Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi Nurhiyani
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang optimal seorang anak, akan tetapi pengaruh gangguan susunan saraf pusat seperti palsi serebral merupakan faktor terpenting yang mungkin masih dapat dicegah lebih lanjut dengan penanganan dini (hendarto, 1982). Penanganan dini (pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi dini) gangguan susunan saraf pusat sangat penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu program pemerintah pada Repelita V yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai tulang punggung pembangunan.
Palsi serebral adalah gangguan pada suatu saat dalam masa perkembangan anak yang mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif, disebut juga 'Significant Developmental Motor Disability' (SDMD) (Abrams dan Panagakos, 1980). Kelainan ini dapat terjadi intrauterin
(pranatal), perinatal atau pascanatal. Walaupun sulit untuk meneliti secara retrospektif etiologi palsi serebral terutama yang berhubungan dengan faktor pranatal dan perinatal (Stanley, 1884), tetapi etiologi kelainan ini harus dicari, karena penting untuk pencegahan (Breland, 1985).
William John Little (1862) salah seorang pendiri disiplin ilmu bedah tulang di Inggris, pertama kali menghubungkan palsi serebral dengan kelainan pra dan perinatal, sehingga dahulu kelainan ini disebut sebagai 'Little disease'. Berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan dibuat penggolongan sebagai berikut: rigiditas hemiplegia, rigiditas paraplegia, rigiditas umum dan kelainan gerak tanpa rigiditas (Ingram, 1984). Saat ini dipergunakan penggolongan menurut WHO International Classification of Diseases (W.H.O., 1977) yakni: diplegia, hemiplegia, kuadriplegia, monoplegia, paraplegia, hipotonia,
kuadriplegia dengan atetoid dan paraplegia dengan hipotonia.
Dengan pelayanan dan kemajuan obstetrik yang baik, kemajuan unit perinatalogi, dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian anak-anak dengan palsi serebral menurun. Pada tahun 1950-an angka kejadian palsi serebral 4-7/1000 kelahiran hidup, pada tahun 1980-an turun menjadi 1,5/1000 kelahiran hidup (Glenting, 1982).
Di negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran tidak hanya menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, tetapi juga meningkatkan jumlah anak-anak yang dahulu biasanya meninggal sehingga akhirnya meningkatkan pasien gangguan perkembangan (Hendarto dkk., 1985).
Bobath & Bobath {1978) menekankan pentingnya pengobatan dini palsi serebral, sehingga pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak dipergunakan perkembangan refleks primitif dan beberapa reaksi tubuh sebagai suatu cara diagnostik dini gangguan pergerakan serebral. Dengan rehabilitasi media dini diharapkan tercapainya fungsi optimal pasien palsi serebral, karena disfungsi otak terjadi pada saat tumbuh kembang anak belum selesai dan masih berlanjut (Sachs, 1984). Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian klinis dan sesuai dengan teori Von Hoff (1981), yang mengatakan bahwa perbaikan kerusakan otak lebih baik pada anak daripada orang dewasa. Menurut d'Avignon dkk. {1981), metode diagnostik Voyta dapat mendeteksi palsi serebral secara dini dan ternyata penanggulangan fisioterapi dini dengan metode Voyta memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode Bobath. Gangguan perkembangan mental yang menyertai palsi serebral dapat merupakan penghalang untuk mencapai kemajuan pengobatan (Hendarto dkk., 1985). Pada kasus tertentu, sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan foto kepala, elektroensefalografi serta angiografi. Tetapi saat ini pada kasus palsi serebral dengan etiologi yang tidak jelas atau tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonogragi kepala (Nwaesei dkk., 1988) dan "CT scan' kepala yang merupakan pemeriksaan tidak invasif (Kulakowski dkk., 1979; Kotlarek dkk., 1980; Taudorf dkk., 1984 ).
Phelps (1937) menyarankan untuk pertama kalinya pembentukan suatu unit rehabilitasi di Amerika, serta mempopulerkan penatalaksanaan multidisiplin terhadap pasien palsi serebral, seperti disiplin ilmu bedah tulang, saraf, nata, THT, ahli bina?.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumempouw, Sylvia Francina
"Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas dan keamanan Acetylcholinesterase Inhibitor Galantamine pada penderita Alzheimer dan Alzheimer?s Disease (AD) yang disertai dengan penyakit serebrovaskular (AD+CVD atau Mixed Dementia). Galantamine diberikan selama 6 bulan pada 28 penderita AD dan AD + CVD. Evaluasi kognitif dilakukan dengan menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE), Restricted Reminding (RR), Neuropsycholgy Assessment, evaluasi fungsi global dengan Clinical Dementia Rating (CDR), evaluasi perubahan perilaku dengan Neuropsychiatric Inventory (NPI). Hasil penelitian pada 28 penderita AD dan AD + CVD, Galantamine memberikan perbaikan fungsi kognitif yang bermakna secara klinis maupun statistik setelah terapi 6 bulan dibandingkan data dasar awal (skor MMSE p<0.05, skor RR p<0.05, NA p<0.05), perbaikan fungsi global (CDR p<0.05) dan perbaikan gejala perilaku (NPI p<0.05). Efek samping ringan (32%) mual-mual dan anokresia terjadi saat titrasi dosis obat dan dapat diatasi dengan domperidone. Disimpulkan bahwa Galantamine efektif memberikan perbaikan fungsi kognitif, fungsi global, gejala perilaku dan aman serta dapat ditoleransi dengan baik. (Med J Indones 2007; 16:94-100).

This study was aimed to evaluate the efficacy and safety of Acetylcholinesterase Inhibitor Galantamine (Reminyl®) for patients with Alzheimer?s Disease (AD) and Alzheimer?s Disease with cerebrovascular Disease (AD+CVD or mixed Dementia). A 6-month open label observational study of Galantamine has been conducted on 28 patients with AD and AD+CVD patients. Primary endpoints were cognitive performance as assessed using the Mini Mental Scale Examination (MMSE), the Restricted Reminding Test), the Neuropsychology Assessment, the Clinical Dementia Rating (CDR) to assess global function and the Neuropsychiatric Inventory (NPI) to assess behavioral symptoms. Patients were also monitored for safety evaluation. Six month Galantamine group had a significant better outcome of cognitive performance, global function and behavioral symptoms compared with the baseline data as were assessed using the MMSE (p<0.05), the Restricted Reminding (p<0.05), the Neuropsychology Assessment (p<0.05), the CDR (p<0.05) and the NPI (p<0.05). Minimal adverse events (32%) were anorexia and nausea. It is concluded that Galantamine has a significant benefit to improve cognitive, global function, behavioral symptoms and only caused minimal adverse events. (Med J Indones 2007; 16:94-100)."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-94
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Harkati Anggraheni
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yang V. Li, editor
"Stroke is a major cause of death and disability in the U.S. and worldwide. A variety of pathophysiologic episodes or cellular medications occur following a stroke, and knowledge of these aftermath events can lead to potential therapeutic strategies that may reverse or attenuate stroke injury. Cellular events that occur following stroke include the excessive releases of excitatory amino acids, alterations in the genomic responses, mitochondrial injury producing reactive oxygen and nitrogen species (ROS), and secondary injury, often in the setting of reperfusion."
New York: [, Springer], 2012
e20417622
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"Penduduk di kawasan Asia Pacifik memiliki asupan nutrisi serta status nutrisi yang sangat beragam. Asupan enersi harian serta proporsi asupan lemak dalam makanan yang tertinggi ditunjukkan oleh penduduk Selandia Baru (enersi total 3475 Kkal; proporsi lemak 37,2% atau 1293 Kkal), sedangkan yang terendah adalah penduduk Thailand (enersi total 2288 Kkal; proporsi lemak 13,1% atau 300 Kkal). Sedangkan penduduk Indonesia adalah nomor tiga dari bawah (enersi total 2631 Kkal; proporsi lemak 14,5% atau 381,9 Kkal). Asupan lemak hewani adalah 29,7% (1033 Kkal) dari asupan enersi harian total pada penduduk Selandia Baru, sedangkan mortality rate untuk penyakit jantung koroner (CHD) juga yang tertinggi (228 per 100.000 penduduk untuk pria dan 173 untuk wanita). Sebaliknya, asupan lemak hewani penduduk Indonesia hanya 1,47% (38,7 Kkal) dari asupan enersi harian total, sedangkan mortality rate di bawah 50 per 100.000 penduduk untuk pria dan wanita. Dibanding dengan nilai limabelas tahun sebelumnya, asupan lemak hewani penduduk Selandia Baru telah menurun 90%, Australia 88%, Filipina 99%, sedangkan Indonesia justru meningkat 157%. Di Selandia Baru dan Australia, proporsi kematian akibat penyakit kardio-vaskuler (CVD) untuk pria adalah di atas 40% dari total kematian. Sebaliknya, Jepang adalah sebuah negara maju tetapi memiliki mortalty rate untuk CVD kurang dari 30% dari total kematian. Dengan nilai ini, Jepang setara dengan negara yang kurang begitu maju seperti Malaysia dan Filipina. Namun dalam hal cerebrovascular (stroke) mortality, Jepang tergolong kelompok dengan kategori tertinggi. Nampaknya selain asupan lemak yang tinggi, stres dan mungkin juga berbagai faktor lain menjadi sebab utama timbulnya stroke. Nilai rata-rata asupan enersi harian total penduduk Indonesia adalah 2631 Kkal, yang terdiri atas 8,7% protein (228,9 Kkal, 52,2 g), 76,8% hidratarang (2020 Kkal, 505 g), dan 14,5% lemak (381,9 Kkal, 42,4 g). Asupan lemak hewani penduduk Indonesia hanya 4,3 g perhari (38,7 Kkal) yakni sebesar 1,47% dari asupan enersi harian total. Walau rendah, namun nilai ini meningkat 157% dari nilai limabelas tahun sebelumnya. Mortality rate untuk CHD di Indonesia masih relatif rendah (di bawah 50 per 100.000), namun ini hanya soal waktu saja dan akan segera meningkat sejalan dengan meningkatnya asupan lemak (terutama hewani) dan asupan enersi total. (Med J Indones 2004; 13: 252-7)

Countries in the Asia-Pacific region differ widely with respect to their nutritional intake and nutritional status. The highest daily energy and proportion of fat intakes of the population is shown by the New Zealanders (total energy 3475 Kcals; fat proportion 37.2% or 1293 Kcals), while the lowest is the Siamese (total energy 2288 Kcals; fat proportion 13.1% or 300 Kcals). The Indonesian on the other hand, is at the third from the bottom (total energy 2631 Kcals; proportion of fat is 14.5% or 381.9 Kcals). Animal fat contributes to 29.7% (1033 Kcals) of the total daily energy intake of the New Zealanders (total 3475 Kcals), and the mortality rate coronary heart disease (CHD) is also the highest (228 per 100,000 populations for men and 173 for women). In contrast, the proportion of animal fat in Indonesian menu is only 1.47% (38.7 Kcals) of the total daily energy intake, while the CHD mortality rate is still below 50 per 100,000 for both men and women. Compared to the same values fifteen years before, animal fat intake of the New Zealanders has a decrease of 90%, Australian 88%, Philippines 99%, however the Indonesian on the other hand, has an increase of 157%. In New Zealand and Australia, the proportion of mortality attributed to cardiovascular disease (CVD) for men accounts for over 40% of total mortality. Japan however, the proportion mortality rate for CVD is only less than 30% of total mortality. In this level, Japan places itself among less industrialized group such as Malaysia and the Philippines. In the case of cerebrovascular (stroke) mortality however, Japan belongs to the highest category group. It seems that apart of high fat intake, stress and possibly also other factors play a major role in the development of stroke. The mean Indonesian total energy intake is 2631 Kcals, consisting of 8.7% protein (228.9 Kcals, 52.2 g), 76.8% carbohydrate (2020 Kcals, 505 g), and 14.5% fat (381.9 Kcals, 42.4 g). Animal fat intake is only 4.3 g/day (38.7 Kcals) which is 1.47% of the total energy intake. Although appears to be low, but it has a 157% increase if compared to the same value fifteen years before. Indonesian CHD mortality rate is still relatively low (below 50 per 100,000), however it is only a matter of time that the this value will soon increase in line with the increase of fat (especially animal fat) and total energy intakes. (Med J Indones 2004; 13: 252-7)"
Medical Journal Of Indonesia, 13 (4) October December 2004: 252-257, 2004
MJIN-13-4-OctDec2004-252
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Paolo Gresele, editors
"This is the first comprehensive handbook entirely dedicated to all the aspects of antiplatelet therapy. The book is divided into three main sections, pathophysiology, pharmacology and therapy, for a total of 23 chapters. A large group of leading experts from different European countries and from the USA, both from academia and industry, have contributed to the book. Besides a detailed overview on the pharmacology and clinical applications of all the currently used or of the novel antiplatelet agents, innovative approaches (e.g. intracellular signalling as an antiplatelet target, small RNAs as platelet therapeutics, etc.) or unconventional aspects (e.g. pharmacologic modulation of the inflammatory action of platelets are also treated. "
Berlin: [, Springer], 2012
e20417742
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 >>