Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223624 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Benito Harleandra
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang analisis penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dalam penyelesaian perkara pidana melalui diversi di Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Metro Jaksel) ditinjau dari ketentuan Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatif yang bersumber dari data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara wawancara informan primer, observasi dan telaahan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, Penerbitan SP3 sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan dalam UUSPPA menjadi lembaga yang digunakan oleh penyidik Polrestro Jaksel untuk menghentikan penyidikan tindak pidana melalui proses diversi. Namun demikian penerbitan SP3 sebagai bentuk penyelesaian perkara AKH melalui diversi tetap merujuk pada ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang menjadi lembaga penghentian penyidikan yang dilatarbelakangi secara limitatif dalam ketentuan pasal tersebut. Kedua, Dampak yang dapat terjadi apabila pelaksanaan diversi dinyatakan selesai dengan diterbitkannya SP3 yang merujuk pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP sebagai surat ketetapan penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 PP Diversi maka memberikan ruang untuk dibuka kembali penyidikan atas perkara tersebut sehingga AKH tidak memperoleh kepastian hukum dalam penyelesaian perkaranya. Sejatinya, penerbitan SP3 pada penyelesaian perkara AKH dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perkara AKH telah selesai diperiksa dan diadili (memiliki kekuatan hukum tetap) serta telah dilaksanakan hukumannya sehingga tidak dapat dituntut kembali (nebis in idem) pada masa mendatang.

This thesis is the result of research on the analysis of the issuance of Letters of Termination of Investigation (SP3) in the settlement of criminal cases through diversion at the South Jakarta Metro Police (Polres Metro Jaksel) in terms of the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. This research was conducted using a descriptive-qualitative method, which was sourced from primary and secondary data. The data collection method was carried out by interviewing primary informants, observing and reviewing documents. The results of the study show, first, the issuance of SP3 as a decree on termination of investigations in UUSPPA is an institution used by South Jakarta Police investigators to stop criminal investigations through the diversion process. However, the issuance of SP3 as a form of settlement of AKH cases through diversion still refers to the provisions of Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code, which is an institution for ending investigations with a limited background in the provisions of that article. Second, the impact that can occur if the implementation of diversion is declared complete with the issuance of SP3 which refers to Article 109 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code as a decision letter to stop the investigation of criminal acts as mandated in Article 24 PP Diversion, thus providing space for the investigation of the case to be reopened so that AKH do not obtain legal certainty in the settlement of the case. In fact, the issuance of SP3 in the settlement of the AKH case is intended to state that the AKH case has been examined and tried (has permanent legal force) and the sentence has been carried out so that it cannot be prosecuted again (nebis in idem) in the future."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Karunia Ramadhan
"Dewasa ini, banyak informasi yang diragukan kebenarannya yang secara tidak langsung membentuk persepsi umum masyarakat terhadap satu hal. Untuk mendapatkan kebenaran dari seorang individu, maka diperlukan pemahaman isi alam bawah sadar. Adanya shadow didalam diri seseorang menyimpan ideal dan gagasan yang terpendam oleh individu dan lingkungannya. Proses asimilasi antara individu dengan shadow dirinya disebut dengan individuasi yang dapat diatur oleh arsitektur dan lingkungan. Penerapan proses individuasi dilakukan dalam konteks sistem Lapas Palendang Bogor untuk meningkatkan kualitas penghukuman serta rehabilitasi narapidana di lingkungan fasilitas baru yang dirancang
Today, many false information travel between individuals which creates a false perception and indoctrination towards a certain thing. To attain truth from an individual, an understanding of the subconscious mind is needed. The Shadow residing within the mind is home to repressed ideals and ideas by the individual. The process of integrating the self with The Shadow is called individuation which is able to be controlled by the architecture and environment. Application of the individuation process is done in the context of Palendang Prison Bogor’s system to improve the quality of criminal justice and the rehabilitation of the inmates in the newly designed facility."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnus Sabani
"Tesis ini menganalisis bagaimana pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri, bagaimana parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas dan bagaimana model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan Diversi. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilaksanakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam praktiknya tidak semua tindak pidana dapat dilaksanakan dengan diversi. Faktor yang mendorong terwujudnya proses diversi diantaranya adanya persetujuan dan kesediaan pihak korban dan pihak pelaku untuk menyelesaikan perkara melalui diversi serta adanya kesepakatan perdamaian antara pihak korban dan pihak pelaku dalam penyelesaian perkara dengan musyawarah diversi. Parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas di antaranya adanya kesepakatan diversi, tidak mengulangi pidana dan keberhasilan reintegrasi sosial. Model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan diversi yaitu model Conference / Family Group Conference yang melibatkan instrumen masyarakat.

This thesis analyzes how the implementation of diversion at the level of investigation, prosecution, and examination of juvenile cases in the District Court, what are the parameters for measuring the successful implementation of diversion by Officers and what models can be used to ensure the implementation of Diversion. This thesis was prepared using doctrinal research methods. Diversion is the process of transferring the settlement of juvenile cases from the criminal justice process to a process outside criminal justice. Diversion can be implemented at the level of investigation, prosecution and examination of children’s cases in the District Court based on a restorative justice approach as mandated by Law No. 11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System. In practice, not all criminal offenses can be implemented with diversion. Factors that encourage the realization of the diversion process include the agreement and willingness of the victim and the perpetrator to resolve the case through diversion and the existence of a peace agreement between the victim and the perpetrator in resolving the case with a diversion deliberation. Parameters to measure the successful implementation of diversion by officers include the existence of a diversion agreement, not repeating the crime and the success of social reintegration. The model that can be used to ensure the implementation of diversion is the Conference / Family Group Conference model which involves community instruments."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Achjani Zulfa
"ABSTRAK
Praktek penyelesaian perkara pidana melalui jalur ?musyawarah? antar pelaku dan korban Serta masyarakat yang terlibat didalamnya merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari rnusyawarah yang terjadi menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja. Di sejumlah negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat, Berangkat dari kenyataan tersebut, Disertasi ini membahas tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadaan restoratif dalarn praktek penegakan hukum pidana di Indonesia Pencarian atas gagasan penerapan pendekatan keadilan restoralif dalam disertasi ini dimulai dengan kajian teoretis terhadap keadilan restoratif dimana terjadi pergulatan untuk menyatakannya sebagai sebuah teori atau filosofi pernidanaan. Penelitian dilanjutkan dengan penelusuran terhadap praktik penggunan pendekatan keadilan nestoratif di berbagai Negara, Kedua kajian ini yang menjadi pedoman penulis dalarn melihat plaktek penanganan perkara pidana di Indonesia terhadap sejumlah perkara pidana yang diselesaikan diluar sistem peradilan pidana, pandangan para petugas penegak hukum terhadap hal tersebut dan mengurai pula basil pilot project penerapan pendekatan keadilan restoratif di Bandung. Saluruh proses penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif Suatu metode penelitain yang ?multimethod in focus, involving an interpretive and naturalisilic approach ro its subject matter", dimana diharapkan melalui pendekatan ini akan terlihat nyata dari analisa dan pembahasan perrerapan pendekatan keadilan restoratif di dalam pandangan hukum pidana, sistem peradilan pidana, hukum adat yang menggali pandangan masyarakat terhadap Iembaga peradilan pidana dan proses yang berjalan didalamnya serta pengaruh dan norma hukum. Penelitian kualitatif juga telah membuka kemungkinan bagi penulis untuk meneliti dengan menggunakan berbagai sumber baik data yang diperoleh melalui penelitian lapangan, maupun Studi dokumen. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagai suatu filosofi pemidanaan, keadilan restoratif dapat membingkai berbagai kebijakan, gagasan program dan strategi penanganan perkara pidana sehingga diharapkan hasil proses tersebut dapat menciptakan keadilan yang dirasakan oleh pelaku, korban rnaupun masyarakat dan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana saat ini."
Depok: 2009
D1029
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Johannes Roberto Hasibuan
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S22619
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>