"Naskah ini merupakan kumpulan berbagai teks diantaranya adalah:
1. Serat cabolek, berisi perdebatan antara Haji Mutamangkin yang berasal dari desa Cabolek dengan Ketib Anom Kudus dan Demang Urawan. Haji Mutamangkin dianggap menghina ajaran sareat Islam, lalu oleh PB II diperintahkan untuk diadili. Soebardi telah mengulas dan meneliti berbagai naskah dan versi Serat Cabolek yang ada. Olehnya serat-serat Cabolek dikelompokkan dalam tiga kelompok. Setelah dilakukan penelitian singkat penyunting melihat bahwa teks Cabolek di dalam naskah ini sama versinya dengan kelompok ke-3 pengelompokan Soebardi. Pada awal teks agak berbeda karena menggunakan metrum mijil, sedangkan metrum selanjutnya sama persis. Teks Cabolek yang lainnya adalah PR.74, setelah dibandingkan teks Cabolek ini merupakan versi yang lain dari versi pengelompokannya Soebardi. Keterangan bibliografis selengkapnya mengenai teks Cabolek lihat MSB/L.80. Teks dilanjutkan dengan cerita mengenai Bima Suci. Di dalam teks ditemukan keterangan mengenai saat penulisan, yaitu pada hari Kamis Pon, 11 Dulkangidah, Ehe 1788 (31 Mei 1860). Prakarsa penulisan teks ini adalah Surya Sasradiningrat III, Pakualaman Yogyakarta.
2. Teks kedua adalah Bima Suci KAwi Miring, masih melanjutkan salah satu tema Serat Cabolek yang menguraikan berbagai petualangan Bima ketika mencari air kehidupan. Teks ini menggunakan metrum tembang gedhe.
3. Teks Niti Negari, berisi uraian dan kewajiban seorang raja. Teks ini hanya terdiri dari metrum dhandanggula sebanyak 51 bait.
4. Teks yang menerangkan 21 jenis nistha yang etrdapat pada seorang ksatria
5. Teks yang menerangkan keburukan dari perbuatan saling menghina, teks ini hanya terdiri dari satu bait bermetrum dhandhanggula
6. Semacam serat ma lima, yang menerangkan berbagai hal yang dianggap buruk oleh masyarakat, seperti: berjudi, menghisap candu, main perempuan, dan lain-lain.
7. Serat Astha Brata, yaitu wejangan Rama kepada Gunawan Wibisana tentang keadaan alam dan kewajiban seorang raja, dengan mengikuti sifat delapan dewa.
8. Teks piwulang berjudul WUlangreh, karangan Pakubuwana IV.
9. Teks yang isinya menerangkan bagaimana seorang mendapatkan ngelmu
10. Teks yang isinya menerangkan ajaran seorang pangeran kepada anak cucu dan abdinya, tentang watak dan perbuatan yang baik.
11. Teks yang berisi ajaran kepada laki-laki agar jangan selalu percaya terhadap omongan istri
12. Teks dongeng peksi bayan, mengisahkan sebuah kerajaan burung di sebuah pohon bernama Puh Jenggi, dan dipimpin oleh Peksi Bayan. Menurut keterangan ahli nujum kerajaan, Peksi Bayan akan mendapat celaka ulah peksi johan. Peksi bayan memerintahkan rakyatnya apabila bertemu Peksi Johan agar membunuhnya. Suatu saat datanglah Ki Demang yang memiliki kebiasaan mengakan burung, lalu memasang jerat dan pulut. Seluruh warga Peksi Bayan tertangkap, namun mereka sepakat untuk berpura-pura mati. Ki Demang membuang bangkai burung-burung yang mati, setelah dibuang mereka bersama-sama terbang tetapi malangnya sang Raja Peksi Bayan masih tertangkap. Ki Demang pulang sambil membawa tangkapannya Peksi Bayan. Teks ini hanya menggunakan metrum sinom dalam 25 bait.
13. Teks DOngeng Peksi Platukm mengisahkan kerajaan burung. Sang raja bertengkar dengan patihnya bernama Brihawan tentang masalah perjodohan. Sang raja marah dan memerintahkan kebayan Peksi Bango membunuh Brihawan, namun ia menolak, lalu kepalanya dipukul sehingga botak. Cerita berlanjut mengenai ganjaran pada burung-burung yang menuruti perintah raja dan yang menolak. Teks ini menggunakan metrum dhandhanggula dalam 22 bait
14. Teks Dongeng jejaka anaking segawon, mengisahkan seorang janda yang menikahi anjing dan memiliki anak laki-laki yang tampan. Sang anak kecewa dengan bentuk ayahnya lalu pergi berguru pada awan, angin, gunung dan terakhir pada landak. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya ia kembali ke rumahnya lagi karena ternyata ayahnyalah yang paling unggul, sebab landak takut pada anjing. Teks ini menggunakan metrum asmaradana dalam 13 bait
15. Teks rancang kumala, mengisahkan kerajaan rancang kumala dan prabangkara, pelukis istananya yang sangat taat pada perintah raja. Raja Rancang Kumala mimpi jatuh cinta [ada seorang putri, lalu ia memerintahkan Prabangkara untuk membuat lukisannya. Tanpa disengaja ketika melukis, Prabangkara menjatuhkan tetesan tinta pada lukisannya dan membuat raja marah. Raja menghukum Prabangkara dengan memerintahkan melukis isi lautan dan daratan. Cerita berakhir ketika Prabangkara membuat golek yang lalu dijual pada putri Rancang Mustika, sehingga sang putri jatuh cinta dan menikah dengannya.
16. Teks DOngeng Tiyang jrih, mengisahkan seorang penakut yang memiliki sebilah keris. Ia selalu memerintahkan istrinya untuk mencari tandingannya. Sang istri menuruti dan bertemu dengan orang Bali. Orang Bali bersedia datang menyanggupi. Mendengar keterangan istrinya, sang penakut menjadi kecewa dan menyesali sikapnya. Atas saran istrinya sang penakut dirias bagai seorang bayi, ketika orang Bali datang, ia terkejut melihat bayi yang sedemikian besarnya. Dalam hati ia berpikir, bagaimana besarnya sang ayah, lalu orang Bali itu pergi karena ketakutan.
17. Teks Dongeng Ngayawaram mengisahkan lamunan seorang pedagang minyak, namun akhirnya tersadar ketika minyak jatuh berceceran.
18. Teks yang isinya menerangkan berbagai hal kegunaan dan pralambang dari seorang raja yang diumpamakan perahu dan bagian-bagiannya.
19. Teks Suluk Seh Tekawerdi, mengisahkan ajaran seorang pendeta yang terkenal bernama Seh Tekawerdi kepada anak cucunya tentang perbuatan yang baik. Seh Tekawedi juga mengajarkan bagaimana mengabdi kepada raja dan ajaran 4 macam nafsu.
20. Suluk Seh Idayatulloh, mengisahkan tatacara mengabdi pada raja dan uraian kata-kata julukan bagi raja.
21. Serat Sanusiri, mengisahkan ajaran untuk mempelajari sastra Arab dan Jawa, ajaran agar bertingkah laku yang baik kepada Allah, Nabi, Raja, lalu diterangkan keburukan orang yang mengerjakan Ma Lima, yaitu main, minum, maling, madat, madon. Disebutkan juga tentang keburukan orang yang tidak memiliki niat berbuat baik.
Di dalam teks disebutkan nama penyalin, yaitu Rangga Prawiradirja dengan sengkala 1823 (Pawaka Dwi Angerti Sujalma) atau 1893 Masehi. Kebanyakan teks yang termuat dalam naskah ini ditandai dengan ciri khas sastra Pakualaman, yaitu sasmitaning tembang terdapat pada bait pertama setiap pupuh baru, bukan pada bair terakhir pupuh sebelumnya. Penyalinannya pun diduga di Yogyakarta, kawasan Pakualaman.
Keterangan di luar teks menyebutkan bahwa naskah ini pernah dimiliki oleh Raden Panji Kakrasana, seorang lurah prajurit Nyutra di Yogyakarta, kemudian pada tanggal 19 April 1902 diserahkan kepada Ngabehi Carucitra. Selain itu disebutkan bahwa naskah ini berasal dari K.G.P.A.A. Sasraningrat III, Pakualaman. Pigeaud membelinya pada 30 Mei 1933, kemudian dibuat ringkasannya oleh Mandrasastra pada November 1933."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]