Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212112 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Quanesya Fatiha Azzahra
"Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan pada dasarnya dapat terjadi bilamana adanya syarat-syarat dari perkawinan yang tidak terpenuhi dan alasan-alasan lain yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Penulisan ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penulisan doktrinal berbentuk yuridis normatif dan bertujuan untuk membahas mengenai pelaksanaan dan alasan-alasan yang dapat digunakan agar batalnya suatu perkawinan. Penulis ini membahas mengenai analisis tentang pembatalan perkawinan dengan alasan salah sangka terhadap diri pasangan dalam Putusan 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dan Putusan 49/Pdt.P/2023/PN SDA. Dalam Putusan 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm dan Putusan 49/Pdt.P/2023/PN SDA, mengandung pokok perkara mengenai dugaan salah sangka mengenai terhadap pasangan. Pada Putusan 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm, Penggugat menyatakan bahwa adanya alasan salah sangka terhadap pasangan dimana pasangan mengalami disfungsi pada alat kelamin. Sedangkan dalam Putusan No. 49/Pdt.P/2023/PN SDA, Pemohon menyatakan bahwa adanya salah sangka mengenai Termohon berupa penipuan dimana Termohon melanggar perjanjian perkawinan yang dibuatnya sebelum Perkawinan. 

The implementation of marriage annulment can basically occur if there are conditions for marriage that are not fulfilled and other reasons listed in the legislation. This writing is a research that uses a doctrinal writing method in the form of normative juridical and aims to discuss the implementation and reasons that can be used to invalidate a marriage. This author discusses the analysis of the annulment of marriage on the grounds of mistaken identity of the spouse in Decision 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm which refers to Law No. 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law and Decision 49/Pdt.P/2023/PN SDA. Decision 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm and Decision 49/Pdt.P/2023/PN SDA contain the subject matter of the alleged wrongdoing against the spouse. In Decision 1847/Pdt.G/2020/PA.Btm, the Plaintiff stated that there was a reason for mistaken identity against the spouse where the spouse experienced dysfunction in the genitals. Meanwhile, in Decision No. 49/Pdt.P/2023/PN SDA, the Plaintiff stated that there was a misrepresentation about the Respondent in the form of fraud where the Respondent violated the marital agreement he made before the marriage. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadiani Kireina
"ABSTRAK
Untuk dapat melangsungkan perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Apabila terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka perkawinan
tersebut dapat diajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan. Namun pada
kenyataannya alasan untuk pembatalan perkawinan tidak hanya karena syaratsyarat
perkawinan yang tidak terpenuhi, tapi juga karena alasan salah sangka atau
penipuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Bentuk penulisan
ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum
yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, Penulis melakukan analisis terhadap
pertimbangan hakim dalam putusan nomor 678/Pdt.G/2015/PA.Mdn apakah
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai
pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah
karena salah sangka atau penipuan yang diajukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Namun pada putusan dinyatakan bahwa hanya suami atau isteri saja yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan karena salah sangka atau penipuan ini.
Sehingga dalam penulisan ini Penulis melakukan analisis apakah seorang Pegawai
Pencatat Nikah dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan salah
sangka atau tidak. Ternyata dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis,
ditemukan bahwa Pegawai Pencatat Nikah dapat pula mengajukan pembatalan
perkawinan dengan alasan salah sangka atau penipuan. Penulis menyarankan
kepada setiap pasangan sebelum melangsungkan perkawinan untuk mengenal
pasangannya, untuk Pegawai Pencatat Nikah diharap untuk lebih cermat dalam
melakukan penelitian berkas persyaratan perkawinan dan untuk hakim diharapkan
dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya mengacu pada rumusan pasal
tertentu, tapi juga berani melakukan penemuan hukum.

ABSTRACT
In order to perform marriage there are requirement that must be fulfilled, in the
case where those requirement are not fulfilled then the marriage could be
submitted to the court for annulment. However, the reason for annulment of a
marriage does not only happen because the marriage requirements are not
fulfilled, but can also happen because of false presumptions as stated in article 27
(2) Regulation Number 1 Year 1974 and Article 72 (2) Compilation of Islamic
Law. The writing of this research juridical normative means this the research is
based on the norm that is written on the marriage regulation which states about the
annulment of marriage. In this research the writer made an analysis on the court
judgment Number 678/Pdt.G/2015/PA.Mdn, in which the write finds out if the
judgement goes according to the marriage regulation. The reason for marriage
annulment in this case is because of false presumptions and deceit, which was
submitted by the marriage registrar. However, the court judgment states that only
husband or wife are eligible to submit a request for a marriage annulment on the
ground of deceit or false presumptions. In this research, the writer made an
analysis on the ability of the marriage registrat to submit a marriage annulment.
This Research shows that marriage registrar is authorized to submit a cancelation
request of marriage on the basis of deceit and false presumptions. The writer here
suggest that every couple must know each other well before performing marriage,
while for the marriage registrar I hope that they are more attentive and meticulous
on the file for the marriage requirement, while for judge the writer hopes that the
judgement does not only base on a particular article of regulation but being also
bold enough to do legal discovery."
2017
S66339
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Wulan Suci Siswanto
"Tulisan ini berfokus pada analisis mengenai pembatalan perkawinan karena salah sangka terhadap diri pasangan dalam Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan). Adapun metode penulisan yang digunakan adalah doktrinal dengan studi kepustakaan. Salah sangka terhadap diri pasangan didefinisikan ahli hukum dan para hakim terdahulu sebagai suatu penipuan identitas yang disengaja mengenai dirinya karena tidak terdapat pengaturan mendetail yang mendefinisikan salah sangka di dalam UU Perkawinan. Selaras dengan hal tersebut, Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn mengandung pokok perkara mengenai salah sangka mengenai diri istri yang diajukan oleh Pemohon. Pemohon menilai bahwa terdapat kebohongan mengenai latar belakang profesi, pendidikan, domisili, serta sikap Termohon yang tidak sesuai dengan sangkaannya sebelum perkawinan. Hakim dalam perkara mengabulkan permohonan Pemohon selaku suami secara seluruhnya dengan mempertimbangkan adanya kebohongan mengenai identitas diri istri selaku Termohon. Penulis menilai bahwa No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn telah sesuai dengan UU Perkawinan, tetapi tidak menyetujui pertimbangan hakim yang menafsirkan sikap pemarah Termohon dan percekcokan setelahnya sebagai suatu salah sangka, karena tidak relevan dengan penipuan identitas yang dilakukan Termohon dan merupakan sebab akibat dengan hak nafkah Termohon yang tertahan. Dalam menghadapi kekosongan hukum terkait salah sangka, hakim juga tidak mengakomodasi hukum agama Kristen yang dianut Pemohon dan Termohon serta memberi pertimbangan yang kurang cermat yang tidak didasarkan pada pengaturan selain UU Perkawinan. Penulis menilai bahwa hakim kurang mencerminkan penguasaan hukum. Dibutuhkan pula pengaturan yang spesifik mengenai definisi dan kategorisasi salah sangka untuk menciptakan kepastian hukum.

This paper analyzes marriage annulment due to false presumption towards the spouse in District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn with reference to Law No. 1 of 1974 which was amended by Law No. 16 of 2019 (Marriage Law). The writing method used is doctrinal method with literature study. False presumptions as the basis of marriage annulment has been defined by legal experts and previous judges as deliberate identity fraud regarding oneself due to unavailable provisions in defining false presumptions in the Marriage Law. In accordance with this, District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn contains the subject of the case regarding false presumptions submitted by the husband as Petitioner. The Petitioner considered that there were lies regarding the Respondent's professional background, education, domicile, and attitude which did not match Petitioner presumptions before the marriage. The judge granted the Petitioner's petition in its entirety taking into account the lies regarding the wife's identity as the Respondent. The author considers that No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn was in accordance with the Marriage Law, but disagree with the judge's consideration which interpreted the Respondent's temperament and subsequent quarrel as a false presumptions, owing to the fact that it was irrelevant to the identity fraud committed by the Respondent and was a causality of the Respondent's livelihood being withheld. In facing the legal vacuum related to false presumptions, the judge also did not accommodate the Christian religious law adhered to by the Petitioner along with Respondent and gave inaccurate considerations that were not based on regulations other than the Marriage Law. In addition, the author considers that judges do not reflect their mastery of the law. Specific regulations are also needed regarding the definition and categorizations of false presumptions to contribute and construct legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Herma Desfira
"Perkawinan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi, perkawinan tidak hanya sekedar suatu hubungan badan, melainkan pula merupakan suatu hubungan perikatan antara suami dan isteri. Dengan adanya hubungan perjanjian perikatan tersebut, maka perkawinan menimbulkan segala akibat hukum di dalamnya. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1, suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya. Kemudian, pada Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, melainkan sebagai kewajiban administratif. Meskipun pencatatan perkawinan tidak menjadi faktor yang menentukan keabsahan perkawinan, tetapi kedudukan pencatatan perkawinan di sini memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan kejelasan pada peristiwa perkawinan yang terjadi. Selain itu, pencatatan perkawinan tersebut juga berfungsi sebagai alat pembuktian yang sempurna di hadapan pengadilan. Undang-undang kita memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan tertentu. Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pada penelitian ini, Penulis hendak meneliti apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dijadikan dasar pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan jenis data sekunder. Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah bahan hukum primer, yaitu KUH Perdata, UU Perkawinan, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait; dan bahan hukum sekunder, yaitu bukubuku hukum, serta jurnal ilmiah.

Marriage is one way for humans to continue their offspring. However, marriage is not just a physical relationship, but also an engagement relationship between husband and wife. With the engagement agreement, the marriage has all the legal consequences in it. According to article 2 paragraph (1) of Law no. 1, a marriage is valid if it is carried out according to the laws of their respective religions and beliefs. Then, in Article 2 paragraph (2) of Law no. 1 of 1974, it is determined that each of these marriages must be registered in accordance with the applicable laws and regulations. According to the Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, but as an administrative obligation. Although marriage registration is not a factor that determines the validity of a marriage, marriage registration has a very important role in determining a marriage event that occurs. In addition, the registration of the marriage also serves as a perfect means of proof before the court. Our law supports marriage for certain reasons. Based on Article 22 of Law no. 1 of 1974, a marriage can be annulled if the parties do not meet the requirements to enter into a marriage. In this study, the author wants to examine whether unregistered marriages can be used as the basis for submitting a marriage application. The research method used is juridical-normative with secondary data types. The types of secondary data used in this study are primary legal materials, namely the Civil Code, Marriage Law, and several related laws and regulations; and secondary legal materials, namely books
law, and scientific journals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gideon Mario
"Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan. Pada kenyataannya banyak sekali alasan yang dapat diajukan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Bentuk penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis apakah pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah karena kelainan seksual. Kelainan seksual dalam kasus ini baru diketahui setelah pernikahan berjalan 3 bulan. Sehingga dalam penulisan ini penulis mencoba untuk menganalisis apakah kelainan seksual termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka seperti yang terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Ternyata dapat ditemukan bahwa kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan karena termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka. Penulis menyarankan kepada setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk lebih terbuka kepada pasangannya.

A marriage which doesn?t fulfill the conditions, can be filed for annulment to the court. In fact many reasons can be proposed to cancel the marriage. The form of this paper is the normative juridical research studies that are legally refers to legal norms contained in laws and regulations relating to the marriage annulment. At this paper the authors try to do an analysis from the verdict of south Jakarta Religious Court No. 0294/Pdt.G/2009/PA.JS. Marriage annulment reason in this case is due to sexual variations. Sexual abnormality in this case be known after the marriage runs 3 months. The author tried to analyze what sexual variations include the clause fraud and one thought as found in Article 27 paragraph (2) of Act 1/74 and Article 72 paragraph (2) Compilation of Islamic Law. Finally author also found that sexual abnormality can be grounds for marriage annukment, including the clause fraud and wrong. Authors recommend to every couple who will be more receptive to mating for the spouse."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadek Rama Maheswara Putra
"Sahnya Perkawinan antar Warga Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum tempat dimana perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis). Putusnya perkawinan karena perceraian adalah suatu hal yang sangat dihindari oleh setiap pasangan, namun jalan perceraian ini diambil karena memang ikatan suci perkawinan tersebut sudah tidak dapat lagi untuk dipertahankan karena alasan-alasan tertentu. Salah satu akibat hukum dari perceraian adalah mengenai hak pengasuhan anak. Hakim dalam menentukan pengasuhan anak, perlu untuk memperhatikan latar belakang dari masing-masing pihak, salah satunya adalah mengenai hukum adat yang masih hidup dalam sebuah masyarakat.Putusan No. 256/Pdt.G/2010/PN.Dps merupakan salah satu contoh kasus yang menggambarkan adanya pasangan antar WNI yang melangsungkan Perkawinan di Alabama, Amerika Serikat, bercerai di wilayah Indonesia, dan hakim dalam memutuskan hak pengasuhan anak menggunakan hukum adat Bali yaitu jatuh ke tangan bapak berrdasarkan prinsip kapurusan. Disinilah perlu dikaji lebih lanjut apakah hakim telah sesuai dalam menerapkan hukum-hukum yang terkait sehingga putusan ini telah dibuat dengan seadil-adilnya.

The validity of marriages between Indonesia citizen held abroad under the rules in force in Indonesia, must be in accordance with the provisions contained under Law Number 1 year 1974 regarding Marriage and the law of the place where the marriage took place (lex loci celebrationis). The marriage breakup as a result of divorce is something that is very avoidable by each partner, but the divorce path finally taken is because the sacred bond of marriage could not be maintained any longer due to certain reasons. One of the legal consequences of divorce is the child custody. Indonesian judges, in determining child custody, need to pay attention to the background of each party in dispute. One of the backgrounds that need to be noticed by the judges is upon customary laws which still exist in Indonesian modern society. Decision No. 256/Pdt.G/2010/PN.Dps is one example of a case that illustrates inter-citizen couples who hold marriage in Alabama, USA, sook divorce in Indonesia, and the judges who decided the child custody using customary law principles which falls to the fathers side based on kapurusan principle which still exist in Bali. Hence, there is a need to take further studies to analyze whether it was appropriate the judge to apply the relevant laws in order for the decision to be fairly made."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.

Marriage Regulation Number 1 Year 1994 as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.


Marriage Regulation Number 1 Year 1994  as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled. 

 

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azka Ananda Arnita
"Pembatalan Perkawinan merupakan keputusan pengadilan yang menyatakan sebuah perkawinan adalah tidak sah dan mengakibatkan perkawinan tersebut dianggap tak pernah terjadi. Skripsi ini hendak membahas mengenai sebuah permohonan pembatalan perkawinan yang dikabulkan atas dasar adanya poligami tanpa disertai dengan izin dari istri sah namun cenderung mengesampingkan ketentuan terkait daluwarsa pembatalan perkawinan yang didasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Agama Lolak Nomor 438/Pdt.G/2021/PA.Llk. Faktanya, pembatalan perkawinan memiliki daluwarsa, yakni selama 6 (enam) bulan setelah ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, namun pasangan suami istri tersebut tetap mempertahankan hubungannya. Dalam pembahasan skripsi ini, ditemukan fakta bahwasanya terdapat unsur ancaman di dalam perkawinan tersebut serta permohonan pembatalan perkawinan yang baru diajukan kurang lebih 20 (dua puluh) tahun sejak ancaman yang dimaksud terjadi. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan dari permasalahan tersebut ialah, daluwarsa dalam pembatalan perkawinan hanya berlaku karena 2 (dua) alasan, yakni apabila terdapat ancaman atau salah sangka sehingga diluar daripada alasan tersebut, termasuk adanya poligami, tidak dapat diberlakukan aturan terkait daluwarsa pembatalan perkawinan. Akan tetapi, dalam Putusan Pengadilan Agama Lolak Nomor 438/Pdt.G/2021/PA.Llk., Majelis Hakim kurang tepat dalam mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan Pemohon. Sebab, ditemukan fakta bahwa terdapat unsur ancaman dalam perkawinan tersebut, sehingga seharusnya ketentuan mengenai daluwarsa pembatalan perkawinan itu haruslah diberlakukan. Maka dari itu, permohonan pembatalan perkawinan ini seharusnya ditolak karena telah melewati daluwarsa yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Marriage annulment is a court decision that declares a marriage invalid and causes the marriage to be considered never to have occurred. This thesis will discuss a request for annulment of marriage that was granted on the basis of polygamy without the permission of the legal wife but tends to ignore the provisions related to the expiration of marriage annulment based on the case in the Lolak Religious Court Decision Number 438/Pdt.G/2021/PA.Llk. In fact, the annulment of marriage has an expiration date, which is 6 (six) months after the threat has ceased or the guilty person realizes the situation, but the married couple continues to maintain their relationship. In the discussion of this thesis, it is found that there is an element of threat in the marriage as well as a new marriage annulment application filed approximately 20 (twenty) years after the threat in question occurred. This thesis was prepared using the research method of literature study and interviews. Based on the research that has been conducted, the conclusion of the problem is that the expiration in the annulment of marriage only applies for 2 (two) reasons, namely if there is a threat or misconception so that outside of these reasons, including polygamy, the rules related to the expiration of marriage annulment cannot be applied. However, in the Lolak Religious Court Decision Number 438/Pdt.G/2021/PA.Llk, the Panel of Judges was incorrect in granting the petition for annulment of marriage filed by the Petitioner. Because, it was found that there was an element of threat in the marriage, so that the provisions regarding the expiration of the marriage annulment should be applied. Therefore, the application for annulment of this marriage should be rejected because it has passed the expiration date regulated in Article 27 paragraph (3) of Law Number 1 Year 1974 concerning Marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cakra Andrey Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembatalan perkawinan yang diatur dalam ketentuan hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Undang-Undang Nomor 1 Tahuin 1974 Tentang Perkawinan, dan Peratutran Pelaksananya yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, terhadap perkawinan yang dimohonkan pembatalan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor. 317/Pdt.G/2010/PA.JP. serta mengetahui akibat hukum yang terjadi akibat pembatalan perkawinan tersebut. Permohonan pembatalan perkawinan dalam kasus diatas bermula dari diketahuinya status Tergugat yang ternyata ketika menikah dengan Penggugat menggunakan identitas diri yang tidak benar. Kenyataan tersebut merupakan bukti tidak terpenuhinya salah satu syarat perkawinan yang mengakibatkan perkawinan itu dapat dimohonkan pembatalan. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang penulisan Skripsi ini dengan metode pendekatan yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat Adanya pembatalan perkawinan tersebut memberikan akibat hukum bagi harta suami istri, Secara prinsip, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi hak bersama, akibat putusan pembatalan perkawinan tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik yang dalam karya tulis ini adalah Penggugat, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian. Sedangkan bagi Pihak Ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami istri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami istri tersebut.

This research was aimed to elaborate the regulations regarding marriage annulment in the Law number 1 year 1974, Islamic Law Compilation, and the implementing regulation, including Goverment Regulations No. 9 year 1975, and it’s implementation on request for marriage annulment before the Central Jakarta Religious Court, also the effect resulted from the judgment over the case. The request for annulment was submitted on the grounds of identity forgerys applied by the brides. Such forgery is not in accordance to requirements of marriage lagality, resulting such marriage coul be requested to be annuled. Thus, it is background for the reasearch, which acquired Juridical Normative method. The annulment of the marriage it self has deep impact to the marital property, and the annulment of that marriage shall not resulting the parties to suffer any loss, eith the good faith priciple. To any third party who also the good faith, no retroactive effects of those annulment could be applied. Thus, all of the civil acts or any civil relations personally have been done by the parties before the annulment are still being in force."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>