"Earmarking tax, sebagai praktik pengalokasian pendapatan pajak untuk tujuan spesifik, merupakan isu penting dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia. Kebijakan ini, diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), bertujuan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana publik di daerah. Penerapannya di Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta menunjukkan dinamika yang kompleks, menghadapi tantangan harmonisasi regulasi, fleksibilitas anggaran, dan sistem pelaporan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme, serta teknik pengumpulan data studi literatur dan wawancara mendalam. Tujuan penelitian adalah menganalisis faktor penentu, penerapan dari perspektif akuntabilitas dan transparansi, serta membandingkan faktor pendukung dan penghambat penerapan earmarking tax di kedua provinsi. Hasil penelitian menunjukkan beberapa temuan utama. Hasil penelitian menunjukkan beberapa temuan utama. Pertama, analisis penerapan earmarking tax dari perspektif akuntabilitas di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta menunjukkan upaya peningkatan melalui tagging belanja sejak 2025, meskipun dalam transisi sistem penganggaran dan belum ada sanksi signifikan. Kedua, dari perspektif transparansi, kedua provinsi telah menyajikan data, namun masih umum tanpa tagging spesifik untuk dana earmarked dan belum ada evaluasi dampak jangka panjang. Ketiga, faktor-faktor penentu di DKI Jakarta adalah status provinsi tanpa kabupaten/kota otonom, sementara di DI Yogyakarta adalah kepatuhan regulasi nasional dengan fleksibilitas otonomi daerah (penambahan PBBKB, PAP, alokasi PKB lebih tinggi). Keempat, faktor pendukung dan penghambat penerapan earmarking tax menunjukkan pendukung utama adalah kejelasan regulasi dan kemampuan alokasi anggaran melebihi minimum; sedangkan penghambat di DKI Jakarta meliputi ketidakjelasan regulasi pendanaan ganda dan kurangnya sosialisasi teknis, sementara di DI Yogyakarta adalah keterbatasan fleksibilitas anggaran dan masalah teknis tagging SIPD, serta tantangan evaluasi efektivitas dana.
Earmarking tax, as a practice of allocating tax revenues for specific purposes, is a critical issue in public financial management in Indonesia. This policy, regulated by Law No. 1 of 2022 concerning Financial Relations Between the Central Government and Regional Governments (HKPD), aims to enhance the accountability and transparency of public fund utilization in regions. However, its implementation in DKI Jakarta Province and DI Yogyakarta exhibits complex dynamics, facing challenges related to regulatory harmonization, budget flexibility, and reporting systems. This research employs a qualitative approach with a constructivist paradigm, utilizing literature studies and in- depth interviews for data collection. The research aims to analyze the determining factors, implementation from accountability and transparency perspectives, and compare the supporting and hindering factors of earmarking tax application in both provinces. The findings reveal several key results: First, the analysis of earmarking tax implementation from an accountability perspective in DKI Jakarta and DI Yogyakarta indicates efforts to improve through expenditure tagging since 2025, although it remains within a budgetary system transition period with no significant sanctions yet applied. Second, from a transparency perspective, both provinces have provided data, but it is still general without specific tagging for earmarked funds, and long-term impact evaluations are absent. Third, the determining factors in DKI Jakarta involve its status as a province without autonomous regencies/cities, while in DI Yogyakarta, it is national regulatory compliance combined with regional autonomy flexibility (leading to the addition of PBBKB and PAP taxes outside of the HKPD Law, and a higher PKB allocation). Fourth, the supporting and hindering factors of earmarking tax implementation show that key supporters are regulatory clarity and the ability to allocate budgets exceeding minimum requirements; conversely, hindrances in DKI Jakarta include regulatory ambiguity regarding dual funding and a lack of technical socialization, while in DI Yogyakarta, they are budget flexibility limitations, technical issues with SIPD tagging, and challenges in evaluating fund effectiveness."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2025