Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja, setiap waktu terhadap perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan strategi coping perempuan korban pelecehan seksual ditinjuau dari kepribadian “Eysenck” (ekstrovert-introvert). Strategi coping meliputi dua jenis yaitu (a) problem focused coping dan (b) emotion focused coping. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang diperuntukkan bagi perempuan dewasa (20-40 tahun). Subyek penelitian sebanyak 192 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara strategi coping pada perempuan korban pelecehan bertipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian introvert. "
JPSU 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Ratnasari
"Penelitian ini menggunakan metode kuntitatif dengan desain penelitian analitik pendekatan cross sectional. Jumlah responden 138 orang dengan cara pengambilan sampel menggunakan proportionate random sampling. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan antara perencanaan kehamilan, usia gravida, usia suami, mitos, frekuensi hubungan seksual dan inisiasi dengan fungsi seksual.
Hasil analisa regeresi logistik berganda dengan uji regresi binomial didapatkan nilai p-value = 0.008 dengan OR 8.7 untuk mitos dengan keinginan seksual, p-value = 0.143 dengan OR 2.1 untuk perencanaan kehamilan dengan gairah seksual, p-value = 0.002 dengan OR 5.2 untuk frekuensi hubungan seksual dengan orgasme dan p-value = 0.021 dengan OR 3.7 untuk frekuensi hubungan seksual dengan kepuasan seksual. Disimpulkan mitos sangat memengaruhi fungsi seksual ibu hamil.

Sexual function in pregnant women perceived change due to changes in the physical, hormonal, psychological and socio-cultural. The purpose of this study to overview sexual function of pregnant women and the factors that influence. This study uses quantitative methods to design analytic approach of cross sectional study. Total respondents 138 people in a way proportionate random sampling using sampling.
Results of the study explained that there is a relationship between planning pregnancy, gravida age, the age of the husband, the myth, the frequency of sexual intercourse and initiation of the sexual response; desire, arousal, orgasm and sexual satisfaction.
Regeresi analysis results of the multiple logistic regression with binomial obtained p-value = 0.008 with OR 8.7 for the myth with sexual desire, p-value = 0143 with OR 2.1 for pregnancy planning with sexual arousal, p-value = 0.002 with OR 5.2 for frequency sexual intercourse with orgasm and p-value = 0.021 with OR 3.7 for the frequency of sexual intercourse with sexual satisfaction. Concluded myth influence with sexual function.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T45336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mutiara Khairunnisa Nasril
"ABSTRAK
Penelitian ini mengenai mekanisme coping pada perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual eksibisionis. Subjek penelitian berjumlah sepuluh orang perempuan dengan rentang usia 21 hingga 25 tahun. Dalam penelitian ini ditentukan sejumlah karakteristik bagi subjek penelitian yaitu perempuan yang mempunyai pengalaman menjadi korban pelecehan seksual eksibisionis. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk memahami pengalaman pelecehan seksual eksibisionis yang terjadi pada perempuan dan bagaimana mekanisme coping yang dilakukan korban. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan teknik wawancara mendalam melalui tiga kali pertemuan dan observasi sebagai teknik pendukung. Untuk membantu proses pengumpulan data, maka penelitian ini dilengkapi dengan pedoman wawancaradan alat perekam.
Ditemukan bahwa semua subjek penelitian melakukan coping dalam mengatasi permasalahannya. Diawali dengan penyembuhan luka trauma menggunakan Emotion Focused Coping atau Religius Coping, kemudian memikirkan tindakan yang harus dilakukan dengan Problem Focused Coping. Lalu diketahui bahwa semua subjek penelitian juga melakukan upaya pencegahan kejahatan dengan menggunakan strategi Target Hardening.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru kepada masyarakat luas dalam memahami pelecehan seksual eksibisionis dan dampaknya terhadap korban.

ABSTRACT
he purpose of this study is to see the coping mechanism that women victims have after exhibitionist sexual harassment. Data are collected from ten women in the age of 21 to 25 years old. This study determine some characteristics of the subject; it is being harassed by exhibitionist. The aim of this study is to understand the women victims of exhibitionist experience and how the coping mechanism being done. This study is a qualitative research using descriptive study. Data were collected by using three interviews and observations as supporting data. Data collection was equipped by interview guide and a recorder.
See interviews and observations as supporting data. Data collection was equipped by interview guide and a recorder.
This study found that all subjek penelitiants do coping in dealing with their problems. It is started by healing the trauma by doing emotion focused coping or religious coping, followed but problem focused coping. This study also found that all subjek penelitiants do some precautions act by using target hardening strategy.
The aim of this research is to give society new understanding about exhibitionist sexual harassment and its consequences for the victims.
"
2016
S65281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Mauditha Angela
"Di abad ke-21 ini, perkembangan internet secara global menghasilkan inovasi-inovasi dalam perkembangan media, salah satunya dengan kemunculan media sosial. Media sosial yang sebelumnya hanya digunakan untuk berkomunikasi secara pribadi kini menjadi media yang secara global digunakan dalam pembentukan opini masyarakat terhadap isu tertentu dan pengaruhnya kini mampu menyaingi media konvensional. Saat ini, media sosial dapat pula digunakan dalam mengonstruksikan gagasan mengenai suatu kejahatan, salah satunya gagasan mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh akun instagram @ekspospredator. Seiring dengan beragamnya persepsi orang mengenai makna pelecehan seksual, perilaku yang dahulunya dianggap bukan pelecehan seksual pun kini dapat menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak dapat ditolerir. Ketika membahas mengenai pelecehan seksual, apa definisinya dan bagaimana bentuknya, konstruksi ini dilihat berbeda oleh berbagai kelompok, namun sebagian besar orang melihat makna pelecehan seksual ini seringkali didasari oleh relasi kuasa antara pelaku dan korban. Akun instagram @ekspospredator secara khusus menekankan unsur consent maupun kenyamanan sebagai faktor yang menentukan apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual atau bukan.

In the 21st century, the global improvement of the internet creates several innovations in media, one of which is the emergence of social media. Social media, which were used only for private communication, has now evolved into a media who have the power to create the public opinion about certain issues and its influence has now able to compete with conventional media. At this point, social media can also be used in constructing the idea of a crime, one of the examples is an instagram account named ekspospredator in terms of constructing the idea of what is sexual harassment. Since there are expansion and variation regarding the meaning of sexual harassment, certain behaviors that were regarded as non sexual harassment has now become a sexual harassment that`s undesirable and intolerable. When we talked about sexual harassment, whether it`s the definition or the form, the construction is viewed differently by each group, but most of the people saw sexual harassment based on power relation between the perpetrator and the victim. Instagram account ekspospredator specifically points consent and comfort as the factors that determine whether an action can be categorized as sexual harassment or not. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mayanti Dwi Putriani
"ABSTRAK
Studi ini berangkat dari maraknya kasus pelecehan seksual anak yang disebabkan oleh banyaknya unggahan mengenai anak di media sosial melalui tren sharenting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemaknaan orang tua terhadap tren sharenting serta potensi pelecehan seksual anak yang ada melalu tren ini. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan paradigma kontruktivisme, Selain itu, penelitian ini menggunakan metode studi kasus dan metode pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Pemaknaan dapat dilihat dari mind, self, dan society yang dimiliki oleh seseorang sehingga tergambar dalam perilaku yang dilakukan sehari-hari. Analisis dalam penelitian ini menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik yang digagas oleh Herbert Mead. Melalui wawancara dan observasi, diketahui bahwa orang tua tidak menyadari bahwa potensi pelecehan seksual anak dalam tren sharenting merupakan hal yang mungkin terjadi. Hal ini ditambah dengan anggapan orang tua bahwa anak yang masih kecil memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa dilecehkan secara seksual. Masyarakat dan orang tua juga menilai bahwa tren sharenting dinilai sebagai hak asasi dari orang tua yang membuat orang tua berhak melakukan apa yang ia anggap benar berkenaan dengan anaknya dan media sosialnya.

ABSTRACT
This study is based on the rise of child sexual harassment cases caused by many uploads on children in social media through sharenting trend. This study aims to determine how the parent interpretation of sharenting trends and potential of child sexual harassment that exist through this trend. This study was using qualitative approach and using constructivism paradigm. In addition, this study using case study methods and data was collected with interview and observation. Meaning can be seen from the mind, self, and society owned by a person so reflected in the behavior carried out daily. The analysis in this study is using Symbolic Interactionism Theory initiated by Herbert Mead. Through interviews and observation, it is known that parents are unaware that there is some possibility of child sexual harassment in a sharenting trend. This is coupled with the parental assumption that young children have very little chance of being sexually harassed. Society and parents also consider that the sharenting trend was seen as a human right of parents who make parents entitled to do what they think is right regard to their children and social media. "
2018
T51198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Johana Rotua
"Pelecehan seksual merupakan isu persisten yang berkontribusi pada ketidaksetaraan gender. Di Amerika Serikat, meskipun undang-undang pelecehan seksual telah dibentuk sejak tahun 1964, isu pelecehan seksual terus menjadi masalah luas di negara ini. Pelecehan seksual hanya menjadi isu utama dan dianggap serius ketika gerakan #MeToo dimulai dalam gelombang feminisme keempat. Narasi Hollywood pada tahun 2010, seperti Bombshell (2019), menjadi representasi bagi perempuan yang mengalami pelecehan seksual di lingkungan kerja meskipun terdapat ketidakakuratan mengenai peristiwa nyata bagaimana pelecehan seksual dialami oleh Megyn Kelly. Megyn Kelly adalah tokoh terkenal yang pernah bekerja sebagai pembawa berita di Fox News. Ia menjadi terkenal karena kecenderungannya untuk mengatakan pendapatnya sendiri di tengah gerakan #MeToo karena ia berhasil berbicara tentang pelecehan seksual yang dialaminya saat bekerja di Fox News. Ia juga mengungkapkan bagaimana kekuasaan beroperasi di sebuah institusi, khususnya industri media. Artikel ini merefleksikan bagaimana maskulinitas hegemonik berperan dalam mengecualikan perempuan bukan hanya dari akses ke kekuasaan tetapi juga menindas otonomi mereka untuk menyatakan diri. Artikel ini berpendapat bahwa maskulinitas hegemonik digunakan oleh pria berkuasa untuk menindas perempuan melalui strategi kekuasaan. Akibatnya, perempuan merasa perlu membentuk aliansi satu sama lain yang menyerupai essensi persaudaraan di mana perempuan bersatu dalam perasaan saling asing dan diskriminasi dan bekerja bersama untuk membalas dendam terhadap pelaku pelecehan seksual mereka.

Sexual harassment is a persistent issue that contributes to gender inequality. In the United States, despite the establishment of the sexual harassment law in 1964, the issue of sexual harassment continues to be widespread in the country. Sexual harassment only became a prominent issue and was taken seriously when the #MeToo movement began in the fourth wave feminism. Hollywood narrative in the 2010, such as Bombshell (2019), becomes a representation for women who experienced sexual harassment in a work setting despite its inaccuracies of the real events of how sexual harassment occurred to Megyn Kelly. Megyn Kelly is a notable figure who once worked as a news anchor at Fox News. She became prominent due to her penchant for speaking her mind amid the #MeToo movement because she managed to spoke out about the sexual harassment she endured when she worked at Fox News. She also shed light on how power works in an institution, specifically the media industry. This article reflects on how hegemonic masculinity plays a part in excluding women not only from access to power but also repress their autonomy to express themselves. This article contends that, hegemonic masculinity is employed by men in power to subordinate women through power strategies. As a result, women felt the need to form an alliance with each other that resembles the essence of sisterhood where women unite under mutual feeling of alienation and discrimination and work together to retaliate against their sexual harassment perpetrators."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ullynara Zungga Vriscarinie Syahvira
"

Penelitian ini bertujuan mengungkap kekerasan seksual dalam industri musik dangdut dan praktik saweran, serta bagaimana perempuan penyanyi dangdut mengupayakan strategi dan bernegosiasi untuk bertahan. Penelitian ini mengasumsikan bahwa dalam pertunjukan musik dangdut, para perempuan penyanyi dangdut sering mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual ketika sedang bekerja. Komodifikasi, eksploitasi, pelabelan negatif, serta pelecehan seksual dapat terjadi kepada mereka, salah satunya melalui praktik saweran tidak hanya saat sedang tampil di panggung, namun juga ketika berada di luar panggung. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan berperspektif feminis yang mempertimbangkan narasi pengalaman empat perempuan penyanyi dangdut dengan berbagai macam latar belakang sebagai subjek yang diteliti. Penelitian ini menggunakan teori MacKinnon mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan bekerja dan juga negosiasi sebagai konsep utamanya. Hasil studi kasus terhadap sejumlah perempuan penyanyi dangdut di DKI Jakarta ini memperlihatkan bagaimana para perempuan penyanyi dangdut menjawab berbagai tantangan yang mereka hadapi di industri musik dangdut dalam situasi yang selalu problematis, dalam kontrol otoritas patriarki yang terus berlangsung, dengan tujuan mempertegas posisi diri sebagai manusia yang berharga.

 

Kata-kata kunci: praktik saweran, perempuan peanyanyi dangdut, kekerasan seksual, negosiasi, perspektif feminis.

 


This study aims to reveal sexual harassment in dangdut music industry and saweran practices, as well as how female dangdut singers build strategies and negotiate in order to survive. I assume that in dangdut performances, female dangdut singers often experience various forms of sexual harassment while working. Commodification, exploitation, negative labeling, and sexual harassment can occur to them, especially through saweran practices, not only when they are performing on stage, but also when they are off stage. Therefore the approach used in this research is feminist approach that considers the experiences of four female dangdut singers with various backgrounds as the subjects. This study uses MacKinnon's theory of sexual harassment on working women and also negotiation as the main concept. The results of this case study of those female dangdut singers in DKI Jakarta show how female dangdut singers respond to the challenges they face in the dangdut music industry which is always problematic, in the ongoing control of patriarchal authority, with the aim of reinforcing their position in the society as valuable human beings.

 

"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54845
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Raquela Raya
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian keterangan anak di bawah umur untuk dijadikan Saksi dalam tindak pidana pencabulan. Mengenai keterangan anak di bawah umur sebagaimana diatur dalam peraturan Pasal 171 KUHAP dikatakan bahwa anak di bawah 15 (lima belas) tahun tidak berkompeten untuk dijadikan Saksi, dikarenakan anak yang memberikan keterangan tidak berada di bawah sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk guna menambah keyakinan Hakim jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lain. Namun, jika keterangan anak hanya dijadikan alat bukti petunjuk, tidak dapat pula dikatakan sebagai alat bukti yang sah, karena tidak disumpah. Sedangkan pada kasus tindak pidana pencabulan, banyak ditemukan anak menjadi Saksi dan/atau Korban sebagai alat bukti satu-satunya. Oleh sebab itu, pada skripsi ini akan membahas yaitu, kekuatan pembuktian Anak Saksi dalam tindak pidana pencabulan, yang memenuhi kriteria fit to stand a trial, perbaikan yang perlu dilakukan dalam rangka melindungi anak sebagai Saksi tindak pidana pencabulan dan RUU KUHAP dapat mengakomodasi hal tersebut. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif, di mana data penulisan ini berasal dari studi kepustakaan, wawancara Ahli dan Undang-Undang terkait. Hasil penulisan ini mengarahkan untuk dilakukan perbaikan pengaturan hukum di Indonesia yaitu anak di bawah umur yang akan dijadikan saksi tindak pidana pencabulan harus memenuhi batasan minimal umur dan melewati pemeriksaan kompetensi sesuai prinsip fit to stand a trial. Dan dalam rangka melindungi hak anak sebagai Saksi, anak wajib didampingi oleh Ahli Psikiatri Forensik sebelum persidangan, persidangan dan setelah persidangan.

This thesis discusses the strength of proof of the testimony of minors to be used as witnesses in criminal acts of obscenity. Regarding the testimony of minors as stipulated in Article 171 of the Criminal Procedure Code, it is said that children under 15 (fifteen) years are not competent to be made witnesses, because children who give statements are not under oath and their statements are only used as a guide to add to their conviction. Judge if supported by other valid evidence. However, if the child's statement is only used as evidence, it cannot also be said to be valid evidence, because it is not sworn in. Meanwhile, in cases of criminal acts of sexual abuse, many children were found to be witnesses and/or victims as the only evidence. Therefore, this thesis will discuss, namely, the strength of proof of Child Witnesses in criminal acts of obscenity, which meet the fit to stand a trial criteria, improvements that need to be made in order to protect Children as Witnesses in criminal acts of obscenity and the Criminal Procedure Code Bill can accommodate this. This writing uses a juridical-normative method, where the data for this writing comes from literature studies, expert interviews and related laws. The results of this writing direct the improvement of legal regulations in Indonesia, namely that minors who will be used as witnesses to criminal acts of obscenity must meet the minimum age limit and pass a competency examination according to the principle of fit to stand a trial. And in order to protect the rights of children as witnesses, children must be accompanied by a forensic psychiatrist before the trial, the trial and after the trial."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Athirah
"Kemajuan teknologi informasi dan internet membuka peluang munculnya bentuk- bentuk baru dari pelecehan seksual terhadap perempuan. Media sosial seperti Twitter pun menjadi tempat bentuk baru pelecehan seksual marak terjadi. Meningkatnya penggunaan Twitter selama pandemi COVID-19 semakin memperbanyak kasus pelecehan seksual yang terjadi. Cyber flashing sebagai tindakan mengirim foto seksual eksplisit secara tiba-tiba dan tanpa persetujuan penerimanya menjadi salah satu bentuk pelecehan seksual yang difasilitasi teknologi serta terjadi di Twitter. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana cyber flashing dipraktikkan di Twitter. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mencakup observasi partisipan serta melibatkan perempuan pengguna Twitter yang menjadi korban dari praktik cyber flashing dalam wawancara mendalam. Praktik cyber flashing sebagai bentuk pelecehan seksual online menghambat perempuan dalam mewujudkan agensi mereka melalui ekspresi diri di Twitter. Penelitian ini juga melihat bagaimana perempuan memahami praktik cyber flashing serta bagaimana perempuan menanggapi praktik ini melalui tindakan resistensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan melakukan bentuk resistensi nontradisional dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki di platform media sosial ini. Pada akhirnya, perempuan membentuk rasa aman dan mewujudkan agensi yang dimiliki dengan cara mereka sendiri.

Advances in information technology and the internet open up opportunities for the emergence of new forms of sexual harassment against women. New forms of sexual harassment are rife on social media platforms such as Twitter. The increasing use of Twitter during the COVID-19 pandemic has increased the number of sexual harassment cases. Cyber flashing is one of the sexual harassment forms that is facilitated by technology and occurs on Twitter. This research describes how cyber flashing is practiced on Twitter. This research employs a qualitative method that includes participant observation and involves women users who are victims of cyber flashing in in-depth interviews. The practice of cyber flashing as a form of online sexual harassment prevents women from exercising their agency through self-expression. This research also looks at how women perceive the practice of cyber flashing and how they respond to it through resistance. The findings show that women carry out non- traditional forms of resistance by utilizing the resources they have on this social media platform. Women ultimately create a sense of security for themselves and expresstheir agency in their own way."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>