Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2010 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mazur, James E.
New Jersey: Prentice-Hall, 1977
153.1 MAZ l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Levinson, Paul
London: Routledge, 1977
302.23 LEV s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Notosusanto
"ABSTRACT
Writing the contemporary history of one's own country is hazardous in two respects, firstly, in the academic field there are still plenty of people who think that the events experienced by one's own generation do not properly belong to the realm of history. They cite the oft repeated dictum that historians should have sufficient distance from the occurrences they sought to describe and not infrequently accuse the contemporary historian of engaging himself in political pamphleteering or journalism rather than performing scholarly pursuits. Secondly, it is indeed, true that too many people who were involved in the events treated are still around, and it is unfortunately so that many of them would attack a piece of contemporary historical writing if they think that their role has been described less favorably or less expansively than they would have wished. Or again, they would criticize the historical treatise because personages, whom they like or adulate, are put in a less than bright spotlight. Or, because they are disappointed for the historian's failure to adhere to their point of view about various things, or because of what they perceive as the historian's scorn for their favorite cause.
Although aware of the difficulties involved in the writing of contemporary history of Indonesia, I do belief that the study and writing of contemporary history, including Indonesian contemporary history, is not only justified but also necessary. In Indonesia, as in most new nations, the story of the processes leading towards independence is foremost in the minds of those generations who have witnessed the transition from colonial domination towards national self-determination. In Indonesia, these are the periods covering the National A wakening it the period of the Nationalist Movement from 1908 (which was the year of the founding of the Budi Utomo as the first modern Indonesian association) down till the Japanese occupation of 1942-1945, as well as the period of the Revolution or War of Independence of 1945-1949.
For the latest generations, even the periods following the end of the War of Independence are important to satisfy their thirst for an answer on the why of the present situation. To present-day Indonesians the questions asked about the latest periods in their nation's history are looming very large indeed, larger than the questions asked about long bygone periods like that of the 18 or 19 centuries and further back. Social change during those mere decades has been both sweeping and swift leaving in its wake bewilderment and confusion. The urge towards achieving understanding about the happenings speeding past is not generated solely by curiosity but also by the necessity of charting a course in the turbulent waters of the ocean of the future.
Under these circumstances the study of history has a strongly pragmatic character. There is a powerful urge to conceive what I propose to call by lack of a better term, the "visionary" use of history. With this I wish to denote the quality to give its students the meaning of the series of events it presents, giving them a vision, or outlook, or point of view, about the process, starting somewhere in the past, extending through the present and on towards the future. Without this quality, in the context of a new nation like Indonesia, history would be, I think, "meaningless" with the connotation of being "useless".
History has also, what might be called, a "technical" use. It provides for the empirical data as the product of its research to be employed both in other branches of learning -- particularly the social sciences -- and in more practical endeavors such as the instruction in tactics or arms development at military institutions. And finally, history has an "inspirational" use, needed particularly in the socialization process of succeeding generations to provide them with an image of their society, which, after all, will be theirs to develop further. ;The Peta Army During The Japanese Occupation Of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D250
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soerjono Soekanto
"Menurut hasil pengamatan, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengkaitkan proses pembangunan dengan pandangan-pandangan ataupun cita-cita yang optimistis sifatnya. Pandangan-pandangan atau cita-cita tersebut biasanya hendak diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencapai taraf kehidupan materiil dan spirituil yang lebih baik daripada keadaan yang telah atau pernah dicapai. Motivasi untuk membangun timbul antara lain karena para warga masyarakat beserta pemimpin-pemimpin negara-negara yang merdeka dan berdaulat penuh sesudah Perang Dunia ke II, cenderung untuk mempunyai keinginan-keinginan yang sangat kuat agar dapat mencapai tataf kehidupan yang sederajat dengan masyarakat-masyarakat dari negara-negara yang dikualifisir sebagai negara-negara industri yang kompleks dan modern. Akan tetapi usaha-usaha untuk mengadakan pembangunan tersebut tidaklah semudah yang diduga. Semula ada dugaan kuat bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis sudah cukup, terutama apabila disertai dengan tersedianya modal, bahan-bahan mentah, alat-alat produksi, tenaga-tenaga terampil dan terlatih, maupun pelbagai kecakapan untuk mengelola suatu organisasi kedalam proses yang sinkron. Salah satu kelemahan daripada ideologi-ideologi pembangunan kontemporer adalah bahwa pendukung-pendukungnya mempunyai gambaran yang jelas mengenai pembangunan materiil-ekonomis, akan tetapi belum ada suatu arah yang nyata mengenai pembangunan spirituil-sosial. Pembangunan materiil-ekonomis di negara-negara Barat antara lain merupakan suatu hasil perkembangan dari proses diferensiasi strukturil-fungsionil dan peningkatan adaptif daripada bidang-bidang kehidupan secara evolusioner, seperti misalnya bidang politik, administrasi, agama, hukum, dan seterusnya. Keinginan dan motivasi yang kuat untuk meniru hasil proses evolusi yang mempunyai taraf ekonomis dan teknologi tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya keragu-raguan untuk mengikuti tahap-tahap yang mantap kearah itu (R. Kintner and H. Sicherman 1975: 91). Disatu pihak hal itu kemungkinan besar disebabkan adanya kekhawatiran akan kehilangan identitas, dan di lain pihak ada pula kecemasan bahwa nilai-nilai perikemanusiaan harus dikorbankan. Maka, ada pemimpin-pemimpin negara-negara yang cenderung untuk mempertahankan identitas tradisionil didalam kerangka modernisasi ekonomis, seperti yang dilakukan oleh Nyerere di Tanzania. Ada pula yang sangat cemas akan pengaruh individualisme Barat sehingga berusaha untuk mengubah manusia menjadi makhluk yang tidak mencari kemajuan dan perkembangan, akan tetapi menempatkannya pada kerangka tugas dan kewajiban sebagaimana halnya yang terjadi di Kuba (A.M.I. Hoogvelt 1976: 150, 151).
Nyatalah dari konstatasi-konstatasi diatas bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis belaka tidaklah cukup apabila yang diinginkan dan dicita-citakan adalah suatu taraf kehidupan yang lebih baik, oleh sebab "taraf kehidupan" merupakan pengertian serta paham yang mengandung pelbagai segi dan hakekat. Secara sederhana maka didalam proses pembangunan terlebih dahulu perlu diidentifisir dengan seksama apa yang tidak ada atau belum ada, apa yang rusak atau salah, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun telah mengalami kemerosotan. Menurut kerangka pemikiran dan tindakan yang sangat disimplifikasikan, maka hal-hal tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan atau perbaikan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsionil. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka pembangunan dapat merupakan proses yang menghambat atau bahkan mungkin menghentikan kelangsungan atau kehidupan unsur-unsur kemasyarakatan tertentu, oleh karena praktek kehidupan suatu masyarakat biasanya rumit dan penuh dengan liku-liku yang sulit diperhitungkan secara pasti dan akurat. Proses tersebut kemudian diikuti oleh kegiatan-kegiatan penyesuaian diri terhadap cara-cara kehidupan yang baru, hal mana tidak jarang merupakan usaha-usaha yang penuh dengan ketegangan, keresahan maupun penderitaan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977
D321
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadjir
"Dialek Melayu Jakarta, bahasa Melayu yang dipakai di. wilayah ibukota Republik Indonesia, merupakan "pulau bahasa" di kawasan bahasa Sunda yang umumnya dipakai di daerah Jawa Barat. Di sebelah barat dan selatan, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Sunda. Hanya di daerah pantai di batas sebelah timer, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Jawa dialek "lokal" (Budhisantoao, 1976).
Luas pemakaian dialek Jakarta, secara geografis, melebihi daerah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di sebelah timur, dialek ini dipakai hingga di kecamatan Tambun, kabupaten Bekasi; di sebelah selatan sampai di Gisalak, kabupaten Bogor; dan di sebelah barat hingga di Tanggerang (Jawa Barat).
Di luar Tambun, Ciselak, dan Tanggerang, luas wilayah Jakarta adalah 577 km2 (terletak pada 68° lintang selatan, 11° 15° lintang selatan, 94°45° bujur timur, 04005° bujur laut (Jake dalam Ranks). Serta jumlah penduduk 4.546.492 jiwa.
Berlainan dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek Me1ayu lainnya seperti Melayu Medan, Riau, dan Palembang, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnik yang homogen. Komposisi penduduk, sejak abad ke-17 selalu terdiri dari kelompok-kelompok etnis yang beragam-ragam. akibat migrasi dari dalam maupun dari luar Indonesia (Castles, 1967). Dan migrasi penduduk hingga kini terus berlangsung, bahkan makin beragam latar belakang sosial dan kebudayaannya.
Ketika Jan Pieterezoon Coan berhasil menduduki kota Jakarta pada tehun 1619, sebagian penduduk melarikan diri ke arah Banten. Coen kemudian berusaha menutup kota Jakarta dari penduduk pedalaman, yang dilakukannya demi alasan keamanan; menghalau setiap usaha penduduk asli yang hendak memasuki kembali deerah pertaniannya yang ditinggalkan (Leiriasa , 19731).
Sejak itu kota Jakarta "bersih" dari penduduk asli. Beberapa tahun kemudian Coen membiarkan orang Gina menjadi penduduk kota, menyusul orang-orang Banda. Pedagang rempah-rempah Jepang sampai tahun 1636 juga merupakan unsure penting penduduk kota Jakarta. Penduduk merdeka lainnya adalah suku-suku Melayu, Bali, Bugis, Ambon, serta bangsa "wore", yakni bangsa India Selatan yang beragama Islam. (Castles, 1967: 155). Tetapi penduduk terbesar saat itu hingga abad ke-19 adalah para budak yang diangkut dari berbagai tempat pada masa permulaan zaman itu budak-budak yang diangkut ke Jakarta adalah budak-budak deri pentai Koromandel, dari Malabar, Benggali, dan dari Indonesia sebelah Timur: dari Flores, Sumbawa, Sumba, Timor, Bias, Kalimantan, dan pulau Luzon. Tetapi sumber tetap untuk budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan.
Pada akhir abad ke-19 kelompok etnis yang beraneka asalnya itu teleh menjelma menjadi penduduk asli Jakarta yang kemudian dikenal dengan nama "Anak Betawi" termasuk di dalamnya 5 ribu penduduk pinggir kota yang berasal dari Jawa den Sunda.
Penduduk merdeka dari berbagai kelompok etnis itu, pada umumnya, tinggal di kampung-kampung secara terpisah-pisah. Sisa nama kampung mereka hingga kini masih melekat nama kampung seperti: kampung Jawa, kampung Bugis, kampung Ambon, den sebagainya.
Setelan perdagengan budak dihapuskar, pulau Jawa merupakan sumber migrasi penduduk ke kota Jakarta. Menurut senaus 1930 (Castles, I967:166), kurang lebih 50 % penduduk Jakarta adalah kelahiran Betawi {778.953 jiwa), dengan 50% lainnya kelahiran luar Jakarta, yang kelompok terbesarnya berasal dari suku Sunda dan Jawa. Sejak zaman Republik Indonesia, arus urbanisasi ke ibu kota Jakarta ini makin menderas. Pendatang baru itu bukan saja makin banyak jumlahnya, tetapi juga makin beraneka ragam dan status sosialnya"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D219
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isaac, Katherine
New York: St. Martin's Press, 1977
371.81 ISA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Boechari
"Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Univer-sitas Indonesia pada tanggal 12 Juli 1975 Prof. Dr. A. Teeuw menge-mukakan alasan alasan mengapa studi dan penelitian bahasa dan sastra sangat penting pada masa sekarang ini. Terutama karena studi bahasa Jawa Kuna akan dapat membuka pintu bagi kita untuk me-masuki khazanah kebudayaan Indonesia pramodern. Dan di antara para sarjana yang memperoleh manfaat dari studi bahasa dan sastra Jawa Kuna itu disebutnya para alili purbakala dan ahli epigrafi.
Memang yang terpenting di antara sumber-sumber primer untuk penulisan sejarah kuna dan arkeologi Indonesia ialah prasasti dan nas-kah-naskah. Prasasti-prasasti yang berasal dari masa antara abad ke-V dan ke-XVI M. ada yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, ada pula ditulis dalam bahasa Melayu Kuna, bahasa Bali Kuna, Sunda Kuna, te-tapi sebagian terbesar ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.' Sedang naskah yang diperlukan oleh para ahli arkeologi dan sejarah sebagian terbesar juga ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Tidak hanya naskah naskah yang biasa disebut naskah kesusasteraan sejarah dan agama saja, yang dijadikan sumber, tetapi juga naskah-naskah jenis lain, seperti naskah tentang pemerintahan, naskah hukum, dan naskah-naskah yang berisi aturan tentang peri kehidupan berbagai golongan di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan karena kecenderungan historio-grafi modern untuk tidak semata-mata mengungkapkan hal ihwal dalam lingkungan "tradisi besar", tetapi juga kejadian-kejadian di dalam lingkungan "tradisi kecil", dan untuk mengungkapkan segi-segi struk-turil di samping segi-segi prosessuil.2
Lain dari pada itu penerbitan naskah-naskah ceritera, kebanyakan dalam bentuk kakawin, bukannya tidak berguna bagi ahli sejarah kuna dan ahli arkeologi. Sebab di dalam naskah-naskah golongan ini
sering pula dijumpai keterangan sejarah, biasanya di dalam bagian mangala dan penutupnya.3 Sering pula dijumpai keterangan yang dapat digunakan untuk pentafsiran ikonografi.4 Di dalam kakawin kita dapatkan juga keterangan tentang tokoh raja yang ideal, tentang pemerintahan, tentang peri kehidupan di dalam lingkungan istana dan para bangsawan yang lain, dan tentang kehidupan rakyat.5 Dan isi ceritera kakawin dapat membantu para ahli arkeologi dalam men-tafsirkan relief candi.6
Tetapi sayang sekali bahwa hingga kini baru sebagian saja, kalau ti-dak boleh dikatakan sebagian kecil, dari berbagai macam sumber itu yang telah diterbitkan. Sekedar untuk memberi gambaran dapat disebutkan di sini bahwa dari 290 prasasti bertarikh yang disebut di dalam daftar L.C, Damais (Damais, 1952) baru 81 yang terbit leng-kap dengan terjemahan dan tafsirannya, 134 terbit dalam transkripsi sementara, sedang 75 belum diterbitkan sama sekali. Prasasti-prasasti yang tidak bertarikh dan bagian-bagian prasasti yang tidak lengkap juga banyak yang belum diterbitkan.7 Perlu disebutkan di sini bahwa di niasa yang lalu hanya terdapat satu nama bangsa Indonesia yang produktip di antara nama-nama yang menerbitkan prasasti, yaitu al-marhum Prof. Dr. Poerbatjaraka.8
Saya tidak sempat menghitung berapa jumlah naskah berbahasa Jawa Kuna yang ada dalam berbagai koleksi di dalam maupun di luar negeri, Saya persilakan yang berminat menghitung sendiri dalam kar-ya Dr. Th. G. Th. Pigeaud (Pigeaud, 1970). Di sini saya ingin mene-kankan bahwa dari sekian banyak naskah itu baru sebagian kecil juga yang telah diterbitkan. Seri Bibliotheca Javanica yang diasuh oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Jakarta hanya sempat menerbitkan 7 naskah.9 Ada juga naskah-naskah yang terbit di dalam seri Verhandelingen van het Bat. Gen.10 Koninklijk Instituut voor Taal -, Land - en Volkenkunde di Leiden menerbitkan juga beberapa naskah dalam seri Verhandelingen van het Koninklijk Instituut, dan dalam seri baru, yaitu Bibliotheca Indonesica, yang tidak mengkhususkan diri pada naskah-naskah berbahasa Jawa Kuna.11 Majalah yang diasuh oleh kedua badan tersebut, yaitu Tijd-schrift van het Bat. Gen. dan Bydragen van het Kon. Inst. ada pula memuat penerbitan beberapa naskah.12 Lain dari pada itu ada naskah-naskah yang terbit lepas dari sesuatu seri, baik sebagai disertasi
"
1977
MAAR-1-1-Sept1977-5
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
S. Budhisantoso
"Sarjana Antropologi kenamaan G.P. Murdock berdasarkan atom hasil surveynya terhadap 250 kebudayaan yang dijadikan obyeknya, menyatakan bahwa keluarga batih (nuclear family) merupakan kesatuan sosial yang universal. Apakah ia merupakan satu-satunya kesatuan keluarga atau merupakan pangkal dari segala kesatuan keluarga yang lebih besar serta lebih kompleks, keluarga batih terwujud pada setiap kesatuan yang kokoh. (Murdock, 1955: hlm, 2)
Sebaliknya Murdock menyanggah pendapat Ralph Linton (1956) yang menyatakan bahwa keluarga batih pada sementara masyarakat tidak penting peranannya di dalam kehidupan sosial. Memang keluarga batih hanya diperhatikan sebagai suatu kesatuan sosial saja maka persebarannya yang universal itu tidak tampak dengan nyata. Namun kalau dipelajari hubungan-hubungan sosial yang membentuk keluarga batih, orang akan mengerti aneka ragam kegunaannya dank arena itu akan mengerti pula bahwa keluarga batih tidak mungkin ditiadakan. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1977
D49
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.P. Soejono
"Peninggalan-peninggalan kuno di Bali, baik yang berbentuk benda maupun yang berupa adat-istiadat dan bentuk-bentuk pranata social lainnya yang tidak memperlihatkan suatu ciri agama Hindu atau agama Buddha, pada umumnya dianggap sebagai hal-hal yang bersifat asli. Di antara istilah--stilah yang lazim dugunakan untuk menandai hal-hal asli itu ialah istilah "asli kuno" atau ancient indigenous (Gorse k Dronkers tt : 30-39; Swellengrebel 1960 24-30).
Anggapan bahwa ada perkembangan yang bersifat "praaejarah " sebelum unsur-unsur Hinduisme dan Buddhiasme muiai berpengaruh di Bali, mula-mula dikemukan oleh W.d.J. Nieuwenkamp ( 1920 : 93), kernudian dinyatakan pula oleh V.E. Korn (1928) dan P.A.J. Moo jean (1929). Anggapan tersebut didasari atas temtuan-temuan sarkofagus di Manuaba (Batu Lusu) dan di Busungbin. Ketika itu sarkofagus merupakan gejala kebudayaan yang mulai banyak diperhatikan para peneliti.
Kesimpulan mengenai temuan-temuan tercebut, ialah bahwa penguburan dalam sarkofagus itu tidak dilakukan lagi pada masa Hinduisme dan Buddhisme berkembang di Bali dan karena itu sarkofagus-sarkofagus Batu Luau oleh Nieuwenkamp (1926: 92) dikirakan sebagai praehistorisohe overblijfselen. Berdasarkan penemuan beberapa sarkofagus di bangkiangjaran, di utara. Petang, di antara sejumlah banyak sisa-sisa rangka orang dan pecahan gerabah tipe labu (kalebas) berleher tegak, Korn telah menafsirkan bahwa sebelum "jaman Hindu" hanyalah golongan terkemuka dalam masyarakat dikubur dalam peti-peti batu dari benda-benda yang ikut sorta dikubur terdiri dari senjata-senjata tajam, perhiasan serta pelindung jari-jari dari perunggu. Pada jaman itu penduduk di Bali Tengah (khusus antara Busungbiu dan Banjarangkan) telah mengenal teknik pembuatan benda perunggu, serta telah maju dalam cara pembuatan gerabah, walaupun beberapa Janis benda seperti pahat, pipisan dan lasing masih dibuat dari batu (Horn 1930).
Ketegasan tentang perkembangan suatu kebudayaan prasejarah di Bali, Bebelum ada pengaruh unsur-unsur Hinduisme dan Buddhisme dalam tata kehidnpan penduduk, timbul sejak penelitian sistimatis dimulai oleh P.V. van Stein Callenfels terhadap jaman perunggu di Bali (Stein Callenfels 1931). A.N.J: Th. a Th. van der Hoop dalam kategorinya (Hoop 1941 : 144-160, 195-197, 213, 246-247, 258-259, 300) lebih tegas lagi menggolongkan benda-benda temuan Bali sesuai dengan kategorinya dalam tingkat-tingkat jaman prasejarah. Penggolongan van der Hoop ini menggambarkan perkembangan prasejarah di Bali yang dibukikan kelangsungannya sejak tingkat bercocoktanam dengan adanya temuan-temuan beliung persegi di pulau ini, sampai pada tingkat perundagian, yang banyak menghasilkan benda-benda perunggu. Yang dimaksud dengan masa perundagian ialah suatu tingkat perkembangan kehidupan manusia yang dipandang sejajar dengan masa urbanisasi di Eropa dan Timur Tengah. Dalam masa ini berkembanglah dalam masyarakat keLompok-kelompok tukang dalam berbagai bidang keahlian (undagi-tukang)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D324
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Pustaka, 1977
R 015.598 BIB
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>