Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adre Mayza
"Merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, menurut World Health Organization (WHO 1988), kebiasaan merokok cenderung meningkat akhir-akhiir ini yaitu 50% pada laki-laki dan 8% pada wanita. Rokok adalah faktor risiko dari strok yang dapat dicegah (klasifikasi serebro vascular diasease III 1990), akan tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih kontroversi. Barigarımenteria (1993) pada penelitianya menganggap rokok sebagai faktor risiko strok yang dapat menurunkan kadar protein S. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh rokok terhadap penurunan kadar protein S pada strok iskemik fase akut. Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Saraf RSUPN-CM sejak bulan Mei 1996 sampai dengan Februari 1997 dengan disain kanıs kontrol pada 45 penderita strok iskemik akut perokok dan 45 penderita strok iskemik akut non perokok yang memenuhi kriteria inklusi. Semua penderita Paki-laki dengan rentang usia seluruh penderita 40 74 tahun. Pemeriksaan protein S dilakukan pada fase akut selambat-lambatnya hari keenam setelah serangan, menggunakan metode koagulometrik. Nilai standard protein 3 untuk orang Indonesia 76% 121,2%. Penilaian hasil aktifitas kadar protein S menurun bila nilai kurang dari 76%. Rerata usia pada kasus 57,2 ± 7,5, tahun dan rerata usia kontrol 56,9 ± 7,9 tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara usia kasus dan kontrol (p=0,421). Rerata lama merokok 15,6 ± 8 talaan, 71% (32 orang) merokok lebih dari 10 tahun dan 28,8% (13 orang), merokok kurang dari 10 tahun, didapatkan perbedaan yang bermakna penurunan aktifitas protein S antara kasus dan kontrol (X 11,37, p- 0,0018; Ratio Odds 11,2). Rerata jumlah rokok yang dikonnanai perhari 15 ± 8 batang perhari, 35,5% (16 orang) merokok lebih dari 20 batang perhari, 64,4% (29 orang) merokok kurang dari 20 batang perhari (X²-4,45; p 0,0349, Ratio Odds-7,89). Semua penderita perokok kretek, 26,78% (12 orang) perokok kretek filter dan 73,3% (33 orang) perokok kretek non filter. Tidak didapatkan perbedaan bermakna perokok kretek filter dan non kretek filter (X=0,72; p = 0,403). Didapatkan penurunan aktifitas kadar protein S yang bermakna pada kasus dibanding dengan kontrol (Ratio Odds 14,3). Rata-rata aktifitas kadar protein S pada kasus 50,6% dan rata-rata pada kontrol 85,5%, terlihat perbedaan yang bermakna dengan uji t-test 7,5; p 0,0001. Tujub puluh lima persentil aktifitas kadar protein S menurun dibawah nilai standard normal pada kasus dan hanya lima belas persentil pada kontrol. Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan aktifitas kadar protein S (t-test-4,25; p- 0,0001; 95% CI 15,5-45,7) dan (t-test = 2,65; p=0,011; 95% CT 4,1-30,2.

Smoking is a public health problem in the world, according to the World Health Organization (WHO 1988), smoking habits tend to increase recently, namely 50% in men and 8% in women. Cigarettes are a risk factor for preventable stroke (cerebro vascular disease classification III 1990), however the mechanism of smoking as a cause of stroke is still controversial. Barigarımenteria (1993) in his research considered smoking as a risk factor for stroke which can reduce protein S levels. This study aims to see the effect of smoking on reducing protein S levels in the acute phase of ischemic stroke. The research was conducted in the Neurological Diseases Department of RSUPN-CM from May 1996 to February 1997 with a control design on 45 acute ischemic stroke sufferers who were smokers and 45 sufferers of acute ischemic stroke who were non-smokers who met the inclusion criteria. All Paki sufferers were male with an age range of 40 to 74 years. Protein S examination is carried out in the acute phase no later than the sixth day after the attack, using the coagulometric method. The standard value of protein 3 for Indonesians is 76% 121.2%. Assessment of activity results means S protein levels decrease if the value is less than 76%. The mean age of cases was 57.2 ± 7.5 years and the mean age of controls was 56.9 ± 7.9. There was no significant difference between the ages of cases and controls (p=0.421). The average number of cigarettes consumed per day was 15 ± 8 cigarettes per day, 35.5% (16 people) smoked more than 20 cigarettes per day, 64.4% (29 people) smoked less than 20 cigarettes per day (X²-4.45; p 0.0349, Odds Ratio-7.89). All sufferers were kretek smokers, 26.78% (12 people) were filter kretek smokers and 73.3% (33 people) were non-filter kretek smokers. There was no significant difference between filtered kretek and non-filtered kretek smokers (X=0.72; p = 0.403). There was a significant decrease in the activity of protein S levels in cases compared to controls (Odds Ratio 14.3). The average activity level of protein S in cases was 50.6% and the average in controls was 85.5%, showing a significant difference using the t-test of 7.5; p 0.0001. Seventy-fifth percentile activity levels of protein S decreased below normal standard values ​​in cases and only fifteen percentiles in controls. Length of smoking and the number of cigarettes consumed each day had a significant influence on reducing the activity of protein S levels (t-test-4.25; p-0.0001; 95% CI 15.5-45.7) and (t-test = 2.65; p=0.011; 95% CT 4.1-30.2."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasianni Mercy L. Tobing
"Rokok dianggap sebagai faktor risiko strok yang dapat dicegah, tetapi mekanisme rokok sebagai penyebab strok masih merupakan kontroversi. Beberapa penelitian menganggap bahwa rokok sangat erat kaitannya dengan kadar fibrinogen plasma. Maka penelitian ini dilakukan untuk menilai peranan rokok terhadap kadar fibrinogen pada penderita stroke iskemik akut perokok. Penelitian kasus kelola ini dilakukan dari Oktober 1995 sampai Jull 1996 di Bag. Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sampel penderita dibagi dalam dua kelompok yaitu, kelompok I: strok perokok 35 penderita (kasus) , kelompok II: strok non perokok 35 penderita (kontrol). Pemeriksaan fibrinogen dilakukan paling lambat hari ke 5 setelah onset strole, dengan metode chromotimer.

Smoking has been considered to be one of the preventable risk factors of stroke but its mechanism causing stroke is still controversial. There were many studies showing that smoking were strongly related to high serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patients. This case control study was conducted to asses the role of smoking on serum fibrinogen level in acute ischemic stroke patient hospitalized in Neurological ward Dr. Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta from October 1995 until July 1996. We divided the subject into two categories as follows, group I: smokers with stroke 35 patients (cases), group II: non smokers with stroke 35 patients (control). Fibrinogen serum level measurements were done at least on the 5th day after stroke
onset with chromotimer methode.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rumawas, Ashwin Marcel
"LATAR EELAKANG
Kejadian stroke menimbulkan kerusakan sel otak. Berbagai faktor risiko telah dikenal meliputi faktor risiko mayor dan minor. Kadar magnesium endogen sebagai salah satu faktor risiko kerusakan set otak masih belum banyak dianalisa dengan berbagai hasil penelitian yang masih kontroversial.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif longitudinal (retreated measurement design) dengan data printer diperoleh dari penderita stroke iskemik yang berobat ke RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis stroke iskemik dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan CT Scan atau MRI kepala. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, analisa urin, EKG, dan foto thoraks pada saat masuk. Dilakukan pemeriksaan magnesium serum, plasma, eritrosit pada hari ke-2, ke-4 dan ke-7 dan skor NIHSS pada hari dan saat yang sama.
HASIL
Jumlah objek penelitian 53 orang. Sebagian besar rerata magnesium serum dan plasma dalam batas normal (1,4-2,0 mmEq/l) pada tiap hari pengambilan (Mg serum 67,9% - 90,6%, Mg plasma 75-5% - 88,7%) sedangkan ditemukan hipoMg eritrosit pada hari ke-4 dan ke-7 onset stroke (81,1 % dan 73,6%). Ditemukan hubungan sangat bermakna antara Mg serum dengan Mg plasma pada tiap hari pengambilan (p=0,000) dan hubungan bermakna antara Mg serum dengan Mg eritrosit (p=0,02) dan Mg plasma dan Mg eritrosit (p=0,033) pada hari ke-4. Ditemukan hubungan bermakna independen antara Mg plasma hari ke-4 dengan NIHSS hari ke-4 (p=0,005) di samping faktor risiko riwayat stroke /TIA, aritmia jantung dan hiperkoleslerolemia dengan NIHSS.
KESIMPULAN
Penderita iskemik serebral menunjukkan perubahan kadar Mg serum, plasma, eritrosit yang dipengaruhi berbagai faktor risiko lain dan hubungan bermakna antara kadar Mg plasma dan skor NIHSS hari ke-4.
KATA KUNCI: Stroke iskemik, hipertensi, magnesium serum, plasma, eritrosit, NIHSS.

PREFACE
Stroke causes damage to brain cells. Many risk factors of stroke are known like mayor and minor risk factors. Endogen magnesium level as one of risk factor of brain cell damage is analyzed rarely with the controversially results of its studies.
METHOD
The design of this study was repeated measurement with its primary data were collected from ischemic stroke patients in Cipto Mangunkusumo hospital who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Diagnosis of stroke was made by physical exam, CT scan or head MRI and completed by blood and urine analysis, echocardiography and chest photo. Serum, plasma and erythrocyte Mg were collected on the 2nd, 4th, aid 7th days after onset and compared with NIHSS scores at the same times.
RESULT
There are 53 persons of subjects studied. Almost all means of the serum Mg and plasma Mg were in normal limits (1,4-2,0 mEq/l) on every days of data collection (serum Mg : 67,6%-90,6%, plasma Mg : 75,5%-88,7%), but there were erythrocyte hipoMg on the 4th and 7th days of stroke onset (81,1% and 73,6%). There were very significant relationship between serum Mg with plasma Mg (p=0,000) on every days of data collection and significant relationship between serum Mg with erythrocyte Mg (p=0,02) and plasma Mg with erythrocyte Mg (p 1,033) on the 4th day onset. There were significant independent relationship between plasma Mg on the 4th day onset with NIHSS in the same day (p=0,005), besides between the history of stroke/TIA, aritmia and hypercholesterolemia with NIHSS.
CONCLUSION
Cerebral ischemic patients showed changes of serum, plasma and erythrocyte Mg levels which were influenced by other risk factors and there was significant relationship between plasma Mg and NIHSS score in the 4th day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruhaya Fitrina
"Latar Belakang: Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan noninvasif sederhana dan akurat untuk penyaring dan diagnostik Penyakit Arteri Perifer (PAP). Nilai ABI abnormal merupakan prediktor penting terjadi aterosklerosis sistemik yang menjadi penyebab stroke dan penyakit kardiovaskuler. Nilai ABI rendah berhubungan dengan telah tezjadi aterosklerosis sistemik atau PAP. Setelah lima tahun kemudian 25-35% penderita PAP akan mendenita stroke atau infark miokard. Faktor risiko stroke iskemik yang berhubungan dengan proses aterosklerosis adalah hipertensi, dislipidemia, homosisteinemia, merokok, infeksi dan hiperglikemia.
Tujuan: Mengetahui gambaran nilai ankle brachial index pada penderita stroke iskemik di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan disain potong lintang deskriptif analitik pada 73 penderita stroke iskemik. Kemudian dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologi rutin, pemeriksaan kadar total kolesterol darah, trigliserida, LDL, HDL, GDS, dan dilakukan pemeriksaan ABI. Pasien yang tidak memiliki CT scan / MRI kepala tidak masuk dalam penelitian.
Hasil: Dari 73 subyek penelitian didapatkan sebaran umur terbanyak pada kelompok umur 55-64 tahun (42,5%) dan sebagian besar subyek (78.1%) memiliki hipertensi. Proporsi nilai ABI abnormal pada penderita stroke iskemik adalah 26,0 %. Faktor risiko yang bermakna Secara Statistik dengan analisis bivariat adalah kadar total kolesterol darah p=0,039 dan umur p=0,034. Seclangkan hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa kelompok umur merupakan faktor risiko independen yang bermakna terhadap nilai ABI abnormal dengan p-value 0,023 (OR 2,556; IK 95% 1,136-5,752).
Kesimpulan: Penderita stroke iskemik berumur lebih dari 55 tahun merupakan faktor risiko yang berhubungan terhadap kejadian nilai ABI abnormal. Sedangkan hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai ABI abnormal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T21316
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nellyta, examiner
"[Latar belakang dan tujuan: Delapan puluh persen stroke merupakan stroke iskemik. Penatalaksanaan harus segera meliputi tindakan revaskularisasi dan pencegahan sekunder. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian antara MRI sekuens DWI dan ADC dengan MRI sekuens konvensional pada stroke iskemik hiperakut dan akut, serta mendapatkan nilai ADC pada stroke iskemik hiperakut dan akut. Metode: Studi diagnostik cross-sectional pada pasien-pasien stroke yang menjalani pemeriksaan MRI sekuens konvensional serta MRI sekuens DWI dan ADC. Hasil pemeriksaan MRI tersebut lalu dibandingkan. Hasil: Pemeriksaan MRI konvensional: 3 populasi dinyatakan hiperakut, 31 akut dan 12 normal (p Mc Nemar < 0,05, analisa Kappa sebesar R=-0,369). Pada pemeriksaan MRI sekuens DWI: 14 populasi dinyatakan hiperakut dan 32 akut (p Mc Nemar > 0,05, analisa Kappa R=0,553). Nilai ADC stroke iskemik hiperakut adalah 0,57 x 103 mm2/detik, SD 0,091 x 103 mm2/detik; pada stroke iskemik akut sebesar 0,52 x 103 mm2/detik, SD 0,097 x 103 mm2/detik, hasil T test didapatkan p>0.05. Kesimpulan: MRI sekuens DWI dan ADC lebih unggul dalam menentukan onset stroke iskemik hiperakut dan akut dibandingkan MRI konvensional. Nilai ADC untuk stroke iskemik hiperakut memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik akut., Background and Objectives: Eighty percent of strokes are ischemic strokes. Management of ischemic stroke including revascularization and secondary prevention should be done. This study aims to assess the appropriateness between DWI and ADC MRI sequences with conventional MRI sequences in hyper acute and acute ischemic stroke, as well as get ADC values in hyper acute and acute ischemic stroke. Methods: Cross sectional diagnostic approach in patients stroke who had been undergoing conventional MRI sequences, ADC and DWI MRI sequences. The results of the MRI examinations were compared. Results: In conventional MRI examination: 3 hyper acute, 31 acute and 12 normal(Mc Nemar p<0,05, Kappa analysis R=-0,369). DWI MRI sequences: 14 hyper acute and 32 acute(Mc Nemar p>0,05, Kappa analysis R = 0,553). ADC value hyper acute ischemic stroke is 0,57 x 103mm2/sec, SD 0,091 x 103 mm2/sec; in acute ischemic stroke is 0,52 x 103mm2/sec, SD 0,097 x 103mm2/sec, T test results obtained p>0,05. Conclusion: ADC and DWI MRI sequences are superior in determining the onset of hyper acute and acute ischemic stroke compared to conventional MRI. ADC value for hyper acute ischemic stroke have a higher tendency than acute ischemic stroke.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Feri Fernandes
"Ansietas merupakan masalah psikososial yang banyak terjadi pada klien stroke. Ansietas yang tidak ditangani dapat menjadi penyulit bagi klien untuk mengikuti program pengobatan secara efektif dan memperlambat proses pemulihan. Salah satu psikoterapi yang dapat diberikan untuk mengatasi ansietas adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ACT terhadap ansietas klien stroke yang dirawat di Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental pre-post test with control group. Sampel penelitian berjumlah 60 orang dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata ansietas antara kelompok yang mendapatkan ACT (intervensi) dengan kelompok yang tidak mendapatkan ACT (kontrol) p value=0,002 (P<0,05). ACT direkomendasikan untuk diterapkan sebagai terapi keperawatan untuk mengatasi ansietas pada klien stroke yang dirawat di rumah sakit umum.

Anxiety is a psychological problem that experienced by patients with stroke. Untreated anxiety can be a serious barrier for the patient to follow an effective treatment program and also slowing down the recovery process. One of psychotherapy that can be provided to treat anxiety is Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
The purpose of this study was to determine the effect of ACT towards stroke patient's anxiety who are hospitalized at the National Stroke Hospital Bukittinggi. This study used a quasi-experimental prepost test with control group design. The research sample consisted of 60 people with consecutive sampling technique.
The results of the study revealed that the significant difference of anxiety scores between the groups who received ACT (intervention) with the group without receiving ACT (control), p value=0.002 (P <0.05). ACT was recommended to be applied as a nursing therapy to overcome anxiety to the patient who are hospitalized in the general hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T36154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Rachmi
"Tujuan : Mengetahui pengaruh latihan treadmill dan program overground walking terhadap kecepatan dan kapasitas berjalan pasien strok.
Disain : Pra dan pasta perlakuan dengan kelompok kontrol.
Subjek : 23 orang dibagi secara random permutasi blok menjadi dua kelompok, 11 orang kelompok perlakuan dan 12 orang kelompok kontrol.
Tempat : Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung
Intervensi : Kelompok perlakuan diberi latihan treadmill dan program overground walking selama 30 menit, 3 kali seminggu selama 4 minggu, kelompok kontrol diberi latihan jalan secepat mereka mampu selama 30 menit, 3 kali seminggu selama 4 minggu.
Parameter : Kecepatan jalan (jarak 10 m) dalam meterldetik, kapasitas jalan (waktu tempuh 6 menit) dalam meter
Hasil : Latihan treadmill dan program overground walking selama 4 minggu secara berrnakna meningkatkan kecepatan berjalan (p = 0,0227) dan kapasitas berjalan (p = 0,0148) dibandingkan kelompok kontrol pads pasien strok di RSHS, Bandung
Kesimpulan : Latihan treadmill dan program overground walking meningkatkan kecepatan dan kapasitas berjalan pasien strok di RSHS, Bandung

Objective : To know the effect of treadmill exercise and overground walking program on velocity and capacity of walking in stroke patients in dr. Hasan Sadikin hospital, Bandung
Design : Pre- and post treatment with a control group.
Subject : A sample of 23 ambulatory individuals after a stroke more than 3 months previously.
Setting : Physical Medicine and Rehabilitation Department, dr. Hasan Sadikin Bandung.
Intervention : The experimental group participated in a 30-minute treadmill and overground walking program, 3 times a week for 4 weeks. The control group was asked to walk at home for at least 30 minutes as fast as they can, 3 times a week for 4 weeks.
Parameters : Speed velocity (over distance of 10 m), speed capacity (walking time 6 minutes)
Results : The 4-week treadmill and overground walking program significantly increased walking speed (p = 0,0227) and walking capacity compared with the control group.
Conclusions : The treadmill and overground walking program is effective in increasing walking speed and walking capacity in stroke patients in RSHS, Bandung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang tinggi menyebabkan penurunan aktivitas sistem fibrinolisis. Saat ini kadar PAI-1 yang tinggi diketahui merupakan faktor risiko penyakit jantung iskemik tetapi pada penderita stroke iskemik hal ini masih belum jelas. Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik. Metode Dengan menggunakan desain kasus kontrol, kami melibatkan 38 subjek penderita stroke iskemik dan 38 subjek kontrol yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar PAI-1 diperiksa dengan metode ELISA menggunakan reagen Asserachrom PAI-1 dari Stago. Hasil Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada penderita stroke iskemik daripada subjek kontrol (21.1% vs. 7.9 % dengan OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). Analisa terhadap semua subjek yang diteliti menunjukkan adanya hubungan negatif yang lemah namun bermakna antara kadar PAI-1 dengan usia (r = - 0.4; P = 0.000). Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada subjek berusia muda (40 ? 58 tahun) daripada subjek berusia lebih tua ( 60 ? 84 tahun) (20 vs. 9.8 %) (P = 0.004). Kesimpulan Dari hasil penelitian pendahuluan ini diduga ada hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik pada usia muda. Penelitan lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk memastikan keadaan ini.

Abstract
Aim Recently, increased plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) has been known a risk factor for ischemic heart disease. However, the association of increased PAI-1 level with ischemic stroke remains unclear. The aim of this study was to analyze the association of PAI-1 level with ischemic stroke. Methods By case control design we involved 38 ischemic stroke and 38 risky-matched control subjects who fulfilled the criteria. The PAI-1 level was determined by ELISA method using Asserachrom PAI-1 from Stago. Results High PAI-1 level was found more frequent in ischemic stroke subjects than in control subjects (21.1% vs. 7.9 % with OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). The analysis of all studied subjects showed that there was a weak negative correlation between PAI-1 level and age (r = -0.4; P = 0.000). High PAI-1 level was found more frequent in younger (40 ? 58 years old) than in the older subjects (60 ? 84 years old) (20% vs. 9.8 %) (p=0.004). Conclusion The result of this preliminary study suggested an association between PAI-1 level and ischemic stroke in younger age. Further study with larger subjects is recommended to confirm this association."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
616.81 Str
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Reina Rahma Noviasari
"Latar Belakang: Stroke merupakan penyakit yang memiliki perbedaan karakteristik antara pria dan wanita.
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan fungsi kognitif yang dinilai menggunakan uji Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia MoCA-Ina pada pasien stroke fase subakut dan kronik di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM, dengan melakukan kontrol terhadap variabel perancu berupa tingkat pendidikan dan usia.
Metode: Penelitian merupakan studi observasional analitik dengan desain potong lintang. Sampel penelitian sebanyak 34 subjek, diperoleh melalui teknik consecutive sampling. Analisis bivariat uji Mann-Whitney dan uji korelasi Pearson dilakukan untuk melihat hubungan antarvariabel, dan dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi linier.
Hasil: Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p hubungan jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan skor MoCA-Ina sebesar 0,103 dan 0,076. Nilai korelasi hubungan usia dengan skor MoCA-Ina berdasarkan uji korelasi Pearson sebesar r=0,135 p=0,447 . Persamaan regresi skor MoCA-Ina=21,268-3,620 Wanita 3,762 Pendidikan Tinggi R2=8,6 . Perbedaan rerata skor MoCA-Ina antara pria dan wanita setelah dilakukan kontrol variabel tingkat pendidikan adalah sebesar -3,620 IK95 =-8,928-1,058 , namun secara statistik tidak bermakna p=0,125.
Diskusi: Tidak ada perbedaan signifikan pada fungsi kognitif yang dinilai menggunakan MoCA-Ina antara pasien stroke sub-akut dan kronik pria dan wanita.

Background: Stroke is a disease with different characteristics between men and women.
Objective: This study aims to determine the age and level of education adjusted relationship between gender and cognitive function which is assessed by Montreal Cognitive Assessment in sub acute and chronic stroke patients in the Department of Rehabilitation Medicine RSCM.
Methods: This study is an analytic observational study with a cross sectional design. 34 subjects were selected as samples with consecutive sampling method. Mann Whitney test and Pearson's correlation test were used in to determine the bivariate relationships between the variables, proceeded by a multivariate linear regression analysis.
Results: Based on the Mann Whitney test, the p value of the relationship between gender and the level of education and MoCA Ina score were p 0,103 and p 0,076 respectively. Correlation value between age and MoCA Ina score was r 0,135 p 0,447. The regression equation generated was MoCA Ina score 21,268 3,620 Women 3,762 Higher Education R2 8,6. The mean difference of MoCA Ina score between men and women stroke patients after adjusting for age and level of education was 3,620 CI 95 8,928 1,058, but it was statistically insignificant p 0,125.
Discussion: There was no significant difference in the cognitive function which is assessed by MoCA Ina between the male and female sub acute and chronic stroke patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>