapkan mempertahankan jangkauan dan pemerataan serta meningkatkan mutu pelayanan.
Puskesmas Pal V merupakan salah satu Puskesmas di Kota Pontianak yang mempunyai jumlah kunjungan yang cenderung mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir. Wilayah kerja Puskesmas Pal V terletak dipinggiran Kota Pontianak dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Pontianak, merupakan daerah perkebunan dan pertanian, sebagian besar penduduknya berpendidikan SD. Wilayah kerja Puskesmas ini belum terjangkau sumber air bersih PDAM, sehingga memanfaatkan air hujan, air pant, sumur (kolam). Pola penyakit berpotensi wabah seperti diare dan demam berdarah sering ditemui, begitu juga dengan malaria dan TBC. Hasil pemantauan status gizi tahun 1999 menunjukkan bahwa KEP total adalah 32,6 %.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya gambaran pemanfaatan pelayanan pengobatan Puskesmas dan faktor faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan pengobatan serta mendapatkan gambaran kepuasan pasien pelayanar pengobatan Puskesmas Pal V. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan jeni; penelitiannya adalah potong lintang (crosectional ).
Hasil analisa univariat menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan pelayanan pengobatan Puskesmas Pal V Kota Pontianak tahun 2000 adalah 54 %. Proporsi kepuasan terendah terletak pada kebersihan wc/toilet, waktu pelayanan sesuai jadwal dan waktu tunggu yang terlalu lama. Proporsi terbanyak alasan tidak memanfaatkan pelayanan pengobatan Puskesmas Pal V adalah jaraknya yang jauh. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa variabel jarak, tarif dan kebutuhan berhubungan bermakna dengan pemanfaatan pelayanan pengobatan. Pada Analisa Multivariat menunjukkan bahwa variabel jarak, tarsi, pendidikan dan kebutuhan berperanan dalam pemanfaatan pelayanan pengobatan. Di samping itu variabel independent yang dominan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan pengobatan adalah variabel kebutuhan.
Saran sehubungan hasii penelitian ini, bahwa Pemda pada masa yang akan datang dalam rangka reformasi Puskesmas maka evaluasi terhadap pelayanan Puskesmas agar dilakukan dengan Community Based dan bukan Facility Based. Di samping itu Puskesmas perlu melakukan pengukuran kepuasan pasien secara berkala dan terus menerus sebagai sarana evaluasi terhadap pelayanan yang telah diberikan.

Factors that Correlate with the Utilization of Puskesmas Medical Treatment and Description of Patients Perceptions of Satisfaction at Puskesmas Pal V Pontianak City Year 2000In health development and health promotion in particular, Puskesmas plays an important role as a basic health service provider. To improve the people health maximally, Puskesmas needs to maintain and extend its service coverage as well as to improve its service quality.
Puskesmas Pal V is one of Puskemas in Pontianak City whose level of patient visits tends to decline in the last three years. The service area of Puskesmas Pal V extends within the outskirts of the cit and next to Pontianak district. The area consists of plantations and farms. Its people are mostly primary school graduates. The area has not been accessed by clean water supply of the local government water company so that it relies on rains, rivers and wells. Epidemic diseases like diarrhea and dengue fever as well as malaria and TBC are commonly found in this area. Result from the 1999 nutrition status survey shows that total KEP is 32.6%.
This study was aimed at examining the utilization of medical treatment at Puskesmas and factors that correlate with the utilization as well as obtaining description of patients of satisfaction toward the medical treatment provided by Puskesmas Pal V. This study was quantitative and employed cross sectional type of study.
Result from univariate analysis shows that level of utilization of medical treatment at Puskesmas Pal V in Pontianak City year 2000 is 54%. The lowest proportion of satisfaction includes toilet/water closet sanitation, on-schedule treatment time and extended waiting time. The largest proportion of reasons not to take medical treatment at the Puskesmas is related to Puskesmas long distance. Result from Chi Square statistical test shows that certain variables consisting of distance, fee and needs are significantly correlated with the utilization of medical treatment. The multivariate analysis indicates that variables including distance, fee, education and needs play important roles in the utilization of medical treatment. In addition, independent variable that dominantly correlates with the utilization of medical treatment is needs.
The recommendations offered are as follows: in the future, the local government, to reform the Puskesmas, should consider the evaluation of the Puskemas service by employing Community Based approach rather than Facility Based approach. In addition, Puskemas needs to conduct regular and continuous assessment of patients' satisfaction as an evaluation on the service provided.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya Thaher
"Rendahnya jumlah operasi katarak di Puskesmas binaan Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dapat dilihat dari data 5 tahun terakhir yang memperlihatkan bahwa jumlah operasi hanya sebanyak 47 operasi setahun, untuk itu perlu diteliti mengapa penderita katarak tidak memanfaatkan fasilitas operasi katarak yang telah disediakan di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: persepsi penderita terhadap penyakit dan pengobatan, persepsi penderita terhadap pelayanan kesehatan, faktor jarak tempat pelayanan kerumah, faktor biaya operasi katarak, faktor kebutuhan yang dirasakan penderita dan pemanfaatan pelayanan operasi katarak di Puskesmas.
Penelitian ini dilakukan di 3 Puskesmann yaitu: Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin dan Tarusan. Sebagai informan adalah penderita katarak yang sudah seharusnya di operasi dan penderita katarak yang sudah di operasi tetapi tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang ada di Puskesmas, penelitian ini juga melibatkan Kepala Puskesmas dan perawat Puskesmas.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Informan terdiri dari 11 orang penderita katarak, 2 orang diantaranya telah dioperasi di tempat lain.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Hampir semua informan tidak mengetahui penyebab timbulnya katarak, tetapi semua informan tahu pengobatan katarak dan akibat jika tidak dioperasi.
2. Sebagian besar informan mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak dengan kualitas cukup baik.
3. Hampir semua informan mengatakan bahwa jarak ketempat pelayanan dari rumah dekat dan tidak menjadi hambatan.
4. Sebagian besar informan tidak tahu berapa biaya operasi katarak, mereka ada yang mempermasalahkan dan ada yang tidak mempermasalahkan sesuai dengan kesanggupan mereka.
5. Semua informan sangat menginginkan agar mata mereka yang buta dapat melihat kembali.
6. Sebagian besar informan keluarganya berobat ke Puskesmas dan sebagian besar mereka pemah berobat ke Puskesmas. Alasan mereka tidak memanfaatkan pelayanan operasi katarak yang tersedia di Puskesmas adalah karena takut operasi dan tidak ada biaya.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: hambatan utama yang dihadapi informan adalah rasa takut operasi dan tidak ada biaya untuk operasi. Untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan operasi katarak dimasa datang, maka diperlukan penyebarluasan informasi, agar semua masyarakat mengetahui bahwa di Puskesmas ada pelayanan operasi katarak. Penyuluhan yang terus menerus tentang penyakit katarak serta memberikan informasi yang rinci tentang biaya operasi katarak. Untuk mengatasi hambatan biaya diharapkan subsidi dari pemerintah daerah bagi masyarakat yang tidak mampu.

The Analysis of Cataract Patients Behavior Who Didn't Utilize the Cataract Surgery Facility at Puskesmas Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan, West Sumatera Province, 2000Low number of cataract surgery in Community Health Center (Puskesmas) cultivated by Community Eye Care Institution (BKMM) can be seen from last 5 years data which showed numbers of surgery only 47 a year, it need to take investigated the reason why cataract patients does not utilize cataract surgery service facility at the Puskesmas.
This research objective is to gather information about patients perceptions to the disease and its therapy, healthcare service, distance factor, surgery cost factor, perceived need by the patients and the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas.
This research done in 3 Community Health Center such as Lubuk Alung, Sicincin and Tarusan. The informant is a cataract patient that actually has to be operated and already operated but did not take cataract surgery service at the Puskesmas, This research also involve the Head and nurses of the Puskesmas.
This research used qualitative research design with in depth interview technical to compile data. Informant consist of 11 cataract patients which 2 of them already surgery at the other health service.
The result showed:
1. Almost all informants do not know why they get cataract, but all informants know how to deal with the sickness and its consequence if they ignore the sickness.
2. There are major of informant know that there is good quality of cataract surgery service at the Puskesmas.
3. Almost all informants stated no problem with the distance between house and Puskesmas.
4. There are major of informant does not know the cataract surgery cost and the take it as problem according the ability.
5. All informants really want to use their blind eyes like before again.
6. There are major of informant take the Puskesmas treatment.
The reason why their does not utilize cataract surgery service at the Puskesmas because they fear with surgery and the cost does not available.
The conclusion of this research is cost and fear feeling to have surgery make them avoiding to utilize the service. To increase the utilization of the cataract surgery service at the Puskesmas in the future, there is necessary to socialize information so that community knows there is cataract surgery service at the Puskesmas. Continue extension about cataract disease and detail information about the surgery cost has to be taken. And of course there are expectations of government subsidy for the poverty community.
"
2001
T9366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library