Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7457 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutan Sorik
"Buku ini mengkaji Pemilu Parlemen Uni Eropa mulai dari sistem pemungutan suara, hak untuk memilih, hak untuk mencalonkan diri, keterlibatan perempuan, partisipasi penyandang disabilitas, pembagian besaran daerah, pencalonan kandidat, tanggal pemilihan, pilihan pemilih untuk mengubah urutan kandidat dalam daftar, mengisi kursi yang dikosongkan selama masa pemilu, penghitungan suara, metode konversi suara jadi kursi, penetapan calon terpilih, dan ambang batas pemilu pada Pemilihan Umum Parlemen Uni Eropa diatur berdasarkan hukum Uni Eropa dan hukum Pemilihan Nasional masing-masing Negara Anggota. "
Jakarta: PT Nas Media Indonesia, 2023
324.6 SUT m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Kemala
"Penelitian ini merupakan studi terhadap penggunaan tanda dalam sepuluh poster kampanye Die Grünen pada pemilihan parlemen Eropa 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan tanda pada poster-poster tersebut ditinjau dari aspek semiotis, semantis, dan pragmatis. Data dianalisis dengan menggunakan teori retorik tekstual Leech, teori jenis makna Blanke dan teori jenis tanda Pierce. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif.
Hasil analisis menunjukan bahwa tidak semua prinsip retorik tekstual diwujudkan dalam poster kampanye Die Grünen. Sementara hasil analisis dari aspek semiotis menunjukkan bahwa ikon merupakan jenis tanda yang paling sering digunakan. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan peranan tanda verbal dan nonverbal yang digunakan terhadap prosesibilitas poster.

This undergraduate thesis is a study about the use of signs in ten of Die Grünen campaign posters for European parliament election 2009. The purpose of this study is to ascertain the use of signs in Die Grünen posters. The data were analyzed by using Leech’s textual rhetoric theory, Pierce’s types of signs theory, and Blanke’s types of meaning. Method that being used in this research is qualitative descriptive.
The outcome of this research shows that not all of textual rhetoric principles used in the campaign posters. Observed from semiotics, icon is the most used signs. The outcome also shows which influence do verbal and nonverbal signs have to the text’s processibility.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S46933
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gretha Natasha
"Australia melaksanakan Pemilihan Umum Federal pada tahun 2016 untuk memilih 150 anggota Dewan Perwakilan, dimana pemenang mayoritas mutlak memiliki hak untuk membentuk Parlemen ke-45. Pemungutan suara yang dilaksanakan pada 2 Juli 2016, melalui proses dimana selama penghitungan suara muncul banyak spekulasi bahwa hasil dari pemilu adalah tidak ada satu partai atau koalisi partai yang menang secara mayoritas mutlak. Partai Koalisi Liberal-Nasional yang merupakan petahana dan juga sebagai salah satu partai terbesar di Australia, menjalankan strategi pembentukan minority government sebagai langkah antisipasi dalam Pemilu Federal Australia tahun 2016 apabila tidak dapat memperoleh sedikitnya 76 bangku di Parlemen. Penelitian ini membahas bagaimana pembentukan minority government merupakan langkah antisipasi yang dijalankan oleh Partai Koalisi Liberal-Nasional melalui negosiasi ajakan berkoalisi kepada crossbench di Parlemen Australia.
Penelitian kualitatif ini menggunakan teori Minority Governments, Minimal Winning Coalitions and Surplus Majorities in Parliamentary Systems oleh Christophe Crombez. Berdasarkan temuan, tiga dari lima anggota crossbench pada Parlemen ke-45 Australia menerima ajakan dan memilih untuk mendukung Partai Koalisi Liberal-Nasional. Faktor-faktor yang dapat menjadi latar belakang ketiga anggota crossbench memutuskan untuk mendukung Partai Koalisi Liberal-Nasional dilihat dari latar belakang anggota crossbench dimana Partai Koalisi Liberal-Nasional mendominasi di wilayah pemilihan mereka, pengalaman dan partisipasi anggota crossbench dalam minority government tahun 2010, serta posisi kedua pihak dalam isu nasional Australia.

Australia conducts a Federal Election in 2016 to elect 150 members of the House of Representatives, in which the absolute majority winner has the right to form the 45th Parliament. The voting which took place on July 2nd, 2016, went through a process whereby during the vote counting there was many speculations that the result of the election was that no party or coalition of parties would win an absolute majority. The Liberal National Coalition Party as the incumbent and also one of the largest political party in Australia, runs a minority government formation strategy in anticipation of the 2016 Federal Election if they can rsquo t achieve 76 seats in the Parliament. This study discusses how the formation of a minority government as an anticipation runs by The Liberal National Coalition Party if they can rsquo t achieve 76 seats in the Parliament through negotiating a coalition formation to the crossbench members in the Australian Parliament.
This qualitative research uses Minority Governments, Minimal Winning Coalitions and Surplus Majorities in Parliamentary Systems by Christophe Crombez. Based on the findings, three of the five members of the crossbench at the 45th Parliament of Australia accepted the call and voted to support the National Liberal Coalition Party. The factors that could be the background of the three crossbench members decided to support the National Liberal Coalition Party are from the background of crossbench members in which the Liberal National Coalition Party dominates in their constituency, the experience and participation of crossbench members in minority government in 2010, and both sides in Australia 39 s national issue.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Kanwa, 2014
700.94 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
"The treaty establishing the European Union constitution has not been fully accepted by European society, which is marked with the resulth of the vote (referendum) in France and the Netherlands.But this does not mean the end of regionalization of Europe. The earlier agreements will remain to be the bases for continuation effort. The interaction growing among the citizens of Europe,which is no longer limited by states, will improve cultural assimilation as well as build awareness in further integration process."
2007
JKWE-III-1-2007-5
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Irene Desi Evelina
"Tesis ini menganalisa penerapan CEDAW sebagai salah satu landasan hukum Uni Eropa dalam representasi politik perempuan sebagai anggota Parlemen Eropa.Jumlah anggota perempuan yang diwakili dari masing ndash; masing negara anggota UE belum menunjukkan jumlah yang seimbang dengan jumlah anggota laki-laki.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan data yang diperoleh melalui literature review dengan beberapa pihak yang terkait dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa latar belakang kepentingan masing-masing negara UE berbeda sehingga jumlah representatif dari masing-masing negara berbeda.

This thesis analyses the implementation of CEDAW as one of the regulations in women political representation as members in European Parliament. The amount of the women from each European country has shown that the man and women in the European Parliament have not balanced. This research was conducted using a case study method and the data was collected through literature review related to the matters. The result of the research has shown that there are different interests so that the amount of the representatives are different.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Widodo
"Penulisan tesis adalah hasil obserrrasi penulis terhadap Peranan Perancis dibidang ekonomi yang melibatkan Bank Sentral Eropa (ECB) sebagai organisasi regional yang dilalui dengan tahapan-tahapan dari Masyarakat Batubara dan Baja Eropa hingga Masyarakat Ekonomi Eropa sampai dengan terbentuknya sebuah bank sentral yang ada pada saat ini, yang merupakan titik kulminasi tertinggi dari sebuah integrasi. Peranan yang diambil Perancis sangat berpengaruh pada tatanan ekonomi regional yang ada di kawasan Eropa sejak era Masyarakat Batubara dan Baja Eropa hingga terwujud dan terbentuknya Bank Sentral Eropa.
Perancis adalah salah satu arsitek pendiri organisasi regional Uni Eropa yang termasuk salah satu The Founding Father atau The Origin of Six yakni enam negara anggota asli pendiri Uni Eropa yang ketika itu masih bemama Coal and Steel European Community (Masyarakat Batubara dan Baja Eropa) pada tahun 1951, dengan adanya Perjanjian Paris (la Nita de Pads).
Adapun negara-negara yang termasuk dalam enam negara asli pendiri Uni Eropa itu adalah Peraricis, Jerman Barat, Belgia, Belanda, Luksemburg dan Italia. Latar belakan terbentuknya CSEC (Coal and Steel European Community) ialah untuk meredakan ketegangan perang ekonomi dalam industri batubara dan baja dikawasan eropa barat antara Perancis dan Jerman Barat. Setelah terbentuk Masyarakat Batubara dan Baja Eropa pada tahun 1951, maka timbul atau terbentuk lagi dua organisasi regional dikawasan Eropa yakni Masyarakat Ekonami (EEC, European Economic Community) dan Euralom (European Atomic Community) dengan ditandai adanya Perjanjian Roma, pada tahun 1957.
Kini, ketiga organiasi regional dikawasan Eropa Barat ini dinaungi oleo Uni Eropa setelah terjadi atau setelah terjadi atau terbentuknya Maastricht 1992 lalu dan keanggotaan Uni Eropa bertambah jumlahnya hingga Lima belas negara yakni : Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Irlandia, Jarman, Luksemburg, Italia, Inggris, Portugal, Perancis, Swedaa, Spanyol, dan Yunani. Pada perjanjian Maastricht 1992 ada terdapat tiga pilar utama didalamnya, yaitu: CFSP (Common Foreign Security Policy), EMU (European Monetary Union) dan ECJ (European Court of Justice). Karla sama dalam bidang ekonomi moneter Eropa (EMU) adalah salah satu yang paling cepat dan tepat dari ketiga pilar perjajian Maastichl 1992, dimana awal 1999 telah diluncurkan program kerja European Singgle Cummncy atau mata uang tunggal Eropa.
Adapun peranan yang dimainkan oleh Perancis dalam Uni Eropa adalah sangat besar sekali disamping sebagai arsitektur Uni Eropa, hal ini terlihat dengan adanya peran Jean Monnet dan Robert Schuman yang jauh sebelumnya telah berkiprah dalam organisasi regional itu. Peran Perancis Iainnya adalah dengan adanya kompetisi yang kuat antara Jarman dan Perancis dalam organisasi Uni Eropa. Oleh sebab itu, sangat diharapkan oleh anggota-anggota Uni Eropa lainnya peranan dari Inggris sebagai penyeimbang dari kekuatan besar di Eropa antara Peracis dan Jerman.
Perancis, dibawah Presiden Francois Mitterand dan Jarman Barat, dibawah kanselir Helmut Kohl, ingin berkolaborasi untuk menguasai Uni Eropa dalam bidang kerja sama Ekonomi-moneter, khusus dalam mata uang tunggal Eropa dengan konsep two speed of Europe ditahun 1990-1991, setebenluknya Perjanjian Maastricht 1992. ide tentang two speed of Europe ini secara garis besar program Uni Moneter Eropa adalah terdapat dua gerbong lokomotif yakni antara negara-negara kaya Uni Eropa yang akan dipacu kekuatannya ekonominya derngan lokomotif Franco-allemande dan gerbong kereta yang diisi dengan negara-negara yang tidak kaya Uni Eropa yang akan dipacu kekautannya ekonomi Inggris, tetapi Perdana menteri Inggris, Margaret Thalcer menolak keras ide dari Perancis dan Jerman Barat ini hingga saat akan terbentuknya EMI (Instutusi Moneter Eropa) ditahun 1994 lalu sebagai institusi awal Bank Sentral Eropa yang bermarkas besar di kota Frankfurt (Jarman), friksi antara Perancis dan Jerman dalam Uni Eropa tetap ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Yudhistira Henuhili
"Selama beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan perdebatan mengenai kedaulatan dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional. Salah satu titik krusial yang mendorong perdebatan ini adalah terbentuknya Uni Eropa melalui Maastricht Treaty pada tahun 1992. Setelah itu, terdapat beragam literatur yang membahas mengenai kedaulatan di Uni Eropa, sehingga diperlukan sebuah kajian kepustakaan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, studi ini memetakan perkembangan literatur mengenai kedaulatan di Uni Eropa pasca Maastricht Treaty. Dari tiga puluh artikel jurnal/buku/chapter edited volume yang dikaji, terdapat empat tema besar yaitu (1) karakteristik kedaulatan di Uni Eropa; (2) dinamika kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa: antara intergovernmentalisme dan supranasionalisme (3) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap perubahan bentuk kedaulatan di Uni Eropa dan (4) kritik terhadap penerapan kedaulatan di Uni Eropa. Setelah melakukan pemetaan dan analisis literatur, kajian kepustakaan ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, karakter kedaulatan di Uni Eropa memiliki penafsiran yang berbeda-beda, mulai dari kedaulatan dipandang disatukan (pooled sovereignty), dibagi (shared sovereignty), hingga dianggap masih berada di negara. Kedua, penerapan kedaulatan dalam tatanan praktis dalam level kebijakan di Uni Eropa dapat bertahan maupun berubah, menyesuaikan preferensi negara-negara anggotanya. Ketiga, penerimaan negara terhadap beragam bentuk kedaulatan di Uni Eropa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor interdependensi, dan faktor keamanan. Keempat, dinamika serta cara pandang terhadap kedaulatan di Uni Eropa tampaknya dipengaruhi oleh fenomena-fenomena empirik atau perkembangan yang terjadi di Uni Eropa. Terakhir, dari keseluruhan literatur, studi ini mengindentifikasi celah literatur yang terdapat dalam sedikitnya analisis mengenai kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa, serta kurangnya studi komparatif yang membandingkan kedaulatan di Uni Eropa dengan kedaulatan dalam entitas politik lainnya.

Over the last few decades, the topic of Sovereignty has been increasingly discussed in International Relations. One of the crucial factors leading to the debate was the establishment of the European Union through the enactment of Maastricht Treaty in 1992. As an effect, various literature discussing sovereignty in the European Union emerged and subsequently neccessitates a literature review on it. This study mapped various literature on sovereignty in the European Union after Maastricht Treaty. By taking into account thirty journal articles/books/chapters of edited volume, this study found four major themes in the literature: (1) the characteristics of sovereignty in the European Union; (2) the dynamics of sovereignty in the European Union policies: between intergovernmentalism and supranationalism; (3) the factors influencing the acceptance of the changing form of sovereignty in the European Union; and (4) the critiques on the implementation of sovereignty in the European Union. After mapping and analyzing the literature, this study found several important points. First, the characters of sovereignty in the European Union result in various interpretations such as pooled sovereignty, shared sovereignty, and sovereignty that are embedded within member states. Second, the implementation of sovereignty in the European Union policies could both be static or dynamic, depending on the member states' preferences. Third, member states’ acceptance of various sovereignty forms in the European Union are influenced by economic, interdependence, and security factors. Fourth, the dynamics of the sovereignty in the European Union are perceived to be influenced by events happening in the European Union. Lastly, this study identifies several literature gaps on the lack of literature analyzing sovereignty aspect of European Union’s policies and the minimum amount of comparative studies between sovereignty in the European Union and sovereignty in other political entities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Junaedi
"Artikel ini menjelaskan salah satu cara bagi pemerintah untuk mencapai kata pemerintahan yang buik dalam lingkup pemerintahan negara, yang memerlukan mekanisme pengawasan dalam sistem birokrasi negara, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Lembaga pengawasan eksternal ini juga di berbagai negara mengenai secara konseptual apa yang dinamakan sebagai Ombudsman, yang dilaksanakan oleh Swedish. Saat ini sudah ada 1/2 negara yang memiliki Ombudsman dengan nama yang berbeda-beda. Keberadaan Ombudsman xaat ini ditujukun unluk meamnpung partisipasi publik yang semakin meluas dalam pengawasan pemerintahan.Hal itu terlihat dari status legal Ombudsman ini Eropa dalam Traktat Uni Eropa yang menunjukan pentingnya keberadaan Ombudsman Uni Eropa."
2005
JKWE-1-2-2005-78
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Djarot Purwoko Putro
"ABSTRAK
Lima belas negara Eropa bergabung dalam sebuah union, mencoba saling mengerti segala perbedaan budaya, kebiasaan, dan pengalaman. Mereka menyatukan keinginan untuk dapat hidup damai serta memainkan peran dan pengaruhnya dalam percaturan politik dan keamanan internasional.
Cita-cita Uni Eropa (UE) menjadi salah satu aktor politik internasional jelas membutuhkan suatu Common Foreign and Security Policy (CFSP) dari kelima belas anggotanya, sehingga pada akhirnya kelak terwujud suatu foreign and security policy identity.
Berakhirnya Perang Dingin serta munculnya kembali konflik-konflik di Eropa dan kawasan sekitarnya makin menambah pentingnya bagi UE untuk segera mewujudkan CFSP. Hal ini bukan saja penting bagi eropa untuk mengembangkan dan meningkatkan pengaruh mereka di panggung politik dunia, tetapi juga bagi struktur politik internasional itu sendiri.
Tujuan penelitian ini selain berusaha mendeskripsikan permasalahan yang ada, ada juga menjelaskan CFSP berdasarkan perjanjian Masstricht dan/atau Perjanjian Amsterdam, serta segala hal yang menyangkut dengan kepentingan nasional dan sen-timen kedaulatan nasional Negara anggotanya. Pada akhirnya tampak bahwa sejak semula permasalahan utama pembentukan kerjasama politik dan keamanan di Eropa ternyata ialah bagaimana menurunkan sensivitas kedaulatan nasional Negara-negara anggotanya, sehingga jika setiap Negara anggota mampu menurunkannya maka akan lebih mudah bagi UE untuk melaksanakan setiap keputusan dan mewujudkan keberhasilan CFSP yang efektif dan efisien di masa depan.
Permasalahan mengenai kedaulatan Negara ini antara lain tampak nyata dan dapat diidentifikasikan dalam berbagai hal antara lain sebagai berikut: (1) bagai-mana menyelaraskan politik luar negeri Negara-negara anggota secara efektif di dalamnya; (2) masalah instrument atau alat pelaksana kebijakan; dan tidak kalah pentingnya (3) bagaimana UE menyikapi dan mengatasi prosedur pencapaian suatu posisi, tindakan, dan deklarasi bersama dalam lingkup CFSP yang dirasakan belum sempurna.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>