Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168832 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ilham Pandhu Dewanata
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik moderasi dalam komunitas pornografi virtual. Moderator di komunitas pornografi virtual berperan dalam membentuk dan menerapkan kebijakan tentang standar konten pornografi yang dinilai “layak” untuk disebar. Studi-studi sebelumnya menjelaskan standar komunitas sebagai basis dalam menentukan jenis konten pornografi seperti apa yang dinilai terlalu “ekstrem”. Melanjutkan studi-studi sebelumnya tentang pengimplementasian standar komunitas, penelitian ini menggunakan konsep standar komunitas dan keragaman fantasi seksual untuk menganalisis praktik moderasi dalam konteks komunitas pornografi virtual. Peneliti berargumen adanya negosiasi moderator- anggota untuk mencapai titik kompromi yang tepat dalam menentukan standar jenis konten pornografi yang dinilai “layak” untuk disebar, di mana standar komunitas harus mampu melindungi anggota dari paparan konten pornografi yang dinilai terlalu “ekstrem”, namun anggota tidak terlalu dibatasi saat ingin berekspresi lewat membagi konten pornografi yang beragam dari sisi jenis dan intensitasnya. Penelitian dilakukan terhadap komunitas visual novel “student transfer”, di mana anggota membagikan cerita narasi fantasi seksual mereka untuk membangun relasi serta mendapatkan validasi dari anggota lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik etnografi virtual dan wawancara mendalam. Temuan penelitian menunjukan bahwa standar komunitas terkait konten pornografi “layak” didasarkan oleh standar yang terbentuk di lanskap pornografi secara umum, dimodifikasi melalui proses negosiasi moderator-anggota di dalam komunitas, dan diimplementasikan melalui proses reviu moderator yang subjektif dalam memahami dan menginterpretasikan standar yang berlaku. Penelitian ini menemukan tendensi pereduksian saat mengategorisasikan konten pornografi “ekstrem” dalam negosiasi moderator-anggota, diakibatkan oleh normalisasi penyimpangan sebagai bagian dari fantasi seksual personal. Hal ini ditunjukan dari penerimaan terhadap child- exploitative content, rape culture, dan woman sexualization dalam skala tertentu, memunculkan pertanyaan terhadap efektivitas proses moderasi dalam memastikan keamanan berinteraksi di ruang virtual.

This study aims to identify moderation practices in virtual pornography communities. Moderators in virtual pornographic communities play a role in shaping and implementing policies on the standards of pornographic content that is deemed ‘appropriate’ for sharing. Previous studies have described community standards as the basis for determining what kind of pornographic content is considered too ‘extreme’. Building on previous studies on the implementation of community standards, this research uses the concepts of community standards and sexual fantasy diversity to analyse moderation practices in the context of virtual pornography communities. The researcher argues that moderator-member negotiation to reach an appropriate compromise point in determining the standards of the type of pornographic content that is considered ‘appropriate’ to share, where community standards must be able to protect members from exposure to pornographic content that is considered too ‘extreme’, but members are not too restricted when they want to express themselves through sharing pornographic content that is diverse in terms of type and intensity. Research was conducted on the visual novel community ‘student transfer’, where members share their sexual fantasy narratives to build relationships and get validation from other members. This research uses a qualitative approach with virtual ethnography techniques and in-depth interviews. The findings show that community standards of ‘appropriate’ pornographic content are based on standards established in the pornographic landscape at large, modified through moderator-member negotiation processes within the community, and implemented through moderator review processes that are subjective in their understanding and interpretation of the standards. This research found a tendency towards reductionism when categorising ‘extreme’ pornographic content in moderator-member negotiations, resulting from the normalisation of deviance as part of personal sexual fantasy. This is demonstrated by the acceptance of child-exploitative content, rape culture, and woman sexualisation to a certain extent, raising questions about the effectiveness of the moderation process in ensuring safe interactions in virtual spaces."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julio Castor Achmadi
"[Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis jaminan hukum terhadap pengguna media sosial di Indonesia dalam melangsungkan hak kemerdekaan berekspresi yang merupakan Hak Asasi Manusia mengingat peristiwa ujaran kebencian online yang semakin marak. Objek penelitian ini mencakup para pengguna media sosial yang pernah melakukan ujaran kebencian online maupun mereka yang pernah menerima perilaku tersebut melalui media sosial. Data primer didapatkan dengan cara survey awal dan wawancara kepada responden dan informan, sedangkan data sekunder didapatkan dari buku-buku, penelitian terdahulu, dan peraturan perundang-undangan terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia telah memberikan jaminan bagi pengguna media sosial untuk melangsungkan hak atas kemerdekaan berekspresi, akan tetapi di lain sisi, hukum juga memberikan kewajiban bagi setiap pengguna media sosial untuk menghargai hak orang lain dengan adanya larangan dan batasan dalam melangsungkan hak atas kemerdekaan berekspresi tersebut.

;The objective of this research is to analyze legal guarantees for social media users in Indonesia in fulfilling their freedom of expression which is considered as Human Rights and bearing in mind the phenomenal online hate speech. The object of this research are social media users that have had experience of doing online hate speech as well as those who have experienced of being targeted. Primary data were obtained from preliminary survey and interview, while secondary data were obtained from books, previous researches and related regulations. The results of this research show that Indonesian law has guaranteed that social media users are permitted to exercise their freedom of expression, but on the contrary, the law has also given them the obligation to respect other people’s rights, for the law has provided prohibition and restriction for social media users in exercising their right which is the freedom of expression.
, The objective of this research is to analyze legal guarantees for social media users in Indonesia in fulfilling their freedom of expression which is considered as Human Rights and bearing in mind the phenomenal online hate speech. The object of this research are social media users that have had experience of doing online hate speech as well as those who have experienced of being targeted. Primary data were obtained from preliminary survey and interview, while secondary data were obtained from books, previous researches and related regulations. The results of this research show that Indonesian law has guaranteed that social media users are permitted to exercise their freedom of expression, but on the contrary, the law has also given them the obligation to respect other people’s rights, for the law has provided prohibition and restriction for social media users in exercising their right which is the freedom of expression.
]
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61820
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Easton, Susan M.
London: Routledge, [Date of publication not identified]
344.054 7 EAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Zahara Ichsan
"Parodi merek terkenal merupakan tindakan mentransformasikan merek terkenal dengan mengambil ciri khas merek terkenal yang diparodikan menjadi sesuatu yang baru dengan tujuan menimbulkan kesan kejenakaan, sindiran, cemoohan, ataupun kritik. Parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang ini dapat menimbulkan persamaan pada pokoknya dan persamaan keseluruhan. Hal ini merupakan pelanggaran dari hukum merek Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pelanggaran merek dalam parodi merek terkenal yang didaftarkan sebagai merek dagang dan upaya hukum yang dapat dilakukan merek terkenal yang dirugikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian bersifat yuridis-normatif artinya penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data sekunder seperti peraturan perundangundangan, literatur, doktrin atau pendapat para ahli, dan hasil penelitian terdahulu. Lebih lanjut, fenomena parodi merek terkenal yang dianalisis adalah Supirmu dan Pecel Lele LELA berpotensi termasuk ke dalam pelanggaran persamaan pada pokoknya yang seharusnya ditolak menurut Pasal 21 UU MIG. Parodi ini juga dapat berisiko dikategorikan sebagai dilusi, counterfeit, passing off, dan free riding. Oleh karena itu, pemilik merek terkenal yang mengalami kerugian dapat mengajukan berbagai upaya hukum.

A Well-known mark parody is an act of transforming a well-known mark into something new by taking its characteristics to create the impression of humor, satire, ridicule, or criticism. Parodies of a well-known mark that are registered as trademarks could lead to similarities in essence and overall similarities. This is a violation of Indonesian trademark law. The purpose of this research are to analyze trademark violations in well-known marks parodies that are registered as trademarks and the legal remedies that can be taken by the well-known marks as the aggrieved party. This research was conducted using a juridical-normative form of research, by examining secondary data such as laws and regulations, literature, doctrine, or expert opinion, as well as the results of previous research. Furthermore, the well-known trademark parody that being analyzed are Supirmu and Pecel Lele LELA, which have the potential to be included in similarities in essence and should have been rejected under Article 21 of the MIG Law. This parody can also risk being categorized as dilution, counterfeit, passing off, and free riding. Therefore, well-known mark owners as the aggrieved party can file various legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
"Kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat secara formal dijamin dalam Konstitusi Jepang, sehingga diharapkan bahwa pers dan masyarakat secara umum memiliki kebebasan dalam hubungannya dengan pemerintah. Praktisi media Jepang merasa bahwa kebebasan itu dalam kenyataannya telah dipraktekkan, dan pasal khusus yang menyangkut masalah kebebasan pers dalam konstitusi dipandang sebagai norma yang harus diikuti oleh pers Jepang. Namun muncul pendapat-pendapat bahwa kebebasan pers di Jepang sesungguhnya sampai batas tertentu telah mendapatkan pengontrolan oleh penguasa. Anggapan ini berhubungan dengan praktek ?sensor-diri? yang biasanya dikaitkan dengan pihak media Jepang. Praktek tersebut dalam kajian ini dilihat erat kaitannya dengan falsafah budaya tradisional Jepang. Kalangan media Jepang menganggap sebagai suatu kewajiban bagi mereka untuk secara sukarela memandang semua hal yang berhubungan dengan keluarga kerajaan Jepang merupakan hal yang sangat sensitif dan tidak boleh disinggung. Terdapat beberapa pembatasan yang tidak dapat atau tidak patut untuk dilanggar. Pelanggaran terhadap larangan atau pembatasan tersebut akan menyebabkan mereka dikenakan sanksi penyingkiran oleh rekanrekan anggota ?klub kisha? atau sanksi sosial oleh publik. Kadang-kadang sensor-diri dilakukan oleh kalangan media lebih karena kekhawatirannya terhadap pihak sayap kanan atau partai yang berkuasa.

Freedom of the press and freedom of expression are formally guaranteed on the Constitution of Japan, therefore to be expected that the press and people in general have their independency vis a vis the state. The Japanese media people feel that those freedoms have been practiced, and the particular article of the constitution has been regarded as a norm by the media. But some opinions have also emerged that freedom of the press in Japan is in fact controlled in some ways by those in power. This notion is perhaps related to the practice of ?self-censorship? that has been commonly thought of the Japanese media. This practice is seen in this work as closely linked to Japan?s traditional cultural philosophy. The Japan media make it as an ?obligation? for themselves to voluntarily regard things related to the imperial family as something very sensitive to be touched upon. There are limitations that cannot be breached. Violations will mean that they will be sanctioned by other fellow members of the? kisha kurabbu? or socially punished by the public. Sometimes self-censorship is implemented by the media out of their fear of right wingers or the ruling party."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Jeremy Panangian
"This paper aims to investigate of online conversations around deepfake pornography on reinforcing patriarchal ideas and the objectification of women in online spaces. Deepfake technology, which uses artificial intelligence to create hyper-realistic fake videos, has seen a substantial increase in usage, with deepfake pornography constituting 98% of all deepfake videos online and 99% of the victims being women (Home Security Heroes, 2023; Cryptopolitan, 2023). This naturally leads to the objectification and humiliation of women, especially those who are public figures, by aiming to undermine their credibility and silence their voices (Dubost et al., 2023; Miller, 2023). To investigate this issue, then, this paper will analyse the case of Taylor Swift’s deepfake porn video, which started in late January 2024 and continues to make waves to this day. This paper will analyse how it was received online and the implications of those reactions. This paper argues that deepfake porn reinforces the oppression of women in online spaces.

Makalah ini bertujuan untuk menyelidiki percakapan online seputar pornografi deepfake dalam memperkuat gagasan patriarki dan objektifikasi perempuan di ruang online. Teknologi deepfake, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk membuat video palsu yang sangat realistis, telah mengalami peningkatan penggunaan yang signifikan, dengan pornografi deepfake mencakup 98% dari seluruh video deepfake online dan 99% korbannya adalah perempuan (Home Security Heroes, 2023; Cryptopolitan, 2023). Hal ini tentu saja mengarah pada objektifikasi dan penghinaan terhadap perempuan, terutama mereka yang merupakan figur publik, dengan tujuan untuk melemahkan kredibilitas mereka dan membungkam suara mereka (Dubost et al., 2023; Miller, 2023). Untuk menyelidiki masalah ini, makalah ini akan berfokus pada kasus video porno deepfake Taylor Swift yang dimulai pada akhir Januari 2024 dan terus membuat gelombang hingga hari ini. Fokus analisis dilakukan pada bagaimana video tersebut diterima secara online dan implikasi dari reaksi tersebut. Makalah ini berpendapat bahwa pornografi deepfake memperkuat penindasan terhadap perempuan di ruang online."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Supriati
"Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi karena selarna masa ini keinginan untuk mencoba dan mengetahui sesuatu yang bam cukup besar. Pomografi merupakan media yang dapat mempengaruhi remaja untuk berperilaku seksual beresiko. Paparan pomografi dan efcknya pada remaja merupakan masalah yang serius oleh karena dapat mengalcibatkan adanya oulcome perilaku seksual beresiko yang berdampak terhadap masalah kesehatan rcproduksi pada remaja sepcrti : kchamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, pcnyakit menular scksual dan HIV/ AIDS.
Penelitian ini berlujuan untuk mengetahuinya papamn pomograli dan efek yang terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi efek paparan pomografi pada remaja SMP Negeri di Kota Pontianak tahun 2008. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pontianak mulai bulan Desember 2007 sampai dengan Januari 2008 dengan menggunakan desain cross sectional (potong lintang) pada 395 responden remaja SMPN dari lima kecamatan di wilayah Kota Pontianak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja SMPN di Kota Pontianak 83,3% tclah terpapar pomograii dan sebanyak 263 responden (79,5 %) sudah mengalami efek paparan pomograti. Dari remaja yang mengalami efek paparan 52 responden (l9,8 %) sudah berada pada tahap adiksi, sisanya 211 belum mengalami tahap adiksi. Dari 52 responden yang adiksi 36 responden berada pada tahap eskalasi. 22 berada pada tahap desensitisasi dan 7 responden berada pada tahap acl our. Faktor yang mempengaruhi efek paparan pomografi pada remaja SMPN di Kota Pontianak tahun 2008 adalah jenis kelamin, kelas, waktu keterpaparan dan fiekuensi paparan. Frekuensi paparan terhaclap pomografi mempakan faktor yang paling dominan mempengaruhi efek paparan pomografi pada rcmaja SMP Negeri dengan OR = 5,02 kali (95% Cl:l,39-l8,09) setelah dil-control variabel jenis kelamin, kelas dan frekuensi paparan di Kota Polilianak tahun 2008.
Kepada berbagai pihak tcrkait disarankan agar terlibat langsung dalam memantau perkembangan rcmaja dan dengan tegas turut serta dalam memberantas pomograti yang beredar schingga dapat meminimalisir efek paparan pomograli yang terjadi pada rcmaja serta dapat mencegah perilaku seksual bcresiko pada rcmaja yang dapat mcningkatkan masalah kesehalan reproduksi pada remaja.

Adolescence is critical period during the life span which is transition age between childhood to adult. ln this period the sexual problem is often happenned in conjunction with their growing process and development. Pomogmphy is mass media who has contributed to increased of' sexual activities on adolescen. The efect of pomography exposure is serious problems that influencing of sexual behaviour which are increased reproductive health problems such as unwanted pregnancy, unsafed abortion, infection sexual disease, HIV/ AIDS etc.
The purpose of this study was to identify factors that related to the efect of pornography exposure and the most dominant factor among adolescence in state junior high school at Pontianak district on 2008. Research design used in this study was cross sectional. The study was conducted at tive state junior high school with 395 respondents from December 2007 to January 2008.
The result of this research has shown that 33,3 % adolescence has exposured to pomography and 263 respondent (79,5 %) of them had experienced the efects of pomography exposure. 52 respondent who has experienced the efects of pomography had adiction stage. 36 from 52 respondent of adiction has escalation stage. 22 from 36 respondent of escalation has desensitization stage, and 7 from 22 respondent of desensitization has act out stage. Multivariate analysis shown there were tive variables that has significant relationship on the efect of pomography exposure which are gender, level of class at school, lenght of exposure and frequency of exposure. The analysis also shown that the length of pomography exposure is the most dominant factor related to the efect of pomography exposure among adolescence in state junior high school at Pontianak District on 2008 with Odds Ratio is 5,02 (95 % Cl : l,39-I 8,09).
To the all of stakeholders that related to the problems are suggested to directly involved in monitoring the growing of the adolescence and have a strong commitment to eliminate the pomography which is also can minimized the efect of the pomography exposures among the adolescence. This actions can prevent high risk sexual behavior and increase healthy of reproductive system among the adolescence.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T33624
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Junaidi
"Since the downfall of President Soeharto in May 1998, printed Media has been growing. Many printed media which exploit women's sexuality are still survived. Meanwhile, some parts of the society protest the phenomenon of pornography. They are currently proposing anti-pornography bill. The protests are believed triggered by the controversial performance of dangdut singer Inul Daratista. Using framing analysis, the research explains the position of printed media on pornography, freedom of expression and sexual exploitation. As a feminist research, it relates feminist theories, especially on pornography, with mass media. At least three schools in feminist theory discuss the topic: radical libertarian feminism, radical cultural feminism and post feminism. The research used articles in six media; Kompas, Tempo, Gatra, Republika, Sabili and Basis as data. Almost all of the media have no clear definition on pornography although some "religious media" related the performance of Inul Daratista with pornography. The thesis recommended that such a law on anti-pornography should be thought further before it reached clear definition on pornography."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Widarti
"Pornografi di Indonesia telah tumbuh pesat seiring dengan kemajuan teknologi. Sosok yang rentan terkena bahaya pornografi salah satunya adalah remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya efek paparan pornografi remaja SMPN. Rancangan penelitian ini adalah studi potong lintang(cross sectional). Populasi penelitian ini adalah remaja SMPN di Kota Depok dengan jumlah sampel 275 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November 2008 dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 275 responden, remaja SMPN yang terpapar pornografi sebanyak 244 orang (88,7%), dari 244 orang yang terpapar pornografi sebanyak 132 orang (54,1%) telah mengalami efek paparan pornografi. Dari 132 orang yang mengalami efek paparan pornografi, sebanyak 24 orang (18,2%) mengalami efek adiksi, dari 24 orang yang mengalami adiksi sebanyak 17 orang (70,8%) berada dalam efek eskalasi, dari 17 orang yang eskalasi sebanyak 15 orang (88,2%) berada dalam efek desensitisasi dan dari 15 orang yang mengalami efek desensitisasi sebanyak 12 orang (80%) berada dalam tahap act out. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, kelas, waktu keterpaparan pornografi, jenis media pornografi, frekuensi paparan pornografi dan pengaruh teman sebaya. Dari hasil penelitian ini disarankan kepada pihak yang terkait dengan remaja SMPN yaitu pihak sekolah agar dapat meningkatkan diskusi baik di dalam kelas maupun diluar sekolah mengenai dampak dan bahaya pornografi, bekerjasama baik dengan orang tua, guru Bimbingan Konseling (BK) maupun pihak terkait lainnya dalam melakukan pencegahan terhadap meluasnya peredaran pornografi serta efek yang diakibatkannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Kenika Aulia
"Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah mengalami dua kali perubahan sejak pertama kali disahkan pada tahun 2008. Perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 hanya menambahkan penjelasan substansi, sedangkan perubahan kedua melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 menggantikan Pasal 27 Ayat (3) menjadi Pasal 27A UU ITE dan mengubah rumusan pasalnya. Meskipun mengalami perubahan yang signifikan, Pasal 27A masih mengandung ambiguitas makna. Penelitian ini mengkaji ambiguitas polisemi dalam Pasal 27A UU ITE untuk memberikan kejelasan dalam penerapan hukum terkait pencemaran nama baik dan kebebasan berekspresi di ruang digital. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, serta fokus pada analisis linguistik forensik untuk mengidentifikasi ambiguitas polisemi dalam Pasal 27A UU ITE. Hasil analisis menujukan bahwa Pasal 27A UU ITE telah dirancang dengan baik secara linguistik, namun penjelasan dalam undang-undang perlu dilengkapi untuk memberikan batasan yang lebih tegas dan terperinci. Upaya ini diharapkan mampu mendukung konsistensi penerapan hukum, meminimalkan potensi penyalahgunaan, dan menjaga kebebasan berekspresi, terutama dalam ruang digital yang terus berkembang.

The 27 Paragraph (3) of the Law on Electronic Information and Transactions (ITE Law) has undergone two amendments since its initial enactment in 2008. The first amendment, through Law Number 19 of 2016, introduced additional substantive explanations. The second amendment, through Law Number 1 of 2024, replaced Paragraph 27 (3) with Paragraph 27A of the ITE Law, revising its formulation. Despite these significant changes, Paragraph 27A still contains semantic ambiguities. This study examines the polysemous ambiguities in Paragraph 27A of the ITE Law to clarify its application in legal practice, particularly concerning defamation and freedom of expression in digital spaces. Using a qualitative method with a descriptive approach, this research focuses on forensic linguistic analysis to identify polysemous ambiguities in Paragraph 27A of the ITE Law. The findings indicate that Paragraph 27A of the ITE Law is linguistically well-constructed; however, the explanatory section of the law requires further elaboration to provide clearer and more detailed boundaries. This effort is expected to support consistent legal application, minimize potential misuse, and safeguard freedom of expression, particularly in the evolving digital landscape."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>