Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heriawaty Hidajat
"Liposarkoma jaringan lunak diklasifikasikan ke dalam lima subtipe histologik yaitu berdiferensiasi baik, miksoid, sel bulat, pleomorfik dan dediferensiasi. Liposarkoma miksoid dan berdiferensiasi baik tergolong derajat keganasan rendah serta mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan subtipe lainnya. Tetapi penentuan subklasifikasi tersebut ternyata tidak selalu mudah dilakukan oleh karena ditemukannya berbagai tipe campuran antara subtipe yang berderajat rendah dengan yang tinggi. Selain itu penentuan grading histologik juga bergantung pada berbagai keadaan sehingga dapat menjadi kurang objektif nilainya.

Soft tissue liposarcoma is classified into five histological subtypes, namely well-differentiated, mycoid, spherical cell, pleomorphic and dedifferentiated. Mixid and well-differentiated liposarcoma is classified as low malignancy and has a better prognosis compared to other subtypes. However, the determination of these subclassifications is not always easy to do because of the discovery of various mixed types between low-degree subtypes with a high one. In addition, the determination of histological grading also depends on various circumstances so that the value can be less objective."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lisda Tenka
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Telah dilakukan studi retrospektif terhadap 20 karsinoma adenoid kistik hasil operasi dari Bagian Patologi Anatomik FKUI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama 8 tahun (1991-1998) dengan melihat tipe histologik, derajat histologik dan invasi perineural serta melakukan penghitungan AgNOR. Selanjutnya dicari hubungan antara AgNOR dengan tipe histologik, derajat histologik dan invasi perineural karsinoma adenoid kistik kelenjar liur mayor dan minor. Hasil dan kesimpulan : Dari 20 kasus karsinoma adenoid kistik kelenjar liur mayor dan minor, diperoleh 4 kasus dengan satu tipe histologik (20%) dan 16 kasus dengan tipe campuran (80%). Berdasarkan kriteria derajat histologik menurut Szanto dkk didapatkan 6 kasus dengan tumor derajat I (30%), 10 kasus dengan tumor derajat II (50%) dan 4 kasus dengan tumor derajat III (20%). Invasi perineural ditemukan 11 kasus (55%). Nilai AgNOR meningkat berurutan pada tipe tubular, kribriform dan solid. Nilai AgNOR juga meningkat berurutan pada KAK derajat I, Il dan III. Nilai AgNOR menunjukkan perbedaan bermakna antara KAK derajat IIl dengan derajat I dan II. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara nilai AgNOR dengan lokasi tumor (kelenjar liur mayor dan minor) atau ada tidaknya invasi perineural. Dari penelitian retrospektif ini dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan bermakna jumlah AgNOR antara tumor derajat III dengan derajat I dan II, sehingga dengan demikian nilai AgNOR dapat digunakan dalam meramalkan prognosis KAK kelenjar liur mayor dan minor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Ade Fidiawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita. Di Indonesia dari tahun 1989-1992 terdapat 13% karsinoma ovarium dalam 1.726 kasus. Diagnosis histopatologik memegang peranan penting dalam penanganan tumor ovarium. Saat ini yang masih sering menimbulkan masalah diagnostik adalah membedakan antara tumor borderline dengan kistadenokarsinoma padahal penanganan dan prognostiknya berbeda. AgNOR merupakan salah satu cara penilaian proliferasi dengan menghitung nucleolar organizer region (NOR) yang merupakan lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA ribosomal dengan bantuan RNA polimerase. Jumlah dan ukuran AgNOR berkorelasi dengan aktivitas proliferasi sel. Peningkatan nilai AgNOR mencerminkan peningkatan aktivitas proliferasi sel atau ploidi. Pada penelitian ini, nilai AgNOR digunakan untuk melihat hubungannya dengan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Penghitungan nilai AgNOR dilakukan pada 20 kasus kistadenoma, 20 kasus tumor borderline dan pada 20 kasus kistadenokarsinoma dengan dua cara, yaitu rata-rata jumlah AgNOR per nukleus (mAgNOR) dan persentase nukleus dengan AgNOR>1, >2, >3 dan >4 (pAgNOR).
Hasil dan kesimpulan: Dari penelitian ini diperoleh nilai mAgNOR dan pAgNOR meningkat dan kistadenoma, tumor borderline dan kistadenokarsinoma (masing-masing 2,14; 3,55 dan 5,18). Nilai pAgNOR pada karsinoma lebih tinggi daripada nilai pAgNOR pada kistadenoma dan pada tumor borderline (pAgNOR>1 pada kistadenoma 69,55%; pada tumor borderline 964% dan pada kistadenokarsinoma 99,95%). Dengan menggunakan analisis varian didapatkan perbedaan bermakna di antara ke tiga jenis tumor tersebut (p=0,00). Dan dengan uji korelasi diperoleh hubungan yang sangat kuat antara nilai AgNOR dan derajat histopatologik tumor ovarium musinosum. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai AgNOR dapat digunakan untuk membedakan antara kistadenoma ovarium musinosum, tumor borderline dan kistadenokarsinoma.

Ovarian carcinomas are one of the most important malignant tumors because it had become the fourth most common cause of female cancer death. In Indonesia from 1989 to 1992, more than 13 % of 1.726 cancer cases were ovarian carcinomas. Histopathologic diagnostic become an important role in treatment of ovarian tumors. However, the main problem in histopathologic diagnostic the difficulties in differentiating ovarian cystadenocarsinomas and borderline tumors. Application of objective method is therefore necessary for the differential diagnosis. Nucleolar organizer region (NOR) are loops of DNA on the short arms of acrocentric chromosomes that presumably are associated with ribosomal RNA activity, protein synthesis and cellular proliferation. NOR are readily demonstrated by means of argyrophilia of their associated proteins, using the so-called AgNOR technique. Increased number of AgNOR may reflect increased proliferative activity of cell or ploidy, i.e., the count of AgNOR per nudeus was higher in malignant than in benign tissues. In this study, the authors tested AgNOR counting method for their ability to discriminate between benign tumour, borderline tumor and carcinoma and to see correlation between histopathologic grades of mutinous ovarian tumors with AgNOR counts. Selective cases of 20 cases cystadenomas, 20 cases of borderline tumors and 20 cases of cystadenocarsinomas were evaluated by 2 AgNOR counting method: 1) the mean number of AgNORs per nucleus (mAgNOR) and 2) the percentages of nuclei with >1, >2, >3 and >4 AgNORs (pAgNOR>1, pAgNOR>2, pAgNOR>3 and pAgNOR>4, respectively).
Result and conclusion: mAgNOR counts demonstrated a progressive increase from cytadenomas to borderline tumours and to cystadenocarcinomas (2,14; 3,55 and 5,18, respectively). pAgNOR counts were higher in carcinoma than in cystadenoma and in borderline tumors (in adenoma, 69.55% have pAgNOR>1, while in borderline and in carcinoma were 96,1% and 99,55%, respectively). Using analysis of variance, both AgNOR counts enabled significant discrimination between cystadenoma, borderline tumours and carcinoma (13=0, 00). The AgNOR counts show statistically significant correlation with histopathological grade of mucinous ovarian tumors. The result indicates that the AgNOR counting procedure may be useful in distinguishing borderline tumours from cytadenocarcinoma and cystadenoma mutinous of ovary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Karsinoma ovarium merupakan salah satu keganasan yang sangat penting karena menempati urutan ke empat penyebab kematian pada wanita....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irwin Lesmono
"Pendahuluan: Sefalometri posteroanterior merupakan prosedur standar dalam diagnosis ortodonti yang dapat memberikan informasi radiograf mediolateral untuk evaluasi pra-bedah dan asimetri, namun memerlukan radiasi yang cukup besar, biaya yang relatif mahal serta teknik khusus. Fotografi ekstra oral yang telah distandarisasi merupakan salah satu teknik yang relatif mudah dilakukan, ekonomis, serta dapat menggambarkan anatomi kraniofasial.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.
Bahan dan cara: Ukuran linear dan angular titik-titik referensi jaringan lunak dan keras dihitung melalui kajian foto frontal ekstra oral dan sefalometri posteroanterior digital yang diambil dari 31 subjek dengan wajah simetris dan 31 subjek dengan wajah asimetris. Pengukuran dilakukan dengan piranti lunak Sirona-SIDEXIS XG 2.52.
Hasil: Hasil penelitian pada subjek dengan wajah simetris menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras, kecuali pada ukuran linear dan angular menton. Pada subjek dengan wajah asimetris tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gonion dan antegonion kanan, sudut lateral canthus dan zygomatic, serta sudut ala nasi dan nasal cavity. Hubungan bermakna ditemukan pada lateral canthus dan zygomatic kanan dan kiri, ala nasi dan nasal cavity kanan dan kiri, gonion dan antegonion kiri, sudut gonion dan antegonion, serta ukuran linear dan angular menton.
Kesimpulan: Beberapa ukuran jaringan lunak dan jaringan keras berhubungan terutama pada subjek dengan wajah asimetris. Terdapat hubungan antara titik menton jaringan lunak dan keras, baik ukuran linear dan angular, pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.

Introduction: Posteroanterior cephalometry is a gold standard in orthodontic diagnosis which provides mediolateral radiograph information for pre-surgery and asymmetry evaluation, but requires high level of radiation exposure, high cost, and specific technique. Standardized facial photograph is a more simple and low cost technique to describe craniofacial anatomy.
Objective: The purpose of this study was to determine the correlation between soft tissue and hard tissue measurements on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
Materials and method: Linear and angular measurements of the soft and hard tissue’s reference points were done on standardized frontal extra oral photograph and digital posteroanterior cephalometry taken from 31 subjects with symmetrical faces and 31 subjects with asymmetrical faces. The measurements were computed by using Sirona-SIDEXIS XG 2.52 software.
Results: This study showed that there were no correlations for all the measurements, except for linear and angular menton measurements on subjects with symmetrical faces. There were also no correlations between right gonion and antegonion, lateral canthus and zygomatic angle, as well as ala nasi and nasal cavity angle on subjects with asymmetrical faces. On the other hand, there were significant correlations between right and left lateral canthus and zygomatic, right and left ala nasi and nasal cavity, left gonion and antegonion, gonion and antegonion angle, as well as linear and angular menton measurements on subjects with asymmetrical faces.
Conclusion: This study concluded that some of the soft tissue and hard tissue measurements have significant correlations particularly on subjects with asymmetrical faces. There were significant correlations between soft tissue and hard tissue menton, both linear and angular measurements, on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony Japnanto
"Astrositoma ialah tumor primer pada bagian intrakranial yang muncul dari sel astrosite otak. Penelitian ini menggunakan metodologi studi retrospective cohort yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia dan indeks proliferasi AgNOR pada pasien astrositoma. Dengan menganalisa data dari 48 pasien pada penelitian ini, dan menggunakan metodologi Spearman’s rho test, data data tersebut dianalisa. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa indeks proliferasi AgNOR dan usia menunjukan korelasi satu sama lain (p < 0.01). Akan tetapi hubungan antara 2 variabel tersebut tidak kuat (koefisien korelasi = 0.504). Insiden tersering untuk kasus astrositoma ialah pada pasien pasien yang berusia diantara 41-50 tahun.

Astrocytoma is a primary intracranial tumor arised from astrocytes cells of the brain and is the most common infiltrating glioma. The research design in this study is retrospective cohort study that aim is about finding relationship of Age and prognostic factor of astrocytoma. There were 48 participants included in this study, and by using Spearman’s rho correlation test statistical analysis, the data were analyzed. The result showed that both AgNOR proliferation index and age in astrocytoma patients showed a significant correlation each other (p <0.01). However, the relation between both variables was not strong (correlation coefficient = 0.504). Further, the most common incidence for astrocytoma case is in 41-50 age group patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Kurnia
"Karsinoma serviks uteri merupakan tumor ganas yang sering ditemukan di Indonesia dan pada umumnya penderita datang dalam keadaan ianjut dimana radioterapi merupakan terapi pilih. Penilaian respon radiasi dapat dipelajari secara klinis maupun secara histopatologik. Secara histopatologik, selama ini penilaian dilakukan secara kasar yaiutu dengan melihat ada tidak sel tumor yang viable. Respon radiasi antara lain dipengaruhi oleh tingkat prolifersi sel, penilaiannya dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan metode Ag NOR. AgNOR merupakan Salah satu cam penilaian proliferasi sel dengan cars menghilung nuclear organizer region (NOR).
Pada penelitian ini nilai AgNOR digunakan untuk melakukan hubungannya dengan derajat respon radiasi secara hisropomlogik. Penghitungan nilai AfNOR dilakukan dengan 2 cara yaitu (1) rata-rata nilai AgNOR pada nukleus (mAgNOR) dan persentase AgNOR (PAgNOR). Penilaian derajat respon radiasi secara histopalogik dilakukan menurut metode Shimosato yang membuat derajat respon radiasi dari jaringan yang resisten sampai paling sensitif terhadap radiasi dengan gradasi 1A sampai 4C.
Hasil dan kesimpulan, dari 20 kasus karsinoma serviks yang diperiksa, didapatkan 2 kasus dengan derajat respon radiasi 1,5 kasus dengan derajat respon radiasi 4B dan 1 kasus dengan derajat respon radiasi 4C. Karena perbandingan kasus yang tidak seimbang, kasus-kasus ini dikemlompokkan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: (1) kelompok denga respon radiasi baik (13 kasus) dan (2) kelompok dengan derajat respon radiasi buruk (7 kasus). Walaupun terlihat kecenderungan nilai mAgNOR yang lebih tinggi ppada kasus dengan derajat respon radiasi lebih tinggi, nilai mAgNOR yang tidak berbeda bermakna pada kelompok-kelompok yang diperiksa, kemungkinan disebabkan karena mAgNOR tidak secara sppesifik mewakili fraksi pertumbuhan yang tinggi sehingga tidak langsung terkait dengan radiosensitifitas jaringan.
Dari penelitian ini ditemukan nilapAgNOR yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok dengan responn radiasi baik debandinglan dengan kelompok dengan derajat respon radiasi buruk (p=0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa nilai pAgNOR lebih spesifik dan ditelti lebih lanjut dengan digabungkan dengan metoda sehic diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk memprediksi respon radiaso karsinogen serviks uteri.

Cervical uterine cancer is one of tlte most common malignant tumors in Indonesia, patients usually presented in an advance stage where radiotherapy is a therapy of choice. Evaluation of radiotherapy is done both clinically and histopathologcally. Ust; histopathologic assessment was done roughly bythe presence of viable tumor cells. Radio response is influenced by cell proliferation rate and the assessment can be done with methods. ie. Ag NOR method. AgNOR is one of cell proliferation marker that cour nuclcolar organizer region (NOR).
In this study, AgNOR counts was used to soc corelation with grade ofhistopathological radiation response. AgNOR counts was carried in 2 wajrs: (1) mean of AgNOR counts in the nuclei (mAgNOR0 and (2) percentag AgNOR (PAgNOR). Evaluation of histopathologic radiation response grade was a following Shimosato that made gradation radiation response from radioresistant to alt radiosensitiv tissue in IA to -1C grade.
Result and conclusion, from 20 cases of Cervical cancer studied based on Shimosato method. 2 cases were of grade 1, 5 cases of grade ZA. l case of grade 5, 2 cases of grade 49., 9 cases of grade 4B and 1 of gade 4C . Due to unequal number of cases in each group, it was grouped into 2 groups, good radiation response. which is iound in 13 cases and (2) poor radiation response a cases. Altough there is higher number mAgNOR counts irt group with higher grade radiation response. It was not statistically significant, most likely because in mAgNOR is specitically representing high growth fraction, therefore was not correlated directly with tis radiosonsitivitly. From this study, it was showed that pAgNOR counts was hit significantly in group with good radiation response compared to group with poor radia response (p=0.05).
The result showed that pAgNOR count is more speciiic, therefore it car used in more research combine with another method make this method will used as one method for the prediction of radiation response in cert-?ical uterine carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teja Koswara
"Ruang lingkup dan cara penelitian telah dilakukan studi potong lintang terhadap 33 kasus hepatitis kronik di departemen Patologi Anatomik FKUI-RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo selama periode tabun 2003-2006. Dilakukan penilaian aktivitas proliferasi sel hati dengan pulasan AgNOR serta penilaian indeks aktivitas histologik Metavir yang meliputi penilaian grading (nekroinflamasi) dan staging (fibrosis), kemudian dianalisa secara statistik apakab terdapat hubungan antara proliferasi sel hati dengan indeks aktivitas histologik Metavir. Selain itu ditentukan apakah terdapat perbedaan aktivitas proliferasi sel bati diantara keIompok sirosis dan non SlTOSIS. Basil dan kesimpulan : Berdasarkan indeks aktivitas histologik (IAH), didapatkan 10 kasus ( 30,3%) dengan skor lAB 3, 13 kasus ( 39,39%) dengan skor lAB 2 dan 10 kasus (30,3%) dengan skor IAH 1. Berdasarkan penilaian staging (fibrosis), sebanyak 5 kasus (15,15%) digolongkan sebagai F4, 14 kasus (42,42 %) digolongkan sebagai F3, 12 kasus (36,36%) digolongkan sebagai F2, dan hanya 2 kasus (6,06%) yang digolongkan sebagai Fl. Nilai mAgNOR untuk kelompok IAH 3 adalah 6,66, untuk kelompok IAH 2 didapatkan nilai mAgNOR 5,98 sedangkan untuk kelompok IAH 1 didapatkan nilai mAgNOR 5,92. Uji korelasi dengan Kendall's tau_b menunjukkan adanya korelasi lemah antara nilai mAgNOR dan indeks aktivitas histologik. Uji statistik dengan ANOVA one way test menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna untuk nilai pAgNOR pada berbagai derajat lAH. Didapatkan peningkatan nilai mAgNOR sejalan dengan peningkatan derajat piecemeal necrosis dan grading, dan uji korelasi dengan Kendall's tau_b menunjukkan adanya korelasi lemah antara nilai mAgNOR dan piecemeal necrosis pada grading yang berbeda. Berdasarkan staging, untuk kelompok F4, didapatkan nilai mAgNOR 6,77, untuk kelompok F3 didapatkan nilai mAgNOR 5,98, untuk kelompok F2, didapatkan nilai mAgNOR 6,47, dan untuk kelompok Fl, didapatkan nilai mAgNOR 4,075. Uji korelasi dengan Kendall's tau_b menunjukkan tidak ada korelasi antara mAgNOR dan staging. Hasil uji statistik dengan ANOVA one way test menunjukkan nilai pAgNOR untuk kelompok F2-F4 tidak berbeda bermakna, tetapi nilai pAgNOR (>2, >3, >4, >5) untuk kelompok Fl berbeda bermakna dengan nilai pAgNOR pada kelompok F2-F4. Uji statistik dengan t-test menunjukkan babwa nilai mAgNOR tidak berbeda bennakna diantara kelompok sirosis dan non sirosis. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara proliferasi sel hati dengan grading dan staging Metavir pada hepatitis kronik.

Material and method : Cross sectional study was carried out in 33 cases of chronic hepatitis in the department of pathology Dr. Cipto Mangunkuswno Hospital during year 2003-2006. Proliferative rate of hepatocytes was detennined by AgNOR staining method. Histologic activity Index (HAl) by Metavir (grading and staging) was also determined. The correlation between proliferative rate of hepatocytes and grading-staging Metavir was evaluated in this study. The differerence of hepatocytes proliferative rate between cirrhotic and non cirrhotic chronic hepatitis was also determined. Results and conclusion: From 33 cases of chronic hepatitis 10 cases (30,3%) were grouped as HAl score 3, 13 cases (39,39%) were HAl 2, and 10 cases (30,3%) were HAl 1. Based on fibrosis/staging 14 cases (42,42 %) were grouped as F3, 12 cases ( 36,36%) were grouped as F2, and only 2 cases (6,06%) were grouped as F1. mAgNOR's value for IAH 3 was 6,66, mAgNOR's value for IAH 2 was 5,98, mAgNOR's value for IAH 1 was 5,92. Correlation test with Kendall's tau_b showed a weak correlation between mAgNOR's value and HAl score. ANOVA one way test showed there was no statistically different for pAgNOR values among different HAl groups. Correlation test with Kendall's tau_b showed weak correlation between mAgNOR's value and piecemeal necrosis. Based on staging, mAgNOR's value for F4 was 6,77, mAgNOR's value for F3 was 5,98, mAgNOR's value for F2 was 6,47, and mAgNOR's value for Fl was 4,075. Correlation test with Kendall's tau_b showed no correlation between mAgNOR's value dan staging. ANOVA one way test showed there was no statistically different for pAgNOR's values among F2-F4 group, but there was statistically different for pAgNOR's values between Fl and F2- F4 group. T-test showed no statistically difference for mAgNOR's value between cirrhotic and non cirrhotic group. This study failed to show correlation between liver cell proliferative rate and grading-staging Metavir"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T58979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Marleen
"

Latar belakang: Karsinoma mukoepidermoid merupakan keganasan pada kelenjar liur yang paling sering ditemukan. Prognosis karsinoma mukoepidermoid berhubungan dengan derajat keganasannya. Cancer stem cell (CSC) diduga berperan dalam patogenesis karsinoma mukoepidermoid sehingga terjadi resisten terhadap berbagai terapi. CD44 merupakan salah satu penanda SC yang paling banyak pada kelenjar liur dan tampak meningkat pada karsinoma mukoepidermoid. Namun, peran prognostik CD44 pada keganasan masih menjadi perdebatan.

Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri atas 34 kasus di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2012 sampai 2017. Dilakukan pulasan CD44 dan perhitungan H-score dan presentasi setiap kasus. Hasil perhitungan dikelompokan menjadi ekspresi negatif/positif lemah dan positif kuat.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi CD44 berhubungan secara signifikan dengan derajat keganasan (p=0,006). Ekspresi positif kuat ditemukan lebih banyak pada derajat keganasan rendah dan ekspresi negatif/positif lemah ditemukan lebih banyak pada derajat keganasan tinggi.

Kesimpulan: Ekspresi CD44 pada karsinoma mukoepidermoid berhubungan dengan derajat keganasan.

 


 

Background: Mucoepidermoid carcinoma is the most common malignancy in salivary gland. The prognosis correlates with its histological grading. Cancer stem cell (CSC) is predicted to have a role in pathogenesis of mucoepidermoid carcinoma, thus it make resistent to various therapy. CD44 is one of stem cell (SC) marker that expressed in salivary gland and seemed to be increased in mucopidermoid carcinoma. However, prognostic role of CD44 in malignancy still controversy.

Method: This is a cross sectionsl study. Samples consist of 34 cases from Anatomical Pathology Department, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Ciptomangunkusumo General Hospital in 2012 until 2017. CD44 staining was done and calculated wih H-score method. Then, the samples is catagorized into negative/weak expression and strong expresion.

Result: The result showed that CD44 expression associate significantly with histological grading (p=0,006). Strong expression is found more in low grade and negative/weak expresion is found more in high grade.

Conclusion: CD44 expression in mucoepidermoid carcinoma associates with histological grade.

Keyword: mucoepidermoid carcinoma, histological grade, cancer stem cell, CD44.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Gilang Perkasa
"Latar Belakang: Karsinoma sel hati (KSH) adalah lesi neoplastik ganas pada hati tersering. Transformasi keganasan sel hati normal menjadi KSH melibatkan berbagai faktor seperti inflamasi dan perubahan genetik yang menyebabkan KSH menjadi sangat heterogen pada tingkat histologik dan molekular. Perbedaan fenotipe yang dipengaruhi berbagai perubahan molekular menghasilkan berbagai derajat diferensiasi, subtipe histologik dan gambaran klinik yang berbeda dan sebagian berhubungan dengan prognosis pada KSH. Mutasi pada gen TP53 yang berfungsi menontrol proliferasi sel melalui perbaikan DNA, apoptosis, dan penuaan sel terbukti sebagai salah satu perubahan molekular tersering pada KSH dan sering dikaitkan dengan beberapa faktor risiko, derajat diferensiasi, subtipe histologik tertentu dan prognosis. Penelitian ini bertujuan menginvestigasi ekspresi p53 pada derajat diferensiasi, subtipe histologik dan stadium patologi tumor KSH.
Bahan dan cara: Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM, Jakarta terhadap 41 kasus KSH yang diperoleh seara reseksi. Sampel kasus diklasifikasikan berdasarkan kelompok derajat diferensiasi (WHO), subtipe histologik dan stadium patologi tumor. Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia (IHK) protein 53 (p53) pada seluruh kasus dan dilakukan analisis untuk mengetahui ekspresi p53 pada variabel penelitian.
Hasil: Ekspresi p53 ditemukan pada 35 kasus (85%). Berdasarkan derajat diferensiasi, ekspresi p53 ditemukan paling banyak pada derajat diferensiasi sedang dan buruk, yaitu 21 dan 14 kasus (91% dan 93%). Ekspresi p53 berdasarkan stadium patologi tumor ditemukan paling banyak pada pT1b dan pT2, yaitu 8 dan 14 kasus ( 88% dan 93%). Berdasarkan subtipe histologik, seluruh kasus macrotrabecular massive (MTM) menunjukkan ekspresi p53 (4 kasus, 100%), subtipe clear cell (CC) terpulas pada 15 kasus (93%), klasik (CL) ditemukan 16 kasus (88%) dan tidak ditemukan ekspresi p53 pada seluruh kasus steatohepatitic (SH). Terdapat perbedaan rerata bermakna ekspresi p53 pada kelompok baik dan sedang (p=0,011), baik dan buruk (p=0,015) dan tidak terdapat perbedaan rerata bermakna antara kelompok sedang dan buruk (p=0,339). Tidak ditemukan perbedaan rerata bermakna ekspresi p53 pada seluruh kelompok stadium patologi tumor (p=0,948) dan subtipe histologik (p=0,076).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi p53 pada KSH kelompok diferensiasi baik dan sedang serta baik dan buruk.

Background: Hepatocellular cell carcinoma (HCC) is the most common malignant neoplastic lesion of the liver. Malignant transformation of hepatocytes involves various factors such as inflammation and genetic causing HCC to be very heterogeneous at the histological and molecular level. Differences in phenotypes affected by various molecular changes produce different differentiation grade, histological subtype, clinical features and prognosis. TP53 as one of the most common molecular changes in HCC play an important role in cycle cell by controlling cell proliferation through DNA repair, apoptosis and cellular senescence, associates with several risk factors such as certain differentiation grade, histologic subtypes, and prognosis. This current study aimed to investigate p53 expression at HCC’s differentiation grade, tumor pathology stage and histologic subtype.
Materials and methods: The study was conducted at the Department of Anatomical Pathology FKUI / RSCM, Jakarta on 41 cases of resected HCC. Case samples are classified based on groups of differentiation grade (WHO), histologic subtypes and tumour pathology stage. Furthermore immunohistochemical (IHC) staining of protein 53 (p53) carry out in all cases and an analysis statistic was performed to evaluated the expression of p53.
Results: p53 expression was found in 35 cases (85%). Based on the differentiation grade, the expression of p53 was found mostly in the moderate and poor differentiation (91%, 21 cases and 93%, 14 cases). Based on tumour pathology stage, p53 expression was found mostly in pT1b and pT2, which were 8 and 14 cases (88% and 93%). Based on histologic subtypes, all macrotrabecullar massive (MTM) cases showed p53 expression (4 cases, 100%), clear cell (CC) subtypes were in 15 cases (93%), classic (CL) 16 cases (88%) and negative expression was found in all cases of steatohepatitic (SH). There were significant differences in mean expression of p53 in the well and moderate groups (p = 0.011), well and poor (p = 0.015) and there were no significant mean differences between the moderate and poor groups (p = 0.339). There were no significant mean differences in p53 expression in all groups of tumour pathology stages (p = 0.948) and histologic subtypes (p = 0.076).
Conclusion: There is significant difference mean of p53 expression in well and moderate as well as well and poor differentiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>