Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118398 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Namira Khairiyah
"Pendahuluan: Pengukuran parameter sefalometri lateral adalah bagian penting dalam perencanaan perawatan ortodonti. Pengukuran metode konvensional dilakukan secara manual, namun teknik ini memakan waktu. Metode digital dapat dilakukan menggunakan aplikasi yang saat ini semakin banyak dikembangkan dan disebarluaskan seperti aplikasi OrthoCeph yang dapat digunakan secara semi-otomatis dan aplikasi WebCeph secara otomatis dan semi otomatis. Dokter gigi dapat menggunakan aplikasi tersebut pada smartphone ataupun web agar lebih efisien dengan memastikan adanya keakuratan antara pengukuran pada radiografi sefalometri metode digital dan metode konvensional sebagai gold standard. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengukuran parameter sefalometri lateral (skeletal, dental, dan jaringan lunak) antara metode digital (OrthoCeph dan WebCeph) dengan konvensional. Metode: Radiografi sefalometri lateral dari 36 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 14 parameter skeletal, dental, dan jaringan lunak sefalometri lateral yang dianalisis. Uji paired t-test digunakan untuk menguji perbedaan antar metode. Interclass correlation coefficient (ICC) dan Bland-Altman plot digunakan untuk menguji reliabilitas antar metode. Hasil: tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital OrthoCeph dan konvensional pada sebagian besar parameter pengukuran parameter sefalometri lateral, antara lain SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, dan II (p≥0,05). Terdapat perbedaan secara statistik pada parameter SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls dan Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital WebCeph dan konvensional pada seluruh parameter (p≥0,05) kecuali E-Line Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode OrthoCeph dengan WebCeph pada seluruh parameter (p<0,05). Sebagian besar parameter menunjukkan kesepakatan baik hingga hampir sempurna antar metode (ICC≥0.61). Kesimpulan: Sebagian besar parameter menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan OrthoCeph dan WebCeph masih diperlukan penyempurnaan.

Introduction: Measurement of lateral cephalometric parameters is an important part of orthodontic treatment planning. Conventional measurement methods are performed manually, but this technique is time-consuming. Digital methods can be performed using applications that are currently being increasingly developed and disseminated, such as the OrthoCeph application which can be used semi-automatically and the WebCeph application both automatically and semi-automatically. Dentists can use these applications on smartphones or the web to be more efficient by ensuring accuracy between measurements on digital cephalometric radiography and conventional methods as the gold standard. Objective: This study aims to determine and analyze the differences in lateral cephalometric parameter measurements (skeletal, dental, and soft tissue) between digital methods (OrthoCeph and WebCeph) and conventional methods. Method: Lateral cephalometric radiographs from 36 research subjects were obtained according to inclusion criteria. There are 14 skeletal, dental, and soft tissue lateral cephalometric parameters that were analyzed. Paired t-test was used to test the differences between methods. Interclass correlation coefficient (ICC) and Bland-Altman plot were used to test the reliability between methods. Results: There were no statistically significant differences between the digital method OrthoCeph and conventional method in most lateral cephalometric parameter measurements, including SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, and II (p≥0.05). There were statistically significant differences in the SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls, and Li parameters (p<0.05). There were statistically significant differences between the digital method WebCeph and conventional method in all parameters (p≥0.05) except for E-Line Li (p<0.05). There were statistically significant differences between the OrthoCeph method and WebCeph in all parameters (p<0.05). All parameters showed good to almost perfect agreement between methods (ICC≥0.61). Conclusion: Most parameters show significant differences. The use of OrthoCeph and WebCeph still requires refinement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Adriani
"Pengukuran inklinasi insisif atas dan pola skeletal vertikal menggunakan berbagai bidang referensi sefalometri seperti bidang SN, FHP, dan maksila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengukuran dan skor interpretasi sudut inklinasi insisif atas antara sudut I?SN dengan I?MxP dan pola skeletal vertikal antara sudut FMPA, SNMP, dan MMPA. Pengukuran dilakukan pada 25 sefalogram. Terdapat perbedaan hasil pengukuran dan skor interpretasi yang bermakna (p<0,05) antara sudut I?SN dan I?MxP, dan antara FMPA, SNMP, dan MMPA. Pengukuran inklinasi insisif dan pola skeletal vertikal dengan menggunakan bidang referensi sefalometri berbeda dapat memberikan hasil interpretasi yang berbeda.

Upper incisor inclination and vertical skeletal pattern measurements use various cephalometric reference planes such as SN plane, FHP, and maxillary plane. This study aims to analyze the difference of measurement results and interpretation scores of upper insicor inclination between I?SN and I?MxP and vertical skeletal pattern between FMPA, SNMP, and MMPA. Measurements were conducted on 25 cephalograms. There was significant measurement results and interpretation scores difference (p<0.05) between I?SN and I?MxP, and between FMPA, SNMP, and MMPA. Upper incisor inclination and vertical skeletal pattern measurements using various cephalometric reference planes can give different interpretation results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Visita Persia
"Pendahuluan: Perkembangan digital di bidang ortodontik semakin berkembang. Penggunaan intraoral scanner merupakan babak penting dalam evolusi ini. Intraoral scanner merupakan sebuah perangkat yang diproduksi untuk menghasilkan cetakan digital langsung dalam kedokteran gigi. Penggunaan model studi konvesional yang selama ini menjadi baku emas dalam penegakan diagnosis mulai bergeser. Penelitian mengenai penggunaan intraoral scanner akhir-akhir ini banyak dilakukan terutama untuk melihat akurasi. Namun di Indonesia belum ada yang mengamati dari segi persepi pasien. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan persepsi pasien terhadap pencetakan metode konvensional dengan pencetakan digital. Metode: Subjek penelitian sebanyak 46 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dicetak menggunakan teknik pencetakan konvensional (alginate) dan digital (3D intraoral scanner). Kemudian subjek penelitian diberikan kuesioner untuk menilai persepsi pasien menggunakan VAS (visual analogue scale). Hasil: Terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada rasa nyaman, sensitifitas gigi atau gusi, kesan kesulitan bernapas, dan refleks tersedak selama prosedur teknik pencetakan dengan teknik konvensional maupun digital dengan nilai (p<0.05). Kesimpulan: Persepsi pasien terhadap rasa nyaman, sensitifitas gigi atau gusi, kesan kesulitan bernapas, dan refleks tersedak adalah bermakna secara statistik dimana teknik pencetakan digital lebih dipilih dibandingkan dengan teknik konvensional.

Introduction: Digital orthodontics are increasingly in this era. The use of intraoral scanners is an important chapter in this evolution. An intraoral scanner is a device manufactured to produce direct digital impressions in dentistry. The use of conventional study models, which have been the gold standard in making diagnosis, is starting to shift. Recently, much studies has been carried out regarding the use of intraoral scanners, especially to look at the accuracy. However, in Indonesia, no one has observed the differences of patient perception in conventional and digital impressions. Objective: This study aims to determine the differences of patient perception in conventional and digital impression. Methods: 46 subjects were obtained according to the inclusion criteria using conventional (alginate) and digital (3D intraoral scanner) impression techniques. Then the subjects were given a questionnaire to see the patient's perception and assessed using a VAS (visual analogue scale). Results: There was a statistically significant difference in the feeling of comfort, sensitivity of teeth or gums, feeling difficulty of breathing, and gagging reflex during the impression procedure with conventional and digital technique with p value <0.05. Conclusion: The patient perception of comfort, sensitivity of teeth or gums, feeling difficulty of breathing, and gagging reflex are statistically significant where digital impression techniques are preferred compared to conventional techniques."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Nadia
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan salah satu identifikasi yang berperan penting dalam proses identifikasi individu. Sinus frontalis merupakan struktur anatomis yang berperan dalam bidang odontologi forensik sebagai alat penentu jenis kelamin. Sinus frontalis memiliki ciri khas dan keunikan yang menjadikannya salah satu struktur anatomis yang berperan penting dalam menentukan jenis kelamin. Salah satu cara untuk menganalisis sinus frontalis adalah dengan mengukur indeks sinus frontalis pada radiografi sefalometri lateral, yang termasuk ke dalam metode radiomorfometrik karena metode ini sederhana dan non-invasif. Tujuan: Untuk menganalisis indeks sinus frontalis dengan metode radiomorfometrik pada radiografi sefalometri lateral digital untuk penentuan jenis kelamin. Metode: Menganalisis indeks sinus frontalis dengan 2 parameter, yaitu tinggi maksimum sinus frontalis dan lebar maksimum sinus frontalis pada 150 sampel radiografi sefalometri lateral, yang terdiri dari 75 sampel laki-laki dan 75 sampel perempuan. Hasil: Perempuan memiliki rata-rata indeks sinus frontalis lebih tinggi sebesar 3.67, sementara laki-laki sebesar 3.07. Pada laki-laki rata-rata tinggi maksimum sinus frontalis lebih tinggi sebesar 25.87 mm, dibandingkan perempuan sebesar 24.88 mm. Pada laki-laki rata-rata lebar maksimum sinus frontalis juga lebih tinggi sebesar 8.88 mm, dibandingkan perempuan sebesar 7.04 mm. Kesimpulan: Adanya perbedaan signifikan lebar maksimum sinus frontalis dan indeks sinus frontalis pada laki-laki dan perempuan. Persamaan regresi probabilitas jenis kelamin dengan akurasi tertinggi pada penelitian ini adalah pada indeks sinus frontalis yang memiliki akurasi sebesar 68%.

Background: Gender determination is one of the identifications that plays an important role in the process of identifying individuals. The frontal sinus is an anatomical structure that plays a role in the field of forensic odontology as a gender determination tool. The frontal sinus has a distinctive and unique feature that makes it one of the anatomical structures that plays an important role in determining gender. One way to analyze the frontal sinus is to measure the frontal sinus index on lateral cephalometric radiograph, which is included in the radiomorphometric method because it is simple and non-invasive. Objective: To analyze the frontal sinus index using radiomorphometric method on digital lateral cephalometric radiography for gender determination. Method: Analyzing the frontal sinus index with 2 parameters, which are the maximum height of the frontal sinus and the maximum width of the frontal sinus in 150 lateral cephalometric radiographs, consisting of 75 male samples and 75 female samples. Results: Women have an average frontal sinus index of 3.67, which is greater than men’s average of 3.07. In men, the average maximum height of the frontal sinus of 25.87 mm, which is greater than women’s average of 24.88 mm. In men, the average maximum width of the frontal sinus of 8.88 mm, which is greater than women’s average of 7.04 mm. Conclusion: There are significant differences in the maximum width of the frontal sinus and frontal sinus index in men and women. The gender probability regression equation with the highest accuracy in this study was on the frontal sinus index which had an accuracy of 68%."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhiantini Bagyo Moeliodihardjo
"ABSTRAK
Sefalometri rontgenografik lateral merupakan sarana yang sangat membantu dalam bidang orthodonsi baik untuk keperluan klinis maupun penelitian. Pada umumnya analisis sefalometri rontgenografik lateral dilakukan dari hasil penapakan sefalometri lateral rontgenografik secara manual yang cukup sederhana karena hanya membutuhkan alat-alat yang sederhana yaitu dengan pinsil, kertas asetat, penggaris dan busur. Salah satu dari cara manual yang dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi komputer pada saat ini adalah cara Rocky Mountain. Pada teknik ini setelah dilakukan penapakan secara manual, seluruh penapakan tersebut harus dipindahkan dengan alat digitizer ke layar monitor. Apabila terdapat kesalahan pengukuran, tidak dapat langsung diperbaiki pada rekaman penapakan tersebut (data sekunder), melainkan harus dilakukan penapakan ulang dari sefalogram asli.
Pada penelitian ini sefalometri rontgenografik lateral tersebut direkam secara langsung dengan memanfaatkan kemampuan pengolahan citra digital komputer garlic yaitu dengan alat penangkap citra (image grabber). Hal ini dilaksanakan tanpa harus melakukan pemindahan seluruh hasil penapakan manual seperti yang diterapkan pada cara Rocky Mountain, karena data yang disimpan adalah data primer. Hasil perekaman sefalogram dengan teknik ini memungkinkan dilakukannya perbaikan kesalahan dan memeriksa ketepatan penapakan. Teknik ini selanjutnya disebut sebagai teknik komputer.
Sampel yang digunakan adalah 30 sefalogram yang dipakai sebagai sampel pada penelitian lain mengenai pertumbuhan. Ketiga puluh data tersebut telah pula diukur secara manual dan cara yang dipakai oleh Rocky Mountain Orthodontic (RMO) diagnostic services. Hasil pengukuran secara manual dan dengan RMO dibandingkan dengan teknik komputer memakai Test statistik ?Anova? satu arah. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara cara manual, cara RMO, dan teknik komputer.
Untuk menguji kehandalan (reliability) teknik komputer, dilakukan pengukuran oleh dua operator yang berbeda, dan hasilnya dibandingkan satu sama lain dengan ?students t-test?. Pada tes kehandalan ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran kedua operator."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Shafa Khairunnissa
"Latar Belakang: Radiografi sefalometri lateral dan foto ekstra oral merupakan dua pemeriksaan awal yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti. Parameter vertikal skeletal pembentuk wajah pada radiografi sefalometri lateral dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan pola pertumbuhan wajah vertikal, dan foto ekstra oral dapat digunakan untuk menentukan tipe wajah. Kedua proyeksi ini diharapkan memiliki keselarasan dalam penentuan diagnosis. Tujuan: Mengetahui hubungan beberapa parameter vertikal skeletal pada sefalometri lateral terhadap indeks fasial pada maloklusi skeletal kelas I. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 70 rekam medik pasien maloklusi skeletal kelas I di Klinik Integrasi dan Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan korelasi yang positif dengan koefisien korelasi pada sudut gonial sebesar 0,590; sudut gonial inferior sebesar 0,312; sudut SN.MP sebesar 0,574; sudut FMPA sebesar 0,638; dan sudut MMPA sebesar 0,516 dengan nilai p pada kelima sudut <0,5. Pada sudut gonial superior didapatkan nilai p>0,5 dengan koefisien korelasi sebesar 0,072. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Hubungan Beberapa Parameter Vertikal Skeletal pada Sefalometri Lateral terhadap Indeks Fasial, sudut gonial, SN.MP, FMPA, dan MMPA memiliki korelasi positif kuat, sudut gonial inferior memiliki korelasi positif sedang, dan sudut gonial superior tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik.

Background: The two most common initial examinations performed in orthodontic treatment are lateral cephalometric radiographs and extra-oral photographs. Vertical skeletal facial parameters on lateral cephalometric radiographs can be used as indicators to determine vertical facial growth patterns, and extra-oral photographs can be used to determine the facial type. Both of these projections are expected to have harmony in determining the diagnosis. Objective: This study aims to describe the correlation of several vertical skeletal parameters in lateral cephalometry to facial index on class I skeletal malocclusion. Methods: Cross-sectional study is done using the secondary data found in patient’s medical record. Results: From 70 medical records of class I skeletal malocclusion patients at the Integration and Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, a positive correlation was obtained with a correlation coefficient on gonial angle of 0.590; inferior gonial angle of 0.312; SN.MP angle of 0.574; FMPA angle of 0.638; and the MMPA angle is 0.516 with p values at the five angles <0.5. At the superior gonial angle, p>0.5 was obtained with a correlation coefficient of 0.072. Conclusion: Based on research on the Correlation of Several Vertical Skeletal Parameters in Lateral Cephalometry to Facial Index, gonial, SN.MP, FMPA, and MMPA angle have a strong positive correlation, inferior gonial angle has a moderate positive correlation, and superior gonial angle has no statistically significant correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririt Damayanti
"Penggunaan model studi digital di Indonesia saat ini belum populer, akan tetapi adanya permasalahan kebutuhan penyimpanan ruangan, kebutuhan penyajian rencana perawatan yang akurat dan belum adanya teknologi model studi tiga dimensi digital di Indonesia menjadi alasan dilakukan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan merakit pemindai laser dan ?benchmark? software tiga dimensi untuk kemudian membandingkan pengukuran pada model studi secara manual dengan digital.
Material dan metode : Sampel yang digunakan sebanyak 12 pasang model gigi paska perawatan ortodonti yang memiliki hubungan molar kelas I. Setiap model studi dipindai menggunakan pemindai laser tiga dimensi. Hasil pemindaian kemudian dilakukan pengukuran jarak mesiodistal, interkaninus, dan intermolar. Pengukuran pada model studi konvensional menggunakan kaliper digital dengan ketelitian 0,01mm dan menggunakan software pada model digital. Masing-masing nilai pengukuran dilakukan pengujian realibilitas (uji intraeksaminer) dengan uji T-test berpasangan, kemudian nilai pengukuran secara digital dibandingkan dengan pengukuran secara manual untuk dilakukan uji validitas menggunakan uji T-test tidak berpasangan.
Hasil : Hasil uji intraeksaminer menunjukan tidak ada perbedaan yang bermakna antara penghitungan pertama dan kedua dengan nilai p antara 0,07-0,701. Hasil T-test tidak berpasangan menunjukan tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengukuran model studi digital dengan pengukuran model studi konvensional dengan nilai selisih rata-rata lebar mesiodistal sebesar 0,09mm (SD=0,07), nilai rata-rata selisih pengukuran jarak interkaninus 0,10 mm (SD=0,03) dan nilai rata-rata selisih pengukuran jarak intermolar 0,08 mm (SD=0,03) dengan nilai p untuk semua jenis pengukuran antara 0,62-0,99.
Kesimpulan : Perbandingan pengukuran secara manual dengan pengukuran pada model studi digital hasil pemindaian laser 3D menunjukan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik.

The use of digital study models in Indonesia is not popular, but problem such as space required for study models storage, the needs of accurate treatment planning and the absence of 3D digital study model technology in Indonesia is the reason to do this research. This study is an experimental study by assembling a 3D laser scanner with a 3D software "benchmark" and comparing the manual and digital study models measurements.
Material and methods: The amount of samples used in this research was 12 pairs of post-orthodontic treatment study models with class I molar relationship. Each of the conventional study model was scanned and the mesiodistal, intercanine, and intermolar width was measured. Measurement were made with a digital calliper to the nearest 0.01 mm from conventional study models and with the software from the digital model. Each measurement value was tested to know the realibilility (intraexaminer test) using paired T-test, then the measurements of digital were compared with measurements performed manually using unpaired t-tests to kwow the validity.
Results: The intraexaminer test showed no significant difference between the first and second measurements with p values between 0.07 to 0.701. The unpaired T-test showed no significant difference between measurements of digital study models with measurements of conventional models with the mean difference in mesiodistal width 0.09 mm (SD = 0.07), the mean difference of intercanine distance 0.10 mm (SD = 0.03) and the mean difference of intermolar distance 0.08 mm (SD = 0.03) with p values for all types of measurement between 0.62 to 0.99.
Conclusion: Comparison of measurements between conventional study models with digital study models from 3D laser scanning showed no significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31954
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Handita Permata Sari
"Latar Belakang: Kesalahan posisi kepala dalam sefalostat saat pembuatan radiografis sefalometri lateral mengakibatkan distorsi pada radiograf yang dihasilkan. Hal ini mempengaruhi pada diagnosis dan rencana perawatan orthodonti pasien.
Tujuan: Mengetahui pengaruh distorsi radiografis sefalometri lateral akibat kemiringan kepala pada sumbu anteroposterior terhadap distorsi pengukuran angular sefalometri lateral.
Metode: Radiografis sefalometri lateral terhadap 7 kranium dengan sudut sebesar 0 , -20 , -15 , -10 , -5 , 5 , 10 , 15 , dan 20 terhadap sumbu anteroposterior. Radiograf dilakukan analisis sefalometri oleh dua orang pengamat. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji Bland Altman. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji T Berpasangan dan uji Wilcoxon.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran 8 parameter sudut dengan kemiringan kepala lebih dari 10 p.

Background: Head position errors in the cephalostate during the lateral cephalometric projection result in radiographic distortion. This may affect the diagnosis and treatment plan of orthodontic patient's.
Objective: To discover the effect of lateral cephalometric radiograph distortion due to head tilting on the anteroposterior axis against distortion of lateral cephalometric angular measurements.
Methods: Lateral cephalometric radiograph of 7 human dry skulls with tilting angle of 0 , 20 , 15 , 10 , 5 , 5 , 10 , 15 , and 20 to the anteroposterior axis. Radiographs were analyzed by two observers. Reliability test is done by Bland Altman test. The significance test is done by paired T test and Wilcoxon test.
Results: There was a significant difference between the measurement of 8 angle parameters with head tilting greater than 10 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marianti Enikawati
"Latar Belakang : Maloklusi merupakan masalah yang angka prevalensinya cukup besar di Indonesia. Perawatan terhadap maloklusi perlu dilakukan sejak dini. Selama pubertas, laju pertumbuhan kembali meningkat sehingga dapat dimanfaatkan untuk perbaikan maloklusi. Pengetahuan mengenai pertumbuhan tengkorak dan rahang, terutama maksila dan mandibula, menjadi sangat penting untuk menentukan rencana perawatan yang tepat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata panjang maksila dan mandibula pada anak laki-laki dan perempuan usia 10-16 tahun.
Metode : Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain potong lintang. Subjek penelitian berupa 211 radiograf sefalometri anak usia 10-16 tahun.
Hasil : Pertambahan panjang maksila pada anak laki-laki yang paling besar terjadi pada usia 14 tahun ke 15 tahun. Pertambahan panjang maksila dan mandibula pada anak perempuan, serta mandibula pada anak laki-laki yang paling besar terjadi pada usia 13 tahun ke 14 tahun. Tidak terdapat perbedaan rerata panjang maksila maupun mandibula antara anak laki-laki dengan anak perempuan usia 10-13 tahun, sedangkan pada usia >13-16 tahun, terdapat perbedaan. Terdapat perbedaan pada rerata panjang maksila dan mandibula antara anak laki-laki usia 10-13 tahun dengan anak laki-laki usia >13-16 tahun, begitu juga pada anak perempuan.

Background: Malocclusion prevalence rate is a quite large problem in Indonesia. Treatment of malocclusion should be done. During puberty, the growth rate increased so that it can be used to correct malocclusion. Knowledge of the growth of the skull and jaw, especially the maxilla and mandibular, becomes very important to determine proper treatment plan.
Objective: The aim of this study was to determine the average length of maxilla and mandibular in 10-16 years old boys and girls.
Methods: The method that is used in this research was descriptive with cross-sectional design. The subjects were 211 cephalometric radiographics of 10-16 years old children.
Result: The highest growth rate of the maxilla in boys occurred at the age of 14 years to 15 years. The highest growth rate of maxilla and mandibular in girls, and the highest growth rate of mandibular in boys occurred at the age 13 to 14 years. The average length of the maxilla and mandibular between boys and girls 10-13 years old has no difference, while there is a difference in >13-16 years old. There is a difference between the maxillary and mandibular length of 10-13 years old boys with >13-16 years old boys, and also for the girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45348
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekky Fajar Frana
"ABSTRACT
Di Indonesia, angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat sejak tahun 2013-2015 masih rendah yaitu sebesar 52,4%. Upaya yang dilakukan adalah dengan diterapkannya metode baru yaitu metode standar jangka pendek pada tahun 2107. Seiring diterapkannya metode baru, metode standar konvensional tetap terus dilakukan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pengobatan antara metode standar standar konvensional dan metode standar jangka pendek. Data yang digunakan adalah data pasien TB MDR yang memulai pengobatan antara Januari-Desember 2017 yang teregister dalam e-TB Manager. Hasil pengobatan yang baik pada metode standar konvensional adalah 39,8% dan pada metode standar jangka pendek adalah 48,9%. Hasil analisis uji chi square terhadap perbedaan hasil antara metode konvensional dan jangka pendek adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p-value = 0,067). Dan hanya faktor umur 45 tahun dan interval inisiasi pengobatan 30 hari yang perbedaan hasil pengobatannya signifikan (p-value = 0,005 dan 0,047).

ABSTRACT
In Indonesia, the success rate of treatment of drug-resistant TB patients from 2013-2015 is still low at 52.4%. The efforts made were to implement a new method, namely the standard short-term method in 2107. As new methods were implemented, conventional standard methods continued. This study used a cross sectional design aimed to determine differences in treatment outcomes between conventional standard standard methods and short-term standard methods. The data used is data on MDR TB patients who started treatment between January-December 2017 registered in e-TB Manager. The good treatment results in the conventional standard method are 39.8% and in the standard short term method is 48.9%. The results of the chi square test analysis of the differences in results between conventional and short-term methods there is no significant difference (p-value = 0.067). And only age factors 45 years and treatment initiation intervals 30 days for which the difference in results was significantly different (p-value = 0.005 and 0.047)."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>