Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya
"One of important mechanisms considered effective to protect civil and political rights of the
citizens in Indonesia is constitutional review. This mechanism was created after the constitutional
reform by establishing the new Constitutional Court in 2003 as an independent and separate
court from the Supreme Court. This article examines the development of human rights guaranteed
in the Indonesian Constitution. It also provides a critical analysis of the Constitutional Court?s
role in protecting civil and political rights in Indonesia through its landmark decisions on five
categories, namely: (1) freedom of assembly and association; (2) freedom of opinion, speech and
expression; (3) freedom of religion; (4) right to life; and (5) due process of law. This research
was conducted based on qualitative research methodology. It used a non-doctrinal approach by
researching the socio-political impacts of the Constitutional Court?s decisions. Although there are
still inconsistencies in its decisions, the research concludes that the Constitutional Court has taken
a step forward for a better protection of civil and political rights in Indonesia that never existed
prior to the reform.
Salah satu mekanisme yang dianggap efektif untuk melindungi hak sipil dan politik warga negara
di Indonesia adalah pengujian konstitusional. Mekanisme ini dibentuk pasca reformasi konstitusi
dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi pada 2003 sebagai peradilan yang independen dan
terpisah dari Mahkamah Agung. Artikel ini menganalisa perkembangan hak asasi manusia
yang dijamin di dalam UUD 1945. Selain itu, artikel ini juga memberikan analisa kritis terhadap
peran Mahkamah Konstitusi dalam perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia melalui
putusan-putusan pentingnya (landmark decisions) pada lima kategori, yaitu: (1) kebebasan
untuk bekumpul dan berserikat; (2) kebebasan berpendapat, berbicara, dan berekspresi; (3)
kebebasan beragama; (4) hak untuk hidup; dan (5) proses peradilan yang adil. Penelitian ini
dilakukan berdasarkan pada metodologi penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan
non-doktrinal dengan meneliti dampak sosio-politik dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Meskipun masih terdapat inkonsistensi di dalam putusannya, penelitian ini menyimpulkan
bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi satu langkah ke depan yang lebih baik
terhadap perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia yang tidak pernah terjadi sebelum era
reformasi."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yetty Komalasari Dewi
"One of the factors that affect Indonesia?s economic growth is the existence of business firms. Most business firms in Indonesia are in the form of family-owned firm, and they are considered to constitute the backbone of the economic development. Family firms represent the most enduring business model in the world. The continuing success of family firms through the generations relies on ensuring the next generation. However, the issue of family firms is rarely discussed in particular from the perspective of corporate law. In fact, from legal perspectives, there are some issues dealing with this type of firm, among other, the lack of an overall definition of the term ?family business?. It is because family businesses and small medium enterprises (SMEs) are widely understood synonymously in spite of the fact that they exist in every size class. Other issue is the question of its legal basis or legal framework in terms of its corporate governance. Many Indonesian business players lack the basic understanding of corporate law. It is partly because obligations set out in the corporate law are incompatible with the values and cultures in Indonesia where ?kinship principle? is deeply rooted. This article aims to describe the characteristics and the legal frameworks for family firms in Indonesia. It also recommends the government to take progressive measures by providing clear regulations on family firms in Indonesia. This will reinforce family firms? contribution to economic development of Indonesia in the future.

Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah keberadaan dari badan usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa badan usaha di Indonesia merupakan usaha keluarga, yang menjadi tulang punggung utama dari pembangunan ekonomi nasional. Perusahaan keluarga memperlihatkan model bisnis yang paling bertahan di dunia. Kelanjutan keberhasilan dari perusahaan keluarga bergantung kepada penerusan kepada generasi selanjutnya. Akan tetapi, permasalahan mengenai perusahaan keluarga merupakan pembahasan yang jarang dibahas dalam perspektif hukum perusahaan. Faktanya, dari perspektif hukum, terdapat beberapa permasalahan dalam bentuk usaha semacam ini, antara lain yaitu kurangnya definisi mengenai istilah ?usaha keluarga? itu sendiri. Hal ini karena perusahaan keluarga dan usaha kecil dan menengah (UKM) dipahami sebagai hal yang sama, meskipun pada kenyataannya perusahaan keluarga terdapat berbagai jenis dan ukuran, tidak hanya UKM. Permasalahan lainnya adalah mengenai dasar hukum atau kerangka hukum dari aspek tata kelola perusahaan. Banyak pelaku usaha Indonesia kurang memahami pemahaman mendasar tentang hukum perusahaan. Hal ini sebagian karena kewajiban-kewajiban tata kelola perusahaan tersebut bertentangan dengan nilai dan budaya di Indonesia di mana prinsip kekeluargaan tertanam dalam. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik dan kerangka hukum untuk usaha keluarga di Indonesia. Tulisan ini juga memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan progresif dengan memberikan peraturan hukum yang jelas untuk perusahaan keluarga di Indonesia. Hal ini akan menguatkan peranan perusahaan keluarga kepada pembangunan ekonomi Indonseia di masa depan."
Faculty of Law University of Indonesia, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Lily Evelina
"Accountability is the key to good governance. In global administrative law, every policy made should be accountable. The given law should be accessible to the public. At the time of the global financial crisis, many countries did not have the necessary rules to solve the problems that arose. In Indonesia, the government?s decision to bail out Bank Century has remained controversial up to the present time. The need for a comprehensive law dealing with economic, political and social factors should be considered. The Indonesian Law regarding Government Administration provides for the code of conduct for government action. An entire chapter in the law has been dedicated to set out provisions on discretion, reflecting a two-way approach, namely: restriction of government action on the one hand and the protection of public rights on the other. In practice, however, such rule is not implemented in line with the intended formulation. There is still a need for harmonization with the law regarding State Administration Courts in Indonesia.

Akuntabilitas adalah kunci dari pemerintahan yang baik. Dalam hukum administrasi global, setiap kebijakan harus dapat dipertanggungjawabkan. Hukum yang ada harus bisa diakses oleh masyarakat. Ketika krisis keuangan global terjadi, banyak negara tidak memiliki hukum positif untuk mengatasinya. Di Indonesia, keputusan pemerintah dalam membailout Bank Century menjadi perdebatan sampai saat ini. Kebutuhan akan hukum yang komprehensif terkait ekonomi, politik dan sosial harus dipertimbangkan. UU Administrasi Pemerintahan Indonesia telah menyiapkan aturan dalam bertindak bagi pemerintah. Penempatan diskresi dalam satu bab tersendiri dapat dilihat dari dua sisi, batasan terhadap tindakan pemerintah sekaligus perlindungan bagi hak publik. Pada praktiknya, pelaksanaan dari aturan tersebut tidak semudah rumusan yang dimaksud. Harmonisasi dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara masih dibutuhkan."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Nurjaya
"The era following the 1972 Stockholm Declaration and subsequently the 1992 Rio de Janeiro Declaration, brought about a great amount of concern of the international community, in developed as well as under-developed countries, for human environment and natural resources preservation, management and protection. It includes the equitable allocation and distribution of natural resources as well as fair participation in environmental decision-making, respect and recognition of rights of the people and particularly indigenous communities. This is the so called access to justice for all that refers to a genuine access by people and communities to obtain just and fair democratic mechanism in respect and recognition of their basic legal rights in controlling and utilizing natural environment and resources for survival. Furthermore, access to justice means strengthening the fair involvement of the people with respect to preserving and managing the natural environment for sustainable development as to fulfill human rights as reflected in the State?s Constitution and legislation. In the context of Indonesia, the above mentioned rights of the people and communities to ecological justice are clearly articulated in the 1945 Constitution. The paper attempts to convey a critical analysis as to whether the 1945 Constitution provides a genuine or pseudo respect and recognition in relation to access to ecological justice of the people and particularly for marginalized people, namely indigenous people (masyarakat adat) in the multicultural state of Indonesia.
Dekade setelah Deklarasi Stockholm tahun 1972 dan kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Rio de Jenairo pada tahun 1992 dapat dikatakan sebagai titik awal perubahan cara pandang masyarakat internasional di negara-negara maju maupun sedang berkembang mengenai bagaimana seharusnya lingkungan hidup dan sumber daya alam dimanfaatkan dan dikelola dalam pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Karena itu, sejak tahun 1980-an wacana akses untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat dan keadilan dalam alokasi dan distribusi pemanfaatan sumber daya alam (keadilan ekologi)sebagai hak warga negara menjadi perbincangan serius terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Wacana serius yang dimaksud adalah bagaimana Negara memberi jaminan pengakuan dalam pemenuhan hak warga negara memperoleh lingkungan yang baik dan sehat dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama bagi warga negara yang termarjinalisasi seperti persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat di daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel mencoba untuk mengkaji kritis dan memberi pemahaman apakah akses memperoleh keadilan lingkungan dan pemanfaatan, khususnya akses warga masyarakat hukum adat di Indonesia, seperti dalam Konstitusi Negara Tahun 1945 adalah pengaturan dan pengakuan yang hakiki (genuine) atau semu dan setengah hati (pseudo)?"
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sukonthapan, Pisawat
"This article focuses on “trafficking in persons” (TIP) in fisheries in Indonesia and Thailand which refers to key international instruments on TIP and continues by discussing recent cases of TIP in fisheries in Indonesia that were reported in the first half of year 2015. It also explores respective Indonesian and Thai domestic legislation in relation to measures to combat trafficking in the region. Bilateral and multilateral treaties such as the Treaty between the Government of the Kingdom of Thailand and the Government of the Republic of Indonesia Relating to Extradition and the ASEAN Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters are also addressed as cooperation tools which should be used by Indonesia and Thailand in prosecuting traffickers. To attain success in prosecuting law breakers and to be fair to all concerned, the author discourages those who are preoccupied with TIP from prejudging all unlawful acts as incidents of TIP since many of them might not fall under the criteria of TIP. Additionally, the article addresses the U.S. Victims of Trafficking and Violence Protection Act of 2000, which classifies countries under one of the tiers stipulated therein. The author indirectly suggests that, via the Act, the U.S. puts pressure upon other countries to suppress TIP intensively and properly protect victims of TIP. Therefore, the author urges Indonesia and Thailand to take special care in handling incidents of TIP in fisheries.
Artikel ini berfokus pada “perdagangan manusia” (“trafficking in persons” atau TIP) dalam sektor industry perikanan laut di Indonesia dan Thailand. Artikel ini merujuk pada perangkat internasional mengenai TIP dengan membahas beberapa kasus terkini terkait TIP dalam sector perikanan laut di Indonesia yang dilaporkan terjadi pada semester pertama tahun 2015. Artikel ini juga mendalami peraturan domestik Indonesia dan Thailand dalam memerangi perdagangan manusia di kawasan dan juga perjanjian bilateral dan multilateral, di antaranya Perjanjian antara Pemerintah Kerajaan Thailand dan Pemerintah Republik Indonesia tentang Ekstradisi yang merupakan instrument yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan kepada para pelaku perdagangan manusia. Demi kesuksesan penuntutan para pelaku dan demi keadilan bagi pihak-pihak yang terkait, penulis tidak menyarankan dilakukannya praduga bersalah atas tindakan-tindakan melanggar hukum sebagai kasus perdagangan manusia karena tidak semua tindak pelanggaran hukum masuk dalam kriteria perdagangan manusia. Di samping itu, artikel ini juga merujuk pada U.S. Victims of Trafficking and Violence Protection Act tahun 2000, yang menggolongkan negara-negara dalam beberapa tingkat. Penulis secara tidak langsung menyarakan agar melalui peraturan tersebut, Amerika Serikat dapat memberikan dorongan bagi negara lain untuk menekan perdagangan manusia dan memberikan perlindungan yang layak bagi para korban perdagangan manusia. Dengan demikian, penulis mendorong Indonesia dan Thailand untuk secara serius menangani kasus-kasus perdagangan manusia dalam sektor industri perikanan laut."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Whelan, Jennifer
"Malaysia?s rapid economic development has relied on Malaysian workers as well as on migrant workers, especially from ASEAN countries and South Asia. The sustained high economic growth rates in Malaysia over approximately three decades caused the increase in migrant workers, who were to meet the rising demand in certain sectors of the Malaysian labour market. The objective of the article is to identify potential opportunities for policy and legislative reform in relation to Malaysia?s implementation of its obligations as a Migrant Domestic Worker (MDW) receiving country specifically in relation to the barriers to MDW bringing claims where their rights have been breached. This article has identified the relevant policy, legislative and support mechanism (NGO and government) landscape in Malaysia regarding the realisation of the rights of migrant domestic workers in Malaysia to bring claims where their rights have been breached; best practice examples of the relevant policy, legislative and support mechanism landscapes in at least 2 ?best practice? MDW receiving countries regarding the realisation of the rights of MDW to bring claims where their rights have been breached; and potential opportunities for policy, legislative and support mechanism reform in Malaysia to further enhance the realisation of the rights of MDW in Malaysia specifically in relation to redress mechanisms for breaches of the rights of MDW.
Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang pesat bergantung pada tenaga kerja Malaysia dan tenaga migran, khusunya dari negara-negara ASEAN, dan dari Asia Selatan. Pertumbuhan berkelanjutan yang tinggi dari ekonomi di Malaysia selama lebih dari tiga dekade telah mengakibatkan meningkatnya tenaga migran, karena kebutuhan untuk memenuhi permintaan yang meningkat di beberapa sektor dalam pasar jasa Malaysia. Tujuan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi peluang reformasi kebijkan dan legislasi dalam kaitannya dengan implementasi Malaysia akan kewajibannya sebagai Negara penerima migrant domestic worker (MDW) khususnya terkait hambatan MDW dalam melakukan gugatan ketika hak meraka dilanggar. Artikel ini telah mengidentifikasi tataran kebijakan, legislasi dan mekanisme dukungan (terkait realisasi hak-hak MDW di Malaysia dalam melakukan gugatan; contoh praktik terbaik (best practice) tataran kebijakan, legislasi dan mekanisme dukungan yang terkait di setidaknya dua Negara penerima MDW yang memiliki ?best practice? dalam merealisasikan hak MDW dalam melakukan gugatan; serta potensi peluang reformasi kebijakan, legislasi dan mekanisme dukungan di Malaysia untuk semakin meningkatkan realisasi hak-hak MDW di Malaysia khususnya dalam mekanisme ganti rugi atas pelanggaran hak-hak MDW."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Fritz Edward
"The Constitutional Court of Indonesia plays significant role in securing democracy in Indonesia. In exercising their authorities, including the election result dispute and judicial review, the Court continues to affirm institutional judicial legitimacy and pursue their role to guard 1945 Constitution. The first Chief Justice Jimly Asshiddiqie showed how within five years of the Court?s establishment, he could strategically maximize its momentum and build the Court as a respectful institution. The Chief Justice Mahfud M D was then elected to reduce the judicial activism started by Jimly?s bench. However, against promises and expectations, Mahfud M D brought the Court to a level far beyond the imagination of the Constitution drafters. Parliament and President tried to limit the Court?s authority, not ones, and the Court was able to overcome those constrain. Current various available studies observed only how the Court issued their decisions and solely focus to the impact of the decisions. Scholars slightly ignore other constitutional actors in studying about the Court. In fact, political environment where the Court operated is one of the most important aspects which strengthen the Court?s institutional legitimacy. This paper attempts to discover the rise of the Court from political environment view outside the court. Political parties? maturity and political constraint are the key factors that support the development of the Court?s institutional power.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Mahkamah) memerankan peran yang signifikan dalam mengawal demokrasi di Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa tentang hasil pemilihan umum dan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah terus membangun legitimasi institutisinya dalam menjalankan peran sebagai pengawal Konstitusi 1945. Ketua Mahkamah yang pertama, Jimly Asshiddiqie, menunjukkan bagaimana dalam jangka waktu lima tahun dari pendirian Mahkamah, beliau dapat secara strategis memaksimalkan momentum pendirian ini dan membangun Mahkamah sebagai institusi yang dihormati. Kemudian Mahfud M D dipilih sebagai Ketua Mahkamah, dengan maksud untuk mengurangi kegiatan yudisial yang dimulai oleh Jimly dan jajarannya. Namun demikian, berlawanan dengan janji-janji dan harapan-harapan, Mahfud M D justu membawa Mahkamah ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari yang semula dibayangkan oleh para pencetus pendirian Mahkamah. Perwakilan Rakyat dan Presiden kemudian mencoba untuk membatasi kewenangan Mahkamah, namun Mahkamah berhasil mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Berbagai studi atas Mahkamah saat ini hanya meneliti bagaimana Mahkamah mengeluarkan putusan-putusan dan hanya berfokus pada dampak putusan-putusan tersebut serta acap kali mengesampingkan aktor-aktor konstitusional lainnya. Faktanya, situasi politik di mana Mahkamah berada saat itu merupakan salah satu hal yang terpenting yang dapat memperkuat legitimasi insitusional Mahkamah. Artikel ini mencoba untuk menemukan kebangkitan Mahkamah dari sudut pandang situasi politik di luar Mahkamah. Kedewasaan partai-partai politik dan kendala politis merupakan kunci yang mendukung perkembangan kewenangan institusional Mahkamah."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, E. Fernando M.
"Ernst Utrecht adalah salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Pandangan politiknya menempatkan dirinya sebagai seorang intelektual organik; sarjana hukum yang terlibat dan mengutarakan kesadaran umum yang ada di dalam masyarakat, baik itu di arena akademis, maupun di arena politis. Keterlibatannya yang kontroversial ini berakhir tragis, karena membuatnya meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Artikel ini memaparkan dan merefleksikan beberapa ide hukum dan politik Utrecht yang cukup kontroversial; yaitu, pertama, pengayoman sebagai tujuan hukum Indonesia, sebuah tujuan hukum yang nyaris tidak termasuk arus utama tujuan hukum dalam teks-teks hukum masa kini, karena ia merelevansikannya dengan ide revolusi dan ajaran Marxisme, namun dengan cara yang lebih kritis. Kedua, Pancasila sebagai etika kenegaraan dan grundnorm, tema yang terus menjadi perdebatan hingga masa kini, walaupun Kelsen jelas-jelas mengatakan bahwa grundnorm harus bersih dari unsur bukan hukum, dan oleh karenanya menerima Pancasila sebagai etika kenegaraan berimplikasi hilangnya dasar teoritis menerima Pancasila sebagai grundnorm. Yang terakhir mengenai asas legalitas, yang ia kritik secara keras, karena keberadaan asas tersebut hanya merefleksikan kepentingan kaum yang berkuasa. Pemikirannya ini semua tak pelak lagi mengokohkan predikatnya sebagai salah seorang sarjana hukum terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Ernst Utrecht is one of the best legal scholars Indonesia has ever had. His political views position him as an organic intellectual; a legal scholar involved in and expressing the social consciousness, both in the academic as well as in the political arena. His controversial involvement came to a tragic end, causing him to leave Indonesia for good. This article describes and reflects on some of Utrecht?s rather controversial ideas about law and politics; namely, first, "pengayoman" (guardianship) the purpose of law in Indonesia, a purpose of law which is almost completely absent from the mainstream conception of the purpose of law in contemporary legal texts, as he relates it to the idea of revolution and the teaching of Marxism, albeit taking a more critical approach. Second, Pancasila as state ethics and grundnorm, a theme which remains debated up to the present time, in spite of Kelsen?s express statement that grundnorm must be clean from non-legal elements, thus the implication of recognizing Pancasila as state ethics is that Pancasila as grundnorm loses its theoretical ground. Finally, the principle of legality, subject to Utrecht?s strong critique for reflecting the interest of those in power only. All of his above described thinking undoubtedly reaffirm Utrecht?s predicate as one of the best legal scholars Indonesia has ever had.
"
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adijaya Yusuf
"Issues in fisheries have been regulated in various international conventions. The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) has built a regime in the field of conservation and management of fishery resources based upon maritime zones or fish species that exist and available in this zone. However, UNCLOS 1982 only focuses on the issue of fisheries in the Exclusive Economic Zone (EEZ) and the high seas, thus it was not sufficient to overcome the problems of high frequent of fishing in maritime zones which are fully subject to the jurisdiction of coastal states, such as in the Inland waters, archipelagic waters and the Territorial Sea. This article aims to examine the legal framework and mechanisms of fisheries subsidies in the aspects of trade and sustainable development. In this article, discussion would carried out in order to examinethe legal framework and mechanisms of marine fisheries subsidies that are implemented with the principles of fair-trade and sustainable development, both in the international level, as well as in the national level. Thus, this research is expected to be able to bridge the interests of developed countries and developing countries, especially Indonesia, in order to achieve fair trade in the field of fisheries and resource utilization of sustainable fisheries.

Masalah perikanan sudah diatur dalam berbagai konvensi internasional. The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) membangun rezim di bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan zona maritim atau jenis ikan yang ada dan tersedia di zona ini. Namun, UNCLOS 1982 hanya focus pada isu perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut bebas, sehingga tidak cukup untuk mengatasi masalah penangkapan ikan yang tinggi di zona maritim yang tunduk sepenuhnya pada yurisdiksi Negara pantai, seperti di Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial. Riset ini akan meneliti kerangka hokum dan mekanisme subsidi perikanan dalam aspek perdagangan dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam riset ini akan dikaji dan diteliti kerangka hokum dan mekanisme subsidi perikanan laut yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip fair trade dan pembangunan berkelanjutan, baik di tingkat internasional, maupun di tingkat nasional. Dengan demikian, riset ini diharapkan akan mampu menjembatani kepentingan Negara maju dan Negara berkembang, khususnya Indonesia, demi tercapainya fair trade dalam bidang perikanan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rohaida Nordin
"Unaccompanied minor asylum seekers are vulnerable and thus, provided special international law protections. However, in reality, they are being mistreated as illegal immigrants and on the receiving end of ethnic violence, discrimination, restrictions in enjoyment of their rights duly recognised by international human rights law. This article identifies legislative, policy and support mechanisms which encompass the minimum UMAS guardianship standards at international law and which are evidence-based from best practice models for the provision of guardians for UMAS internationally. It presents situation of UMAS in relation to human rights violations with emphasis on the legal framework and practices in Australia and five ASEAN State Members. This article also highlights the various stands taken by various countries providing better legal framework and practices regarding the terms for protection and enforcement of human rights for UMAS. Finally, this article provides recommendations for Australia and ASEAN Member States to adopt in order to realise the international human rights of UMAS with respect to guardianship.

Pencari suaka di bawah umur (Unaccompanied Minor Asylum Seekers (UMAS)) berada dalam keadaan rentan dan karenanya mendapat perlindungan hukum internasional khusus. Namun demikian, atas dasar ras, mereka seringkali diperlakukan sebagai imigran ilegal di banyak dan menjadi korban tindak kekerasan, diskriminasi dan hambatan menerima hak-hak mereka sebagaimana yang telah dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional. Artikel ini mengidentifikasi peraturan legislatif, mekanisme kebijakan dan dukungan, yang memenuhi standar minimum perwalian dalam hukum internasional dan yang terbukti menjadi model praktik terbaik terkait peraturan perwalian UMAS secara internasional. Artikel ini juga menjelaskan situasi yang dialami UMAS dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia dengan penekanan pada kerangka hukum dan praktik di Australia dan lima negara ASEAN. Selain itu, artikel ini juga menyoroti pandangan negara-negara dalam menyediakan kerangka hukum dan pelaksanaan yang lebih baik terkait persyaratan perlindungan dan penegakan hukum hak asasi manusia bagi UMAS. Pada bagian akhir, artikel ini memberikan rekomendasi bagi Australia dan negara anggota ASEAN untuk mengakui hak asasi manusia internasional UMAS terkait perwalian."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2015
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>