Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adang Sabarudin
"Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang serius dan menurut survei PAPDI (1993) menempati urutan nomor lima sebagai penyebab ra\'vat inap1. Berdasarkan surYei epidemiologis, kekerapan diabetes melitus di Indonesia berkisar 1,4%-2,3% 2. Sejak ditemukannya insulin oleh Banting dan Best pada tahun 1921, komplikasi diabetes melitus berangsur-angsur bergeser ke komplikasi menahun. lmpotensi merupak.an salah sa tu komplikasi menahun diabetes melitus. lmpotensi adalah suatu keadaan ketidakmampuan penis untuk ereksi baik parsial maupun menyeluruh dan atau mem.pertahankannya agar dapat penetrasi ke dalam vagina 3. Penelitian yang dilal.-ukan The h1assachussets h1ale Aging Study (MMAS) pada tahun 1987-1989 yang melibatkan 1290 orang, mendapatkan angka kejadian impotensi 5% - 15% pada pria sehat usia 40 - 70 tahun. Angka ini menjadi 3 kali lipat apabila menderita diabetes melitus4. Penelitian di Indonesia yang melibatkan subyek dalam jumlah besar belum ada. Ian Effendi dkk5, mendapatkan angka kejadia11 impotensi pada pasien diabetes melitus sebesar 43% sedangkan Nasution AW dkk6, mendapatkan angka sebesar 46%. Angka yang tepat sukar ditentukan karena kelainan ini, apabila ti.dak ditanyakan, tidak selalu dikemukak.an pasien karena malu. Meskipun demikian, tidak jarang bahwa in1potensi merupakan keluhan utama yang membawa pasien maupun istrinya mengunjungi dokter.

Diabetes mellitus is a serious health problem and according to the PAPDI survey (1993) ranks number five as a cause of hospitalization1. Based on epidemiological surveys, the frequency of diabetes mellitus in Indonesia is around 1.4% -2.3% 2. Since the discovery of insulin by Banting and Best in 1921, diabetes mellitus complications have gradually shifted to chronic complications. Impotence is one of the chronic complications of diabetes mellitus. Impotence is a condition of the inability of the penis to erect either partially or completely and/or maintain it so that it can penetrate into the vagina. 3. Research carried out by The Massachusetts Age Aging Study (MMAS) in 1987-1989 involving 1290 people, found an incidence of impotence of 5% - 15% in healthy men aged 40 - 70 years. This figure triples if you suffer from diabetes mellitus4. There is no research in Indonesia involving large numbers of subjects. Ian Effendi et al5, found that the incidence rate of impotence in diabetes mellitus patients was 43%, while Nasution AW et al6, obtained a figure of 46%. The exact figure is difficult to determine because this disorder, if not asked, is not always brought up by the patient because of embarrassment. However, it is not uncommon for in1potency to be the main complaint that brings the patient and his wife to visit the doctor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lies Purnawati
"Dimasa lalu pembangunan nasional yang telah dilaksanakan di Indonesia dalam semua aspek kehidupan telah meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat didaerah perkotaan maupun pedesaan. Hal ini berdampak meningkatnya perilaku kehidupan modern antara lain diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat serta kurangnya aktivitas fisik sehingga berakibat pada meningkatnya prevalensi gizi lebih. Seiring dengan meningkatnya gizi lebih meningkat pula prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit diabetes melitus khususnya Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI). Penyakit tersebut sangat merugikan, karena disamping menimbulkan banyak penderitaan dapat juga menurunkan kualitas sumber daya manusia mengingat penyakit tersebut banyak menyerang pada usia produktif. Sementara perawatan dan pengobatannya membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk itu maka diperlukan usaha untuk pengelolaan penyakit tersebut termasuk usaha pencegahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mungkin berhubungan dengan kejadian penyakit tersebut. Dikatakan status gizi obesitas mempengaruhi kejadian DMTTI. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh antara lain status gizi atau Indek MassaTubuh (IMT), tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat aktivitas dan ada tidaknya riwayat penyakit dalam keluarga. Desain penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol dengan matching golongan umur dan jenis kelamin dengan jumlah responden 240 orang dimana masing-masing kasus dan kontrol sebanyak 120 responden. Pengolahan data menggunakan progam SPSS 6 dan stata 4, dimana analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan stratifikasi.
Hasil penelitian rnenunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara IMT dengan terjadinya DMTTI , dengan OR sebesar 2 yang artinya pada EMT tinggi mempunyai resiko 2 kali lebih besar untuk terkena DMTTI dibandingkan dengan pada EMT rendah. Variabel aktivitas dan riwayat mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian DMTTI. Variabel aktivitas mempengaruhi hubungan antara IMT dengan DMTTI atau disebut sebagai konfounder. Demikian juga variabel riwayat mempengaruhi hubungan antara EMT dengan DMTTI atau disebut sabagai konfounder.
DMTTI dapat terjadi di semua golongan ekonomi dan tingkat pendidikan. Oleh karenanya sebagai tindakan pencegahan perlu adanya informasi tentang DMTTI secara luas kepada masyarakat agar mereka dapat hidup sehat dan terhindar dari penyakit DMTTI. Konsultasi genetik dapat dilakukan pada pasangan yang akan menikah tentang riwayat penyakit pada keluarga dan usaha untuk mengurangi resiko. Pola makan penderita sebelum sakit, dapat menjadi lanjutan penelitian yang sudah dilakukan.

A long time ago the national development has begun in Indonesia generally for all living aspects to improve the standard living and quality of human resources on the community in the urban and rural area. Because of that it can be improving of impact for changing of behavior to modern living among other high calorie diet high fat and low fiber also it can decrease physical activities so it makes an increase in over nutrition prevalence. During with improving of over nutrition can also increase the degenerative disease prevalence such as diabetes mellitus disease especially NIDDM. NIDDM is very detrimental because it can be making more suffering also it can decrease the quality of human resources. Considering that NIDDM mostly attack the productive age. Mean while its care and treatment need high cost. That is why we need an effort to manage including how to prevent the disease.
The aim of this research is to get a lot of information about factors which could be related to NIDDM. It is said that obesity influence NIDDM. Some factors as assumed can influence NIDDM among other nutrition status or BMI, income, education, activity and family history. The research design is matched case control study by using age and sex matching. With 240 respondents, each case and control is 120 respondents. Data analysis uses program of SPSS-6 and strata 4 where analysis conducted including univariate, bivariate and stratification analysis.
The result shows that there is a significant relationship between BMI and NIDDM with DR-2 which means that the high BMI has risk two times greater to be exposed NIDDM than the low BMI. The variable of activity and family history has a significant relationship to NIDDM. Activity influences the relationship between BMI and NIDDM or it's called as a confounder. Also family history influences the relationship between BMI and NIDDM or it is called as a confounder. NIDDM can attack every economic and education level. Because of that to prevent NIDDM it is necessary information about NIDDM spread out to the community. So that they can lived healthy and prevent NIDDM. Genetic consultation can be done to the couple going to the married, about family history and effort to lessen the risk. A further research about eating behavior before ill can be done."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiningsih Srilestari
"Latar belakang: Diabetes Melitus merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan dilakukan terutama untuk mencegah komplikasi yang sering berakibat fatal. Salah satu cara penanggulangan yang dapat dilakukan adalah cara tradisional pijat refleksi, namun efektifitas cara ini belum pernah dilaporkan.
Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pijat refleksi terhadap penderita Non Insulin Dependen Diabetes Melitus (NIDDM) terkendali.
Metode penelitian: Uji klinik ini dilakukan secara acak, tersamar tunggal ("single blind, randomized clinical trial pada 66 penderita rawat jalan di Poliklinik Endokrin RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Penderita adalah pasien NIDDM yang terkendali ( kadar glukosa darah stabil selama 2 bulan terakhir ) dengan Obat Hipoglikemik Oral, diet dan latihan jasmani, namun kadar glukosa darah belum dapat diturunkan sampai batas normal. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok intervensi mendapat regimen pengobatan yang selama ini didapat, ditambah dengan tindakan pijat refleksi pada area pankreas yang terletak di telapak tangan dan telapak kaki. Kelompok kontrol mendapat regimen yang sama ditambah dengan pijat refleksi bukan pada area pankreas, yaitu pada bagian lateral kaki. Pijat refleksi dilakukan dengan alat khusus dari tembaga berujung tumpul. Tekanan diberikan sebesar 3 kg/cm2 untuk telapak tangan dan 5 kg/cm2 untuk telapak kaki.
Hasil penelitian: Dari penelitian didapat bahwa pada kelompok intervensi setelah mendapat pijat refleksi 5 kali, kadar glukosa darah puasa menurun sebesar 11,7 mg % (116,2 mg % menjadi 104,8 mg %), sedangkan pada kelompok kontrol meningkat 8,6mg % (113,0 mg % menjadi 121,6 mg %) ; perbedaan tersebut bermakna (p<0,005). Kadar gukosa darah posprandial setelah pijat refleksi 5 kali, pada kelompok intervensi menurun 3 mg % (144,8 mg % menjadi 141,7 mg %), sedangkan pada kelompok kontrol meningkat 17,7 mg % (145,4 mg % menjadi 163,1 mg %) ; perbedaan tersebut bermakna (p<0,005). Kadar glukosa darah puasa setelah pijat refleksi 10 kali pada kelompok intervensi menurun 21,3 mg % (116,2 mg % menjadi 94,9 mg %), sedangkan pada kelompok kontrol meningkat 2,3 mg % (113,0 mg % menjadi 115,3 mg %) ; perbedaan tersebut bermakna (p<0,005). Hadar glukosa darah posprandial setelah pijat refleksi 10 kali pada kelompok intervensi menurun 15 mg % (144,8 mg % menjadi 129,7 mg %), sedangkan pada kelompok kontrol meningkat 13,0 mg % (145,4 mg % menjadi 158,4mg %) ; perbedaan tersebut bermakna (p<0,005).
Kesimpulan: Disimpulkan bahwa pijat refleksi pada area pankreas dapat menurunkan kadar glukosa darah secara bermakna dibandingkan dengan pijat refleksi di luar area pankreas pada penderita NIDDM terkendali. Metode ini dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif tambahan pada pasien NIDDM terkendali, disamping pengobatan baku yang diberikan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T8334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Nur Indahsari
"ABSTRAK
Diabetes merupakan penyakit progresif yang tidak hanya membutuhkan perawatan kuratif dan rehabilitatif tetapi juga perawatan paliatif.. Kepuasaan merupakan salah satu indikator penting tercapainya perawatan paliatif yang efektif sehingga pengukuran kepuasan pasien terhadap perawatan menjadi hal yang penting dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat kepuasan pasien diabetes yang mendapatkan perawatan paliatif. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian cross sectional menggunakan sampel pasien diabetes di balai asuhan keperawatan Jabodetabek sebanyak 43 responden yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Home Care Client Satisfaction Instrument-Revised (HCCSI-R), Clien Satisfaction Inventory (CSI), dan Long-form Patient Satisfaction Questionnaire (PSQ-III). Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 14% responden merasa cukup puas, 60,5% merasa puas, dan 25,6% merasa sangat puas. Pada penelitian ini juga ditemukan tidak ada perbedaan yang bermakna antara karateristik responden dengan tingkat kepuasan (p>0,05). Penelitian ini merekomendasikan kepada praktisi kesehatan untuk memperdalam pengetahuan mengenai perawatan paliatif dan mengaplikasikannya pada pelayanan kesehatan.

ABSTRACT
Diabetes is a progressive disease that needs palliative care aside from curative and rehabilitative. Satisfaction play as one of the most important indicator to get effective achievement of palliative care, so the measurement of patient satisfaction with treatment is necessary. This study was conducted to describe the level of satisfaction of diabetes patients who receive palliative care. This study used cross sectional approach with 43 respondents of diabetic patients accommodate under nursing care centers in Jabodetabek selected with purposive sampling technique. This study used Home Care Client Satisfaction Instrument-Revised (HCCSI-R), Clien Satisfaction Inventory (CSI), and the Long-Form Patient Satisfaction Questionnaire (PSQ-III) to measure satisfaction level. The results showed that 14% of respondents felt quite satisfied, 60.5% were satisfied, and 25.6% felt very satisfied. This research also found that there is no significant differences between the characteristics of the respondents with the level of satisfaction (p> 0.05). The study recommend healthcare practitioners to deepen their knowledge about palliative care and apply it to health services."
2015
S60556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thifal Kiasatina
"Prevalensi kejadian diabetes melitus tipe 2 di Indonesia, terutama pada kelompok PNS/TNI/POLRI/BUMN semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hubungan faktor risiko penyakit diabetes melitus tipe 2 pada peserta Posbindu PTM Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017 - 2018. Data yang digunakan adalah data sekunder surveilans Posbindu PTM, jumlah sampel sebanyak 222. Desain penelitian yang digunakan adalah studi cross-sectional. Analisis pada data dilakukan hingga tingkat multivariat regresi logistik ganda dengan model prediksi. Hasil yang didapatkan yakni model akhir yang berhubungan signifikan terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 yaitu usia (p = 0,031; POR= 6,31; 95% CI 1,18 - 33,68) dan riwayat DM keluarga (p = 0,003; POR = 25,6; 95% CI 3,02 - 217, 82). Ditemukan variabel kurang konsumsi sayur dan buah termasuk variabel confounding (p= 0,179; POR = 0249; 95% CI = 1,89). Faktor dominan yang didapatkan yakni riwayat diabetes melitus pada keluarga. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penguatan program Posbindu PTM dalam mengendalikan dan mencegah risiko diabetes melitus tipe 2 pada pegawai Kementerian Kesehatan RI.

The prevalence of type 2 diabetes mellitus in Indonesia, especially in the PNS / TNI / POLRI / BUMN groups is increasing. This study aims to determine the description and relationship of risk factors for type 2 diabetes mellitus in Posbindu PTM participants of the Ministry of Health of Indoneesia in 2017 - 2018. The data used is secondary surveillance data of Posbindu PTM, the number of samples are 222. The design study is cross-sectional study. Data was analyzing by multivariate multiple logistic regression with prediction models. Variables that was significantly associated with the incidence of type 2 diabetes mellitus, there age (p = 0.031; POR = 6.31; 95% CI 1.18 - 33.68) and diabetes family history (p = 0.003; POR = 25.6; 95% CI 3.02 - 217, 82). Variables in vegetable and fruit less consumption is confounding variable (p = 0.179; POR = 0249; 95% CI = 1.89). The dominant factor is diabetes family history. This study is expected to be the basis for strengthening the Posbindu PTM program in controlling and preventing the risk of type 2 diabetes mellitus in employees of the Ministry of Health Republic of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarwono Waspadji
"ABSTRAK
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit menahun yang merupakan problem kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di kota-kota besar, yang meningkat menyertai adanya perubahan pola hidup masyarakat. Di Jakarta, penelitian epidemiologis pada penduduk yang dilakukan pada tahun 1982 mendapatkan prevalensi DM penduduk usia > 15 tahun sebesar 1,7 %, dan pada penelitian tahun 1993 meningkat menjadi 5,7 %. Jika tidak dikelola dengan baik, DM dapat mengakibatkan komplikasi kronik, baik komplikasi mikrovaskular yang dapat mengenai mata dan ginjal, maupun komplikasi makrovaskular yang terutama mengenai pembuluh darah jantung, otak, dan pembuluh darah tungkai bawah. Keadaan hiperglikemia kronik disangka merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik, antara lain melalui proses glikasi berbagai macam protein. Terbentuknya produk akhir glikosilasi lanjut (advanced glycation end product) yang ireversibel akan berpengaruh terhadap fungsi protein terkait.
Komplikasi kronik DM terjadi balk pada pasien DM yang tidak tergantung insulin (DMTTI non insulin dependent DM = NIDDM = DM tipe 2) maupun DM yang tergantung insulin (DMTI = insulin dependent DM = IDDM = DM tipe 1), walaupun ada perbedaan dalam kekerapan jenis komplikasi yang terjadi. Komplikasi makrovaskular lebih sering ditemukan pada DM tipe 2, sebaliknya pada DM tipe 1, komplikasi mikrovaskular yang terjadi pada ginjal dan mata tampak lebih menonjol.
Di antara komplikasi menahun makrovaskular DM, "kaki diabetes" merupakan komplikasi yang paling mengesalkan, baik bagi pasien maupun bagi dokter yang mengelolanya. Kasus ulkus/gangren diabetes merupakan kasus DM yang terbanyak dirawat. Diperkirakan sebanyak sepertiga dari seluruh pasien DM akan mengalami masalah pada kakinya. Hari perawatan yang lama dan biaya pengobatan yang mahal merupakan salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian sebaik-baiknya. Belum lagi dihitung tenaga yang hilang akibat kecacatan, dan ketidakhadiran di tempat kerja, serta biaya yang diperlukan untuk pengelolaan kecacatan tersebut. Apalagi kalau dilihat nasib pasien pasca amputasi, 30 - 50 % pasien yang telah diamputasi akan memerlukan tindakan amputasi untuk kaki sisi lainnya dalam kurun waktu 1 - 3 tahun setelah amputasi. Suatu nasib yang sungguh sangat suram."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
D431
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irlisnia
"[ABSTRAK
Latar belakang : Hiperglikemia kronik pada pasien Diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dihubungkan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kerusakan berbagai organ tubuh lain seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh kapiler. Salah satu gangguan fungsi organ yang sering diabaikan sebagai akibat hiperglikemia adalah faal paru. Uji fungsi paru dapat membedakan kelainan paru obstruktif, restriktif atau campuran antara obstruktif dn restriktif. Uji fungsi paru dengan spirometri tidak dapat dilakukan dengan baik pada anak dibawah usia 7 atau 8 tahun karena memerlukan koordinasi yang cukup sulit. Penelitian tentang dampak DMT1 terhadap paru di Indonesia belum ada sampai saat ini.
Tujuan : Mengetahui gambaran uji fungsi paru pada pasien DMT1 usia 8-18 tahun.
Metode : Penelitian potong lintang dilakukan di Poliklinik Endokrinologi dan Respirologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), serta Laboratorium Prodia Salemba pada bulan Januari 2015. Wawancara orangtua dilakukan dan data kadar HbA1c dalam rentang satu tahun terakhir diambil dari rekam medis subjek atau berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya. Uji fungsi paru dilakukan sebanyak tiga kali dan diambil salah satu hasil yang terbaik. Kemudian subjek menjalani pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar HbA1c dengan metode cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) di Laboratorium Prodia.
Hasil : Tiga puluh lima subjek berpartisipasi dalam penelitian, terdiri dari 68,6% perempuan. Rerata usia 14 ± 2,7 tahun dan median durasi DM adalah 4 tahun (1,3-10,2 tahun). Rerata parameter FEV1 adalah 86,8 ± 14%, FVC 82,7 ± 12% dan V25 83,1 ± 26,2%. Median FEV1/FVC adalah 92,4 % (77,6-100) dan V50 91,5 % (41,1-204). Fungsi paru normal didapatkan pada 19 subjek (54,3%) dan fungsi paru terganggu sebanyak 16 subjek (45,7%), terdiri dari 10 subjek (28,6%) gangguan restriktif, 2 subjek (5,7%) gangguan obstruktif dan 4 subjek (11,4%) gangguan campuran. Rerata HbA1c dalam 1 tahun terakhir pada subjek dengan gangguan restriktif adalah 10,3%. Simpulan : Nilai parameter uji fungsi paru pasien DMT1 usia 8-18 tahun masih dalam batas normal. Gangguan fungsi paru didapatkan pada 16 subjek (45,7%) dengan gangguan restriksi terbanyak yaitu 10 subjek (28,6%).

ABSTRACT
Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder.;Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder., Background: Chronic hyperglycemia in patients with type 1 diabetes mellitus (T1DM) is associated with long term functional impairment and damage of several parts of the body, such as eyes, kidneys, nerves, heart, and capillary blood vessels. Among all systems, disorder of pulmonary function due to hyperglycemia is often neglected by physicians. Pulmonary function test could determine whether the lung impairment is obstructive, restrictive, or mixed. Pulmonary function test using spirometry could not be applied to children below 7 or 8 years old because they are not capable to do the test. Until now, research about the effect of T1DM to pulmonary function has never been done in Indonesia.
Objective: To obtain pulmonary function test profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old.
Methods: This cross sectional study took place at Endocrinology and Respirology Outpatient Department of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and Prodia Laboratory Service in Salemba in January 2015. Parents of subjects were interviewed for history disease. HbA1c level of recent year was collected from medical records or from previous test results. Pulmonary function test were conducted three times to each subjects and among those three results, the best was chosen as data. Blood samples were collected for HbA1c level measurement. The HbA1c level was measured by cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC) method in Prodia Laboratory.
Results: Thirty five subjects participated in the research, 68.6% of them were female. The average age was 14 ± 2.7 years and the median duration of diabetes melitus was 4 years (1.3-10.2 years). FEV1, FVC, and V25 average was 86.8 ± 14%, 82.7 ± 12%, and 83.1 ± 26.2%, respectively. The median of FEV1/FVC and V50 was 92.4 % (77.6-100) and 91.5% (41.1-204) respectively. Nineteen subjects (54.3%) had normal pulmonary function and among 16 (45.7%) abnormal subjects, 10 (28.6%) had restrictive disorder, 2 (5.7%) had obstructive disorder, and 4 (11.4%) had mixed disorder. Average of HbA1c level of restrictive group was 10.3%.
Conclusions: Pulmonary function test parameter profile in type 1 diabetes mellitus patients aged 8 to 18 years old lies in normal range. Pulmonary function disorder was found in 16 subjects (45.7%). Among those 16 subjects, 10 (28.6%) had restriction disorder.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"ABSTRAK
Penyakit diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Faktor yang berkaitan dengan sekresi dan kerja insulin antara lain kebiasaan minum kopi. ToIeransi Glukosa Terganggu (TGT) merupakan suatu prakondisi kejadian DM. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh kebiasaan minum kopi pada kasus TGT terhadap terjadinya DM tipe 2 dan gambaran laju insidensi DM tipe 2 pada kasus TGT serta kesintasannya.
Penelitian merupakan Study Kohort Praspektif selama 2 tahun 4 bulan terhadap 289 kasus TGT. Konsumsi kopi dinilai dari jumlah kandungan kafein sesuai frekuensi minuet, jumlah bubuk, dan merk minuman kopi. Kandungan kafein diperiksa dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Diagnosis DM tipe 2 ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ?120 mg/dL danlatau hash pemeriksaan glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa > 200mg/dL. Analisis statistik menggunakan perangkat lunak Stata versi 8.0. Penilaian laju insidensi dengan analisis survival, peranan faktor risiko DM tipe 2 dan TGT dengan analisis multivariat Cox Proportional Hazard Regression dan Multinomial Logistic Regression.
Temuan panting dari penelitian ini : (1) Laju insidensi DM tipe 2 adalah 9,3 per I00 kasus TGT per tahun; (2) konsumsi kopi dengan kafein 240 - 359,9 mg per hari hari mempunyai rasio hazard (FIR) 2,33 dan kafein ? 360 mg per hari mempunyai FIR 3,24; (3) faktor lain yang berisiko adalah konsumsi lemak ? 40 gram per hari dengan FIR 2,07, obesitas (IMT ? 25) HR 2,25, obesitas abdominal (RPP L : > 0,95; W: > 0,85) HR 2,28, lama minum kopi (? 10 tahun) HR 1,97, hipertrigliserida (? 200 mg/dL) HR 2,41 dan FFA tinggi (? 0,93 mM) HR. 1,9; (4) mencampur minuman kopi dengan susu atau krim, aktivitas fisik (indeks 120 menitlhari), konsumsi serat ? 25 gram per hari dan konsumsi teh ditemukan mencegah DM tipe 2 masing-masing dengan HR 0,28 0,56, 0,42, dan 0,50; (5) kafein 240 - 359,9 mg mempunyai rasio risiko relatif (rasio RR) tetap mengalami TGT 2,95, kafein ? 360 mg mempunyai rasio RR 3,28;(6) faktor lain yang berisiko TGT adalah konsumsi lemak dengan rasio RR 2,51, obesitas abdominal 2,47 dan hipertrigliserida 2,97; (7) aktivitas fisik dan konsumsi serat ditemukan mencegah TGT masing-masing dengan rasio RR 0,29 dan 0,40; (8) Dari temuan penelitian dihasilkan tiga model sistim skor prediksi DM tipe 2, tiga model untuk memprediksi kejadian tetap TGT dan tiga model untuk memprediksi kejadian normal dengan 4 batasan risiko, dengan probabilitas area ROC model prediksi antara 83,59% -94,73%.
Konsumsi kopi pada kasus TGT mempunyai respon dosis dan respon waktu terhadap kejadian DM tipe 2 dan tetap TGT. Sebaliknya terhadap kejadian normal, respon tersebut berbanding terbalik. Jumlah kafein yang terkandung pada minuman kopi meningkatkan FFA mengakibatkan resistensi insulin dan kelelahan sel j3 dalam mengsekresi insulin yang berakhir dengan diabetes. Campuran susu atau krim pada minuman kopi menambah asupan kalsium pada tubuh dan mereduksi kandungan kafein, sehingga mencegah DM tipe 2 pada peminum kopi. Model predisksi dengan sistim skor cukup baik dan praktis untuk memprediksi risiko DM tipe 2, tetap TGT, dan normal. Jika risiko diketahui lebih dini, tindakan pencegahan dapat segera dilakukan dan memberikan hasil penanggulangan lebih baik.

ABSTRACT
Type 2 Diabetes Mellitus (Type 2 DM) is a metabolic disease characterized by hyperglycemia, due to the abnormal insulin secretion, insulin function, or both. One of the factors related to insulin function and secretion is drinking coffee. Impaired Glucose Tolerance (IGT) is a precondition for the occurrence of Diabetes Mellitus. This research is aimed to study the risk of developing Type 2 DM among impaired glucose tolerant cases that regularly drinks coffee, and to determine the incidence rate of Type 2 DM on IGT cases as well as its survival rate.
This is a cohort prospective study with the duration of 2 years and 4 months among 289 IGT cases. Coffee consumption was assessed by caffeine content according to drinking coffee frequency, weight of coffee powder, and coffee brand's name. The caffeine content was measured by spectrophotometer, used High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method. Type 2 DM diagnosis was determined according to ADA 1997 criteria (fasting blood glucose of > 126 mg/dL and/or 2 hours after glucose load of > 200 mg.dL Statistical analysis software used in this study was Stala version 8.0. Assessment of the incidence rate was calculated by survival analysis, while the risk factors of developing Type 2 DM, remained IGT, and reversing to Normal Glucose Tolerance (NGT) were analyzed by multivariate Cox Proportional Hazard Regression and Multinominal Logistic Regression.
Result
Important findings in this research are: (I) The incidence rate of Type 2 DM was 9.3 per 100 cases of IGT person-year; (2) Coffee consumption with caffeine content of 240 - 359,9 mg daily had hazard ratio (HR) of 2.31 and HR for coffee contents > 360 mg caffeine daily was 2.92; (3) Other risk factors for the development Type 2 DM include fat consumption of > 40 g daily, with HR value of 1.99, HR obesity (BMI > 25) was 2.24, and HR for abdominal obesity ( waist hip ratio, men: > 0.95; women: > 0.85) was 2.44, while HR for duration of drinking coffee (? 10 years) was 1.97, for hyper triglyceride (? 200 mg/dL) was 2.74, and for high FFA (> 0.93 mM) was 1.88; (4) Drinking coffee with cream or milk, physical activity (index of 120 minutes/day), and food fiber consumption > 25 gram/day, prevent the development of Type 2 DM with HR value of 0,28, 0.56, and 0.38 respectively; (5) Relative risk ratio (RR) to remain 1GT was 2.95 in drinking coffee with caffeine content of 240 - 359.9 mg, and 3.28 in drinking coffee with caffeine content > 360 mg; (6) Other risk factor of remaining IGT were fat consumption, abdominal obesity, and hyper triglyceride, with RR values of 2.51, 2.47, 2.97 respectively; (7) Physical activity and food fiber consumption prevent reversal to IGT with RR value of 0.29 and 0.40; (8) This study resulted in three prediction score system models for the development of type 2 DM, three prediction score system models for remaining to IGT, and three prediction score system models for reversing to NGT, with the probability of prediction model ROC area between 83.5% to 94.73%.
The incidence rate of Type 2 DM increases every year. Caffeine content in the coffee drinks has linear correlation with increased FFA value, insulin resistance, fasting blood glucose, and two hours after glucose load, as well as the occurrence of DM. Drinking coffee among the IGT cases has dosage and time response relationship to the occurrence of type 2 DM and remaining IGT. On the other hand, the relationship is opposite for the reverse to normal glucose tolerance (NGT). Drinking coffee with cream or milk can prevent the occurrence of type 2 DM. Prediction model with scoring system is good and practical to predict risk of type 2 DM and IGT. If the risk is found earlier, the prevention can be immediately performs and will give better result.
"
2004
D574
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>