Ditemukan 75 dokumen yang sesuai dengan query
Aspardi
"Adat dan upacara perkawinan tidak dapat terlepas dari hakikat dan pengertian perkawinan, demikian pula adat dan upacara perkawinan dalam masyarakat hukum adat Mentawai. Masyarakat hukum adat Mentawai terdiri dari Si Bakat Laggai, Si Mabajak Laggai, Kepala Banjar, Paneinei Paamian dan Sibajak Gareja, dan Si uttei Surau. Mereka hidup di wilayah yang cukup sulit secara geografis sehingga pandangan orang luar baik orang Indonesia maupun orang mancanegara, penduduk Mentawai adalah suku terasing, walaupun sifat keterasingan tersebut lebih cenderung disebabkan karena kondisi geografis wilayah tersebut dan bukan karena sifat penduduknya yang cenderung untuk mengasingkan diri. Hukum perkawinan adat Mentawai, disahkan oleh kepala adat yaitu Rimata. Dalam hal perkawinan orang Mentawai sangat memegang teguh adat dan istiadat mereka di samping bidang-bidang kehidupan lainnya, karena bagi mereka perkawinan adalah suatu hal yang suci dan ada hubungannya dengan Arat Sabulungan, yaitu agama dan kepercayaan roh-roh leluhur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan tidak banyak terjadi, sanksi yang dijatuhkan dengan pembayaran yang berupa denda bahkan sampai ke pengasingan keluar dari wilayah hukum masyarakat hukum adat setempat. Dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keberlakuan undang-undang tersebut menjadi pertanyaan sendiri apabila dikaitkan dengan hukum adat perkawinan Mentawai sebagai suku yang masih memegang teguh adat dan hukum adatnya. Penulis melakukan penelitian mendalam dengan terjun langsung ke wilayah Mentawai untuk melihat sampai sejauh mana efektivitas keberlakuan tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Lidia Karlani
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kenyataan di masyarakat terjadi penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan melakukan perkawinan di bawah tangan. Apakah alasan suami istri memilih melakukan perkawinan di bawah tangan di kota Bengkulu? Apa akibat hukum dari perkawinan tersebut terhadap istri, anak dan harta bersama? Bagaimana prosedur hukum yang harus dilalui oleh suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah?. Penelitian kepustakaan yang didukung dengan data dari lapangan berupa wawancara dengan nara sumber yang kompeten. Alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah tangan karena biaya mahal, suami yang melakukan poligami, Pegawai Negeri Sipil yang tunduk pada PP Nomor 10 Tahun 1983 direvisi PP Nomor 45 Tahun 1990, alasan agama untuk menghindari perbuatan zina dan belum diakui oleh negara suatu penganut Kepercayaan sebagai agama. Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan terhadap status istri, yaitu tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak atas warisan dan pensiunan suami, apabila terjadinya perceraian istri tidak berhak atas harta bersama. Terhadap status anak dianggap sebagai anak luar kawin, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Terhadap harta bersama, tidak ada harta bersama. Prosedur hukum yang dilalui suami istri bila ingin meningkatkan status perkawinan di bawah tangan menjadi perkawinan sah di mata hukum bagi beragama Islam mengajukan permohonan Itsbat Nikah pada Pengadilan Agama sesuai KHI Pasal 7. Mengulangi perkawinan diantara mereka disertai pencatatan perkawinan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Untuk menghindari terjadinya perkawinan dibawah tangan yang berdampak pada status istri dan anak, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan.
A marriage is considered as legally valid, if it is conducted in accordance to the respective applicable religious law and belief of the parties involved (the bride and the groom). However, in reality it is found out that unofficial marriage still often happen, or in other word, not it accordance with the applicable law. What are the reasons that cause a couple prefers to conduct their marriage in such a way? What are the legal consequences particularly for the wife, the kids as well as the properties? What are the procedures should be conducted if the couple would like to enhance their marital status to a legal one? This research is conducted by applying a literature study supported by indepth interview with competent sources. Some of the reasons that make someone decide to conduct his/her marriage in such a way are due to the high cost in conducting a legal marriage, a husband applying polygamy marriage, while he is a government functionary who is bound with the Government Law No. 10 Year 1983, revised with the Government Law No. 45 Year 1990, religious reason, that is, to avoid considered as commit adultery, or regarding his/her status which is not yet recognized by the government due to his/her belief (which is not yet considered as a religion). The consequences of being a wife in a un-legal marriage would be particularly related to her status, that are, she is not considered as a legal wife, she has no right to inherit the husband's assets and pensions, and in case they had a divorce, she would have no right to get any of the assets earned during their living as a couple. Meanwhile, the consequences also happen to the child/children, in term that they will not be considered as legal children, and they only have legal civil relationship with their mother and her family. In term of family's assets, they have no right to them. The procedures that should be undergone by the couple that would like to enhance their status to a legal marriage, then to them who are Moslems, is that they should apply a request of the so-called Its bat Nikah in a religious court, which is in accordance with the Islamic Law Book Article 7. Then they should re-proceed their marriage ceremony while being noted and registered both in Office of Religious Affaires (Kantor Urusan Agama) as well as Civil Registration Office (Kantor Catatan Sipil). In order to avoid the occurrence of any unofficial marriage that brings inconvenient effect to the status of the wife and the child/children, the government is expected to give more socialization and education about the importance of the marriage registration to the society."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T18982
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Radjagukguk, Erman
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
340.2 RAJ p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Pound, Roscoe
"Contents: I. The Feudal element ; II. Puritanism and the law ; III. The courts and the crown ; IV. The rights of Englishmen and the rights of man ; V. The pioneers and the law ; VI. The philosophy of law in the ninteenth century ; VII. Judicial empiricism ; VIII. Legal reason"
Boston: Marshall Jones, 1921
K 347 POU s
Buku Klasik Universitas Indonesia Library
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Mandar Maju, 1992
340.57 HIL p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Moh. Koesnoe
Bandung: Mandar Maju, 1992
340.57 MOH h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Hooker, M. B.
Singapore: Malaya Law Review, 1967
340.57 HOO s
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Depok: Universitas Indonesia, 2000
340.57 TIM h (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Dworkin, Ronald
London: Fontana Press, 1991
340.01 DWO l
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Hardijan Rusli
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993
346.02 HAR h
Buku Teks Universitas Indonesia Library