Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177944 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sony Sugiharto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58536
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Rachmawarni Bachtiar
"Latar Belakang: Fibrosis hati telah menjadi masalah kesehatan global dengan angka mortalitas 800 ribu kematian tahun 2004. Hepatitis kronis yang disebabkan oleh hepatitis C memerlukan perhatian khusus karena secara patogenesis sebelum berkembang menjadi hepatocellular carcinoma (HCC) akan melalui fase fibrosis hati. Baku emas diagnosis fibrosis hati adalah melalui biopsi hati, tetapi terdapat banyak keterbatasan antara lain kesediaan fasilitas dan efek samping. Pemeriksaan non-invasif saat ini menjadi pilihan untuk deteksi fibrosis.
Tujuan: untuk mengetahui akurasi pemeriksaan non-invasif (FibroScan, skor APRI, dan FIB-4) dalam mendeteksi fibrosis hati. Metode: Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien yang dilakukan biopsi hati di RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2008 hingga Desember 2014.
Hasil: Dari 120 orang yang menjalani biopsi hati, 56 pasien yang memenuhi kriteria seleksi. Akurasi APRI, FIB-4, dan FibroScan adalah sebagai berikut, AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), dan AUC 0,712 (IK 95%, 0,398-1,000). Berdasarkan hasil analisis berjenjang, akurasi diagnostik kombinasi pemeriksaan APRI dan FibroScan, FibroScan dan FIB-4, APRI dan FIB-4, dan kombinasi ketiganya adalah sebagai berikut AUC 0,702 (IK95%, 0,375-1,000), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), dan 0,798 (IK 95%, 0,533-1,000).
Kesimpulan: FibroScan memiliki akurasi terbaik dibandingkan APRI dan FIB4 dalam mendeteksi fibrosis hati. Akurasi dengan kombinasi APRI, FIB-4, dan FibroScan meningkat jika dibandingkan dengan pemeriksaan tunggal untuk mendeteksi fibrosis hati pada pasien hepatitis C.

Background: Liver fibrosis has become a global health problems with the 800 thousand mortality death in 2004. Chronic hepatitis caused by hepatitis c need special attention because before it develops into Hepatocellular Carcinoma (HCC) going through the liver fibrosis. Gold standard of liver fibrosis is liver biopsy, but there are many limitations, such as facilities and side effects. Non-invasive diagnostic tools are the option for the detection fibrosis.
Aim: To know the accuracy of the noninvasive diagnostic tools (FibroScan, the APRI score, FIB-4 score) in detecting liver fibrosis . Methods: This is diagnostic research which used secondary data from medical patient doing liver biopsy conducted in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in January 2008 to December 2014.
Results: There are 120 patients who underwent liver biopsy and 56 patients who fulfill selection criteria. The accuracy of APRI score, FIB-4, and FibroScan are AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), and AUC 0,712 (IK95%, 0,398-1,000). Based on the multivariate analysis , accuracy of diagnostic combination FibroScan and APRI , FIB-4 and FibroScan , and FIB-4 and APRI, and combination of the three are as follows AUC 0,702 (IK95% , 0,375-1,000 ), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), and 0,798 ( IK95% , 0,533-1,000 ).
Conclusion: FibroScan has the highest diagnostic accuracy compared with APRI and FIB4 in detecting liver fibrosis. Accuracy of combination APRI, FIB-4, and FibroScan increase compared with the single diagnostic tools for liver fibrosis detection in hepatitis C patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Andy Janitra
"Latar belakang dan tujuan: Fibrosis hepar merupakan hal yang perlu diketahui untuk memulai terapi antiviral pada pasien hepatitis C kronik. Pemeriksaan USG Doppler yang bersifat non invasif, tersedia luas dan relatif murah dipertimbangkan sebagai metode alternatif untuk menentukan derajat fibrosis di daerah yang tidak memiliki fibroscan. Parameter splenic artery pulsatility index (SAPI) dipikirkan dapat digunakan sebagai indikator derajat fibrosis. Namun saat ini belum ditemukan nilai titik potong SAPI untuk populasi di Indonesia.
Metode: Studi observasional potong lintang dilakukan pada 34 pasien dengan hepatitis C kronik di Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu Desember 2015 hingga Februari 2016. Indeks dan parameter Doppler lainnya merupakan data primer. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fibrosis non signifikan dan kelompok fibrosis signifikan. Uji komparatif dilakukan untuk membandingkan rerata indeks dan parameter Doppler lainnya diantara kedua kelompok tersebut. Analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) dilakukan pada SAPI untuk mendapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitasnya.
Hasil: Median SAPI pada kelompok fibrosis signifikan adalah 1.02 dengan range 0.7-1.8 sedangkan median SAPI pada kelompok fibrosis non signifikan adalah 0.89 dengan range 0.7-1.3 dengan nilai p=0.021. Dengan analisis ROC didapatkan titik potong indeks 0.96 yang memberikan sensitifitas 73.9% dan spesifisitas 81.8% untuk membedakan kelompok fibrosis signifikan dan fibrosis non signifikan.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara indeks SAPI secara USG dengan derajat fibrosis yang didapat dari fibroscan dan indeks tersebut dapat digunakan sebagai indikator fibrosis signifikan dengan akurasi yang cukup tinggi.

Background and Objective: Liver fibrosis needs to be evaluated in order to begin anti viral therapy in chronic hepatitis C patients. Doppler ultrasound which is non invasive, widely available and relatively cheap is being considered as an alternative method to determine the degree of fibrosis in areas which do not have a fibroscan available. Splenic artery pulsatility index (SAPI) can be used as an indicator of significant fibrosis, however the cut off value for Indonesian population has yet to be determined.
Method: A cross-sectional observational study is conducted in 34 patients with chronic hepatitis C in the Hepatology Division Department of Internal Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital during December 2015 to February 2016. The index and other Doppler parameters are primary data. Subjects are divided into two groups: significant fibrosis group and non significant fibrosis group. Comparative test is conducted to compare the mean index and other Doppler parameters among the two group. Analysis of receiver operating characteristic (ROC) curve was performed on parameters that are statistically significant in order to obtain the sensitivity and specificity value.
Results: Median SAPI in significant fibrosis group is 1.02 with a range of 0.7-1.8 while the median SAPI in non significant group is 0.89 with a range of 0.7-1.3, p=0.021. From ROC curve analysis, we obtained the optimal cutting point index 0.96 which gives 73.9% sensitivity and 81.8% specificity to differentiate significant fibrosis group and non significant fibrosis group.
Conclusion: There is a significant association between SAPI which is obtained by Doppler and the degree of fibrosis obtained from fibroscan which can be used as an indicator for significant liver fibrosis with quite high accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titos Ahimsa
"LatarBelakang: Sekitar 3% populasi di dunia terinfeksi virus hepatitis C. Protein virus hepatitis C memodulasi apoptosis dan steatosis, cedera sel hati, mengaktifkan sel stelata hati dan fibrosis hati. Infeksi virus hepatitis C akan menimbulkan cedera pada hepatosit. Cedera pada hepatosit ini akan mengaktivasi sel stelata hati. Sel stelata berperan besar pada proses perkembangan fibrosis hati.
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan jumlah sel stelata hati aktif CD38+ pada berbagai derajat fibrosis serta hubungnnya dengan AST, ALT, jumlah HCV RNA kuantitatif pada hepatitis C kronik.
Metoda: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 32 pasien hepatitis C kronik yang sudah dilakukan USG hati dan tidak menderita hepatoma serta telah dilakukan biopsi hati. Paraffin block jaringan hati pasien selanjutnya diwarnai menggunakan teknik Hematoksilin Eosin untuk menilai derajat Metavir yang dikategorikan menjadi derajat ringan-sedang atau berat. Pewarnaan khusus dilakukan untuk menilai sel stelata hati yang dihitung rata-rata pada lima lapangan pandang.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan perbedaan jumlah sel stelata hati CD38+ yang bermakna antara fibrosis derajat berat dan derajat ringan-sedang (p <0.001), tidak didapatkan hubungan antara sel stelata hati CD38+ dengan AST (p=0,2) maupun ALT (p =0,7), dan tidak didapatkan hubungan antara sel stelata hati CD38+ dengan HCV RNA kuantitatif (r = -0,372).
Kesimpulan: Jumlah sel stelata hati CD38+ pada fibrosis berat lebih tinggi daripada jumlah sel stelata hati CD38+ pada fibrosis ringan-sedang. Tidak terdapat hubungan antara nilai AST, ALT dan HCV RNA kuantitatif dengan jumlah sel stelata hati CD38+.

Background: Approximately 3% of the population in the world are infected with hepatitis C. Hepatitis C virus proteins modulate apoptosis and steatosis, liver cell injury, activate liver stellate cells and liver fibrosis. Hepatitis C virus infection will injure to hepatocytes. Hepatocytes injury will activate the liver stellate cells. Stellate cells play a major role in the development of liver fibrosis.
Aim: Knowing the CD38+ active hepatic stellate cells count difference at various fibrosis stage and correlation with AST, ALT, quantitative HCV RNA in chronic hepatitis C patients.
Method: Cross-sectional method. 32 paraffin block sample from liver tissue patient with chronic hepatitis C without hepatocellular carcinoma who have performed an abdomen ultrasound and liver biopsy, assess the Metavir score were categorized into mild or severe degree. Samples were stained for liver stellate cells by specific staining and the average of stellate cells were calculated in 10 flat field of view.
Result: In this study, the liver stellate cells count CD38+ were significantly correlate with the degree of fibrosis (p <0.001), there were no relationship between liver stellate cells CD38+ with AST levels (p = 0,2) and ALT levels (p = 0,7), and there was no relationship between liver stellate cells CD38+ with quantitative HCV RNA levels (r = -0.372).
Conclution: Stellate cells count CD38+ are increasing along with the fibrosis degree. There were no relationship between level of AST, ALT and quantitative HCV RNA with the stellate cells count CD38+.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sudirga
"Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati kronik yang penting di seluruh dunia termasuk lndonesia. Diperkirakan terdapat 300 juta pembawa virus hepatitis C di seluruh dunia. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan prevalensi anti Hepatitis C Virus (anti HCV) berkisar antara 2,1-2,5%.s Penelitian di Jakarta pada tahun 1990 memperlihatkan prevalensi anti HCV pada hepatitis kronik non B sebesar 80,4%. Hepatitis C merupakan jenis hepatitis dengan gejala k1inis yang ringan tapi dengan tingkat kronisitas dan progresifitas yang tinggi ke arah sirosis. Sekitar 70-80% hepatitis C akut akan menjadi kronik dan 20% akan berkembang menjadi sirosis bati.

Hepatitis C is an important cause of chronic liver disease around the world, including Indonesia. It is estimated that there are 300 million carriers of the hepatitis C virus worldwide. In a study conducted in Indonesia, the prevalence of anti-Hepatitis C Virus (anti-HCV) ranged from 2.1-2.5%.s A study in Jakarta in 1990 showed an anti-HCV prevalence in chronic non-B hepatitis of 80.4%. Hepatitis C is a type of hepatitis with mild k1inis symptoms but with a high degree of chronicity and progression to arabic cirrhosis. About 70-80%. Acute hepatitis C will become chronic and 20% will develop into batic cirrhosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Evie Rosa Widyawanti
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Penyakit hepatitis C kronik merupakan masalah kesehatan global yang dapat menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang tinggi pada kondisi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Adanya terapi sofosbuvir-daclatasvir yang bersifat pangenotipik diharapkan dapat mengatasi penyakit ini. Namun, didapatkan hasil pencapaian SVR 12 yang bervariasi dan lebih rendah pada genotipe 3 dibandingkan genotipe 1. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai pencapaian SVR 12 pada kedua genotipe ini yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Tujuan:
Mengetahui pencapaian SVR 12 pasien hepatitis C Kronik genotipe 3 dibandingkan genotipe 1 yang mendapatkan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 209 pasien hepatitis C kronik genotipe 3 dan 1. Dilakukan analisis dengan membagi pasien menjadi dua kelompok yaitu genotipe 3 dan 1 serta dibandingkan dengan pencapaian keberhasilan SVR 12 menggunakan uji chi-square. Faktor sirosis hepatis dan usia yang dianggap dapat memengaruhi keberhasilan SVR 12 dianalisis dengan menggunakan uji chi-square kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik.
Hasil:
Sampel berjumlah 209 pasien yang terdiri dari 45 pasien genotipe 3 dan 164 pasien genotipe 1. Pencapaian keberhasilan SVR 12 pada genotipe 3 dan 1 yaitu 84,4% dan 98,8%. Kelompok pasien genotipe 3 memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan kelompok pasien genotipe 1 dengan adjusted OR=0,065 (IK95% 0,013-0,330) dan ARR 14,4%. Sirosis hepatis dan usia tidak memengaruhi keberhasilan SVR 12 (p=1,00 dan p=0,72). Sejumlah 5 dari 9 pasien yang mengalami kegagalan memiki koinfeksi dengan HIV.
Simpulan:
Pasien hepatitis C kronik genotipe 3 yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan genotipe 1.

ABSTRACT
Background. Chronic hepatitis C is a global health problem with high morbidity and mortality in the condition of cirrhosis and hepatocellular carcinoma. sofosbuvir-daclatasvir is pangenotypic therapy that expected to overcome this disease. However, the achievement of SVR 12 was varied and lower in genotype 3 compared to genotype 1. In Indonesia, there is no data about achievement SVR 12 in both genotypes using sofosbuvir-daclatasvir.
Objectives. To know SVR 12 achievement between genotype 3 and 1 chronic hepatitis C patients that using sofosbuvir-daclatasvir therapy.
Methods. This study is a retrospective cohort using secondary data of 209 hepatitis C chronic genotype 3 and 1. Samples were divided into two groups according to its genotype and compared with achievement of SVR 12 then analyzed using chi-square test. Hepatic cirrhosis and age factors that are considered to affect the achievement SVR 12 were analyzed using chi-square test and logistic regression test.
Results. 209 patients participated in this study consisting of 45 genotype 3 and 164 genotype 1. Achievement of SVR 12 succeed in genotypes 3 and 1 were 84,4% and 98,8%. Genotype 3 patients had lower SVR 12 achievement compared to genotype 1 patients with adjusted OR=0,065 (95% CI 0,013-0,330) and ARR 14,4. Hepatic cirrhosis and ages did not affect SVR 12 (p= 1.00 and 0,72, respectively). Five from nine patients who failed have co-infection with HIV.
Conclusions. Chronic hepatitis C patients using sofosbuvir-daclatasvir theraphy had lower SVR 12 achievement in genotype 3 than genotype 1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar Belakang: Hubungan antara hepatitis C dan penyakit ginjal kronik (PGK) sudah semakin jelas. Sirosis hati dan kadar virus pada hepatitis C dikatakan berhubungan dengan PGK, namun hal ini masih menjadi kontroversi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi PGK serta hubungannya dengan sirosis hati dan kadar virus pada pasien hepatitis C.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang dilakukan pada Agustus 2018 sampai Januari 2019 di Poliklinik Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia. Subjek dipilih secara konsekutif pasien dengan antiHCV positif dan ditanyakan kesediannya. Subjek dengan HIV, hepatitis B, riwayat hemodialisis, dan batu ginjal dieksklusi. Data diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, elastrografi transien, pemeriksaan darah dan urin. Pasien didiagnosis PGK bila terdapat kelainan laju filtrasi glomerolus at au albuminuria atau hematuria persisten selama tiga bulan. Analisis statistik menggunakan kai kuadrat untuk data kategorik dan menggunakan regresi logistik untuk mengendalikan variabel perancu.
Hasil: Dari total 185 subjek yang mengikuti penelitian ini didapatkan prevalensi PGK sebesar 23,2% dengan 95% IK 17,12-29,28% pada subjek dengan hepatitis C. Sirosis hati berhubungan dengan terjadinya PGK pada hepatitis C dengan crude OR 2,786 (1,276-6,081) dan adjusted OR 2,436 (1,057-5,614) setelah mcngendalikan diabetes melitus, usia, dan jenis kelamin. Tidak didapatkan hubungan antara kadar virus dengan PGK (p=0,632).
Simpulan: Terdapat hubungan antara sirosis hati dengan PGK dan tidak terdapat hubungan antara kadar virus dengan PGK pada pasien dengan hepatitis C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>