Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140833 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gregoria Maisy Dwi Lestari
"Pemerintah otoriter Orde Baru meninggalkan jejak pelanggaran HAM berat karena kebijakan politik yang menindas warga negara. Peristiwa Tanjung Priok merupakan salah satu pelanggaran HAM berat masa lalu yang menindas kelompok Muslim yang kritis terhadap rezim. Dengan kerangka teori kriminologi kritis, skripsi ini bertujuan untuk menelusuri pengalaman viktimisasi berlapis anggota keluarga korban pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tahun 1984 sebagai kejahatan negara. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma kriminologi kritis dengan data primer berupa wawancara mendalam dengan tiga anggota keluarga korban kasus Tanjung Priok 1984, serta data sekunder dengan studi literatur. Hasil analisis menunjukkan bahwa para anggota keluarga korban mengalami viktimisasi berlapis sejak peristiwa Tanjung Priok itu sendiri terjadi pada tahun 1984 hingga pada masa kini, ketika negara telah bertransisi dari pemerintahan yang otoriter. Viktimisasi berlapis tersebut dialami oleh para anggota keluarga korban dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kehidupan sosial, kondisi finansial, kondisi psikologis, hingga kedudukan di mata hukum dalam proses persidangan ad hoc yang telah dijalankan. Ini merupakan suatu bentuk kejahatan politik yang dilakukan oleh negara, baik dalam tindakan yang sengaja maupun dalam bentuk pengabaian. Adanya otoritarianisme dari negara sejak dari masa lalu hingga tidak adanya pertanggungjawaban negara di masa kini untuk menyelesaikan kejahatan di masa lalu tersebut menciptakan viktimisasi berlapis yang dialami oleh keluarga korban hingga hari ini. Prinsip-prinsip keadilan transisi yang gagal diwujudkan hingga hari ini menunjukkan bahwa negara terus melanggengkan impunitas para pelaku dan tidak menunjukkan political will dalam pemerintahan yang demokratis untuk memulihkan kerugian para anggota keluarga korban.

The authoritarian New Order government left a trail of gross human rights violations due to political policies that oppressed citizens. The Tanjung Priok incident is one of the past gross human rights violations that oppressed Muslim groups critical of the regime. Grounded in the theoretical framework of critical criminology, this thesis investigates the phenomenon of layered victimization experienced by the family members of victims of the 1984 Tanjung Priok gross human rights violations, conceptualized as a state crime. Employing a qualitative research design within a critical criminology paradigm, the study utilizes primary data derived from in-depth interviews with three family members of victims, complemented by secondary data obtained through literature review. The findings reveal that the victims' families have endured ongoing and layered forms of victimization from the time of the incident through the present, despite the state's political transition from authoritarian rule. These forms of victimization manifest across various dimensions of life, including social marginalization, economic hardship, psychological distress, and legal disenfranchisement, particularly within the context of the ad hoc judicial proceedings. The layered victimization is attributed to both comission and omission act by the state. The enduring effects of past authoritarianism, coupled with the state's continued failure to establish accountability mechanisms, contribute to the perpetuation of harm against the victims' families. The study concludes that the unfulfilled principles of transitional justice reflect the state's ongoing impunity for past abuses and its lack of political will to rectifying the injustices suffered by victims’ families within the framework of democratic governance."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Evrin Halomoan
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984. Meskipun para pelaku telah diadili, namun hasil akhirnya adalah tidak ada kepastian pemberian hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban. Penyelesaian kasuskasus Pelanggaran HAM Berat khususnya dalam peristiwa tanjung priok 1984 cenderung berpijak pada model hukum positif yang kaku dan kurang memperhatikan kepentingan korban, padahal aparatur hukum sejatinya dapat menggunakan kacamata hukum lain demi terwujudnya keadilan substansif.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara terhadap narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis ini.

Gross violation of human rights is an extraordinary crime resulting in both physical and material losses of victims. It is often that the victim doesn't get protection and fulfillment of the rights guaranteed in the legislation. The problems raised in this thesis is How the protection for the victims of gross human rights violations, particularly in the case of human rights violations of Tanjung Priok 1984. Although the perpetrators were sentenced, but the there is no certainty of grant of rights regarding the reparations, such as compensation, restitution or rehabilitation to victims or families of the victims. The adjudication of human rights violations cases, especially on Tanjung Priok 1984 likely rests on the rigid positive law model and put less attention to the interests of victims, where legal apparatus can actually use the other 'legal spectacles' for the realization of substantive justice.
The expected outcome of this study is that the government can review the existing implementation mechanisms associated with the solution of gross human rights violations cases because experience shows the adjudication of gross human rights violations through court will often ignore the victim's rights in obtaining justice. Thus, it is expected that the Government will be more serious and intended to solves all the past gross human rights violations with more emphasis on the importance of the interests of victims.The method used in this study is a normative juridical with collection techniques of legal studies literature related to the victim's right of gross human rights violations in Indonesia, and reinforced by conducting interviews with sources. The data were based on literature review will be analyzed using this analysis.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman AK
"Penegakan Hukum Pelanggaran HAM berat di Indonesia terdiri dari mekanisme yudisial dan non yudisial. Pelanggaran HAM berat di Paniai memberikan ancaman diskursus pengetahuan HAM dewasa ini. Terlebih implikasi Penegakan Hukum HAM terfokus pada para korban yang tidak terpenuhi haknya. Konsep keadilan reparasi merupakan rangkaian dari konsep keadilan transisi yang dirancang untuk menjawab pertanggungjawaban negara kepada korban Pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini menggunakan metode hukum penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hak reparasi atas korban banyak mengalami dialektik transisi kebijakan di berbagai rezim, khususnya di rezim dewasa ini yang menekankan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui mekanisme non yudisial sehingga terdapat ketidaksesuaian antara konsep keadilan reparasi maupun keadilan transisional dalam penerapannya di Indonesia saat ini. Oleh karena demikian, perlu adanya rekonsiliasi dari negara sehingga pemenuhan hak reparasi bagi korban pelanggaran HAM di Paniai maupun masa lampau dapat terealisasikan secara maksimal sesuai dengan kajian komprehensif HAM.

The enforcement of gross human rights violations in Indonesia consists of judicial and non-judicial mechanisms. Gross human rights violations in Paniai pose a threat to the current human rights discourse. Moreover, the implications of human rights law enforcement are focused on victims whose rights are not fulfilled. The concept of reparative justice is part of the broader concept of transitional justice, designed to address state accountability to victims of gross human rights violations, as stipulated in national and international law. This research uses doctrinal legal research methods with legislative and conceptual approaches. The results of this study show that the reparation rights for victims has undergone a dialectic of policy transitions across various regimes, particularly in the current regime, which emphasizes the resolution of past gross human rights violations through non-judicial mechanisms. This results in discrepancies between the concepts of reparative justice and transitional justice in their implementation in Indonesia today. Therefore, reconciliation from the state is necessary so that the fulfillment of the right to reparations for victims of human rights violations in Paniai and the past can be maximized in accordance with a comprehensive human rights review."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Radjab,1961-
Jakarta: Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI), 2002
323.095 98 SUR i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Atnike Nova
"Dua puluh tahun sejak transisi politik Indonesia pada tahun 1998, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru belum dapat diselesaikan. Indonesia menghadapi situasi impunitas, sementara agenda keadilan transisi semakin hilang dari diskursus publik. Disertasi ini meneliti dan menganalisa bagaimana pendekatan advokasi yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM terhadap kebijakan Bantuan Medis dan Psikososial BMP Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK , tidak hanya memperbaiki prosedur dan pelaksanaan kebijakan BMP tetapi juga dapat mendorong kelanjutan agenda keadilan transisi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kualitas pemulihan dari kebijakan BMP ditentukan oleh koherensi internal dan eksternal dari kebijakan tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh LSM dan Komnas HAM terhadap kebijakan BMP telah menyentuh hal-hal yang menjadi masalah di dalam koherensi kebijakan BMP. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan ilmu kesejahteraan sosial tidak hanya bersifat komplementer terhadap pendekatan hukum dalam memandang korban dan hak-hak korban, melainkan justru memberikan perspektif baru dalam memandang fungsi kelembagaan LPSK dan Komnas HAM sebagai Lembaga Pelayanan Manusia.

Twenty year after Indonesia rsquo;s political transition in 1998, gross human rights violations that occurred during the New Order have not yet being settled. Indonesia is facing impunity, meanwhile the transitional justice agendas are disappearing from public discourse. This dissertation studies and analyses how the advocacy approach, which have been used by Non Governmental Organizations NGOs and the National Human Rights Commission of Indonesia Komnas HAM towards the Medical and Psychosocial Assistance rsquo;s policy BMP of the Victims and Witness Protection Agency LPSK , could not only improve the procedures and the implementation of BMP policy, but could also further drive the transitional justice agendas in Indonesia. This research found that the quality of reparation provided by BMP policy was determined by the internal and external coherence of the policy. Advocacy that were conducted by NGOs and Komnas HAM towards BMP policy have addressed the coherences of BMP policy. This research concludes that social welfare approach is not just a complementary to the legal approach in looking at the victims and the rights they are entitled. Instead, it gives new perspective in looking at the institutional role of LPSK and Komnas HAM as Human Service Organizations HSO ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Witra Evelin Maduma
"KKR dengan fokusnya pada masa lalu, dapat memberi kontribusi pada berbagai mekanisme yang sedang bekerja memperbaiki kinerja perlindungan HAM di Indonesia pada saat ini, dengan memberi perspektif sejarah, pencerahan tentang pola, dan rekomendasi-rekomendasi untuk kasus-kasus yang patut ditangani, maupun rekomendasi untuk reformasi institusi, mengungkap kebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Karena itu, sebuah KKR akan sangat membantu Indonesia, dimana terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan hanya melalui Pengadilan HAM, karena mekanisme KKR yang dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah kecil kasus saja. Sebuah komisi bisa mencapai tujuannya yaitu dengan mematahkan siklus pembalasan dendam dan kebencian antara pihak-pihak yang dahulunya bermusuhan, dan berusaha menumbuhkan rekonsiliasi antara pihak-pihak bertentangan yang merasa bahwa mereka masih memiliki kebencian atau kecemasan, atau juga sejarah pembalasan dendam, sehingga rekonsiliasi nasional yang diharapkan dapat terwujud. Jika masa lalu tidak diselesaikan, maka bangsa ini juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Nowadays, TRC by its focus on the past, contribute to various mechanisms those improve the performance of Human Rights protection in Indonesia. The contribution did by giving a historical perspective, enlightening the pattern, and recommending the cases those should be handled. Moreover, they are also giving recommendations for institutional reforms, revealing the truth of the abuses of power and violation of Human Rights in the past. Therefore, TRC help us to resolve cases those are not handled by Human Rights Tribunal, because TRC’s mechanisms investigate all the cases including large numbers of existing cases in a comprehensive way and not to be limited only by handling small cases. A commission can reach their goals by breaking the cycle of revenge and hatred between the previously warring parties, and trying to recon ciliate between the conflicting parties who still have a feeling of resentments and fears, or even historical revenge. So the National reconciliation those have been expected would come to be realized. If we didn’t solve the cases in the past, then we would never been learned from mistakes those ever done and we will not ever reiterate it again in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Endang Sri Melani
"Pelanggaran HAM Berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengakibatkan kerugian baik fisik maupun materiil terhadap korban. Sering kali korban tidak mendapat perlindungan dan pemenuhan atas hak-haknya yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah Bagaimanakah perlindungan hak korban pelanggaran hak asasi manusia berat, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Meskipun para pelaku atau terdakwa dapat diadili dan dijatuhi hukuman, namun tidak ada satu pun putusan pengadilan HAM yang memberikan hak-hak korban berupa reparasi, baik kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat cenderung berpijak pada model pendakwaan (judisial), padahal dimungkinkan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme lainnya. Beberapa negara bahkan sudah menerapkan mekanisme yang disebut sebagai keadilan transisional untuk menghadapi pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya Pelanggaran HAM Berat. Salah satunya melalui mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah pemerintah dapat meninjau pelaksanaan mekanisme yang sudah ada terkait dengan penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat karena pengalaman menunjukkan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat melalui jalur pengadilan akan selalu mengabaikan hak korban dalam memperoleh keadilan. Untuk itu, seiring dengan rencana pemerintah dan DPR RI untuk mengajukan kembali rancangan undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Keadilan (KKR), diharapkan pemerintah semakin serius dan berniat menyelesaikan hutang-hutang penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat di masa lalu dengan lebih menitikberatkan pada kepentingan korban.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan yang terkait dengan hak korban pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diperkuat dengan wawancara 2 (dua) orang narasumber. Data yang diperoleh berdasarkan penelitian kepustakaan ini akan dianalisa dengan menggunakan analisis isi.

Gross violation of human rights could be categorized as extraordinary crime which cause physical and material loss to the victims. Often, the victim is not well protected and fulfilled on their rights which have been assured in rule of law. The issue to be raised in this thesis is How the protection of gross human rights violation victims is in order to fulfill victim rights especially in Timor Timur human rights violation case. Although, the perpretators and the defendant could be trialed and accused, but none of the human rights judgment giving the victims and their families? rights on reparation are including compensation, restitution or rehabilitation.
The settlement of gross violation of human rights cases tends to be following the judicial model where there are other possible mechanisms in handling gross human rights violation. Even, several countries have implemented mechanism which called as transitional justice in handling past human rights violation especially the gross one. One of which is the truth and reconciliation mechanism.
In relation with that, the expected results from this research is suggestion that government could review the current mechanisms used in handling gross human rights violation because our experiences showed that the resolution through trial in handling them always ignoring the victim in fulfilling their right to justice. Therefore, in line with the government and legislative plan to resubmit the Bill on Truth and Justice Commission (TRC), it is expected that government to be more serious and to be more have intention to settle their debts in resolving gross human rights violation cases.
The method used in this research is normative legal-research equipped with material collection technique on law literature study related to gross human rights violation in Indonesia strengthen with the interview on 2 (two) sources. The data collected is based on literature research which will be analyzed based on content analysis.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28682
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budiman Tanuredjo
"Transisi politik dari sebuah negara dengan pemerintahan otoriter menuju negara dengan pemerintah demokratis, menyisakan sebuah persoalan pelik. Persoalan itu adalah bagaimana pemerintahan yang baru terbentuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter. Penelitian Stepan, Donnel dan Schmitter menunjukkan adanya resistensi militer yang sangat kuat terhadap upaya-upaya masyarakat yang menuntut pengungkapkan pelanggaran HAM masa lalu. Namun, pada sisi lain, pemerintahan baru dihadapkan pada kondisi dilematis. Pada satu sisi ia harus mampu memberikan keadilan transisional yang dituntut masyarakat, khususnya kelompok korban. Namun langkah itu bukan tanpa risiko. Pemenuhan keadilan transisional dapat mengancam stabilitas pemerintahan karena resistensi dari militer. Kondisi serupa terjadi juga di Indonesia. Setelah Soeharto mundur kursi kepresidenan, muncul tuntutan dari keluarga korban Tanjung Priok dan Kasus 27 Juli untuk menuntaskan kedua kasus itu. Namun, pertanyaannya adalah mengapa hingga tiga Presiden setelah lima tahun Soeharto tak berkuasa, kedua kasus itu belum bisa diselesaikan. Sejauh mana relevansi teoritis Donnel dan Schmitter yang menyebutkan bahwa militer akan mencari jalan agar masalah pelanggaran HAM masa lalu tak diungkapkan, berlaku di Indonesia. Teori mengenai ideologi, konflik, keadilan transisional, transisi demokrasi serta resistensi militer dan hubungan sipil militer akan digunakan dalam kajian ini.
Sedang pendekatan komparatif dengan melihat pengalaman Afrika Selatan dan Argentina akan dicoba digunakan untuk melihat kasus di Indonesia. Dari hasil kajian ini tampak bahwa tuntutan pengungkapan pelanggaran HAM Tanjung Priok dan Kasus 27 Juli barulah menjadi agenda komunitas korban serta konstituennya. Setelah Soeharto turun dari panggung kekuasaan, terciptanya sebuah masyarakat sosial yang terfragmentasi begitu luas. Pada masa menjelang turunnya Soeharto, elite politik di Indonesia, tidak menempatkan masalah pelanggaran HAM pada era Orde Baru sebagai sebuah prioritas untuk diselesaikan. Masalah pemenuhan keadilan transisional terkesampingkan. Akibat dari itu semua, tidak ada pola baku di Indonesia untuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM masa lalu. Aktivisme justru dilakukan oleh korban dan keluarganya dengan pihak-pihak yang disangka melakukan pelanggaran HAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>